Selasa, 19 Agustus 2025

NEGARA RIBUT ANGKA, GURU RIBUT CARI ONGKOS PULANG

Jakarta- Ruang ide. Presiden Prabowo Subianto dengan lantang menyebut Rp178,7 triliun siap digelontorkan tahun 2026 untuk gaji, tunjangan, dan peningkatan kompetensi guru serta dosen. DPR pun riuh tepuk tangan, seolah-olah semua masalah guru langsung beres.

Namun, riuh tepuk tangan di Senayan tidak selalu sama dengan riuhnya ruang guru di pelosok negeri. Di sana, motor butut tetap jadi tunggangan setia, ongkos bensin masih dihitung sampai tetes terakhir, dan bau spidol terus jadi aroma terapi wajib di kelas. Guru-guru swasta, guru guru honorer bahkan ada yang gajinya kalah sama uang parkir mobil mewah pejabat Senayan.


Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyebut anggaran guru sebagai “tantangan keuangan negara”. Kalimat ini memicu reaksi publik. Wajar saja, karena di telinga rakyat, guru bukanlah beban, melainkan pondasi. Kalau guru disebut “tantangan”, maka artinya negara masih gagal memahami: siapa yang membuat anak-anak bisa membaca, berhitung, hingga kelak duduk manis di kursi dewan dan kursi kementerian.

Baca juga : Mak-sri-sang-menteri-keuangan-

Padahal, tanpa guru, jangankan menyusun APBN, tanda tangan nota keuangan pun bisa salah kaprah. Tanpa guru, rapat DPR mungkin hanya berisi gambar stickman, pidato menteri penuh emotikon, dan undang-undang ditulis dengan ejaan "ba-bi-bu". mungkin begitu hahahahaa

Ironinya, negara sibuk ribut angka triliunan, sementara banyak guru masih ribut cari ongkos pulang. Di atas kertas, guru diguyur triliunan. Tapi di lapangan, banyak yang harus cari tambahan dari les privat, jualan online, bahkan ngojek sampingan.

Satire yang Perlu Dicatat

Kalau negara benar-benar ingin membangun pendidikan, seharusnya kesejahteraan guru tidak hanya jadi angka di atas podium. Gaji harus layak, tunjangan harus jelas, dan penghargaan harus nyata. Jangan sampai guru terus mengajar dengan semangat setengah mati, tapi pulang sekolah masih mikir: “Besok bensin cukup nggak ya buat berangkat?”

Guru bukan beban negara. Justru kalau guru disepelekan, negara yang akan benar-benar terbebani: generasi tanpa karakter, tanpa ilmu, dan tanpa masa depan.

Belajar dari sejarah jepang 

Sesudah bom atom menghancurkan Hiroshima, yang pertama kali ditanyakan pejabat Jepang adalah: Berapa guru yang masih hidup? Artinya, pendidikan dan guru dipandang sebagai pondasi bangsa. Negara bisa runtuh, tapi jika guru masih ada, semangat kebangsaan bisa dibangun ulang.
kenapa di negara ini justru terlihat sebliknya.

Negara boleh ribut angka triliunan, boleh tepuk tangan sekuatnya di ruang sidang DPR paripurna. Tapi selama ruang guru masih bau spidol kesengsaraan, motor butut tetap ngebul permasalahan hidup keluarga guru, dan ongkos pulang masih jadi beban drama setiap harinya, maka kata “kesejahteraan bagi guru” hanyalah ilusi.

Pak J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar