Senin, 11 November 2024

GURU TAK PEDULI ITU ADALAH DIRIKU

 Cerpen.

Wikipedia
Di sebuah SMA di pinggiran kota Nganjuk, aku adalah seorang guru swasta yang sudah mengajar di sana selama 18 tahun. Di sekolah ini, jumlah murid mencapai sekitar 1300 anak. Tentu saja, di sekolah sebesar ini, tantangan sehari-hari pun tak terhitung jumlahnya.

Setiap hari, aku menyusuri lorong-lorong sekolah dengan langkah yang tak lagi muda. Kelebihan dan kekuranganku sebagai guru memang ada, tapi semangat juangku untuk mendidik mereka selalu tinggi. Bagiku, ini bukan hanya pekerjaan—ini adalah ladang amal. Setiap aku melihat wajah-wajah muda yang penasaran, yang punya mimpi besar, yang kadang tersesat dan kadang berhasil menemukan jalan, aku merasa bahwa mendidik mereka adalah jalan kebaikan yang nyata.

Kendala datang silih berganti. Sering kali, fasilitas sekolah tidak cukup untuk menampung kebutuhan anak-anak. Ada kalanya aku merasa letih dan kewalahan. Tapi setiap kali melihat seorang anak yang berhasil memahami pelajaran, melihat perubahan kecil dalam perilaku mereka, aku merasa semua perjuangan itu layak.

Di usia yang terus bertambah, aku mulai bertanya-tanya sampai kapan aku bisa terus mendidik di sini. Namun, setiap kali keraguan itu muncul, aku selalu ingat: di sekolah ini, aku bukan hanya seorang guru. Aku adalah bagian dari perjalanan hidup mereka. Dan semangat itu, tak pernah padam.

Setiap pagi, aku berdiri di halaman parkir sekolah, menyambut dan membantu mengatur kedatangan murid-murid dengan penuh kesabaran. Anak-anak SMA yang datang dengan sepeda motor atau sepeda biasa, kadang tanpa memperhatikan aturan, sering kali berdesakan mencari tempat parkir. Kalau tidak diatur, halaman parkir ini akan penuh sesak, dan kacau jadinya.

Tapi, pagi-pagi seperti ini tidak selalu mudah. Kepala sekolah memang sudah memberikan instruksi yang jelas: para guru perempuan menyambut murid dengan bersalaman, sementara para guru laki-laki membantu mengatur parkir. Tapi kenyataannya, sering kali aku berdiri sendirian di tengah kerumunan sepeda motor yang lalu-lalang. Beberapa guru lain hanya berdiri di tepi, mengamati dari jauh seolah cukup dengan hadir saja, tanpa harus turun tangan.

Rasa lelah itu sering kali muncul, apalagi ketika aku melihat ada yang bersikap acuh. Mereka berdiri saja, bahkan mungkin berpikir tugas ini terlalu sepele untuk mereka. Kadang-kadang aku bertanya dalam hati, "Kenapa aku yang harus sendirian mengatur semua ini? Bukankah ini tanggung jawab bersama?"

Namun, walau kelelahan menyergap, aku berusaha untuk tidak berpikir tentang untung atau rugi. Bagiku, menjadi guru bukan tentang mencari pujian atau perhatian dari atasan. Aku bekerja dengan hati, karena aku yakin setiap yang kulakukan ini adalah bagian dari pengabdian.

Tetap saja, sebagai manusia biasa, ada saat-saat di mana aku berharap bisa bekerja bersama-sama dengan yang lain, bukan hanya berdiri sendiri seperti ini. Tapi meski mereka hanya berdiri di tepi tanpa membantu, aku tetap melangkah dengan tekad yang sama setiap hari. Mereka boleh tak peduli, tapi aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah kebaikan untuk murid-murid kami, dan untuk diriku sendiri.


Rasa kesal yang datang

otomotifnet.com
Hari itu, aku sedang mengatur parkir di tengah hiruk-pikuk pagi. Sepeda motor anak-anak berdesakan, dan aku, seperti biasa, mencoba menjaga agar semua tetap teratur. Namun, rasa lelah semakin terasa karena pagi itu, sekali lagi, aku sendirian. Beberapa rekan guru hanya berdiri di pinggir, mengamati tanpa sedikit pun membantu.

Rasa kesal mulai menguasai pikiranku. Aku lelah, bukan hanya karena harus mengatur parkir, tetapi karena seolah tidak ada yang merasa ini adalah tanggung jawab bersama. Aku pun akhirnya memberanikan diri untuk melontarkan candaan yang sebenarnya penuh sindiran.

“Njenengan ini pengatur parkir anak-anak atau pengamat pengatur parkir, to, Pak?” ucapku sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan nada kesal.

Namun, ternyata ucapanku itu menyinggung perasaannya. Tanpa ragu, ia menanggapinya dengan nada yang tegas, bahkan sedikit emosi.

"Kalau yang njenengan lakukan itu kebaikan, ndak usah mengusik orang lain, mau membantu atau tidak,” katanya. “Kalau ndak mau, ya sudahlah, tinggalkan. Kemari-kemarin tidak diatur pun, parkir ini tetap berjalan. Kita ini bukan untuk saling menilai."

Ia lalu menyitir ucapan seorang ustad terkenal, “Kalau sudah bisa melaksanakan sholat tahajud, jangan mengatakan orang yang sedang tidur sebagai bangkai hidup. Mereka tidur, belum tentu tidak punya niatan tahajud.”

Aku terdiam, hatiku terkejut mendengar ucapan itu. Benarkah logika itu bisa berlaku untuk situasi ini? Mengatur parkir, yang jelas merupakan tanggung jawab bersama, dianggap seperti amalan pribadi?

Aku mencoba menahan diri, tapi dalam hati ada kebingungan yang mengusik. Bagaimana bisa amalan bersama yang seharusnya ditanggung bersama dianggap setara dengan amalan pribadi? Seakan-akan mereka menyamakan tanggung jawab sosial dengan pilihan pribadi.

Keesokan harinya, aku kembali berdiri di tengah halaman parkir, seperti biasa. Namun, ada perasaan berbeda dalam diriku. 

Pikiranku masih dipenuhi oleh percakapan kemarin, tapi kini aku mencoba menanggapi semuanya dengan tenang. 

Pagi ini, aku memutuskan untuk diam dan tidak berkomentar, mengerjakan tugas yang sudah menjadi rutinitasku tanpa memedulikan siapa yang datang membantu atau hanya mengamati.

Satu per satu sepeda motor anak-anak masuk ke halaman, dan aku mengarahkan mereka dengan sabar. Pagi ini angin kota anjuk ladang (Nganjuk) terasa sejuk dan alami, apalagi di bulan agustus seperti ini, kabupaten yang dulu menjadi bagian kerajaan Dinasty Isyana raja Empu Sendok itu, terasa sejuk dan damai.

Tanpa kusadari, seorang guru lain mendekatiku dan mulai membantu mengatur. Aku terkejut dan merasa lega. Mungkin kehadiran satu orang tidak banyak mengubah kerumunan ini, tapi setidaknya aku tidak sendirian kali ini.


rasa kesal masih membekas di hati. Ucapan rekan kerjaku yang menyebutkan bahwa aku melakukan semua ini hanya untuk pencitraan, meskipun dibungkus dengan kutipan seorang ustad, membuatku merasa tak dihargai. 

Aku bukan orang sempurna, tapi selama ini aku mengabdi tanpa pernah berpikir soal pujian atau kesan baik di mata orang lain. Semuanya kulakukan demi kebaikan bersama, demi sekolah, demi anak-anak yang kutemui setiap hari.

Hari itu, aku menjalankan tugas seperti biasa, berdiri di tengah hiruk-pikuk parkiran sekolah, mengatur lalu lintas sepeda motor yang selalu penuh sesak. Tapi pikiranku berkecamuk. Apakah yang kulakukan selama ini dianggap tidak tulus? Apakah semua tenagaku yang kucurahkan dianggap hanya sebuah pencitraan?

Aku teringat percakapanku beberapa hari lalu, ketika aku dengan nada bercanda bertanya, “Njenengan ini pengamat parkir atau pengatur parkir, to, Pak?” Tidak kusangka kata-kata itu begitu menyinggungnya. Sampai-sampai ia merasa perlu menyinggung keikhlasanku. Apakah salah kalau aku berharap tugas ini dikerjakan bersama? Apakah salah kalau aku merasa lelah, dan ingin ada yang ikut terlibat?

Pikiran-pikiran ini terus berputar dalam benakku. Seiring waktu, aku mulai merasa bingung. Haruskah aku tetap berdiam diri, tetap melakukan tugasku seperti biasa, atau mungkin aku harus mencoba berbicara lagi dengannya?

Hari-hari berlalu, dan kekesalanku perlahan mulai memudar, tergantikan oleh rasa ikhlas. Aku menyadari, mungkin tidak semua orang akan memahami niatku, dan itu adalah hal yang wajar. 

Kita semua punya pandangan yang berbeda-beda. 

Jadi, aku memilih untuk menjalankan tugasku dengan hati yang lapang, tanpa berharap banyak dari orang lain.


Hari-hari berlalu, dan aku tetap menjalankan tugas di parkiran sekolah, meski perasaan campur aduk masih mengiringi. Setiap pagi, aku berdiri mengatur barisan motor, memperhatikan satu per satu anak masuk dengan senyum, tawa, kadang keluhan kecil yang keluar karena kelelahan. 

Di sela-sela itu, ada rasa kesal yang masih tersisa. Bukan sekadar karena ucapan rekan kerjaku, tapi karena aku masih merasa sendirian dalam menjalankan tanggung jawab bersama ini. Apakah begitu sulit bagi sebagian guru untuk membantu sejenak?

Suatu pagi, ketika aku sedang sibuk mengatur parkiran, rekan kerjaku yang pernah kusebut “pengamat parkir” itu datang lagi. 

Kali ini ia berdiri cukup dekat dan berkata lirih, "Jangan terlalu capek, Pak. Kesehatan itu penting."

Sekilas ucapannya terdengar peduli, namun nada suaranya terasa kering, hampir seperti ejekan. 

Aku mencoba mengabaikannya, tapi dalam hati ada perasaan terluka. Bukannya menolong, ia seolah hanya memperhatikan untuk mencari celah melihat kekuranganku. Aku hanya tersenyum tipis, tidak membalas apa pun.

Hari-hari berikutnya, ucapan-ucapan seperti itu mulai sering terdengar. Beberapa guru lain mulai ikut memberi komentar, beberapa di antaranya berkata, “Kalau memang tidak ada yang bantu, ya tinggal saja, Pak. Kan ada banyak hal lain yang bisa dikerjakan.” Komentar-komentar ini tak langsung menyinggung, tapi terasa seperti sindiran yang perlahan menusuk.

Sampai pada suatu hari, kekesalanku memuncak. Saat itu seorang guru datang terlambat dan memarkirkan motor sembarangan di depan. Ketika aku menegurnya agar memarkir sesuai barisan, ia tertawa kecil, "Wah, saya kira parkir lurus itu, hanya untuk siswa, Pak. Lagipula, saya cuma sebentar. pak"

Aku menahan diri, tapi dalam hati ada rasa marah yang kian menumpuk. Sepertinya apa yang kulakukan tidak hanya dianggap remeh, tapi juga dijadikan bahan canda. Meskipun begitu, aku berusaha tetap tenang, mengatur parkiran sesuai tugasku. Namun, diam-diam aku bertanya-tanya: seberapa lama aku bisa bertahan seperti ini?

madani news.id
Malamnya, aku merenung sendirian. Tanggung jawab ini sebenarnya adalah bagian dari kesepakatan kami sebagai guru, tapi sepertinya aku satu-satunya yang menjalankannya dengan sungguh-sungguh. 

Sebagian besar rekan kerjaku seakan memilih untuk menutup mata. Aku mulai mempertanyakan, apakah pengabdianku selama ini layak diperjuangkan jika hanya dianggap angin lalu?


Setelah sekian lama mencoba bertahan, aku akhirnya menyerah. Ternyata, aku tak sekuat baja, tak sekokoh jargon semen Gresik( kokoh tak tertandingi). Pagi itu, aku berdiri di pojokan halaman sekolah, memperhatikan kerumunan motor yang mulai berdatangan tanpa ada yang mengatur. 

Beberapa siswa kebingungan mencari tempat parkir, sebagian memarkir sembarangan di depan gerbang, membuat arus lalu lintas terhambat. Biasanya, aku sudah melangkah ke sana, mengarahkan mereka agar tertib. Tapi hari ini, aku hanya diam, menyaksikan semua itu dari jauh.

Ya, aku memutuskan berhenti. Bukan karena aku tak sanggup lagi, tapi karena aku kalah dengan omongan rekan kerjaku. Kata-kata mereka yang menyindir, seolah mengecilkan apa yang selama ini kulakukan, akhirnya benar-benar menghancurkan semangatku. 

Aku lelah melawan persepsi mereka, lelah merasa diriku sendiri yang peduli pada tanggung jawab ini. Sekarang, aku memutuskan menjadi seperti mereka—hanya sekadar hadir tanpa memedulikan hal-hal kecil seperti parkir atau antrean siswa.

majalah sunday 
Hari-hari berikutnya, aku menjadi guru yang pasif. Ketika siswa datang dan berantakan di halaman parkir, aku tetap duduk di kantor, tak lagi peduli. 

Ketika mereka berlarian dengan suara bising melewati ruang kelas, aku hanya menghela napas, lalu melanjutkan menulis atau membaca tanpa berusaha menegur. 

Ya, aku berubah menjadi guru yang paling cuek di sekolah ini. Entah bagaimana, perasaan ini menyesakkan sekaligus membuatku merasa aneh. Ada bagian dari diriku yang merasa asing dengan sikap baruku, tapi ada juga yang merasa lega, seolah beban di pundakku telah hilang.

Di sela-sela jam istirahat, aku mengamati rekan-rekanku yang dulu bersikap cuek. Aneh sekali, kini aku merasa lebih dekat dengan mereka. Mereka yang dulu hanya berdiri menonton parkiran, mereka yang memilih untuk sibuk dengan urusan sendiri—aku kini seperti mereka. 

Mereka sesekali mengajakku bercanda, tertawa bersama di ruang guru. Tak ada lagi sindiran soal keaktifan atau pencitraan. Di mata mereka, aku kini seperti “normal,” tidak menonjol seperti dulu.

detik news
Namun, ada rasa sepi yang muncul di tengah keheningan sikap baruku ini. Setiap kali melihat halaman sekolah yang kacau, melihat siswa yang kesulitan memarkir motor atau mencari tempat duduk saat apel pagi, ada dorongan dalam hatiku untuk bangkit, untuk kembali membantu, untuk terlibat. 

Tapi dorongan itu kutekan dalam-dalam. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi seperti mereka, seperti guru yang lain—yang tidak lagi mengurusi hal-hal kecil yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka.

Meski sudah mencoba menyesuaikan diri, perasaan tak nyaman tetap datang. Setiap pagi, ada saja siswa yang bertanya, “Pak, kok nggak ngatur parkir lagi?” atau yang lain berbisik, “Pak Guru sekarang sudah beda.” Kata-kata mereka menggores hatiku, seakan mengingatkan bahwa peranku yang dulu sebenarnya berarti bagi mereka.

Di tengah pergulatan batin ini, aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri, Apakah menjadi cuek adalah jalan yang benar? Apakah membiarkan semuanya berjalan tanpa keterlibatan adalah satu-satunya cara agar aku bisa merasa damai? apakah akulah kini guru pasif itu, apakah akulah kini guru tak peduli itu.

Aku tahu jawabannya, tapi untuk saat ini, biarlah semua tetap seperti ini. Aku masih mencari keberanian untuk menghadapi apa yang sebenarnya ingin kulakukan di hari kemudian.

setiap pagi kini terasa lebih kosong. Dulu, ada semangat yang mengiringi langkahku saat memasuki sekolah, ada dorongan untuk memberikan yang terbaik. 

Aku sadar, apa yang kulakukan selama ini adalah persembahan untuk Tuhanku, sebagai bentuk rasa syukur dan pengabdianku. Tapi sekarang, semua itu terasa pudar. Aku terdiam, bertanya pada diri sendiri: Kenapa aku sampai di titik ini? Kenapa aku memilih mengikuti mereka, tenggelam dalam sikap acuh yang jelas-jelas bukan aku?

radio starFM
Rasa kecewa dan kekalahan menyelimuti hatiku. Aku ingin meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat, bahwa inilah cara agar semua orang damai—tanpa aku dianggap menonjol atau dicap pencitraan. 

Tapi, semakin aku meyakinkan diri, semakin kosong perasaan ini. Ada bagian dari diriku yang seakan menolak kenyataan bahwa aku sekarang hanya berdiri sebagai penonton, seorang guru pasif yang tak lagi peduli, tak lagi berusaha memberi lebih. 

Aku membiarkan halaman parkir sekolah penuh kekacauan, para siswa kebingungan mencari tempat parkir, rekan-rekan sesekali memandang heran tapi tak berkata apa-apa, tak berbuat apa apa.

Setiap kali melihat kekacauan yang dulu biasa kutangani dengan tekun, hatiku terasa perih. Namun, entah bagaimana, dorongan untuk bangkit seolah terperangkap oleh rasa lelah dan kecewa. Aku memilih untuk masa bodoh, seolah-olah ini bukan tanggung jawabku, padahal aku tahu, di hatiku yang terdalam, ini adalah bagian dari panggilanku.

Suatu siang, seorang siswa datang menghampiriku. Dengan raut wajah polosnya, ia bertanya, "Pak, kenapa sekarang Bapak nggak bantu parkir lagi? Kalau ada Bapak, kami lebih tenang." Kata-katanya terdengar sederhana, tapi menusuk sampai ke dasar hati. Aku hanya tersenyum, menjawab sekenanya, "Bapak lagi istirahat, Nak. Mungkin nanti Bapak bantu lagi."

lovepik
Namun, setelah siswa itu pergi, ucapannya terus terngiang di kepalaku. Ada rasa bersalah yang mengalir, mengingatkanku bahwa tugasku sebagai guru bukan hanya sekadar berdiri di kelas atau memberikan nilai. 

Tugasku adalah menghadirkan rasa aman, memberikan teladan, dan bahkan mengatur parkir jika itu yang membuat para siswa lebih tenang.

Aku tahu, aku kalah dengan perkataan orang lain. Aku membiarkan komentar mereka menghancurkan niat suci yang dulu kutanamkan. Aku menyerah pada godaan untuk bersikap seperti mereka, padahal aku tahu itu salah. Namun, entah mengapa, kekalahan ini terasa begitu sulit kuhentikan.

Dalam diam, aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah ini caraku menenangkan diri? Atau apakah aku hanya melarikan diri dari tanggung jawab. dari pertanyaan hatiku itu, tak terasa buliran air mata meleleh di pipi? yaa aku ternyata bisa menangis,aku bisa merasa sedih. setiap buliran yang jatuh itu seakan menyampaiakan sebuah pertanyaan.apakah aku akan kembali membantu mereka atau mengikuti rasa pasif dan tak peduli ?

Aku belum menemukan jawabannya. Untuk saat ini, aku tetap memilih menjadi guru pasif, berpura-pura tak peduli. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu, bahwa ini bukan diriku yang sebenarnya.

Pak J : aktifis pendidikan dan sosial

 

 

 

2 komentar:

  1. Wah tulisan Pak J benar2 detail, perasaan dituliskan dengan runut hal "sederhana" menata parkir bisa enak dibaca dan saya paham dengan perasaan tokoh dalam tulisan. Becanda rekan guru berupa sindiran dan ejekan memang sering kali mematahkan semangat sangat relate dengan keseharian di sekolah. Terima kasih pak J

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggih bapak ibu matur nuwun . maunya belajar nulis cerpen, tapi hasilnya masih jauh dari katagori cerpen

      Hapus