Cerpen.
Wikipedia |
Setiap
hari, aku menyusuri lorong-lorong sekolah dengan langkah yang tak lagi muda.
Kelebihan dan kekuranganku sebagai guru memang ada, tapi semangat juangku untuk
mendidik mereka selalu tinggi. Bagiku, ini bukan hanya pekerjaan—ini adalah
ladang amal. Setiap aku melihat wajah-wajah muda yang penasaran, yang punya
mimpi besar, yang kadang tersesat dan kadang berhasil menemukan jalan, aku
merasa bahwa mendidik mereka adalah jalan kebaikan yang nyata.
Kendala
datang silih berganti. Sering kali, fasilitas sekolah tidak cukup untuk
menampung kebutuhan anak-anak. Ada kalanya aku merasa letih dan kewalahan. Tapi
setiap kali melihat seorang anak yang berhasil memahami pelajaran, melihat
perubahan kecil dalam perilaku mereka, aku merasa semua perjuangan itu layak.
Di usia
yang terus bertambah, aku mulai bertanya-tanya sampai kapan aku bisa terus
mendidik di sini. Namun, setiap kali keraguan itu muncul, aku selalu ingat: di
sekolah ini, aku bukan hanya seorang guru. Aku adalah bagian dari perjalanan
hidup mereka. Dan semangat itu, tak pernah padam.
Tapi,
pagi-pagi seperti ini tidak selalu mudah. Kepala sekolah memang sudah
memberikan instruksi yang jelas: para guru perempuan menyambut murid dengan
bersalaman, sementara para guru laki-laki membantu mengatur parkir. Tapi
kenyataannya, sering kali aku berdiri sendirian di tengah kerumunan sepeda
motor yang lalu-lalang. Beberapa guru lain hanya berdiri di tepi, mengamati
dari jauh seolah cukup dengan hadir saja, tanpa harus turun tangan.
Rasa lelah
itu sering kali muncul, apalagi ketika aku melihat ada yang bersikap acuh.
Mereka berdiri saja, bahkan mungkin berpikir tugas ini terlalu sepele untuk
mereka. Kadang-kadang aku bertanya dalam hati, "Kenapa aku yang harus
sendirian mengatur semua ini? Bukankah ini tanggung jawab bersama?"
Namun,
walau kelelahan menyergap, aku berusaha untuk tidak berpikir tentang untung atau
rugi. Bagiku, menjadi guru bukan tentang mencari pujian atau perhatian dari
atasan. Aku bekerja dengan hati, karena aku yakin setiap yang kulakukan ini
adalah bagian dari pengabdian.
Tetap saja,
sebagai manusia biasa, ada saat-saat di mana aku berharap bisa bekerja
bersama-sama dengan yang lain, bukan hanya berdiri sendiri seperti ini. Tapi
meski mereka hanya berdiri di tepi tanpa membantu, aku tetap melangkah dengan
tekad yang sama setiap hari. Mereka boleh tak peduli, tapi aku tahu bahwa apa
yang kulakukan adalah kebaikan untuk murid-murid kami, dan untuk diriku
sendiri.
Rasa kesal yang datang
otomotifnet.com |
Rasa kesal
mulai menguasai pikiranku. Aku lelah, bukan hanya karena harus mengatur parkir,
tetapi karena seolah tidak ada yang merasa ini adalah tanggung jawab bersama.
Aku pun akhirnya memberanikan diri untuk melontarkan candaan yang sebenarnya
penuh sindiran.
“Njenengan
ini pengatur parkir anak-anak atau pengamat pengatur parkir, to, Pak?” ucapku
sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan nada kesal.
Namun,
ternyata ucapanku itu menyinggung perasaannya. Tanpa ragu, ia menanggapinya
dengan nada yang tegas, bahkan sedikit emosi.
"Kalau
yang njenengan lakukan itu kebaikan, ndak usah mengusik orang lain, mau
membantu atau tidak,” katanya. “Kalau ndak mau, ya sudahlah, tinggalkan.
Kemari-kemarin tidak diatur pun, parkir ini tetap berjalan. Kita ini bukan
untuk saling menilai."
Ia lalu
menyitir ucapan seorang ustad terkenal, “Kalau sudah bisa melaksanakan sholat
tahajud, jangan mengatakan orang yang sedang tidur sebagai bangkai hidup.
Mereka tidur, belum tentu tidak punya niatan tahajud.”
Aku
terdiam, hatiku terkejut mendengar ucapan itu. Benarkah logika itu bisa berlaku
untuk situasi ini? Mengatur parkir, yang jelas merupakan tanggung jawab
bersama, dianggap seperti amalan pribadi?
Aku mencoba
menahan diri, tapi dalam hati ada kebingungan yang mengusik. Bagaimana bisa
amalan bersama yang seharusnya ditanggung bersama dianggap setara dengan amalan
pribadi? Seakan-akan mereka menyamakan tanggung jawab sosial dengan pilihan
pribadi.
Satu per satu sepeda motor anak-anak masuk ke halaman, dan aku mengarahkan mereka dengan sabar. Pagi ini angin kota anjuk ladang (Nganjuk) terasa sejuk dan alami, apalagi di bulan agustus seperti ini, kabupaten yang dulu menjadi bagian kerajaan Dinasty Isyana raja Empu Sendok itu, terasa sejuk dan damai.
Tanpa kusadari, seorang guru lain mendekatiku dan mulai membantu
mengatur. Aku terkejut dan merasa lega. Mungkin kehadiran satu orang tidak
banyak mengubah kerumunan ini, tapi setidaknya aku tidak sendirian kali ini.
Hari itu,
aku menjalankan tugas seperti biasa, berdiri di tengah hiruk-pikuk parkiran
sekolah, mengatur lalu lintas sepeda motor yang selalu penuh sesak. Tapi
pikiranku berkecamuk. Apakah yang kulakukan selama ini dianggap tidak tulus?
Apakah semua tenagaku yang kucurahkan dianggap hanya sebuah pencitraan?
Aku
teringat percakapanku beberapa hari lalu, ketika aku dengan nada bercanda
bertanya, “Njenengan ini pengamat parkir atau pengatur parkir, to, Pak?” Tidak
kusangka kata-kata itu begitu menyinggungnya. Sampai-sampai ia merasa perlu
menyinggung keikhlasanku. Apakah salah kalau aku berharap tugas ini dikerjakan
bersama? Apakah salah kalau aku merasa lelah, dan ingin ada yang ikut terlibat?
Hari-hari berlalu, dan kekesalanku perlahan mulai memudar, tergantikan oleh rasa ikhlas. Aku menyadari, mungkin tidak semua orang akan memahami niatku, dan itu adalah hal yang wajar.
Kita semua punya pandangan yang berbeda-beda.
Jadi, aku memilih untuk menjalankan tugasku dengan hati yang
lapang, tanpa berharap banyak dari orang lain.
Hari-hari berlalu, dan aku tetap menjalankan tugas di parkiran sekolah, meski
perasaan campur aduk masih mengiringi. Setiap pagi, aku berdiri mengatur
barisan motor, memperhatikan satu per satu anak masuk dengan senyum, tawa,
kadang keluhan kecil yang keluar karena kelelahan.
Di sela-sela itu, ada rasa
kesal yang masih tersisa. Bukan sekadar karena ucapan rekan kerjaku, tapi
karena aku masih merasa sendirian dalam menjalankan tanggung jawab bersama ini. Apakah
begitu sulit bagi sebagian guru untuk membantu sejenak?
Sekilas ucapannya terdengar peduli, namun nada suaranya terasa kering, hampir seperti ejekan.
Aku mencoba mengabaikannya, tapi
dalam hati ada perasaan terluka. Bukannya menolong, ia seolah hanya
memperhatikan untuk mencari celah melihat kekuranganku. Aku hanya tersenyum
tipis, tidak membalas apa pun.
Hari-hari berikutnya, ucapan-ucapan seperti itu
mulai sering terdengar. Beberapa guru lain mulai ikut memberi komentar,
beberapa di antaranya berkata, “Kalau memang tidak ada yang bantu, ya tinggal
saja, Pak. Kan ada banyak hal lain yang bisa dikerjakan.” Komentar-komentar ini
tak langsung menyinggung, tapi terasa seperti sindiran yang perlahan menusuk.
Sampai pada suatu hari, kekesalanku memuncak.
Saat itu seorang guru datang terlambat dan memarkirkan motor sembarangan di
depan. Ketika aku menegurnya agar memarkir sesuai barisan, ia tertawa kecil,
"Wah, saya kira parkir lurus itu, hanya untuk siswa, Pak. Lagipula, saya cuma
sebentar. pak"
Aku menahan diri, tapi dalam hati ada rasa marah
yang kian menumpuk. Sepertinya apa yang kulakukan tidak hanya dianggap remeh,
tapi juga dijadikan bahan canda. Meskipun begitu, aku berusaha tetap tenang,
mengatur parkiran sesuai tugasku. Namun, diam-diam aku bertanya-tanya: seberapa
lama aku bisa bertahan seperti ini?
madani news.id |
Setelah sekian lama mencoba bertahan, aku akhirnya menyerah. Ternyata, aku tak
sekuat baja, tak sekokoh jargon semen Gresik( kokoh tak tertandingi). Pagi itu, aku berdiri di pojokan halaman
sekolah, memperhatikan kerumunan motor yang mulai berdatangan tanpa ada yang
mengatur.
Beberapa siswa kebingungan mencari tempat parkir, sebagian memarkir
sembarangan di depan gerbang, membuat arus lalu lintas terhambat. Biasanya, aku
sudah melangkah ke sana, mengarahkan mereka agar tertib. Tapi hari ini, aku
hanya diam, menyaksikan semua itu dari jauh.
Ya, aku memutuskan berhenti. Bukan karena aku tak sanggup lagi, tapi karena aku kalah dengan omongan rekan kerjaku. Kata-kata mereka yang menyindir, seolah mengecilkan apa yang selama ini kulakukan, akhirnya benar-benar menghancurkan semangatku.
Aku lelah melawan persepsi mereka, lelah merasa diriku sendiri yang
peduli pada tanggung jawab ini. Sekarang, aku memutuskan menjadi seperti
mereka—hanya sekadar hadir tanpa memedulikan hal-hal kecil seperti parkir atau
antrean siswa.
majalah sunday |
Di sela-sela jam istirahat, aku mengamati rekan-rekanku yang dulu bersikap cuek. Aneh sekali, kini aku merasa lebih dekat dengan mereka. Mereka yang dulu hanya berdiri menonton parkiran, mereka yang memilih untuk sibuk dengan urusan sendiri—aku kini seperti mereka.
Mereka sesekali mengajakku bercanda, tertawa
bersama di ruang guru. Tak ada lagi sindiran soal keaktifan atau pencitraan. Di
mata mereka, aku kini seperti “normal,” tidak menonjol seperti dulu.
detik news |
Meski sudah
mencoba menyesuaikan diri, perasaan tak nyaman tetap datang. Setiap pagi, ada
saja siswa yang bertanya, “Pak, kok nggak ngatur parkir lagi?” atau yang lain
berbisik, “Pak Guru sekarang sudah beda.” Kata-kata mereka menggores hatiku,
seakan mengingatkan bahwa peranku yang dulu sebenarnya berarti bagi mereka.
Di tengah
pergulatan batin ini, aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri, Apakah
menjadi cuek adalah jalan yang benar? Apakah membiarkan semuanya berjalan tanpa
keterlibatan adalah satu-satunya cara agar aku bisa merasa damai? apakah akulah kini guru pasif itu, apakah akulah kini guru tak peduli itu.
Aku tahu
jawabannya, tapi untuk saat ini, biarlah semua tetap seperti ini. Aku masih
mencari keberanian untuk menghadapi apa yang sebenarnya ingin kulakukan di hari kemudian.
setiap pagi kini terasa lebih kosong. Dulu, ada semangat yang mengiringi langkahku saat memasuki sekolah, ada dorongan untuk memberikan yang terbaik.
Aku sadar, apa
yang kulakukan selama ini adalah persembahan untuk Tuhanku, sebagai bentuk rasa
syukur dan pengabdianku. Tapi sekarang, semua itu terasa pudar. Aku terdiam,
bertanya pada diri sendiri: Kenapa aku sampai di titik ini? Kenapa aku
memilih mengikuti mereka, tenggelam dalam sikap acuh yang jelas-jelas bukan
aku?
radio starFM |
Setiap kali
melihat kekacauan yang dulu biasa kutangani dengan tekun, hatiku terasa perih.
Namun, entah bagaimana, dorongan untuk bangkit seolah terperangkap oleh rasa
lelah dan kecewa. Aku memilih untuk masa bodoh, seolah-olah ini bukan tanggung
jawabku, padahal aku tahu, di hatiku yang terdalam, ini adalah bagian dari
panggilanku.
Suatu
siang, seorang siswa datang menghampiriku. Dengan raut wajah polosnya, ia
bertanya, "Pak, kenapa sekarang Bapak nggak bantu parkir lagi? Kalau ada
Bapak, kami lebih tenang." Kata-katanya terdengar sederhana, tapi menusuk
sampai ke dasar hati. Aku hanya tersenyum, menjawab sekenanya, "Bapak lagi
istirahat, Nak. Mungkin nanti Bapak bantu lagi."
lovepik |
Aku tahu,
aku kalah dengan perkataan orang lain. Aku membiarkan komentar mereka
menghancurkan niat suci yang dulu kutanamkan. Aku menyerah pada godaan untuk
bersikap seperti mereka, padahal aku tahu itu salah. Namun, entah mengapa,
kekalahan ini terasa begitu sulit kuhentikan.
Dalam diam,
aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah ini caraku menenangkan diri?
Atau apakah aku hanya melarikan diri dari tanggung jawab. dari pertanyaan hatiku itu, tak terasa buliran air mata meleleh di pipi? yaa aku ternyata bisa menangis,aku bisa merasa sedih. setiap buliran yang jatuh itu seakan menyampaiakan sebuah pertanyaan.apakah aku akan kembali membantu mereka atau mengikuti rasa pasif dan tak peduli ?
Aku belum
menemukan jawabannya. Untuk saat ini, aku tetap memilih menjadi guru pasif,
berpura-pura tak peduli. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu, bahwa ini bukan diriku
yang sebenarnya.
Pak J : aktifis pendidikan dan sosial
Wah tulisan Pak J benar2 detail, perasaan dituliskan dengan runut hal "sederhana" menata parkir bisa enak dibaca dan saya paham dengan perasaan tokoh dalam tulisan. Becanda rekan guru berupa sindiran dan ejekan memang sering kali mematahkan semangat sangat relate dengan keseharian di sekolah. Terima kasih pak J
BalasHapusnggih bapak ibu matur nuwun . maunya belajar nulis cerpen, tapi hasilnya masih jauh dari katagori cerpen
Hapus