Senin, 25 Agustus 2025

HIDUP YANG LUPA JALAN PULANG

 



 Di sebuah kota kecil, hiduplah dua sahabat lama: Arif dan Junaedi.

Arif adalah sosok cerdas. Buku-buku menumpuk di kamarnya, pemikirannya dalam, dan ia berhasil mencapai apa yang diinginkan banyak orang. Pekerjaan mapan, rumah mewah, mobil mengkilap. Orang-orang menyapanya penuh hormat. Tapi entah mengapa, wajah Arif sering murung. Malam-malamnya panjang, lampu rumahnya terang, tapi hatinya gelap. Ia bertanya pada dirinya sendiri:
“Apa semua ini? Untuk apa aku bekerja mati-matian? Kenapa tetap ada kosong di dada?”

Di sisi lain, sahabatnya sejak kecil, Junaedi, hidup sederhana. Warung kecilnya hanya cukup untuk makan harian. Hidup pas-pasan, bahkan kadang kekurangan. Ia sering duduk di pinggir jalan, memandang orang-orang sukses dengan iri. Dalam hatinya tumbuh rasa cemburu yang berat.“Kenapa aku begini terus? Kenapa mereka bisa sukses, aku tidak?”

Rasa iri itu kadang menjerumuskannya pada pikiran gelap. Ia sempat ingin merusak usaha orang lain, hanya karena hatinya dipenuhi frustasi.

Kedua sahabat itu berjalan di jalur berbeda-satu berada di puncak keberhasilan dunia, satunya di dasar kesederhanaan. Tapi keduanya merasakan hal yang sama: kosong, asing, dan gelisah.

Hidup mereka hanya berputar di lingkaran keinginan-mengejar sesuatu, lalu bosan ketika tercapai, atau marah ketika gagal.

Pertemuan di Masjid


Suatu sore, setelah sekian lama tak bertemu, Arif dan Junaedi sama-sama duduk di serambi masjid kampung. Keduanya datang dengan hati letih.

Seorang ustadz tua sedang berbicara pelan kepada jamaah kecil. Suaranya tenang, tapi menusuk hati:

“Nak, hidup ini bukan soal kaya atau miskin. Bukan soal cita-cita tinggi atau rendah. Allah sudah jelas berfirman: Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun — Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Kalau hidup hanya dibangun atas keinginan diri sendiri, ujungnya cuma dua: jenuh atau hancur. Tapi kalau dibangun atas agama, ujungnya cuma dua: sabar dan syukur. Saat gagal, ia sabar, itu pahala. Saat berhasil, ia syukur, itu juga pahala.”

Kata-kata itu bagai anak panah. Arif menunduk, dadanya sesak. Junaedi menggigit bibir, matanya panas. Mereka merasa seperti sedang ditunjuk langsung.

Malam Gelap dan Air Mata


Malam itu, Arif pulang ke rumahnya yang mewah. Ia duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke dinding.“Selama ini aku hanya mengejar angka, harta, nama besar… tapi kenapa aku merasa asing dengan diriku sendiri? Kenapa aku tidak pernah benar-benar sujud dengan hati tenang?”

Air matanya jatuh untuk pertama kali setelah sekian lama. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, merasa begitu rapuh.

Di warung kecilnya, Junaedi juga termenung. Suara jangkrik terdengar dari sawah belakang rumah. Ia ingat kata-kata ustadz di masjid.“Aku terlalu sibuk iri pada orang lain, padahal aku lupa: rizki datangnya dari Allah, bukan dari dengki. Aku lupa bersyukur, padahal nikmat-Nya tidak pernah berhenti.”

Tangannya bergetar ketika ia meraih sajadah. Malam itu ia shalat Tahajud untuk pertama kali setelah bertahun-tahun. Air matanya jatuh di atas sajadah lusuhnya.

Langkah Kecil Menuju Allah

Hari-hari berikutnya, perlahan mereka berubah.
Arif mulai mendatangi masjid, duduk mendengar kajian, dan membaca Al-Qur’an setelah Subuh. Ia mulai belajar mengembalikan langkahnya pada Allah.

Junaedi juga berubah. Ia tidak lagi mengeluh saat dagangannya sepi. Justru ia mengucap Alhamdulillah saat ada satu pembeli datang. Ia belajar sabar dan syukur, dua hal yang selama ini jauh dari dirinya.

Ujian dan Kesadaran

Namun jalan pulang ke Allah tidak pernah mulus. Suatu hari, usaha besar Arif diguncang masalah. Saham jatuh, rekan bisnisnya mengkhianati, sebagian hartanya lenyap. Dulu mungkin ia akan hancur. Tapi kali ini berbeda. Ia ingat pesan ustadz itu: “Saat gagal, sabarlah. Itu pahala.”

Ia tersenyum pahit, lalu sujud lama sekali.

“Ya Allah… Engkaulah pemilik semua ini. Jika Kau ambil, itu hak-Mu. Jika Kau beri, itu karunia-Mu.”

Di sisi lain, warung Junaedi pernah benar-benar sepi berhari-hari. Perut anak-anaknya menahan lapar. Hatinyapun nyaris goyah. Tapi ia menggenggam kuat kata-kata ustadz: “Sabar, nak, sabar itu pahala.”

Malam itu, ia menatap wajah anak-anaknya yang tidur dengan perut kosong. Air matanya menetes, tapi dari bibirnya keluar kalimat lembut: “Ya Allah… aku ridha. Aku percaya Engkau tidak pernah menelantarkan hamba-Mu.”

Jalan Pulang

Waktu berjalan, keduanya kini sering bertemu di masjid. Tak lagi dengan wajah muram atau iri, tapi dengan senyum tulus. Mereka menemukan sesuatu yang dulu hilang: ketenangan jiwa.

Arif berkata pada Junaedi suatu sore:

“Jun, aku baru benar-benar paham. Hidup ini bukan soal banyaknya harta atau tingginya cita-cita. Hidup ini soal arah. Kalau diarahkan pada keinginan kita sendiri, pasti kosong. Tapi kalau diarahkan sesuai tujuan Allah menciptakan kita, semuanya terasa bermakna.”

Junaedi menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.“Ya, Rif. Hidup ini ternyata sederhana. Sabar ketika sempit, syukur ketika lapang. Itulah kunci bahagia.”

Kesadaran Diri

Angin sore berhembus lembut. Adzan Maghrib berkumandang, memenuhi langit senja. Dua sahabat itu berdiri, melangkah ke dalam masjid.

Di dalam sujudnya, keduanya berbisik dengan hati penuh harap:“Ya Allah, inilah kami yang pernah lupa arah. Kini kami kembali. Jangan palingkan lagi hati ini setelah Engkau beri petunjuk. Terimalah kami, ya Rabb…”

Air mata mereka jatuh, bukan lagi karena kosong, bukan lagi karena iri, tapi karena rasa syukur yang dalam.

Mereka akhirnya sadar: jalan pulang hanyalah satu-kembali kepada Allah.
Dan hanya di situlah, hidup benar-benar menemukan maknanya.

Pak J

Jumat, 22 Agustus 2025

"KOMPOR" VAN DE BOSH : DULU MENGURAS AIR ,SEKARANG MENGURAS KESABARAN

 Nganjuk 22 agust 2025.Ruang Ide.

Tahun 1830, Belanda punya ide “brilian”-brilian buat kantong mereka, tapi bikin rakyat kita ngos-ngosan. Namanya Cultuurstelsel alias Sistem Tanam Paksa. Yang menggagas? Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Beliau ini orang Belanda yang datang ke Jawa bukan untuk wisata kuliner, tapi buat memastikan kas negaranya penuh-apalagi setelah negeri Belanda bangkrut dan miskin  gara-gara perang Pangeran diponegoro atau perang Jawa.


Nah, sistem tanam paksa ini simpel: petani harus sedia satu per lima tanahnya, bukan untuk menanam padi buat makan sendiri, tapi buat menanam tanaman ekspor: seperti kopi, nila, karet, lada dan terutama tebu. Tebu ini lho, yang manis-manis itu, tapi getirnya bukan main buat rakyat saat itu.

Kalau kita tarik garis waktu ke Desa Nglaban, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk (dulu masuk kawedanan Kediri), bayangin para petani desa ini juga kena getahnya. Mereka yang biasanya nanam padi buat dapur mereka, sekarang harus nurut nanam tebu buat Belanda. Pikirannya sederhana: kalau nggak ikut aturan, bisa kena hukuman. Jadi ya manut wae, meskipun hati nggerundel.

Buktinya masih ada sampai sekarang. Di pinggir Desa Nglaban, berbatasan dengan Dusun Gedangan, Desa Sumengko, Sukomoro, ada sebuah bangunan misterius yang orang kampung nyebutnya “Kompor.” Tenang, ini bukan kompor buat masak sayur lodeh, tapi semacam sumur raksasa peninggalan zaman tanam tebu. Diameter? Kurang lebih 6 meter. Kedalaman? 25 sampai 30 meter. Coba bayangin, kalau ada yang jatuh ke situ, bisa nyanyi “Dalamnya lautan, siapa yang tahu…”


Fungsi aslinya apa? Ya buat sumber air, irigasi tebu. Airnya dipakai mengairi perkebunan biar si tebu tumbuh subur, lalu diperas habis-habisan demi keuntungan pemerintah kolonial. kalau pas kompor di nyalakan dengan mesin desa itu kehabisan air. sumur warga banyak yang kering. Bangunannya kuat banget, pakai teknik masa itu yang bikin kita melongo: “Kok bisa ya, zaman dulu udah bikin beginian?”

Tapi ada cerita lain yang bikin tambah geleng-geleng kepala. Katanya, kalau dulu “kompor” ini dinyalakan pakai mesin penyedot air, warga desa langsung tekor bareng-bareng. Air sumur mereka ikut raib-kering kerontang! Jangan dibayangin ada PDAM yang ngalir sampai rumah ya. Wong warga waktu itu kalau mau ngambil air aja masih pakai senggot (ember seng diikat tali). Begitu mesin kompor hidup, senggot jadi alat olahraga doang: diturunin ke sumur, ditarik lagi, yang naik cuma angin. Jadi, bisa dibilang kalau mesin kompor hidup, warga desa cuma bisa hidup pakai doa.

sumur senggot
Sayangnya, sekarang “kompor” itu sudah jadi korban peradaban modern. Bukan dipugar, bukan dilestarikan, malah jadi tempat timbun sampah. Bayangin, bangunan yang dulunya saksi bisu penderitaan petani sekarang cuma jadi “bak sampah” raksasa. Tambah ironis lagi, tanah di sekitarnya yang dulu terkenal angker (katanya banyak makhluk halus) sekarang sudah berdiri rumah warga.
Rupanya makhluk halusnya juga sudah kalah sama kredit Tukang Bangunan.

Lucunya, warga setempat cuek-cuek aja. Mungkin mereka mikir, “Lha wong itu cuma lubang gede, buat apa dipikirin?” Pemerintah? Sama aja. Belum ada yang serius mikir, “Eh ini kan bisa jadi cagar budaya!” Akhirnya ya begitulah: sejarah terkubur, literally ditimbun sampah.


Padahal, kalau pemerintah kabupaten Nganjuk yang sering di sebut Anjuk Ladang itu mau Peduli, tempat itu bisa dipoles dikit aja, bisa jadi wisata edukasi anak sekolah, tongkrongan positif anak muda dan menjadi icon desa yang luar biasa: “Kompor Raksasa Peninggalan Tanam Paksa.” Bayar tiket masuk, dapat bonus cerita mistis. Wisatawan pasti penasaran: “Kompor gede gini buat masak apa? lodeh satu desa?”

Jadi begitulah, dari seorang Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang memaksa rakyat nanam tebu untuk kepentingan tuan penjajah, sampai ke sebuah “kompor” raksasa yang sekarang nasibnya miris.

Saking mirisnya, kadang orang mikir: “Ini kompor butuh bantuan bansos Dinas Sosial, apa perlu kaleng infak masjid yaa biar bisa direnovasi?” Bayangin aja, peninggalan sejarah yang dulu disedot-sedot airnya buat ngisi kas Belanda, sekarang malah numpuk sampah, kayak nunggu antrean BLT. Bedanya, kalau rakyat dapat beras 5 kilo, si kompor paling cuma dapat timbunan sampah 1 truk.

Mungkin solusi paling gampang ya taruh kaleng infaq masjid di dekat kompor. Siapa tahu ada yang nyumbang seribu, dua ribu, lama-lama bisa jadi cagar budaya. Kalau nggak ya minimal bisa buat beli sapu lidi, biar sampahnya nggak numpuk.

Kalau bisa nangis, kompor ini pasti udah main sinetron jam tujuh malam. Judulnya: Airku Habis Disedot Belanda, Kini Aku Ditimbun Warga. Peran utamanya: si Kompor yang tersakiti, peran antagonisnya: sampah plastik Indomie yang tak pernah habis.

Atau kalau dibawa ke panggung stand up comedy, kompor ini bakal ngomong:
“Bro… dulu aku dipakai Belanda buat bikin mereka kaya raya. Sekarang aku dipakai warga buat buang sampah. Jadi intinya, dari zaman penjajah kolonial sampai sekarang, fungsiku tetap sama: bikin rakyat keluarin keringat.”
Pak J . wong nglaban asli 

Kamis, 21 Agustus 2025

SEKOLAH TAKUT PENJARA,MORAL BOCAH JADI TUMBALNYA

 

RUANG IDE - P agi itu, di warung kopi Mbok Surti, aroma tempe mendoan dan kopi hitam menyatu. Seperti biasa, para “dewan warung” nongkrong sambil membahas topik nasional yang entah kenapa selalu lebih seru daripada berita TV.

“Eh, Le,” kata Pak Bejo sambil nyeletuk, “kamu tahu nggak? Sekarang kalau guru nekat buka HP murid buat ngecek moral, bisa dipenjara lima tahun. Padahal murid-murid itu sering tiba-tiba dimasukkan ke grup aneh-aneh tanpa mereka ngerti. Ada grup LGBT, ada grup mesum, ada juga jualan obat kuat. Lah, bocah SMP disuguhi obat kuat, wong makan tahu aja masih disuapin!”
Warung langsung riuh ketawa.


Pak Karyo ikut menimpali, "Lha piye, sekarang itu anak dikasih HP rekomendasi tugas online. Tapi malah ditugaskan online-in diri ke grup mesum. Gurunya pengin nyelametin, eh malah bisa dituduh kriminal. Jadi sekarang guru lebih aman ngajar rumus Pythagoras daripada rumus menjaga akhlak."



“Bener,” sambung Pak Mardi sambil ngudud, “pemerintah ini aneh. Sekolah diwajibkan mendidik karakter, tapi dicekoki undang-undang yang melarang buka HP murid. Jadi gurunya harus punya ilmu kebatinan: bisa tahu isi chat tanpa buka HP. Kalau nggak, ya siap-siap lihat moral bocah nyungsep.”

Mbok Surti yang dari tadi sibuk nggoreng tempe nggak tahan ikut nyeletuk, “Kalau gini caranya, 10 tahun lagi akhlak anak bangsa bisa jadi barang antik. Di museum mungkin ada tulisan: 'Ini contoh generasi yang masih ngerti sopan santun. Setelah itu punah, diganti generasi jempol' .”

“Yo betul, Mbok,” timpal Pak Bejo, “sekarang negara lebih sibuk jaga data pribadi bocah daripada jaga moralnya. Jadi kalau ada murid nonton film biru, yang dilindungi bukan matanya, tapi password HP-nya. Lah iki piye logikane?”

Warung kembali pecah tawa. Tapi di balik tawa itu, kopi terasa semakin pahit.

Pak J 

Rabu, 20 Agustus 2025

NEGARA INI....... BEBAN KITA SEMUA ?


Di sebuah warung kopi pinggir jalan, obrolan pagi tiba-tiba jadi serius gara-gara satu kalimat dari Bu Menteri: “Guru itu beban negara.”

Wah, yang ngopi langsung kaget. Ada yang sampai nyembur kopinya, ada yang pura-pura ngelap meja padahal matanya merah nahan emosi.

“Lha, kalau guru beban negara, terus negara ini apa? Beban rakyat, to?” celetuk Pak RT yang sedang ngopi sambil nyicil rokok.

Semua ketawa, tapi ketawanya getir. Soalnya memang bener. Rakyat tiap hari bayar pajak, listrik naik, bensin naik, beras naik-yang turun cuma harapan.

Dialog di Warung Kopi

Eh, coba bayangno ya,” kata Mas Karyo, tukang servis kipas angin.
“Guru beban negara, katanya. Padahal guru itu yang ngajarin anak pejabat sampai bisa tanda tangan APBN. Coba kalau nggak ada guru, siapa yang ngajarin Bu Menteri baca teks waktu pidato?”

Semua yang ada di warung ketawa lagi. Kopi hampir tumpah, gorengan hampir salah masuk mulut.

“Negara ini aneh, Rek,” sambung Pak Dhe Wito.
“Rakyat sudah bayar pajak, rakyat disuruh sabar, rakyat disuruh gotong royong, eh giliran minta gaji guru dinaikno, langsung dibilang beban. Padahal gaji pejabat yang kayak gaji kiper liga Inggris itu, kok nggak pernah disebut beban?”

Satire Penuh Canda

Ada yang nyeletuk lebih sadis:
“Mungkin negara ini salah kaprah. Harusnya rakyat yang bilang: ‘Negara, sampean iki beban kami kabeh. Makan APBN triliunan, tapi hasilnya? Rakyat masih rebutan BLT kaya rebutan pentol keliling.’

Yang ngopi langsung ngakak.
Tapi ada juga yang tiba-tiba sepi. Soalnya, memang nyatanya rakyat sering dipalak negara lewat pajak, tapi giliran rakyat butuh, negara malah pura-pura jadi ‘beban’ yang nggak bisa ngangkat diri.

Akhirnya, obrolan warung kopi itu ditutup oleh Pak Udin, si tukang parkir yang paling jarang ngomong.
“Sing jelas itu.. kalau guru beban negara, terus pejabat beban siapa? Beban rakyat! Dan rakyat? Beban hidup!”

Warung kopi meledak lagi oleh tawa.
Tapi tawa itu, seperti biasa, cuma jadi cara rakyat melepas penat. Soalnya, besok pagi mereka tetap harus bayar pajak, beli bensin mahal, dan ngopi lagi sambil bercanda:
“Negara ini... beban kita semua.”

Selasa, 19 Agustus 2025

NEGARA RIBUT ANGKA, GURU RIBUT CARI ONGKOS PULANG

Jakarta- Ruang ide. Presiden Prabowo Subianto dengan lantang menyebut Rp178,7 triliun siap digelontorkan tahun 2026 untuk gaji, tunjangan, dan peningkatan kompetensi guru serta dosen. DPR pun riuh tepuk tangan, seolah-olah semua masalah guru langsung beres.

Namun, riuh tepuk tangan di Senayan tidak selalu sama dengan riuhnya ruang guru di pelosok negeri. Di sana, motor butut tetap jadi tunggangan setia, ongkos bensin masih dihitung sampai tetes terakhir, dan bau spidol terus jadi aroma terapi wajib di kelas. Guru-guru swasta, guru guru honorer bahkan ada yang gajinya kalah sama uang parkir mobil mewah pejabat Senayan.


Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyebut anggaran guru sebagai “tantangan keuangan negara”. Kalimat ini memicu reaksi publik. Wajar saja, karena di telinga rakyat, guru bukanlah beban, melainkan pondasi. Kalau guru disebut “tantangan”, maka artinya negara masih gagal memahami: siapa yang membuat anak-anak bisa membaca, berhitung, hingga kelak duduk manis di kursi dewan dan kursi kementerian.

Baca juga : Mak-sri-sang-menteri-keuangan-

Padahal, tanpa guru, jangankan menyusun APBN, tanda tangan nota keuangan pun bisa salah kaprah. Tanpa guru, rapat DPR mungkin hanya berisi gambar stickman, pidato menteri penuh emotikon, dan undang-undang ditulis dengan ejaan "ba-bi-bu". mungkin begitu hahahahaa

Ironinya, negara sibuk ribut angka triliunan, sementara banyak guru masih ribut cari ongkos pulang. Di atas kertas, guru diguyur triliunan. Tapi di lapangan, banyak yang harus cari tambahan dari les privat, jualan online, bahkan ngojek sampingan.

Satire yang Perlu Dicatat

Kalau negara benar-benar ingin membangun pendidikan, seharusnya kesejahteraan guru tidak hanya jadi angka di atas podium. Gaji harus layak, tunjangan harus jelas, dan penghargaan harus nyata. Jangan sampai guru terus mengajar dengan semangat setengah mati, tapi pulang sekolah masih mikir: “Besok bensin cukup nggak ya buat berangkat?”

Guru bukan beban negara. Justru kalau guru disepelekan, negara yang akan benar-benar terbebani: generasi tanpa karakter, tanpa ilmu, dan tanpa masa depan.

Belajar dari sejarah jepang 

Sesudah bom atom menghancurkan Hiroshima, yang pertama kali ditanyakan pejabat Jepang adalah: Berapa guru yang masih hidup? Artinya, pendidikan dan guru dipandang sebagai pondasi bangsa. Negara bisa runtuh, tapi jika guru masih ada, semangat kebangsaan bisa dibangun ulang.
kenapa di negara ini justru terlihat sebliknya.

Negara boleh ribut angka triliunan, boleh tepuk tangan sekuatnya di ruang sidang DPR paripurna. Tapi selama ruang guru masih bau spidol kesengsaraan, motor butut tetap ngebul permasalahan hidup keluarga guru, dan ongkos pulang masih jadi beban drama setiap harinya, maka kata “kesejahteraan bagi guru” hanyalah ilusi.

Pak J

Senin, 18 Agustus 2025

NGOPI SAMBIL MIKIR : REZEKI ITU URUSAN BOZ BESAR

 

Ada yang kerja keras jungkir balik- kayak kipas angin rusak, muter terus tapi anginnya kecil. Hasilnya? Ya pas-pasan buat beli beras sama kuota.

Eh, ada juga yang santai-santai buka warung kopi di sebelah balai desa. Baru buka sehari, kursi plastiknya langsung penuh. Lurah, perangkat desa, sampai rombongan bapak-bapak ronda, semua numplek di situ. Warungnya jadi kayak kantor cabang balai desa versi nongkrong.

Nah, dari sini kita bisa mikir: kerja keras itu wajib, tapi hasilnya nggak selalu sesuai hitungan kalkulator kita. Ada faktor lain yang sering kita lupa: rezeki itu nggak cuma soal usaha, tapi ada campur tangan Allah.

Coba bayangin, kalau rezeki itu murni hasil kerja keras, harusnya sapi paling kaya di dunia. Kerjanya nggak pernah libur: narik bajak sawah, makan rumput seadanya, tidur di kandang bau, tapi tabungannya nol. Bandingkan sama kucing. Kerjanya cuma tidur 18 jam sehari, bangun bentar minta makan, terus tidur lagi. Tapi herannya, banyak orang bela-belain beli makanan kucing yang harganya kadang lebih mahal dari beras. Lah, gimana coba?

Artinya apa? Ada faktor “luck” alias keberuntungan yang sebenarnya bukan sekadar hoki, tapi bagian dari skenario Allah. Kita nggak bisa kontrol semua hal. Kita cuma bisa ikhtiar, usaha maksimal, dan setelah itu pasrah sambil bilang: “Ya Allah, saya udah nyoba, sisanya urusan-Mu.”

Kalau lagi dapat rezeki banyak, jangan GR dulu, itu ujian: bisa nggak kita bersyukur dan berbagi? Kalau lagi seret, jangan nggrundel, itu juga ujian: bisa nggak kita sabar dan tetap yakin Allah ngatur yang terbaik.


Hidup ini, kalau diibaratkan kopi, rasanya kadang manis, kadang pait, kadang malah keasinan (gara-gara gula ketuker sama garam). Tapi apapun rasanya, yang bikin kopi tetap Allah. Tugas kita cuma ngopi dengan ikhlas, syukuri rasanya, lalu lanjut kerja lagi.

Jadi, kalau kamu sekarang lagi jungkir balik tapi hasil masih pas-pasan, jangan putus asa. Bisa jadi Allah lagi ngajari sabar dan tahan banting. Dan kalau kebetulan kamu buka usaha tiba-tiba rame, jangan keburu bangga. Ingat, itu bukan cuma karena strategi bisnis jitu, tapi karena Allah lagi ngasih bonus.

akhirnya : rezeki itu bukan soal siapa paling keringetan, tapi siapa yang paling ikhlas berusaha dan percaya sama Allah.

Ngopi itu enak, Le… bikin badan hangat, pikiran tenang. Tapi ingat, kalau kopi bisa bikin mata melek,maka  sholat bisaNN bikin hati adem. Jadi jangan sampai rajin ngopi di warung, tapi telat ngopi rohani di masjid.

“Le, kopi itu bikin kita kuat begadang. Tapi sholat bikin kita kuat menghadapi hidup dan tantangan.. Kopi bikin mata terbuka, Tanpa sholat bikin jalan hidup kita terluka dan bahaya.”

"DEMO PATI, JANJIKAN AKSI LEBIH PEDES DARI SAMBEL TRASI" ?

 

Pati – Kabupaten Pati makin rame, bukan karena dangdutan, tapi karena demo jilid dua yang bakal digelar Senin (25/8). Aliansi Masyarakat Pati Timur Bersatu janji turun lagi ke jalan. Targetnya? Satu: Bupati Sudewo lengser!.

Koordinator demo, Ahmad Husein, bilang kalau aksi kali ini bakal lebih gede daripada yang 13 Agustus kemarin. “Pokoknya jangan bayangin demo biasa. Ini kayak resepsi kawinan-rame, gaduh, tapi yang dihajatin malah nggak ikut seneng,” celetuknya.

Bedanya, kali ini mereka nggak buka posko donasi. Katanya, biar nggak dikira demo bisa dibeli kayak gorengan lima ratusan. Ganti strategi: ada posko pengawalan hak angket DPRD, plus posko pengaduan korban kebijakan Sudewo dan korban yang kemarin kejedot aparat. Jadi bukan cuma rakyatnya yang sakit hati, tapi juga ada yang sakit badan.

Meski judul demonya bernama “Pati Timur”, mereka ngajak semua warga kabupaten ikutan. “Masa cuma kita yang demo, yang lain nonton kayak liat sinetron. Wong ini urusan semua warga, lho,” tambahnya.

Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian ikut nimbrung. Pesannya jelas: demo boleh, asal jangan anarkis. Ya kayak bapak kos ngomong ke anak kos, “Boleh pesta, asal jangan bikin genteng beterbangan.”

Nah sekarang bola panas ada di DPRD Pati. Masyarakat udah teriak-teriak minta hak angket dipercepat. Pertanyaannya, DPRD beneran gaspol atau malah ikut-ikutan slow kayak tukang servis HP yang jawabnya: “Besok jadi, Mas...” padahal seminggu nggak kelar-kelar.

Pak J 


ANTARA HOKI,RESIKO & OMONGAN TETANGGA

 

 
Di negeri kita tercinta, mengelola uang sering lebih ribet daripada bikin KTP elektronik. Bukan karena kurang ilmu, tapi karena kenyataan hidup selalu punya kejutan sendiri.

Ada yang baru gajian langsung habis. Alasannya sederhana: masa kecil penuh kekurangan, jadi ketika ada rezeki, lidah ingin pesta. Ada pula yang duitnya ditimbun sampai jadi tebal kayak dompet bapak-bapak era 90-an. Alasannya? Trauma lihat orang tua bangkrut.

Satu hal yang sering dilupakan orang adalah: cara pandang kita terhadap uang itu bukan hasil seminar, tapi hasil sejarah. Cerita masa lalu, trauma keluarga, dan strategi bertahan hidup di masa lalu lah yang banyak mempengaruhi cara pengelolaan keuangan dan kekayaan seseorang.

Tapi, apa yang paling sering terjadi? Kita gampang sekali jadi hakim.

  • Ada tetangga beli motor baru: “Wuih, pamer!”

  • Ada teman masih kontrak rumah: “Kok nggak nabung?”
    Padahal yang komentar biasanya juga masih cicilan panci Arisan RT.

Risiko dan Hoki, Dua Sahabat Lama

Mengelola keuangan memang penting, tapi mari jujur: tidak semua bisa kita kontrol.
Ada risiko—anak sakit, harga cabai melonjak, motor nyerempet truk.
Ada juga hoki—jualan es teh tiba-tiba viral di TikTok, atau iseng ikut undian malah dapat kulkas baru.

Itulah realitas kita: sebagian hasil kerja keras, sebagian lagi hadiah dari nasib. Hidup orang Indonesia memang penuh contoh:

  • Ada yang kerja keras jungkir balik, hasilnya pas-pasan.

  • Ada yang sekadar coba buka warung kopi, eh malah laris karena lokasinya tepat di sebelah balai desa.

Kalau begitu, teori “uang bisa diatur sepenuhnya” jadi terdengar seperti brosur asuransi—indah di iklan, nyesek di kenyataan.

Jangan Hakimi Dompet Orang Lain

Penting untuk diingat: orang boros belum tentu bodoh, orang super hemat belum tentu pelit. Semua orang sedang mengelola masa lalunya dengan caranya sendiri.

Dompet orang itu punya sejarah, sama seperti bangsa ini punya sejarah panjang. Bedanya, sejarah dompet lebih sering diwarnai utang warung, cicilan motor, dan titipan arisan.


Pada akhirnya, uang itu seperti layangan. Talinya bisa kita atur, tapi angin tetap punya kuasa. Kadang terbang tinggi, kadang nyangkut di kabel listrik.

Jadi kalau ada orang sok bijak bilang,
“Uang itu gampang kalau pinter ngatur.”
Jawab saja pelan:
“Ngatur sih bisa, Bro. Tapi kalau angin nasibnya lagi nggak berpihak, ya talinya tetep putus.”

Karena jangan lupa: uang bisa dicari, nasib bisa berubah, tapi komentar tetangga… itu abadi.

MAK SRI (SANG MENTERI KEUANGAN) KALAU UDAH CAPEK itu ISTIRAHAT MAAAK ?

Polemik ucapan maak sri soal “gaji guru dan dosen tak harus semuanya ditanggung negara” bikin nitizen mangap dan publik garuk-garuk kepala.

Ini komentar yang memicu riuh-bukan karena kita anti-gotong royong, tapi karena “kotak amal” kok didorong ke ruang kelas. (Ringkasan dari pemberitaan Tempo dan sejumlah tanggapan kampus.)

Maak Sri dan Kotak Amal Qris di Kelas

Ada hari-hari di mana rakyat cuma bisa ngelus dada. Bukan karena harga cabai naik, bukan pula karena bensin makin langka. Tapi karena ada kalimat ajaib dari maak sri sang menteri keuangan kita: “gaji guru dan dosen jangan semua ditanggung negara.”Lah, gaji guru ini urusannya APBN apa QRIS to mak Sri?

Lah terus, siapa yang harus nanggung, Mak? apa Emak kos yang nanggung ? atau tak"mir masjid? Atau murid disuruh bawa amplop tiap awal bulan kayak setor kas kelas?

ayo belanja


Mak Sri.......Padahal, kalau bicara prioritas, pendidikan selalu digembar-gemborkan jadi fondasi bangsa. Tapi kok begitu sampai urusan gaji guru, negara mendadak ngajak patungan rakyat. sampean jan lucu tenan. cak lontong aja kalah lucu.

Mak sri..... sesekali ayo kita bandingkan. Di Senayan sana, anggota DPR bisa bawa pulang lebih dari Rp 50 juta per bulan, belum tunjangan sana-sini. Di BUMN, komisaris bisa ngantongin ratusan juta, bahkan miliaran, hanya dengan rapat yang kadang durasinya lebih pendek daripada khutbah Jumat. 

Sementara di sekolah, guru masih ada yang gajinya kalah sama jaga parkir. itupun kerja hampir 24 jam. karena selesai di ruang kelas mereka harus ngoreksi, dan mempersiapkan bahan ajar untuk besuk. Ironi macam apa ini mak sri?

Lucunya lagi, kalau guru dapat bingkisan dari wali murid-entah minyak goreng atau sarung-bisa dianggap gratifikasi. Padahal yang komisaris BUMN dapat tantiem (bonus) miliaran perak tiap tahun, itu dianggap wajar, karena ada istilah keren: “kinerja korporasi.” Lah, guru yang kinerjanya tiap hari ngajar, mendidik anak bangsa, malah disuruh cari donatur. gimana to mak Sri pola pikir njenengan iki?

Kalau beneran ide maak sri ini diterapkan, jangan kaget kalau nanti setiap kelas punya kotak amal dengan tulisan: “Donasi untuk gaji guruku.” Wali murid bisa dapat stiker: “Bangga Bayarin Negara.” Barngkali Guru mungkin harus belajar cara fundraising: “Terima kasih ya, Bu, Pak, sudah transfer, tapi mohon jangan dilaporin ke KPK.”

Dan dosen? Wah, bisa jadi influencer dadakan. Bayar Rp 50 ribu dapat e-handout, Rp 500 ribu dapat bimbingan privat, Rp 5 juta bisa langsung dapat kursi depan plus nilai A. Pendidikan berubah jadi crowdfunding (urunan Online)  model startup.

Tapi kan kita tahu, masalahnya bukan rakyat ogah patungan atau urunan. Rakyat sudah tiap hari bayar pajak, beli BBM mahal, nahan napas tiap kali lihat struk belanja. Yang bikin sakit hati itu logika jungkir balik njenengan mak Sri : "gaji pejabat aman, bonus komisaris lancar, tapi gaji guru malah jadi bahan iuran."

Jadi, maak sri, coba kita balik logikanya. Guru itu bukan beban APBN, tapi investasi. Kalau bangsa ini pengen maju, ya negara harus hadir sepenuhnya. Jangan dibalik: guru disuruh jadi "pengemis QRIS" sementara komisaris bisa tebar senyum dari balik setir Mercy yang dimiliki nya.

Lucunya kita ketawa

Kalau kelas sampai benar-benar jadi kotak amal, jangan-jangan nanti nama kementerian berubah jadi:Kementerian DPP. RI ( Kementerian Dana Patungan Pendidikan Republik Indonesia.)

Maak Sri Sudah Capek yaa?

Orang kalau sudah terlalu lama kerja, biasanya mulai salah fokus. Tukang parkir bisa salah tiup peluit, satpam bisa salah buka portal. Nah, kalau maak sri yang sudah terlalu lama jadi menteri keuangan, salah fokusnya jadi sangat seru: gaji guru tiba-tiba dianggap: “jangan semua ditanggung negara.” hahahahaha

Mungkin memang maak sri sudah capek. Bayangin aja, dari zaman presiden masih suka naik motor trail sampai sekarang presiden sudah sibuk mikirin Makan gratis bergizi, beliau masih setia duduk di kursi yang sama. Kayak kasir minimarket yang nggak pernah ganti shift. jangan jangan kursi kantor yang mak Sri duduki selama ini, di ruang kerjanya  juga belum pernah di ganti

Saking capeknya, logika fiskal bisa kebalik. Yang harusnya prioritas (guru), malah ditodongkan kotak amal. Yang harusnya dipangkas (bonus jumbo komisaris, tunjangan DPR), malah aman sentosa. Lah, ini kayak orang lapar lihat warung pecel lele: bukan beli lauknya, malah bawa pulang piringnya.

Jangan-jangan, kalau dibiarkan lebih lama lagi, maak Sri nanti bisa bilang: “Anggaran jalan raya nasional jangan semua dari negara, biar rakyat sekalian urunan aspal.” Atau: “Dana abadi pendidikan jangan semua dari APBN, coba minta murid jualan cilok. atau carikan sumbangan ke yayasan sosial”

Capek boleh, Mak. Tapi jangan bikin rakyat ikut-ikutan capek mikirin logika jungkir balik mak Sri. Kalau memang sudah lelah, ya istirahat. Soalnya, ngatur duit negara itu bukan kayak ngatur arisan RT, yang kalau minus bisa minta iuran tambahan.

Kalau memang sudah capek, ya sudah, gantian aja. Kasih kesempatan orang baru. Biar fiskal segar, logika nggak belok-belok, dan rakyat nggak lagi bingung: lulusan SMK AKL banyak mak, kasihan kalau di paksakan“


Pak J

Minggu, 17 Agustus 2025

JAYA STEMBA DAN MAKNA KEMERDEKAAN INDONESIA

Kemerdekaan selalu lahir dari janji dan cita-cita besar. Demikian juga yang terjadi di bangsa kita 80 tahun yang lalu. Proklamasi 17 Agustus bukan sekadar teks, melainkan ikrar: menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, dan menjaga martabat bangsa.

Namun jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bagaimana Dinasti Isyana di Jawa Timur, tepatnya ketika Empu Sendok berkuasa di abad ke-10, berhasil mewujudkan janji kemerdekaan bagi rakyatnya. Dari prasasti kemenangan atas serangan Sriwijaya Divisi Jambi, kita belajar bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya tentang terbebas dari musuh, tetapi juga tentang menghadirkan kesejahteraan nyata.

Rakyat di masa itu sudah merasakan gemah ripah loh jinawi-sawah yang subur, hasil bumi melimpah, dan kehidupan yang tenteram. Janji kemerdekaan telah terbayarkan dalam tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.

Janji yang Sama, Harapan yang Sama

Saat Indonesia merdeka di tahun 1945, semangat itu kembali hidup. Bangsa ini ingin melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, sekaligus menyalakan cita-cita kesejahteraan. Namun kini, setelah 80 tahun kemerdekaan, kita perlu bertanya jujur: sudahkah janji itu benar-benar dirasakan rakyat?

 Dua Potret Janji Kemerdekaan

Jika kita bandingkan, maka terlihat jelas perbedaan yang menyentuh hati:

  • Masa Dinasti Isyana:

    • Rakyat menikmati hasil bumi dan hidup dalam suasana tenteram.

    • Pemimpin melindungi rakyat dari serangan luar.

    • Janji kemerdekaan hadir dalam bentuk kesejahteraan.

  • Masa Indonesia Modern (80 tahun merdeka):

    • Rakyat masih banyak yang dimiskinkan oleh sistem.

    • Hukum lebih sering menekan rakyat kecil ketimbang membela mereka.

    • Sumber daya alam justru dikuasai segelintir elit dan modal asing.

    • Para penguasa yang seharusnya mengawasi maling, justru menjadi maling itu sendiri dengan nama yang lebih sopan: korupsi.


Benarkah hari ini kita merdeka ?

Secara de jure, kita memang merdeka. Tidak ada lagi bendera asing berkibar di negeri ini. Namun secara de facto, banyak rakyat belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya:


  • Kemiskinan
    yang diwariskan dari generasi ke generasi.

  • Kriminalisasi atas nama hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

  • Perampokan sumber daya yang dilakukan atas nama investasi.

Jika dulu Empu Sendok melindungi rakyat dari ancaman luar, kini rakyat justru harus waspada terhadap pengkhianatan dari dalam negeri sendiri.

Jaya Stemba: Cermin untuk Masa Kini

“Jaya Stemba”-prasasti kemenangan atas penindasan asing-seharusnya menjadi pengingat. Bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang memenuhi janji kepada rakyat, bukan kepada kepentingan oligarki atau kelompok tertentu.

Kemerdekaan bukan hanya simbol. Ia adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu seharusnya ditunaikan dengan menyejahterakan rakyat, menegakkan hukum yang adil, serta memastikan setiap jengkal tanah negeri ini benar-benar untuk rakyatnya bukan malah terancam jika 2 tahun tidak tergarap akan di sita negara.

Mengembalikan Makna Kemerdekaan


Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Namun jika janji kemerdekaan belum juga ditepati, kita pantas bertanya: Kita merdeka, atau hanya merasa merdeka? atau Apakah kita merdeka, atau hanya berganti penjajah?

Sejarah Dinasti Isyana telah memberi teladan: kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat hidup dalam keadilan dan kemakmuran. Maka, merawat kemerdekaan hari ini berarti berani melawan korupsi, melawan kebohongan para pemimpin karbitan, dan melawan pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan oleh penguasa kita

Karena kemerdekaan bukan sekadar hadiah, melainkan janji yang harus terus di tunaikan.

Minggu, 10 Agustus 2025

MENGHIDUPKAN SEMANGAT MELAYANI, BUKAN DI LAYANI

 Pengingat tujuan awal yysku DKM  didirikan 

Di setiap langkah perjalanan sebuah yayasan, selalu ada dua pilihan sikap: datang untuk dilayani, atau hadir untuk melayani. Keduanya terdengar sederhana, tapi bedanya bagaikan langit dan bumi. Yang pertama menunggu perhatian datang, yang kedua menjemput kesempatan untuk memberi.

Sering kali, godaan datang dalam bentuk halus: kita merasa posisi, jabatan, atau lama berkontribusi membuat kita pantas diprioritaskan. Padahal, inti dari keberadaan kita di sini justru untuk meletakkan diri di barisan terdepan saat ada yang perlu dibantu—bukan duduk di barisan VIP sambil menunggu giliran.

Baca jugamenjaga api yang terus menyala

Seorang bijak pernah berkata, “Jangan pernah datang ke meja makan hanya untuk mengambil, datanglah untuk membantu menghidangkan.” Dalam dunia yayasan, ini berarti kita tidak sekadar hadir dalam rapat, pertemuan, atau kegiatan untuk menandai absen. Kita hadir untuk menggerakkan, memudahkan, dan menuntaskan sesuatu, meski harus bekerja di balik layar.

Melayani itu tidak selalu gemerlap. Kadang ia hadir dalam bentuk menata kursi sebelum acara, menyiapkan air minum untuk tamu, atau mendengar keluh kesah orang yang butuh tempat bersandar. Tugas-tugas sederhana ini mungkin tidak masuk dalam laporan tahunan, tapi justru di situlah letak kekuatan yang membuat yayasan berdiri kokoh.

Kita perlu sadar, yayasan bukanlah panggung untuk saling unjuk peran, melainkan ladang tempat menanam kebaikan. Ladang ini akan subur jika kita semua menyiramnya dengan rasa peduli dan kerendahan hati. Karena melayani bukan soal berapa lama kita berada di yayasan, tapi berapa banyak hati yang terasa ringan karena kehadiran kita.

Ingatlah, “Yang mengangkat derajatmu bukan kursi yang kau duduki, tapi nilai yang kau tanam di hati orang lain.”
Dan nilai itu tumbuh ketika kita memberi tanpa menunggu balasan, membantu tanpa menunggu sorot kamera, dan hadir bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.

Jika semua orang di yayasan ini memegang semangat yang sama, maka kita akan melihat keajaiban: program berjalan lancar, kepercayaan tumbuh, dan keberkahan mengalir tanpa henti. Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah yayasan bukanlah soal seberapa besar anggaran atau seberapa megah fasilitasnya—tetapi seberapa tulus hati-hati di dalamnya melayani.

“Melayani itu bukan pekerjaan. Melayani adalah kehormatan.”

Pak J

MENJAGA API YANG TERUS MENYALA

Sebuah pengingat untuk pembina dan pengurus yys ku DKM

Setiap perjalanan besar selalu dimulai dari sesuatu yang sederhana-sebuah niat tulus, sebersit harapan, dan tekad yang tidak mudah goyah. Dahulu, saat langkah pertama diambil, mungkin belum ada gedung megah, belum ada sistem rapi, bahkan mungkin belum ada siapa pun yang yakin kecuali segelintir hati yang percaya.

Namun justru di situlah kekuatan itu tumbuh. Api kecil yang menyala di dada, yang membuat kita rela duduk berjam-jam memikirkan jalan keluar, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan sebagian dari apa yang kita punya. Bukan karena ada keuntungan, bukan pula karena ada tepuk tangan, tapi karena ada panggilan yang lebih besar dari sekadar urusan pribadi. 

Baca juga Menghidupkan smangat melayani

Seiring waktu, api itu kadang meredup. Bukan karena padam, tetapi karena tertutup debu rutinitas, rapat, dan administrasi yang menyita. Perlahan, kita lupa menengok ke belakang-lupa bahwa di titik awal dulu, kita bukan hanya membangun bangunan atau program, tetapi membangun sebuah jiwa.

Ruh itu-yang dulu membuat semua perbedaan-tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali. Menunggu kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk, lalu bertanya pada diri sendiri:
"Apa yang dulu membuat aku mau memulai semua ini?"

Pertanyaan sederhana itu sering kali lebih tajam dari seribu evaluasi. Sebab jawabannya bukan sekadar laporan, angka, atau dokumen, tetapi rasa. Rasa yang dulu membuat kita tersenyum bangga walau lelah, rasa yang membuat kita percaya bahwa yang kita lakukan bukan sekadar pekerjaan, tapi ibadah.

Yayasan bukan hanya soal siapa yang memimpin atau siapa yang mengatur. Yayasan adalah rumah bagi sebuah cita-cita. Dan rumah itu akan kokoh jika kita terus mengingat mengapa ia dibangun.

Kadang, cara terbaik untuk melangkah maju bukanlah menambah langkah, tapi menoleh sebentar, melihat jejak pertama yang kita buat, lalu memastikan bahwa arah kita masih sama seperti dulu-menuju cahaya, bukan sekadar berjalan.

Dan mungkin, saat ini, ada baiknya kita menyalakan kembali api kecil itu di hati. Biar ia menerangi bukan hanya jalan di depan, tapi juga menghangatkan setiap jiwa yang ikut berjalan bersama.

Pak J  

ditulis untuk ulang tahun yayasan Juli, 18, 2025

TAMAN KITA' pengingat semua nya

 Taman Kita” KEKUATAN KITA. 

Bayangkan kita sedang merawat sebuah taman besar.
Di taman itu, ada mawar merah yang anggun, melati yang harum, anggrek yang cantik, bahkan bunga liar yang sederhana tapi kuat.

Setiap bunga punya cara tumbuhnya sendiri.
Mawar butuh matahari penuh, melati suka teduh, anggrek tumbuh subur di batang pohon, sedangkan bunga liar bisa hidup di mana saja.

Kadang, tukang kebun berbeda pendapat.
Ada yang bilang, “Kita fokus saja rawat mawar, biar tamannya megah.”
Yang lain berkata, “Jangan lupa melati, baunya yang menenangkan.”
Sementara ada juga yang ingin menambah anggrek, dan sebagian lagi berpendapat bunga liar pun layak dirawat.

Awalnya terdengar seperti perbedaan arah.
Tapi jika kita mundur selangkah dan melihatnya dari jauh, ternyata semua punya tujuan yang sama: ingin taman ini indah, hidup, dan bermanfaat bagi semua yang memandangnya.

Maka, kita mulai belajar:

  • Tidak semua bunga mekar bersamaan, dan itu tidak apa-apa.
  • Merawat satu bunga bukan berarti mengabaikan yang lain.
  • Menyiram dengan cara berbeda bukan berarti salah, selama bunga itu tetap tumbuh.

Taman akan kehilangan keindahan jika hanya diisi satu jenis bunga. Begitu juga yayasan kita-akan lebih kuat jika setiap pandangan dirawat, dipadukan, dan diarahkan untuk tujuan bersama.

Akhirnya, taman kita menjadi tempat yang bukan hanya indah, tapi juga teduh dan penuh warna. Dan kita, para perawatnya, tetap melangkah bersama-meski kadang dengan cara yang berbeda—karena yang kita jaga bukan sekadar bunga, tapi kehidupan di dalamnya.

Pak J 

MERAWAT PERBEDAAN, MENJAGA LANGKAH BERSAMA..

 Sebuah study untuk yys ku tercinta Dompet kepedulian Muslim surabaya.

Di setiap yayasan, perbedaan pandangan adalah hal yang wajar—bahkan sehat. Ibarat sebuah taman, tidak semua bunga mekar pada waktu yang sama, dan tidak semua daun tumbuh dengan warna serupa. Namun justru keberagaman inilah yang membuat taman itu indah.

Kadang, kita melihat suatu persoalan dari sudut yang berbeda. Ada yang memikirkan dampak jangka panjang, ada yang fokus pada kebutuhan saat ini. Ada yang bergerak cepat, ada yang memilih langkah hati-hati. Semua punya niat baik, hanya jalannya yang kadang tidak sama.

Kuncinya adalah memindahkan fokus dari “siapa yang benar” menjadi “apa yang terbaik untuk yayasan dan penerima manfaat”. Saat hati kita sama-sama mengarah pada tujuan besar, perbedaan menjadi bahan bakar untuk mencari solusi, bukan alasan untuk saling menjauh.

Maka, penting bagi kita untuk:

  1. Mendengar lebih dulu sebelum berpendapat. Kadang jawaban yang kita cari ada di kalimat terakhir yang diucapkan orang lain.

  2. Menghargai perbedaan gaya berpikir, karena setiap sudut pandang bisa menjadi pelengkap, bukan penghalang.

  3. Menjaga nada dan kata, sebab cara bicara bisa menentukan apakah pesan kita diterima atau ditolak.

  4. Mengulang visi bersama, agar kita ingat bahwa kita ada di sini bukan untuk menang sendiri, tapi untuk menang bersama.

Ingatlah, yayasan ini ibarat perahu. Jika kita mendayung ke arah yang berbeda-beda, perahu akan berputar di tempat. Tetapi jika kita menyamakan arah dayung, meskipun irama tidak selalu seragam, kita tetap akan sampai pada tujuan yang diimpikan.

Perbedaan itu tidak perlu dihilangkan. Yang perlu kita lakukan adalah mengelolanya, merawatnya, dan mengarahkannya, agar yayasan ini terus menjadi tempat yang memberi manfaat dan kebahagiaan—bukan hanya bagi penerima program, tapi juga bagi semua yang berada di dalamnya.



Pak J