Walaupun dalam catatan antropologi kesehatan, istilah “masuk angin” memang tidak dikenal dalam dunia medis, tapi di masyarakat Jawa ia diyakini sebagai kondisi ketika tubuh kemasukan unsur dingin atau angin. Salah satu cara paling populer untuk meredakannya adalah dengan kerokan, atau yang dulu dikenal sebagai kerikan. Prosesnya sederhana: minyak atau balsem dioleskan ke kulit, lalu digores dengan benda tumpul seperti koin atau bawang merah. Hasilnya muncul guratan merah yang dipercaya sebagai tanda angin keluar dari tubuh.
Dari Keraton Hingga Warung Kopi
Tradisi ini diyakini sudah ada sejak masa kerajaan kuno di Jawa. Relief di Candi Borobudur menggambarkan adegan pengobatan tradisional yang menggambarkan pengobatan dengan kerikan, menjadi bukti bahwa teknik ini sudah dikenal sejak abad ke-8. Bahkan ada sebutan “gobang” (uang logam kuno) yang dulu sering dipakai untuk alat kerikan. Seiring waktu, gobang digantikan dengan koin, atau bahkan bawang merah untuk bayi.
Menariknya, praktik serupa juga ada di negara lain dengan nama berbeda: di Vietnam dikenal dengan Cao Gio, dan di Kamboja disebut Goh Kyol. Namun, di Jawa, kerikan berkembang dengan filosofi khas: tubuh dianggap sebagai miniatur jagat raya. Ketidakseimbangan dalam tubuh-misalnya terlalu banyak “angin”-perlu diseimbangkan kembali lewat kerikan.
Antara Budaya dan Medis
Orang Jawa percaya bahwa kerikan bisa menyembuhkan badan yang terasa berat, mengurangi gejala panas tubuh, dan membuat tubuh lebih ringan. Rasa hangat dari minyak dan gesekan benda tumpul membuat tubuh berkeringat, sehingga panas berangsur turun.Penelitian modern pun memberi penjelasan:
-
Kerokan melancarkan sirkulasi darah dan membantu mengurangi nyeri otot akibat penumpukan asam laktat.
-
Menstimulasi tubuh untuk melepaskan endorfin, hormon yang membuat tubuh lebih rileks dan nyaman.
-
Memicu reaksi imun alami yang membantu tubuh melawan peradangan ringan.
Guru Besar Antropologi Kesehatan UGM, Prof. Atik Triratnawati, menyebut masuk angin bukan hanya fenomena medis, tapi juga fenomena budaya. Itulah sebabnya kerikan tetap dipraktikkan dan dipercaya sebagai bagian dari identitas masyarakat Jawa.
Dari Rumah ke Dunia
Kini, kerokan bukan hanya milik orang Jawa. Banyak orang luar negeri yang mempraktikkannya dan bahkan mengklaim tradisi ini sebagai milik mereka. Padahal, bagi orang Jawa, kerokan sudah mendarah daging-dari ruang keraton, dapur rumah sederhana, hingga obrolan hangat di warung kopi.
Lebih dari sekadar “pengobatan masuk angin”, kerikan adalah simbol bahwa budaya lokal mampu bertahan, menyatukan keluarga, dan menghadirkan rasa lega baik secara fisik maupun batin.
Dengan begitu, kerokan bukan hanya tradisi kesehatan, tapi juga identitas budaya Jawa yang patut dijaga agar tidak hilang dan tetap diwariskan ke generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar