Jumat, 08 November 2024

SETALI TIGA UANG = SAMA SAJA

 

BBC
A
da ungkapan dalam bahasa Arab, “wujuduhu ka adammi hi,” yang berarti “adanya sama dengan tidak adanya.” Barangkali, ungkapan ini cocok menggambarkan kondisi pilkada dengan satu-satunya pilihan "melawan" kotak kosong. 

Seolah ada kandidat, tapi kehadirannya tak membawa aspirasi rakyat. Pilihan ini menempatkan masyarakat dalam posisi sulit: ada pemilu seperti tdak ada pemilu. 

Memilih calon yang tersedia, yang mungkin kurang mewakili aspirasi mereka, atau memilih kotak kosong, yang juga tak banyak mewakili harapan.

Situasi pilkada satu pasangan calon ini sebenarnya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 54D ayat 3. Jika pemilihan yang hanya diikuti satu pasangan calon tidak menghasilkan pemenang, ada dua opsi untuk KPU:

  1. Pemilihan ulang dilaksanakan setahun setelah pemilihan pertama yang gagal menghasilkan pemenang.
  2. Pemilihan ulang mengikuti jadwal reguler yang diatur dalam undang-undang.

nu online
Opsi kedua ini berarti, dalam lima tahun ke depan, posisi kepala daerah akan diisi oleh pejabat yang ditunjuk, bukan oleh hasil pilihan rakyat. 

Untuk posisi bupati atau wali kota, pejabat ini ditunjuk oleh gubernur; sementara untuk posisi gubernur, Menteri Dalam Negeri yang akan menunjuk.

Jadi, dalam kondisi ini, rakyat dihadapkan pada dilema yang memprihatinkan. Pilihan antara satu kandidat dan kotak kosong seakan tak membawa pengaruh bagi kehidupan sehari-hari atau aspirasi yang lebih besar. 

Apakah masyarakat memilih pasangan calon tunggal atau kotak kosong, pilihan ini hanya berakhir di tangan kebijakan pemerintah pusat (yang akhirnya, hanya mencerminkan kebutuhan administratif, bukan keinginan atau kebutuhan rakyat.)  

Lalu, Apa Makna Pilihan Ini Bagi Rakyat?

BBCNews
Dalam sistem yang seharusnya mewakili suara rakyat, rakyat justru seolah tidak memiliki pilihan. Pilkada tanpa banyak calon mengurangi makna demokrasi itu sendiri. 

Aspirasi masyarakat yang seharusnya tercermin melalui pemilihan calon kepala daerah jadi tertahan, hanya karena satu kandidat yang maju atau karena sistem yang tidak memadai.

Yang Terjadi Bila Kotak Kosong Menang

Jika kotak kosong menang, pemilihan harus diulang pada tahun berikutnya atau menunggu jadwal reguler berikutnya. Namun, bila calon tunggal yang menang, dan tidak ada opsi lain, maka masyarakat harus siap dipimpin oleh seseorang yang mungkin tak mewakili suara mayoritas. 

Masyarakat merasa hak suaranya tak sepenuhnya tersalurkan, dan sistem ini justru merugikan.

Dalam kondisi ini, seolah-olah pilihan rakyat tidak lebih dari sekadar formalitas. Kebutuhan akan perbaikan sistem dan aturan yang lebih memperhatikan aspirasi masyarakat perlu ditinjau ulang. 


Harapan rakyat adalah memiliki pemimpin yang benar benar terpilih dari suara terbanyak, bukan sekadar administratif. Sebagai warga yang merasakan langsung dampak kepemimpinan di daerah, wajar bila masyarakat merasa pesimistis. 

Sistem pilkada yang memberikan “pilihan tanpa pilihan” ini tidak hanya melemahkan demokrasi tetapi juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada proses politik itu sendiri. Setali tiga uang alias sama saja tidak ada bedanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar