Sebelumnya, pada 16 April 2022, seorang siswa SMP di Kabupaten Kuantan, Riau, dengan inisial AW, berusia 15 tahun, nekat membakar gedung SMPN 1 Kuantan Hilir. Tindakan ini diduga dipicu rasa kesal setelah ditegur dan dimarahi oleh gurunya karena makan di dalam kelas, sebagaimana diberitakan oleh Tribunnews.
Di Langkat, Sumatera Utara, pada Sabtu 5 Oktober 2024, seorang santri di Pesantren An Nur dilaporkan membakar seorang guru atau pengurus pesantren, bernama Aurizky, yang mengalami luka bakar hingga 60%. Insiden ini terjadi akibat sakit hati karena sering dihukum dan dibully oleh pengurus.
Selain itu, kasus kriminalisasi guru juga terjadi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Supriyani, seorang guru honorer yang telah mengabdi selama 16 tahun di SDN 4 Baito, ditahan selama satu minggu pada 24 April 2024. Ia dituduh melakukan kekerasan terhadap seorang siswa yang merupakan anak dari seorang aparat.
Kekejaman Siswa Terhadap Guru dan Sekolah
Kasus pembakaran motor kepala sekolah di Rangsang Pesisir, Riau, oleh siswa yang tidak terima karena dipanggil orang tuanya, serta tindakan siswa SMP di Kuantan yang nekat membakar sekolahnya sendiri setelah ditegur, menunjukkan betapa rapuhnya disiplin dan rasa hormat murid terhadap otoritas pendidikan.
Demikian pula dengan insiden santri yang membakar pengurus pondok pesantren karena sakit hati dihukum. Semua ini mencerminkan krisis dalam pendidikan karakter. Tindakan-tindakan seperti ini tentu tidak bisa dianggap sepele, dan pemerintah seharusnya menyiapkan strategi jangka panjang yang lebih solid dalam mendidik sikap disiplin, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap guru.
Kriminalisasi Guru
Kasus ini bukan hanya menyakitkan bagi beliau, tapi juga menjadi preseden buruk bahwa guru bisa dengan mudah dikriminalisasi hanya karena menjalankan tugas mendidik.
Peristiwa ini memperlihatkan bahwa sistem hukum dan aturan di negeri ini belum memadai dalam melindungi guru yang bertugas mendisiplinkan siswa demi kebaikan mereka sendiri dan anak bangsa pada umumnya.
Perlindungan Bagi Guru
Apa yang dialami oleh Supriyani adalah bukti nyata bahwa negara belum serius memberikan perlindungan kepada guru. Mereka disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", tetapi ketika menghadapi permasalahan seperti ini, dukungan pemerintah nyaris tak terlihat ada.
Ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk merumuskan peraturan atau undang-undang yang secara khusus melindungi guru dari kriminalisasi ketika mendidik atau mendisiplinkan siswa, asalkan sesuai dengan etika dan prosedur yang berlaku.
Peran Pemerintah
Perlindungan Hukum: Membuat payung hukum khusus untuk melindungi guru dalam menjalankan tugas mereka. Jika seorang guru terlibat masalah dengan siswa, proses hukumnya perlu disertai dengan mekanisme mediasi yang adil.
Penguatan Pendidikan Karakter: Pemerintah, sekolah, dan orang tua di rumah, harus bekerja sama memperkuat pendidikan karakter yang menekankan hormat, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Pertanyaan besarnya Beranikah guru mendidik disiplin siswa, membenahi akhlaq mereka dengan tanpa perlindungan ?
Sistem Pengawasan Ketat: Setiap kasus kekerasan yang melibatkan siswa dan guru perlu dievaluasi dan ditangani dengan profesional. Pemerintah harus memastikan bahwa pelanggaran seperti kriminalisasi guru yang terjadi di Konawe dan sebelum nya tidak terulang.
Ketika sistem pendidikan tidak memberi perlindungan kepada guru, ini adalah peringatan bahwa reformasi besar diperlukan. Kita butuh solusi dari pemerintah yang menyeluruh dan berani untuk melindungi guru, memperkuat pendidikan karakter, serta menjaga martabat dan kehormatan tenaga pendidik yang berjuang untuk membentuk generasi penerus bangsa.
sudah waktunya guru pai menjadi bagian konselor sekolah di bidang akhlaq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar