Selasa, 26 November 2024

MENTALNYA SERANGAN FAJAR, TAPI JIKA ADA KORUPSI MARAHNYA TAK TERKENDALI?

 Serangan Fajar, Mentalitas Korupsi

kompas.id
Mendekati Pilkada, suasana kampanye sangat terasa. Pada fase seperti ini selalu muncul fenomena  di tengah masyarakat kita: serangan fajar.

Sebagian orang bercanda tentang menunggu amplop, tapi tidak sedikit yang mengharapkan sungguhan. Amplop berisi 50 ribu, atau jika beruntung bisa sampai 300 ribu, menjadi daya tarik. 



Uang itu mungkin habis dalam sehari, tapi pilihan yang kita buat karena amplop itu akan menentukan nasib kita selama lima tahun kedepan. Mari kita renungkan bersama, apa artinya ini bagi kita sebagai bangsa?

Pilihan Kita, Harga Diri Kita

detikcom

Pilkada bukan sekadar soal memilih siapa yang lebih pandai bicara atau siapa yang punya baliho lebih besar. Ini adalah momen besar ketika kita, (rakyat,) menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. 

Kita memilih pemimpin yang akan
menentukan kebijakan, mengelola anggaran, dan mengambil keputusan yang berdampak langsung pada hidup kita. Tapi ironisnya,
sebagian dari kita rela menukar hak pilih itu dengan uang receh berjumlah kecil.

Pertanyaan sederhana nya: apakah harga diri kita serendah itu?

Mengajarkan Korupsi dari Awal

Sebagai masyarakat, kita sering teriak keras tentang korupsi. 

Kita muak dengan pemimpin yang
menyalahgunakan wewenang, memperkaya diri
sendiri, dan lupa kepada rakyatnya. 


Tapi sadarkah kita bahwa serangan fajar adalah akar dari semua itu? Dengan menerima amplop, kita secara tidak langsung berkata kepada calon pemimpin: Uang dulu, kerja untuk rakyat nanti.”



Logikanya jelas: jika seorang calon mengeluarkan miliaran rupiah untuk membeli suara, dari mana ia akan menutup 'modal' itu setelah terpilih? Kita sudah tahu jawabannya—dari anggaran rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun insfrastruktur, pendidikan, atau fasilitas kesehatan.

Musuh Utama Kita

mediaindonesia

Mentalitas serangan fajar mencerminkan masalah besar dalam budaya kita. Di satu sisi, kita ingin
korupsi hilang. 

Di sisi lain, kita mempraktikkan sesuatu yang menjadi bibit korupsi. Inilah kontradiksi besar
dalam masyarakat kita. Kita ingin pemimpin yang bersih, tapi memberi mereka jalan untuk kotor
sejak awal.

Lebih ironis lagi, orang yang menerima uang serangan fajar sering kali adalah orang yang sama yang paling keras mengkritik pemimpin ketika korupsi terbongkar.


jurnal news

Mengubah budaya ini bukan perkara mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Kita harus mulai dari diri sendiri dengan langkah sederhana:

Menolak amplop adalah bentuk perlawanan nyata terhadap korupsi. Katakan kepada mereka bahwa kita tidak bisa dibeli. Harga diri dan masa depan lebih mahal dari uang receh.



Beritahu orang-orang di sekitar kita bahwa menerima serangan fajar bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah bangsa. Jelaskan bahwa uang itu adalah bibit kejahatan yang nantinya akan
menghancurkan kita sendiri.

Lihat rekam jejak calon pemimpin. Apa yang telah mereka lakukan untuk masyarakat? Jangan mudah terpesona dengan janji manis tanpa bukti.
Setelah memilih, kawal kinerja pemimpin. Jangan hanya diam ketika kebijakan mereka melenceng dari janji kampanye.

Saatnya Bangkit

Pilkada adalah kesempatan emas bagi kita untuk mengubah nasib. Jangan sia-siakan dengan menyerah pada godaan amplop. 

Memilih pemimpin bukan transaksi,melainkan amanah. Jika kita ingin korupsi hilang dari negeri ini, mulailah dari diri sendiri.

Tunjukkan bahwa kita adalah rakyat yang tidak bisa dibeli.


Mari kita renungkan: Apakah kita ingin menjadi bangsa yang besar dengan harga diri, atau bangsa yang menjual masa depan hanya demi uang kecil untuk kepentingan diri sendiri? 

Pilihan ada di tangan kita. Jangan biarkan serangan fajar menggelapkan harapan kita untuk masa depan yang lebih baik.

Pak J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar