Kemerdekaan selalu lahir dari janji dan cita-cita besar. Demikian juga yang terjadi di bangsa kita 80 tahun yang lalu. Proklamasi 17 Agustus bukan sekadar teks, melainkan ikrar: menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, dan menjaga martabat bangsa.
Namun jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bagaimana Dinasti Isyana di Jawa Timur, tepatnya ketika Empu Sendok berkuasa di abad ke-10, berhasil mewujudkan janji kemerdekaan bagi rakyatnya. Dari prasasti kemenangan atas serangan Sriwijaya Divisi Jambi, kita belajar bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya tentang terbebas dari musuh, tetapi juga tentang menghadirkan kesejahteraan nyata.
Rakyat di masa itu sudah merasakan gemah ripah loh jinawi-sawah yang subur, hasil bumi melimpah, dan kehidupan yang tenteram. Janji kemerdekaan telah terbayarkan dalam tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.
Janji yang Sama, Harapan yang Sama
Saat Indonesia merdeka di tahun 1945, semangat itu kembali hidup. Bangsa ini ingin melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, sekaligus menyalakan cita-cita kesejahteraan. Namun kini, setelah 80 tahun kemerdekaan, kita perlu bertanya jujur: sudahkah janji itu benar-benar dirasakan rakyat?
Dua Potret Janji Kemerdekaan
Jika kita bandingkan, maka terlihat jelas perbedaan yang menyentuh hati:-
Masa Dinasti Isyana:
-
Rakyat menikmati hasil bumi dan hidup dalam suasana tenteram.
-
Pemimpin melindungi rakyat dari serangan luar.
-
Janji kemerdekaan hadir dalam bentuk kesejahteraan.
-
-
Masa Indonesia Modern (80 tahun merdeka):
-
Rakyat masih banyak yang dimiskinkan oleh sistem.
-
Hukum lebih sering menekan rakyat kecil ketimbang membela mereka.
-
Sumber daya alam justru dikuasai segelintir elit dan modal asing.
-
Para penguasa yang seharusnya mengawasi maling, justru menjadi maling itu sendiri dengan nama yang lebih sopan: korupsi.
-
Benarkah hari ini kita merdeka ?
Secara de jure, kita memang merdeka. Tidak ada lagi bendera asing berkibar di negeri ini. Namun secara de facto, banyak rakyat belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya:
-
Kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. -
Kriminalisasi atas nama hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
-
Perampokan sumber daya yang dilakukan atas nama investasi.
Jika dulu Empu Sendok melindungi rakyat dari ancaman luar, kini rakyat justru harus waspada terhadap pengkhianatan dari dalam negeri sendiri.
Jaya Stemba: Cermin untuk Masa Kini
“Jaya Stemba”-prasasti kemenangan atas penindasan asing-seharusnya menjadi pengingat. Bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang memenuhi janji kepada rakyat, bukan kepada kepentingan oligarki atau kelompok tertentu.Kemerdekaan bukan hanya simbol. Ia adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu seharusnya ditunaikan dengan menyejahterakan rakyat, menegakkan hukum yang adil, serta memastikan setiap jengkal tanah negeri ini benar-benar untuk rakyatnya bukan malah terancam jika 2 tahun tidak tergarap akan di sita negara.
Mengembalikan Makna Kemerdekaan
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Namun jika janji kemerdekaan belum juga ditepati, kita pantas bertanya: Kita merdeka, atau hanya merasa merdeka? atau Apakah kita merdeka, atau hanya berganti penjajah?
Sejarah Dinasti Isyana telah memberi teladan: kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat hidup dalam keadilan dan kemakmuran. Maka, merawat kemerdekaan hari ini berarti berani melawan korupsi, melawan kebohongan para pemimpin karbitan, dan melawan pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan oleh penguasa kita
Karena kemerdekaan bukan sekadar hadiah, melainkan janji yang harus terus di tunaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar