Sedangkan Ilmu, di sisi lain, seperti garam: penting, tapi tak perlu berlebihan. jika berlebihan justru tidak menambah nikmatnya roti. Ilmu yang hebat tanpa adab hanya akan membuat murid "mengembang" tanpa arah (roti kosong yang tak punya citarasa.)
Mengapa Adab Penting Sebelum Ilmu?
Kompasiana.com |
Namun, saat ini, fenomena di sekolah-sekolah kita menunjukkan hal sebaliknya. Murid mengejar prestasi akademik, di ajari tentang berbagai keahlian hidup, tetapi perilaku dan etika sering kali tak terurus.
Akibat nya mereka pandai berbicara, tapi kurang tahu tata krama. mereka menguasai ketrampilan tapi miskin ke-santunan. Ini bukan hanya masalah kecil, tapi sinyal masalah besar hancurnya peradaban bangsa yang di mulai dari dalam dunia pendidikan kita.
Ini tentu salah Guru ?
Kurikulum yang berat bagi siswa dan guru, tuntutan administratif, dan pembatasan disiplin sering kali membuat guru hanya bisa fokus pada pencapaian akademik semata.
Guru akhirnya lebih banyak menjadi penyampai materi ketimbang pendidik karakter. Dengan segala keterbatasan ini, Jika mengharapkan guru bisa menanamkan adab sepenuhnya, seperti di masa lalu, tentu ini seperti : berharap hujan di musim kemarau. Mungkin bisa terjadi tapi sangat langka.
Di sisi lain, orang tua sebenarnya adalah pendidik pertama dan utama bagi anak. Adab dasar seperti menghormati orang tua, sopan santun dalam berbagai prilaku, dan cara berinteraksi itu sudah tuntas ditanamkan sejak dini di rumah.
Sayangnya, dalam realitas sekarang, banyak orang tua sibuk atau bahkan mengabaikan pendidikan etika ini, berharap sekolahlah dapat menggantikan peran mereka. sebuah harapan berlebih yang tanpa dasar. hal itu seperti berharap tumbuhnya jamur di ladang di musim panas
Anak-anak berangkat ke sekolah tanpa bekal karakter yang kuat dari rumah, datang, dengan harapan bahwa guru yang akan mendidik adab mereka sepenuhnya.
Ketika orang tua menyerahkan tanggung jawab moral ini hanya pada guru, adab anak menjadi seperti roti yang tak cukup tepung (tak kokoh, gampang rapuh.) bahkan tak memiliki taste sama sekali
Sinergi Orang Tua dan Guru
Kompasiana.com |
Orang tua harus kembali menghidupkan pendidikan karakter di rumah, mulai dari memberi contoh nyata tentang sopan santun, tata krama, hingga rasa hormat terhadap orang lain, termasuk kepada guru.
Guru, di sisi lain, bisa menguatkan nilai-nilai itu di sekolah, meskipun terbatas oleh waktu dan sistem. Namun, tanpa dukungan orang tua, usaha guru tak akan membuahkan hasil yang optimal.
Memerlukan perubahan
Dalam pendekatan pendidikan nasional. Pembelajaran karakter bukanlah “mata pelajaran tambahan” (yang berharap menjadi dasar yang akan memperkaya semua ilmu yang dipelajari). Tapi Bagaimana, adab dan pembentukan karakter harus menjadi inti kurikulum, tidak hanya sekedar sebagai selingan yang pokoknya pantas di lihat.
Roti tanpa tepung yang cukup, mungkin akan mengembang, tapi akan kosong dan hambar. Begitu pula ilmu tanpa adab: terlihat besar tapi hanya sekadar “pengisi,” tidak membuat anak-anak menjadi manusia seutuhnya.
Harapan
kompasiana.com |
Ketika pendidikan adab dibangun kembali, anak-anak tak hanya menjadi pintar dan cerdas, tapi juga berbudi, tahu rasa hormat, berani menuntut dan paham akan tanggungjawab, serta mengerti bagaimana menjadi bagian yang baik dari masyarakat.
Mari perbanyak “tepung” adab, agar anak-anak kita tak hanya sekadar “mengembang” dengan ilmu, tetapi benar-benar berisi, bermakna, dan menjadi generasi yang berbobot. Harapan kita, anak bersekolah bukan hanya mengejar angka angka yang sering kali salah disebut sebagai nilai.
Tetapi lembaga dan institusi sekolah harus menjadi agen perubahan, dan agen peradaban yang menjadikan anak anak bisa :Tumbuh Tangguh dan Terhormat. Karena akhlaq yang terjaga, dan karakter yang di terbina, akan menjadi berlian yang tak ternilai harga nya.
Pak J aktifis Pendidikan dan Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar