Rabu, 06 November 2024

ITU PASTI SALAH GURU ?




Bayangkan anda saat ini sedang membuat roti yang lezat. Tepung adalah bahan utama yang membentuk struktur, sementara garam cukup ditambahkan sedikit saja sebagai penyedap.

Dalam konteks pendidikan, adab itu ibarat tepung: esensi yang membentuk karakter dan kepribadian seorang murid. 

Sedangkan Ilmu, di sisi lain, seperti garam: penting, tapi tak perlu berlebihan. jika berlebihan justru tidak menambah nikmatnya roti. Ilmu yang hebat tanpa adab hanya akan membuat murid "mengembang" tanpa arah (roti kosong yang tak punya citarasa.)

Mengapa Adab Penting Sebelum Ilmu?

Adab adalah landasan yang membuat seseorang siap menerima ilmu dengan rasa hormat dan dengan rasa tanggung jawab. Adab adalah pondasi sebuah bangunan yang dindingnya berupa ilmu dan atap nya berupa wawasan. tampilan,nuansa dan suasana berupa akhlaq dan prilaku. 

Kompasiana.com
Tanpa adab, ilmu justru berpotensi menciptakan kesombongan, ketidakpedulian, dan perilaku buruk lainnya. Dalam sejarah pendidikan Islam, prinsip dalam mencari ilmu sudah sangat jelas ( belajar adab sebelum belajar ilmuperkuat akhlaq sebelum memburu wawasan.

Namun, saat ini, fenomena di sekolah-sekolah kita menunjukkan hal sebaliknya. Murid mengejar prestasi akademik, di ajari tentang berbagai keahlian hidup, tetapi perilaku dan etika sering kali tak terurus. 

Akibat nya mereka pandai berbicara, tapi kurang tahu tata krama. mereka menguasai ketrampilan  tapi miskin  ke-santunan. Ini bukan hanya masalah kecil, tapi sinyal masalah besar hancurnya peradaban bangsa yang di mulai dari dalam dunia pendidikan kita.

 Ini tentu salah  Guru ?

Sekilas, mungkin mudah untuk menuding guru. Guru adalah pendidik formal di sekolah, jadi ketika murid kurang adab, guru sering kali jadi pihak yang pertama dipertanyakan. 

Namun, pernahkah kita berpikir ulang. bahwa Sistem pendidikan kita saat ini telah berubah drastis, bahkan  membuat waktu dan ruang bagi guru untuk menanamkan adab menjadi sangat terbatas. 

Kurikulum yang berat bagi siswa dan guru, tuntutan administratif, dan pembatasan disiplin sering kali membuat guru hanya bisa fokus pada pencapaian akademik semata. 

Guru akhirnya lebih banyak menjadi penyampai materi ketimbang pendidik karakter. Dengan segala keterbatasan ini, Jika mengharapkan guru bisa menanamkan adab sepenuhnya, seperti di masa lalu, tentu ini seperti : berharap hujan di musim kemarau. Mungkin bisa terjadi tapi sangat langka.

Di sisi lain, orang tua sebenarnya adalah pendidik pertama dan utama bagi anak. Adab dasar seperti menghormati orang tua, sopan santun dalam berbagai prilaku, dan cara berinteraksi itu sudah tuntas ditanamkan sejak dini di rumah. 

Sayangnya, dalam realitas sekarang, banyak orang tua sibuk atau bahkan mengabaikan pendidikan etika ini, berharap sekolahlah  dapat menggantikan peran mereka. sebuah harapan berlebih yang tanpa dasar. hal itu seperti berharap tumbuhnya jamur di ladang di musim panas

Anak-anak berangkat ke sekolah tanpa bekal karakter yang kuat dari rumah, datang, dengan harapan bahwa guru yang akan mendidik adab mereka sepenuhnya. 

Ketika orang tua menyerahkan tanggung jawab moral ini hanya pada guru, adab anak menjadi seperti roti yang tak cukup tepung (tak kokoh, gampang rapuh.) bahkan tak memiliki taste sama sekali

Sinergi Orang Tua dan Guru

Kompasiana.com
Dalam pendidikan adab dan akhlaq. Yang diperlukan bukanlah sekadar menunjuk siapa yang salah, melainkan merombak kembali sinergi antara sekolah dan rumah 

Orang tua harus kembali menghidupkan pendidikan karakter di rumah, mulai dari memberi contoh nyata tentang sopan santun, tata krama, hingga rasa hormat terhadap orang lain, termasuk kepada guru. 

Guru, di sisi lain, bisa menguatkan nilai-nilai itu di sekolah, meskipun terbatas oleh waktu dan sistem. Namun, tanpa dukungan orang tua, usaha guru tak akan membuahkan hasil yang optimal.

Memerlukan perubahan 

Dalam pendekatan pendidikan nasionalPembelajaran karakter bukanlah “mata pelajaran tambahan” (yang berharap menjadi dasar yang akan memperkaya semua ilmu yang dipelajari). Tapi Bagaimana, adab dan pembentukan karakter harus menjadi inti kurikulum, tidak hanya sekedar sebagai selingan yang pokoknya pantas di lihat.

Roti tanpa tepung yang cukup, mungkin akan mengembang, tapi akan kosong dan hambar. Begitu pula ilmu tanpa adab: terlihat besar tapi hanya sekadar “pengisi,” tidak membuat anak-anak menjadi manusia seutuhnya.

 Harapan

kompasiana.com
Kehilangan adab pada murid-murid sekarang bukan kegagalan guru  atau orang tua . Ini adalah kegagalan bersama dalam menanamkan nilai-nilai yang mendasar bagi peradaban bangsa 

Ketika pendidikan adab dibangun kembali, anak-anak tak hanya menjadi pintar dan cerdas, tapi juga berbudi, tahu rasa hormat, berani menuntut dan paham akan tanggungjawab, serta mengerti bagaimana menjadi bagian yang baik dari masyarakat.

Mari perbanyak “tepung” adab, agar anak-anak kita tak hanya sekadar “mengembang” dengan ilmu, tetapi benar-benar berisi, bermakna, dan menjadi generasi yang berbobot. Harapan kita, anak bersekolah bukan hanya mengejar angka angka yang sering kali salah disebut sebagai nilai. 

Tetapi lembaga dan institusi sekolah harus menjadi agen perubahan, dan agen peradaban yang  menjadikan anak anak bisa :Tumbuh Tangguh dan Terhormat. Karena akhlaq yang terjaga, dan karakter yang di terbina, akan menjadi berlian yang tak ternilai harga nya.


Pak J aktifis Pendidikan dan Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar