Nganjuk 22 agust 2025.Ruang Ide.
Tahun 1830, Belanda punya ide “brilian”-brilian buat kantong mereka, tapi bikin rakyat kita ngos-ngosan. Namanya Cultuurstelsel alias Sistem Tanam Paksa. Yang menggagas? Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Beliau ini orang Belanda yang datang ke Jawa bukan untuk wisata kuliner, tapi buat memastikan kas negaranya penuh-apalagi setelah negeri Belanda bangkrut dan miskin gara-gara perang Pangeran diponegoro atau perang Jawa.
Nah, sistem tanam paksa ini simpel: petani harus sedia satu per lima tanahnya, bukan untuk menanam padi buat makan sendiri, tapi buat menanam tanaman ekspor: seperti kopi, nila, karet, lada dan terutama tebu. Tebu ini lho, yang manis-manis itu, tapi getirnya bukan main buat rakyat saat itu.
Kalau kita tarik garis waktu ke Desa Nglaban, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk (dulu masuk kawedanan Kediri), bayangin para petani desa ini juga kena getahnya. Mereka yang biasanya nanam padi buat dapur mereka, sekarang harus nurut nanam tebu buat Belanda. Pikirannya sederhana: kalau nggak ikut aturan, bisa kena hukuman. Jadi ya manut wae, meskipun hati nggerundel.
Buktinya masih ada sampai sekarang. Di pinggir Desa Nglaban, berbatasan dengan Dusun Gedangan, Desa Sumengko, Sukomoro, ada sebuah bangunan misterius yang orang kampung nyebutnya “Kompor.” Tenang, ini bukan kompor buat masak sayur lodeh, tapi semacam sumur raksasa peninggalan zaman tanam tebu. Diameter? Kurang lebih 6 meter. Kedalaman? 25 sampai 30 meter. Coba bayangin, kalau ada yang jatuh ke situ, bisa nyanyi “Dalamnya lautan, siapa yang tahu…”
Fungsi aslinya apa? Ya buat sumber air, irigasi tebu. Airnya dipakai mengairi perkebunan biar si tebu tumbuh subur, lalu diperas habis-habisan demi keuntungan pemerintah kolonial. kalau pas kompor di nyalakan dengan mesin desa itu kehabisan air. sumur warga banyak yang kering. Bangunannya kuat banget, pakai teknik masa itu yang bikin kita melongo: “Kok bisa ya, zaman dulu udah bikin beginian?”
Tapi ada cerita lain yang bikin tambah geleng-geleng kepala. Katanya, kalau dulu “kompor” ini dinyalakan pakai mesin penyedot air, warga desa langsung tekor bareng-bareng. Air sumur mereka ikut raib-kering kerontang! Jangan dibayangin ada PDAM yang ngalir sampai rumah ya. Wong warga waktu itu kalau mau ngambil air aja masih pakai senggot (ember seng diikat tali). Begitu mesin kompor hidup, senggot jadi alat olahraga doang: diturunin ke sumur, ditarik lagi, yang naik cuma angin. Jadi, bisa dibilang kalau mesin kompor hidup, warga desa cuma bisa hidup pakai doa.
sumur senggot |
Rupanya makhluk halusnya juga sudah kalah sama kredit Tukang Bangunan.
Lucunya, warga setempat cuek-cuek aja. Mungkin mereka mikir, “Lha wong itu cuma lubang gede, buat apa dipikirin?” Pemerintah? Sama aja. Belum ada yang serius mikir, “Eh ini kan bisa jadi cagar budaya!” Akhirnya ya begitulah: sejarah terkubur, literally ditimbun sampah.
Padahal, kalau pemerintah kabupaten Nganjuk yang sering di sebut Anjuk Ladang itu mau Peduli, tempat itu bisa dipoles dikit aja, bisa jadi wisata edukasi anak sekolah, tongkrongan positif anak muda dan menjadi icon desa yang luar biasa: “Kompor Raksasa Peninggalan Tanam Paksa.” Bayar tiket masuk, dapat bonus cerita mistis. Wisatawan pasti penasaran: “Kompor gede gini buat masak apa? lodeh satu desa?”
Jadi begitulah, dari seorang Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang memaksa rakyat nanam tebu untuk kepentingan tuan penjajah, sampai ke sebuah “kompor” raksasa yang sekarang nasibnya miris.
Saking mirisnya, kadang orang mikir: “Ini kompor butuh bantuan bansos Dinas Sosial, apa perlu kaleng infak masjid yaa biar bisa direnovasi?” Bayangin aja, peninggalan sejarah yang dulu disedot-sedot airnya buat ngisi kas Belanda, sekarang malah numpuk sampah, kayak nunggu antrean BLT. Bedanya, kalau rakyat dapat beras 5 kilo, si kompor paling cuma dapat timbunan sampah 1 truk.
Mungkin solusi paling gampang ya taruh kaleng infaq masjid di dekat kompor. Siapa tahu ada yang nyumbang seribu, dua ribu, lama-lama bisa jadi cagar budaya. Kalau nggak ya minimal bisa buat beli sapu lidi, biar sampahnya nggak numpuk.
Kalau bisa nangis, kompor ini pasti udah main sinetron jam tujuh malam. Judulnya: Airku Habis Disedot Belanda, Kini Aku Ditimbun Warga. Peran utamanya: si Kompor yang tersakiti, peran antagonisnya: sampah plastik Indomie yang tak pernah habis.
Pak J . wong nglaban asli
Narasi n redaksinya bagus banget, mencerminkan suara hati seorang sejarawan
BalasHapus