Ada yang baru gajian langsung habis. Alasannya sederhana: masa kecil penuh kekurangan, jadi ketika ada rezeki, lidah ingin pesta. Ada pula yang duitnya ditimbun sampai jadi tebal kayak dompet bapak-bapak era 90-an. Alasannya? Trauma lihat orang tua bangkrut.
Satu hal yang sering dilupakan orang adalah: cara pandang kita terhadap uang itu bukan hasil seminar, tapi hasil sejarah. Cerita masa lalu, trauma keluarga, dan strategi bertahan hidup di masa lalu lah yang banyak mempengaruhi cara pengelolaan keuangan dan kekayaan seseorang.
Tapi, apa yang paling sering terjadi? Kita gampang sekali jadi hakim.
-
Ada tetangga beli motor baru: “Wuih, pamer!”
-
Ada teman masih kontrak rumah: “Kok nggak nabung?”Padahal yang komentar biasanya juga masih cicilan panci Arisan RT.
Risiko dan Hoki, Dua Sahabat Lama
Itulah realitas kita: sebagian hasil kerja keras, sebagian lagi hadiah dari nasib. Hidup orang Indonesia memang penuh contoh:
-
Ada yang kerja keras jungkir balik, hasilnya pas-pasan.
-
Ada yang sekadar coba buka warung kopi, eh malah laris karena lokasinya tepat di sebelah balai desa.
Kalau begitu, teori “uang bisa diatur sepenuhnya” jadi terdengar seperti brosur asuransi—indah di iklan, nyesek di kenyataan.
Jangan Hakimi Dompet Orang Lain
Penting untuk diingat: orang boros belum tentu bodoh, orang super hemat belum tentu pelit. Semua orang sedang mengelola masa lalunya dengan caranya sendiri.Dompet orang itu punya sejarah, sama seperti bangsa ini punya sejarah panjang. Bedanya, sejarah dompet lebih sering diwarnai utang warung, cicilan motor, dan titipan arisan.
Pada akhirnya, uang itu seperti layangan. Talinya bisa kita atur, tapi angin tetap punya kuasa. Kadang terbang tinggi, kadang nyangkut di kabel listrik.
Karena jangan lupa: uang bisa dicari, nasib bisa berubah, tapi komentar tetangga… itu abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar