Di sebuah kota kecil, hiduplah dua sahabat lama: Arif dan Junaedi.
Di sisi lain, sahabatnya sejak kecil, Junaedi, hidup sederhana. Warung kecilnya hanya cukup untuk makan harian. Hidup pas-pasan, bahkan kadang kekurangan. Ia sering duduk di pinggir jalan, memandang orang-orang sukses dengan iri. Dalam hatinya tumbuh rasa cemburu yang berat.“Kenapa aku begini terus? Kenapa mereka bisa sukses, aku tidak?”
Rasa iri itu kadang menjerumuskannya pada pikiran gelap. Ia sempat ingin merusak usaha orang lain, hanya karena hatinya dipenuhi frustasi.
Kedua sahabat itu berjalan di jalur berbeda-satu berada di puncak keberhasilan dunia, satunya di dasar kesederhanaan. Tapi keduanya merasakan hal yang sama: kosong, asing, dan gelisah.
Hidup mereka hanya berputar di lingkaran keinginan-mengejar sesuatu, lalu bosan ketika tercapai, atau marah ketika gagal.
Pertemuan di Masjid
Suatu sore, setelah sekian lama tak bertemu, Arif dan Junaedi sama-sama duduk di serambi masjid kampung. Keduanya datang dengan hati letih.
Seorang ustadz tua sedang berbicara pelan kepada jamaah kecil. Suaranya tenang, tapi menusuk hati:
“Nak, hidup ini bukan soal kaya atau miskin. Bukan soal cita-cita tinggi atau rendah. Allah sudah jelas berfirman: Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun — Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Kalau hidup hanya dibangun atas keinginan diri sendiri, ujungnya cuma dua: jenuh atau hancur. Tapi kalau dibangun atas agama, ujungnya cuma dua: sabar dan syukur. Saat gagal, ia sabar, itu pahala. Saat berhasil, ia syukur, itu juga pahala.”
Kata-kata itu bagai anak panah. Arif menunduk, dadanya sesak. Junaedi menggigit bibir, matanya panas. Mereka merasa seperti sedang ditunjuk langsung.
Malam Gelap dan Air Mata
Malam itu, Arif pulang ke rumahnya yang mewah. Ia duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke dinding.“Selama ini aku hanya mengejar angka, harta, nama besar… tapi kenapa aku merasa asing dengan diriku sendiri? Kenapa aku tidak pernah benar-benar sujud dengan hati tenang?”
Air matanya jatuh untuk pertama kali setelah sekian lama. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, merasa begitu rapuh.
Di warung kecilnya, Junaedi juga termenung. Suara jangkrik terdengar dari sawah belakang rumah. Ia ingat kata-kata ustadz di masjid.“Aku terlalu sibuk iri pada orang lain, padahal aku lupa: rizki datangnya dari Allah, bukan dari dengki. Aku lupa bersyukur, padahal nikmat-Nya tidak pernah berhenti.”
Tangannya bergetar ketika ia meraih sajadah. Malam itu ia shalat Tahajud untuk pertama kali setelah bertahun-tahun. Air matanya jatuh di atas sajadah lusuhnya.
Langkah Kecil Menuju Allah
Junaedi juga berubah. Ia tidak lagi mengeluh saat dagangannya sepi. Justru ia mengucap Alhamdulillah saat ada satu pembeli datang. Ia belajar sabar dan syukur, dua hal yang selama ini jauh dari dirinya.
Ujian dan Kesadaran
Namun jalan pulang ke Allah tidak pernah mulus. Suatu hari, usaha besar Arif diguncang masalah. Saham jatuh, rekan bisnisnya mengkhianati, sebagian hartanya lenyap. Dulu mungkin ia akan hancur. Tapi kali ini berbeda. Ia ingat pesan ustadz itu: “Saat gagal, sabarlah. Itu pahala.”Ia tersenyum pahit, lalu sujud lama sekali.
“Ya Allah… Engkaulah pemilik semua ini. Jika Kau ambil, itu hak-Mu. Jika Kau beri, itu karunia-Mu.”
Di sisi lain, warung Junaedi pernah benar-benar sepi berhari-hari. Perut anak-anaknya menahan lapar. Hatinyapun nyaris goyah. Tapi ia menggenggam kuat kata-kata ustadz: “Sabar, nak, sabar itu pahala.”
Malam itu, ia menatap wajah anak-anaknya yang tidur dengan perut kosong. Air matanya menetes, tapi dari bibirnya keluar kalimat lembut: “Ya Allah… aku ridha. Aku percaya Engkau tidak pernah menelantarkan hamba-Mu.”
Jalan Pulang
Waktu berjalan, keduanya kini sering bertemu di masjid. Tak lagi dengan wajah muram atau iri, tapi dengan senyum tulus. Mereka menemukan sesuatu yang dulu hilang: ketenangan jiwa.
Arif berkata pada Junaedi suatu sore:
“Jun, aku baru benar-benar paham. Hidup ini bukan soal banyaknya harta atau tingginya cita-cita. Hidup ini soal arah. Kalau diarahkan pada keinginan kita sendiri, pasti kosong. Tapi kalau diarahkan sesuai tujuan Allah menciptakan kita, semuanya terasa bermakna.”
Junaedi menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.“Ya, Rif. Hidup ini ternyata sederhana. Sabar ketika sempit, syukur ketika lapang. Itulah kunci bahagia.”
Kesadaran Diri
Angin sore berhembus lembut. Adzan Maghrib berkumandang, memenuhi langit senja. Dua sahabat itu berdiri, melangkah ke dalam masjid.Di dalam sujudnya, keduanya berbisik dengan hati penuh harap:“Ya Allah, inilah kami yang pernah lupa arah. Kini kami kembali. Jangan palingkan lagi hati ini setelah Engkau beri petunjuk. Terimalah kami, ya Rabb…”
Air mata mereka jatuh, bukan lagi karena kosong, bukan lagi karena iri, tapi karena rasa syukur yang dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar