Jumat, 28 Februari 2025

KETIKA BULAN ITU, TAK LAGI MAMPU MERUBAH DIRIMU ?

Ramadhan adalah sekolah alam, tempat manusia dididik langsung oleh ritme kehidupan yang mengajarkan makna kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan. Ia bukan sekadar bulan ibadah, tetapi laboratorium jiwa, tempat setiap individu ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Alam Sebagai Guru Kesabaran

Saat panas menyengat dan tubuh lelah karena lapar dan dahaga, Ramadhan mengajarkan bahwa sabar bukan hanya tentang menahan diri, tetapi tentang menerima ketidaknyamanan dengan lapang dada. Seperti pohon yang tetap berdiri kokoh meski diterpa badai, manusia yang ditempa Ramadhan akan belajar mengakar kuat dalam keteguhan hati.

Rasa Lapar yang Menumbuhkan Empati


Ketika perut kosong, Ramadhan mengajak manusia merasakan derita orang-orang yang kekurangan. Ini adalah pelajaran empati yang tak bisa diajarkan di ruang kelas. Melalui rasa lapar, Ramadhan membangunkan hati yang tertidur — menyadarkan bahwa di luar sana ada yang menahan perih setiap hari tanpa tahu kapan berbuka.

Keheningan yang Mengasah Kejujuran

Di tengah sunyi, ketika tak ada yang melihat, puasa menjadi latihan kejujuran yang murni. Tidak ada pengawas, tidak ada sanksi duniawi. Ini mengajarkan bahwa integritas adalah tentang melakukan yang benar, meskipun tidak ada yang menyaksikan. Sebuah pelajaran penting untuk membangun karakter yang berlandaskan moralitas.

Alam Mengajarkan Rasa Syukur

Ketika langit senja menyambut waktu berbuka, Ramadhan mengingatkan bahwa nikmat sekecil apa pun layak disyukuri. Seteguk air menjadi berharga, sebutir kurma terasa luar biasa. Alam mengajarkan bahwa manusia sering lupa menghargai yang sederhana, dan Ramadhan mengembalikan kesadaran itu.

Membentuk Akhlak Mulia Melalui Kontemplasi

Ramadhan menyediakan ruang untuk merenung — mengajak manusia berkaca pada diri sendiri. Dalam keheningan malam, ketika sujud terasa lebih dalam, manusia dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sudahkah aku menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih pemaaf, lebih penuh kasih sayang?

Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?

Kalau di bulan Ramadhan yang penuh rahmat dan kemudahan untuk menjadi baik seperti ini manusia tidak mampu berubah menjadi lebih baik, di bulan seperti apakah mereka akan berubah? Ketika setan dibelenggu, pintu surga dibuka, dan setiap amal dilipatgandakan, namun hati tetap keras dan lisan tetap kasar — apakah masih ada waktu yang lebih tepat untuk memperbaiki diri?

Kelulusan dari Sekolah Ramadhan

Lulus dari sekolah ini bukan tentang berapa banyak ibadah yang dilakukan, melainkan sejauh mana karakter dan akhlak membaik setelahnya. Apakah kesabaran bertahan setelah Ramadhan pergi? Apakah empati tetap hidup saat tak lagi berpuasa? Inilah indikator keberhasilan sesungguhnya.

Ramadhan adalah guru yang tak pernah lelah mengajarkan kebaikan. Alam menjadi ruang kelasnya, dan kehidupan menjadi kurikulumnya. Tinggal bagaimana kita — sebagai murid — memilih: belajar dengan sungguh-sungguh, atau sekadar melewatinya sebagai rutinitas tahunan.

KETIKA JABATAN MENUMPULKAN EMPATI

Menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan atau kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Ibadah dan keimanan seorang pemimpin akan kehilangan makna jika tangan yang seharusnya menolong justru abai terhadap penderitaan bawahan. Apa artinya mengaku dekat dengan Tuhan, tetapi membiarkan karyawan hidup dalam kesusahan? Apa gunanya berdoa, jika anak buah tak pernah tersenyum bahagia karena beban yang tak kunjung ringan?

Pemimpin sejati adalah mereka yang hadir untuk menyejahterakan, bukan sekadar mengumpulkan pujian. Jika ada rekan seperjuangan yang meninggal dunia saja tak peduli, lalu untuk apa memimpin? Kepemimpinan semacam itu bukanlah tentang kebijaksanaan, tetapi hanya tentang kepentingan pribadi — sekadar menjadi bijaksini, bukan bijaksana.

Ketulusan seorang pemimpin tercermin dari tindakannya, bukan ucapannya. Pemimpin yang hanya berbuat baik saat ada kamera, yang membantu hanya saat ada sorotan media, sebenarnya bukan mengabdi pada rakyat, tetapi pada pencitraan. Mereka bertuhan pada kebohongan, beriman pada puja-puji, dan beribadah demi tepuk tangan manusia.

Pemimpin yang benar-benar beriman akan peka terhadap derita sesama. Ia akan berjuang agar rakyatnya hidup layak, karyawannya sejahtera, dan masyarakat merasakan kehadiran pemimpin yang peduli. Sebab, pada akhirnya, kemuliaan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa tinggi posisinya, melainkan seberapa besar manfaat yang ia tebarkan.

Mari kita renungkan: apakah kita memilih pemimpin yang membawa maslahat atau yang sekadar menjual citra? Karena kepemimpinan yang berkah adalah kepemimpinan yang membawa kebaikan bagi banyak orang, bukan hanya keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya.

Selasa, 25 Februari 2025

MEMBONGKAR NARASI PALSU SERAT GATOLOCO

Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri pada abad ke-12, terdapat sosok senopati bernama Tunggul Wulung, yang bersama rekannya, Buta Locaya, mengabdikan diri untuk menjaga kerajaan. 


Setelah Jayabaya moksa, keduanya dipercaya menjaga kawasan penting: Buta Locaya menjaga Selabale (gua Selomangleng), sementara Tunggul Wulung menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak membahayakan warga sekitar.

Namun, ada sosok lain yang memiliki nama serupa, yaitu Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Ia hidup pada abad ke-19 dan memiliki perjalanan hidup yang unik. Berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, ia bernama asli Kiai Ngabdullah atau Raden Tandakusuma, anak dari selir Raden Ngabehi Atmasudirdja. 




Karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830) memusuhi diponegoro atau di pihak belanda, ia melarikan diri dan menjadi rakyat biasa, hidup bertapa di lereng Gunung Kelud.

Dalam pertapaannya, Ibrahim Tunggul Wulung mengaku menemukan secarik kertas berisi Sepuluh Perintah tuhan yang kemudian mengarahkan dirinya untuk mendalami agama Kristen. 

Ia akhirnya dibaptis pada tahun 1855 oleh Jellesma di Mojowarno. Namun, keterlibatannya dengan Belanda tidak berhenti di situ.

Ia juga diberi tugas untuk menyusun Serat Gatoloco, sebuah naskah yang dianggap sebagai rekayasa sejarah untuk mendukung narasi kolonial Belanda.

Serat Gatoloco mengandung kisah yang memutarbalikkan sejarah, menyebut bahwa Raden Patah, raja pertama Demak, memberontak melawan ayahnya yang berkuasa di Majapahit. Padahal, berdasarkan catatan sejarah yang lebih kredibel, Majapahit runtuh bukan karena serangan Raden Patah, melainkan akibat serangan Raja Girindra Wardana dari Kerajaan Hindu Kediri. Ini menjadi bagian dari strategi Belanda untuk memecah belah semangat juang rakyat Jawa dengan mengaburkan fakta sejarah.

Ibrahim Tunggul Wulung, meskipun dikenal sebagai penginjil pribumi, menjadi alat politik Belanda dalam menyebarkan narasi-narasi yang menguntungkan kolonialisme. Keterlibatannya ini menjadi ironi besar, di mana sosok yang semula mencari kebenaran justru terjerat dalam propaganda penjajah. Namun, kisah ini menjadi pengingat bahwa sejarah perlu dilihat dengan kritis, dan warisan leluhur harus dijaga agar tidak tergeser oleh narasi yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kebenaran.

PAK  J .

Selasa, 18 Februari 2025

KETIKA PEMIMPIN MENYURUH RAKYAT NYA MINGGAT ? Oleh Pak J

Sungguh memprihatinkan! Seorang menteri dengan enteng mengatakan, "Kabur sajalah kalau perlu, jangan balik lagi!" Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap tagar #KaburAjadulu—sebuah gerakan yang menggambarkan kekecewaan anak muda terhadap kondisi di negeri ini.


Alih-alih mendengar aspirasi, pemerintah justru merespons dengan ketus, seakan-akan anak muda tak punya hak untuk mengeluh. Mereka lupa bahwa pemuda adalah penerus bangsa. Jika mereka lebih memilih pergi ke luar negeri untuk mencari masa depan yang lebih baik, bukankah itu alarm keras bahwa ada yang tidak beres di dalam negeri?


Ketika para guru di Indonesia sibuk, berjibaku berjuang mendidik generasi muda agar mereka bisa mengelola sumber daya alam negeri sendiri, justru ada pemimpin yang dengan enteng berkata: "Kabur sajalah kalau perlu, jangan balik lagi!". Pernyataan ini bukan hanya melukai perasaan anak muda, tapi juga menunjukkan betapa jauhnya jarak antara pemerintah dan rakyatnya.

Jika pemimpin benar-benar peduli, seharusnya mereka mencari solusi, bukan justru menyuruh pergi.

Inilah akibat ketika pemimpin lebih memilih menjadi bijaksini (rakus) daripada bijaksana (berbagi). Pemimpin yang bijaksini hanya memikirkan kepentingan sendiri. Mereka memastikan kekuasaan tetap dalam genggaman keluarga, anak-anak dan menantunya diberi jabatan, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Kata-kata mereka mungkin terdengar baik, tetapi di telinga rakyat, itu hanyalah kebohongan yang menyakitkan.

Pemimpin yang benar-benar bijaksana tidak akan menyuruh rakyatnya pergi. Sebaliknya, ia akan menciptakan kondisi agar mereka mau bertahan, bekerja, dan membangun negeri ini bersama. Pemimpin yang baik akan mendengar, memahami, dan mencari solusi.

Jadi, jika hari ini banyak anak muda yang ingin pergi, jangan salahkan mereka. Salahkan pemimpin yang membuat mereka merasa tak punya harapan di negeri sendiri.

Pak J

Senin, 17 Februari 2025

JODOH DI TANGAN TUHAN, TAPI USIA LEBIH 30 TAHUN TUHAN LEPAS TANGAN ? oleh pak J


gamabar dari dian tri hartati
c
inta itu baik. Cinta itu universal. Cinta adalah obat yang menyembuhkan luka dan menenangkan jiwa. Cinta juga mengajarkan kita untuk tidak sombong—bahwa sehebat apapun manusia, tetap membutuhkan orang lain.

Namun, mengapa masih banyak orang yang enggan menikah?

Ada yang berkata, "Jodoh itu di tangan Tuhan." Benar. Tapi jika di usia 30-an kita masih sendiri, mungkinkah Tuhan sudah lepas tangan?  Tentu jawaban nya tentu Tidak. Tuhan tidak pernah lepas tangan. Namun, bisa jadi kita sendiri yang terlalu menggenggam ketakutan.





Ketakutan yang Tidak Disadari

Sering kali, seseorang tidak segera menikah bukan karena tak ada jodoh, tetapi karena ada tembok tinggi yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Tembok itu  berupa:

Takut gagal – Melihat pernikahan yang tidak harmonis di sekitar membuat sebagian orang berpikir, "Daripada gagal, lebih baik sendiri."

Takut kehilangan kebebasan – Menikah berarti berbagi hidup dengan orang lain. Tidak bisa lagi semaunya sendiri.

Takut tidak siap secara finansial – Menikah dianggap sebagai beban ekonomi, padahal rezeki bukan hanya soal materi.

Takut memilih orang yang salah – Ini sering terjadi karena terlalu banyak ekspektasi dan standar yang kadang tidak realistis.

Semua ketakutan itu bisa dimaklumi. Tapi ingat, ketakutan bukan untuk dipelihara. Ketakutan harus dikalahkan dengan keberanian.

Jodoh Itu Takdir, Tapi Bukan Sekadar Menunggu


Menunggu jodoh tanpa usaha sama seperti menunggu hujan tapi tak pernah menengadahkan tangan untuk merasakan sejuknya tetesan hujan. Tuhan memang menentukan jodoh, tapi Tuhan juga menyuruh manusia untuk tidak masa bodoh.

Orang yang ingin sukses dalam karier, belajar dan bekerja keras. Orang yang ingin sehat, menjaga pola makan dan olahraga. Maka, orang yang ingin menikah juga perlu membuka hati, mengenali kesempatan, dan berani melangkah untuk mewujudkan.

Jangan terjebak dalam pemikiran bahwa jodoh akan datang sendiri tanpa ada usaha. Bisa jadi jodohmu sudah ada di dekatmu, tapi tertutup oleh tembok ketakutan yang kamu bangun sendiri.

Menikah Itu Bukan Sekadar keinginan , Tapi Ladang Kebaikan

Pernikahan bukan hanya tentang mendapatkan pasangan hidup, tetapi juga tentang menemukan teman berbagi, sahabat berjuang, dan partner menuju kebaikan. Menikah adalah ibadah, salah satu cara untuk belajar kesabaran, keikhlasan, dan kebersamaan.

Tidak ada pernikahan yang sempurna. Tidak ada pasangan yang tanpa kekurangan. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah cinta bekerja,saling menerima, saling memperbaiki, dan saling menguatkan. asyiiik hahahahaha

Jika Masih Ragu, Tanyakan Pada Diri Sendiri

Sampai kapan ingin sendiri? 
Apa yang benar-benar kamu takutkan?

Sudahkah kamu memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bertemu seseorang yang bisa jadi jodohmu?

Apa yang akan kamu rasakan di usia tua jika tetap memilih sendiri?

Menikah bukan kewajiban mutlak, tapi jika kamu merasa ada keinginan di hati, jangan biarkan ketakutan mengalahkan kebahagiaan yang bisa kamu raih.

Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi usaha ada di tangan kita. Tuhan tidak akan pernah lepas tangan. Namun, jangan sampai kita yang sengaja menarik tangan kita dari takdir baik yang telah Tuhan siapkan.

Beranilah membuka hati, beranilah melangkah. Karena cinta bukan hanya tentang menemukan, tapi juga tentang diperjuangkan. 

Pak J

Rabu, 12 Februari 2025

ANTARA AMANAH DAN AMBISI.



Menjadi seorang pemimpin itu sebenarnya tidak sulit. Tidak perlu teori yang rumit atau strategi yang berbelit-belit. Jika seorang pemimpin benar-benar berpegang pada tiga prinsip sederhana ini, maka kepemimpinannya akan berjalan lurus dan penuh keberkahan:

  1. Jangan mengambil yang bukan haknya.
  2. Penuhi janji yang sudah diucapkan saat kampanye. Atau janji saat belum terpilih. baik lisan atau tulisan.
  3. Jangan membuat program di luar janji kampanye. janji yang di lontarkan

Tiga hal ini terdengar mudah, tetapi justru di sinilah ujian terbesar seorang pemimpin itu. baik presiden Bupati Gubernur Ketua Yayasan, pejabat, Rektor, kepala sekolah, pimpinan perusahaan RT,RW Lurah dan lain lain.

Mari kita lihat realitas di sekitar kita. Betapa sering kita melihat pemimpin yang begitu semangat berjanji sebelum terpilih, tetapi setelah berkuasa, janji-janji itu lenyap seperti kabut pagi. Mereka beralasan kondisi tidak memungkinkan, anggaran kurang, atau tiba-tiba punya "visi besar" yang tak pernah disebutkan saat kampanye.

Yang lebih parah, ada pemimpin yang justru lebih sibuk dengan program-program baru yang tidak pernah dijanjikan sebelumnya. Program ini sering kali bukan untuk rakyat, melainkan untuk ambisinya sendiri. Ia ingin meninggalkan "legacy," ingin dianggap visioner, ingin dikenang. Padahal, dalam prosesnya, rakyat justru menjadi korban. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk janji-janji kampanye malah terserap ke proyek ambisius yang belum tentu dibutuhkan.

Inilah yang disebut belenggu ambisi. Seorang pemimpin yang awalnya dipilih karena janji-janji yang realistis, tiba-tiba terjebak dalam keinginan pribadinya sendiri. Ia ingin membangun sesuatu yang besar, sesuatu yang membuatnya dikenang, tetapi melupakan tugas utamanya: menepati janji kepada rakyat.

Kepemimpinan sejati bukan soal seberapa besar proyek yang ditinggalkan, melainkan seberapa besar kepercayaan rakyat yang tetap terjaga hingga akhir masa jabatan. Jika ingin menjadi pemimpin yang dihormati, cukup lakukan tiga hal tadi: jangan korupsi, tepati janji, dan jangan keluar jalur. Sesederhana itu, sesulit itu, menjadi orang nomor satu di bidang apapun..

Senin, 13 Januari 2025

PAGAR MAKAN LAUTAN ITU ULAH SIAPA

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan munculnya pagar laut di wilayah pesisir Tangerang. Keberadaan pagar ini menuai pertanyaan: untuk apa pagar laut itu? Atas izin siapa pembangunannya dilakukan? Apa urgensinya? Dan yang paling menggelitik, mengapa tidak ada pengawasan yang memadai hingga sebuah struktur yang menghalangi akses laut bisa berdiri tanpa sorotan?


Pagar untuk Siapa?

Pagar laut ini, yang kabarnya membentang cukup panjang di perairan Tangerang, menjadi perhatian karena posisinya yang strategis namun justru menghalangi akses nelayan lokal. Laut adalah sumber penghidupan bagi ribuan keluarga nelayan, dan pagar ini tampaknya seperti “batas tak kasat mata” yang membatasi mereka dari mata pencaharian utama. Apakah pagar ini memang sengaja dibangun untuk meminggirkan nelayan kecil? Jika iya, ini jelas bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin hak rakyat atas akses sumber daya alam.

Pertanyaan krusial berikutnya adalah: Siapa yang mengizinkan pembangunan ini? Apakah ada perizinan resmi dari pemerintah daerah, kementerian terkait, atau institusi hukum yang berwenang? Jika izin memang ada, maka publik berhak mengetahui detail alasan dan tujuan di balik pembangunan pagar tersebut. Jika tidak ada izin, maka ini adalah pelanggaran serius terhadap tata kelola ruang laut yang seharusnya diatur dengan ketat.


Pagar laut, jika ditinjau dari urgensinya, perlu memiliki alasan kuat untuk keberadaannya. Biasanya, pagar seperti ini dibangun untuk alasan keamanan, misalnya menjaga wilayah dari aktivitas ilegal, seperti penyelundupan atau penangkapan ikan secara destruktif. Namun, jika urgensinya hanya untuk kepentingan tertentu, seperti melindungi properti swasta atau proyek komersial, hal ini harus dipertanyakan.

Di sisi lain, wilayah perairan Tangerang dikenal sebagai area tangkapan ikan penting bagi nelayan kecil. Apakah urgensi pagar ini sebanding dengan dampak negatifnya bagi masyarakat pesisir? Apakah nelayan akan diberi alternatif untuk tetap melaut tanpa halangan? Atau justru pagar ini menjadi simbol eksklusivitas, di mana laut seolah-olah dimiliki oleh segelintir pihak?


Keberadaan pagar ini juga mencerminkan minimnya pengawasan terhadap wilayah pesisir dan laut. Seharusnya, setiap aktivitas yang memodifikasi wilayah perairan mendapat pengawasan ketat dari pihak terkait, termasuk pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Namun, fakta bahwa pagar ini bisa dibangun tanpa diketahui publik menunjukkan ada celah besar dalam tata kelola ruang laut kita.

Apakah ini kelalaian atau ada unsur kesengajaan untuk membiarkan pihak tertentu berbuat semena-mena? Transparansi adalah kunci di sini. Masyarakat berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini dan apa konsekuensinya bagi ekosistem laut dan nelayan.

Memagari Nelayan?

Pertanyaan terakhir, apakah pagar ini sengaja dibuat untuk memagari nelayan agar tidak melaut? Jika benar, ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang tidak bisa dibiarkan. Nelayan kecil sudah menghadapi banyak tantangan, seperti cuaca ekstrem, naiknya harga bahan bakar, hingga persaingan dengan kapal besar. Menambah beban mereka dengan membangun pagar yang membatasi akses ke laut adalah keputusan yang tidak berperikemanusiaan.

Laut adalah milik bersama, dan membangun pagar yang membatasi akses tanpa konsultasi publik adalah bentuk monopoli yang melanggar prinsip keadilan sosial. Nelayan adalah garda terdepan dalam menjaga ekosistem laut. Justru mereka yang harus diberdayakan, bukan dipinggirkan.


Pemerintah dan lembaga terkait harus segera bertindak. Pertama, harus ada audit menyeluruh terkait keberadaan pagar laut ini: siapa pembangunnya, untuk apa, dan bagaimana izin diperoleh. Kedua, jika ditemukan pelanggaran hukum, maka pihak yang bertanggung jawab harus diberi sanksi tegas. Ketiga, nelayan lokal harus dilibatkan dalam setiap kebijakan yang memengaruhi akses mereka ke laut.

Pagar laut di Tangerang adalah cermin buruknya tata kelola ruang laut di Indonesia. Jika dibiarkan, kasus ini bisa menjadi preseden bagi eksploitasi wilayah pesisir di tempat lain. Kita tidak boleh tinggal diam. Keadilan bagi nelayan kecil harus diperjuangkan, dan laut harus tetap menjadi milik bersama, bukan segelintir pihak.

Rabu, 01 Januari 2025

MENGUBAH HARAPAN JADI KENYATAAN, MEWUJUDKAN MIMPI JADI BERARTI.


S
etiap pergantian tahun adalah fenomena biasa. Matahari terbit, bumi berputar pada porosnya, dan hari berganti.

Namun, mengapa begitu banyak orang menyambut tahun baru dengan gegap gempita, pesta meriah, hingga petasan yang membakar uang? Bukankah hal serupa juga terjadi setiap malam ketika kita menyambut esok hari? 

Lalu, apa yang membuat malam tahun baru begitu istimewa?

Baca juga : Berangkat dari puing cerita 2024.



Sebagian besar dari kita merayakan tahun baru bukan karena memahami maknanya, tetapi karena mengikuti tradisi. Dari generasi ke generasi, tahun baru identik dengan euforia, pesta, dan kemeriahan. Namun, seringkali kita lupa bahwa setiap perayaan seharusnya memiliki esensi. Jika hanya sebatas hiburan semata, apa yang kita rayakan sebenarnya?
Susu terapi sehat untuk lambung kolesterol dan diabet order 089521328467

Dalam kesibukan menyusun resolusi atau mempersiapkan kembang api, kita sering melupakan inti dari pergantian tahun: "introspeksi". Tahun baru menawarkan kita ruang untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sudah aku capai? Apakah aku telah menjadi pribadi yang lebih baik? Apa yang perlu aku perbaiki?” Tanpa refleksi, perayaan hanyalah ritual kosong.

Apa yang Membuatnya Penting?

Tahun 2025 mungkin tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dunia akan tetap menghadapi tantangan: perubahan iklim, krisis sosial, ketimpangan ekonomi, dan konflik kemanusiaan. 


Namun, apa yang membuat tahun ini berbeda adalah pilihan kita untuk menjadikannya lebih bermakna. 



Alih-alih pesta yang berlebihan, mengapa tidak menjadikan tahun baru sebagai titik awal untuk peduli lebih banyak, berbagi lebih luas, dan bertindak lebih bijak?

Bayangkan jika perayaan tahun baru diisi dengan aksi nyata. Daripada membeli petasan, kita menyumbangkan dana untuk pendidikan anak-anak yang kurang mampu. 

Alih-alih berpesta hingga larut malam, kita menghabiskan waktu bersama keluarga, berbicara tentang harapan dan rencana untuk masa depan. 

Bukan berarti perayaan dilarang, tetapi bagaimana jika kita memberi makna lebih besar pada setiap dentuman kembang api yang kita lihat? Bagaimana jika kita merancang mewujudkan mimpi jadi lebih berarti?

bramgore asli tanpa MSG sehat dan enak. order hub 089521328467

Pergantian tahun hanyalah momen biasa dalam siklus alam semesta. Seharusnya tidak hanya di syukuri setiap tahun, tapi setiap hari. Namun, bagi manusia, ini adalah peluang luar biasa untuk berhenti sejenak, merenung, dan melangkah ke depan dengan semangat baru,motivasi baru.dan menciptakan peluang baru. 

Jangan biarkan tahun baru berlalu sebagai euforia sesaat. Jadikanlah ia sebagai awal untuk perjalanan yang lebih bermakna, tidak hanya untuk diri kita, tetapi juga bagi orang-orang di sekitar kita.

Tahun baru adalah waktu untuk bertanya: “Apakah aku sudah cukup berkontribusi untuk dunia ini? untuk agama Islam kami?, untuk keluarga kami dan diri sendiri?” Jika jawabannya belum, maka 2025 adalah kesempatan emas untuk memulai.
Tetapkan 2025 untuk meraih cita  mewujudkan mimpi dan waktu untuk berbenah diri.

Pak J

Senin, 30 Desember 2024

BERANGKAT DARI PUING CERITA 2024, MEMBANGUN LANGKAH BESAR DI 2025.

Tak terasa, perjalanan waktu telah membawa kita di batas waktu 2024. Setiap langkah yang terjejak selama 12 bulan terakhir menjadi kisah yang sarat makna. Ada tawa, ada air mata; ada kemenangan, ada pula pelajaran dari kegagalan. Tahun ini telah memberi warna kehidupan yang tak ternilai, menjadi guru yang tanpa lelah mengajarkan arti perjuangan dan harapan.

Namun alangkah indahnya jika sejenak menoleh ke belakang, mengurai peristiwa yang telah berlalu.

Keberhasilan yang Patut Disyukuri Semua pencapaian besar atau kecil telah menjadi bukti nyata dari usaha dan doa yang tidak pernah berhenti. Apakah itu keberhasilan pribadi, keluarga, pekerjaan, atau komunitas, semuanya adalah pilar yang membangun pondasi masa depan. 

Kegagalan sebagai Guru KehidupanKegagalan, meski pahit, telah mengajarkan kita tentang ketangguhan. Ia memaksa kita untuk belajar lebih dalam, menggali potensi yang selama ini tersembunyi. Justru di sanalah lahir tekad untuk bangkit, mencoba lagi, dan akhirnya menemukan jalan yang lebih baik. 

Kebahagiaan yang MenguatkanKebahagiaan tak hanya hadir dalam momen besar, tapi juga dalam keseharian: senyum orang terkasih, keberadaan teman yang setia, atau rasa syukur atas nikmat sederhana. Semua itu mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati ada dalam hati yang penuh rasa syukur. 

Kesedihan yang Mempertebal Empati Di tengah kehilangan atau kekecewaan, kita belajar tentang pentingnya berbagi, mendengar, dan menguatkan sesama. Kesedihan menjadi pengingat bahwa hidup ini penuh misteri, dan kita tak pernah sendiri dalam perjuangan.

 Apa yang Perlu Kita Siapkan?

Refleksi Jujur Lihat kembali perjalanan ini dengan kejujuran. Apa yang sudah tercapai? Apa yang masih harus diperbaiki? Pertanyaan ini menjadi dasar untuk membuat rencana yang lebih matang.

Menetapkan PrioritasTidak semua hal bisa dicapai dalam waktu bersamaan. Pilih apa yang benar-benar penting untuk diri sendiri dan orang-orang terkasih. 

Mimpi dan Target yang Realistis Tetapkan mimpi besar, tapi pecahlah menjadi langkah-langkah kecil yang realistis. Buat target yang bisa diukur sehingga perjalanan menuju mimpi terasa lebih terarah. 

Keseimbangan dalam Kehidupan Jangan hanya fokus pada pekerjaan atau pencapaian materi. Jaga kesehatan fisik, emosional, dan spiritual sebagai kunci untuk menjalani kehidupan yang berkualitas. 

Perbaiki Relasi Tahun baru adalah kesempatan untuk mempererat hubungan dengan keluarga, teman, dan rekan kerja. Jadikan komunikasi yang lebih baik sebagai salah satu resolusi utama.

 Mewujudkan Mimpi? 

Disiplin dan Konsistensi Setiap tujuan membutuhkan tindakan nyata. Disiplin adalah jembatan antara mimpi dan kenyataan. 

Belajar dari Masa Lalu Gunakan kesalahan sebagai pijakan untuk melangkah lebih baik. Jangan biarkan masa lalu menghambat, tapi jadikan ia kekuatan

Berani Berubah Tidak ada kemajuan tanpa keberanian untuk meninggalkan zona nyaman. Tantang diri untuk mencoba hal-hal baru

Kolaborasi dan Dukungan Jangan ragu untuk meminta bantuan atau belajar dari orang lain. Bersama, mimpi menjadi lebih mungkin diwujudkan.

Saat kita menutup tirai 2024, ini adalah momen untuk bersyukur atas semua yang telah berlalu. Bersiaplah menyongsong 2025 dengan hati yang penuh harapan dan keyakinan. Kita tidak tahu apa yang akan datang, tapi kita tahu bahwa dengan usaha dan doa, semua bisa menjadi lebih baik.

Selamat menyambut periode waktu baru. Semoga perjalanan berikutnya membawa lebih banyak cahaya, cinta, dan keberkahan dalam hidup kita.

Senin, 23 Desember 2024

LENGSER DENGAN TERHORMAT ATAU TETAP SERAKAH DENGAN AMBISI?

Sejarah adalah cermin besar yang membantu kita memahami masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik. Jika kita mengamati pola kehidupan para pemimpin Nusantara, ada satu tradisi yang menarik perhatian: banyak raja yang setelah lengser dari kekuasaannya memilih jalan mandito atau menyepi, meninggalkan gemerlap duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan merenungi kehidupan. Tradisi ini tidak hanya memperlihatkan kebesaran jiwa mereka, tetapi juga mengajarkan kita tentang makna sejati dari kekuasaan sebagai amanah, bukan sekadar gengsi atau ambisi.

Hal yang sama tercermin pada Presiden kedua dan ke tiga Republik Indonesia, Soeharto dan pak Habibi. Setelah masa baktinya berakhir, ia memilih untuk tidak lagi terlibat dalam hiruk-pikuk politik praktis. Meski warisan pemerintahannya masih menjadi bahan perdebatan, ia memahami batas bahwa setelah lengser, tugasnya sebagai kepala negara selesai. Sikap ini, bagaimanapun, menyiratkan penghormatan pada tata krama demokrasi Prilaku bijak yang bersangkutan.


Namun, ada fenomena baru yang menyimpang dari tradisi tersebut. Di era modern ini, kita menyaksikan seorang pemimpin yang, alih-alih menyepi, justru terkesan enggan meninggalkan panggung kekuasaan. Permintaan untuk melanjutkan kepemimpinan hingga tiga periode menjadi tanda tanya besar, mengingat semangat reformasi tahun 1998 yang mengamanatkan pembatasan masa jabatan presiden demi mencegah kekuasaan absolut. Belum lagi, langkah aktif mantan pemimpin yang ikut berkampanye mendukung calon tertentu pasca-jabatannya menunjukkan kecenderungan politik yang mencolok.

Apakah ini sesuai dengan nilai demokrasi yang dianut Indonesia? Apakah ini menjadi contoh baik bagi generasi mendatang tentang cara seorang pemimpin menghormati amanah dan mengakhiri masa pengabdiannya?


Kepemimpinan bukan sekadar jabatan, melainkan amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan, lebih dari itu, kepada Tuhan. Masa jabatan yang terbatas seharusnya dimaknai sebagai kesempatan untuk memberikan yang terbaik dalam rentang waktu yang ada. Meminta tambahan periode, terlebih ketika sudah ada aturan tegas, berpotensi melukai prinsip dasar demokrasi dan menimbulkan preseden buruk.

Di sisi lain, keterlibatan aktif mantan pemimpin dalam kontestasi politik pasca-jabatan dapat mengaburkan posisi netral yang seharusnya dimiliki. Sebagai tokoh bangsa, peran mereka seharusnya menjadi penjaga moral, pengayom, dan penasihat yang tidak berpihak, bukan sebagai pendukung salah satu pihak.


Kearifan para raja Nusantara yang memilih menjadi mandito ratu usai berkuasa menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki siklus yang jelas: datang, memimpin, lalu pergi dengan tenang. Mereka memahami bahwa dunia ini fana, dan kekuasaan hanyalah titipan sementara.

Para pendahulu republik juga memberikan contoh yang sama. Presiden pertama, Soekarno, meski dipaksa mundur, tidak lagi aktif dalam politik setelah lengser. Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati, meskipun tetap aktif dalam partai politik, tidak pernah menunjukkan keinginan untuk kembali ke kursi presiden setelah selesai menjabat.


Jika kita terus-menerus membiarkan ambisi kekuasaan melampaui etika demokrasi, kita berisiko kehilangan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Masa jabatan yang terbatas dan sikap menghormati aturan setelah lengser adalah fondasi penting bagi keberlangsungan demokrasi.

Sudah saatnya bangsa ini belajar dari sejarah dan mengambil pelajaran berharga tentang kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melepaskan jabatan dengan hati lapang, mengutamakan masa depan bangsa di atas kepentingan pribadi, serta memberikan contoh kebesaran jiwa yang inspiratif bagi rakyatnya.

Sejarah telah mencatat, dan kita sebagai bangsa harus menentukan apakah ingin menjadi bagian dari warisan kebijaksanaan atau malah mengulang kesalahan yang sama. Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pemimpin, dan pemimpin besar adalah mereka yang tahu kapan harus berhenti.

Nganjuk 24 Des2024
PAK J aktifis Sosial  dan pendidikan

Minggu, 22 Desember 2024

MENGAPA DIRIMU MERASA SERING DI SALAHKAN

ditulis di Nganjuk 22 Des 2024
SAHABAT.............., pernahkah kita merasa sulit menerima nasihat? Atau merasa risih ketika ada seseorang yang mencoba mengingatkan kesalahan kita? Padahal, di balik nasihat itu ada niat baik yang ingin membawa kita pada kebaikan.

Kenyataannya, menerima kritik atau nasihat itu memang tidak selalu mudah. 

Ego kita sering kali muncul, seolah berkata, "Aku sudah benar, untuk apa diingatkan?" Tapi, bukankah hidup ini adalah perjalanan menuju perbaikan? Jika kita menutup hati, bagaimana bisa kita melangkah ke arah yang lebih baik?

Mari kita renungkan sejenak. Ketika seorang teman berkata, "Jangan lupa shalat, ya," mungkin ada yang merasa terganggu. Ketika seorang guru mengingatkan, "Jangan terlalu banyak bermain, fokus belajar," mungkin kita merasa disalahkan. Bahkan saat orang tua dengan penuh cinta menegur, "Nak, jangan lupa baca Al-Qur'an," mungkin hati kita justru menggerutu.

Namun, pernahkah kita berpikir bahwa semua itu adalah tanda cinta? Bahwa ada orang yang peduli pada kita, yang tidak ingin kita terjerumus dalam kesalahan yang sama?

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-‘Asr:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran."

Nasihat itu adalah bagian dari cinta. Nasihat adalah cara Allah mengingatkan kita melalui perantara orang lain. Bukankah itu karunia besar?

SAHABAT............, mari kita belajar merendahkan hati. Jangan malu untuk mengakui kekurangan, jangan ragu untuk menerima masukan. Karena merendahkan hati bukan berarti kita lemah, melainkan tanda bahwa kita kuat untuk Tumbuh, Tangguh dan  Terus Berkembang

Hidup ini terlalu singkat untuk dipenuhi rasa gengsi. Jika ada yang menasihati kita dengan baik, terimalah dengan lapang dada. Jika ada yang mengingatkan kesalahan kita, berterimakasihlah. Sebab, di balik itu semua, mereka menginginkan yang terbaik untuk kita.

Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari, ketika waktu sudah berlalu dan kesempatan untuk memperbaiki diri sudah tidak ada lagi. Mulailah dari sekarang, mulailah dari hal kecil: belajar mendengar, belajar menerima, dan belajar untuk terus menjadi lebih baik.

Karena kebaikan tidak pernah memerlukan alasan. Dan merendahkan hati adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih bermakna.

PAK J

BERUBAH DALAM KEBAIKAN ITU JALAN MULIA YANG DI SUKAI ALLOH

Kawan..................

Pernahkah kita mengalami suatu momen saat kita sudah merasa nyaman dengan kebiasaan kita, tiba-tiba ada yang mengingatkan sesuatu yang berbeda?

Misalnya, saat sedang duduk santai di sebuah tempat, lalu datang seseorang yang mengatakan, "Mari kita atur tempat ini agar lebih rapi dan sesuai aturan."

 Atau saat kita tengah menikmati hidangan, tiba-tiba seorang guru datang dan berkata, "Sebenarnya, ada cara makan yang lebih baik dan terhormat, loh. Ini juga baik untuk kesehatanmu."



Bagaimana perasaan kita? Mungkin ada rasa malu, merasa terusik, atau bahkan sedikit tersinggung. Kita merasa, "Bukankah caraku sudah baik? Mengapa masih diingatkan?"


Kawan............., sebenarnya inilah yang disebut dakwah. Mengingatkan kebaikan, mengajak kita untuk memperbaiki diri, dan mengarahkan pada jalan yang lebih baik. 

Tidak hanya soal makan atau duduk, tetapi juga tentang akhlak, aqidah, hingga kebiasaan Rasulullah dalam beribadah dan bermuamalah.

Saat ilmu itu sampai ke telinga kita, ada kalanya hati kita tersentuh. Kadang kita merasa malu karena ternyata selama ini cara kita kurang tepat. Kadang kita merasa tersindir atau tertuduh, seolah-olah pengingat itu ditujukan langsung kepada kita. Bahkan, ada juga yang merasa tersinggung.

Namun, kawan..................., bagaimana seharusnya kita bersikap?
Mari kita belajar dari kisah para sahabat Rasulullah. Ketika mereka diingatkan oleh Rasulullah tentang kesalahan mereka, tidak ada yang marah. Tidak ada yang merasa tersinggung. Justru mereka merasa bersyukur karena diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang pernah berkata, "Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kesalahan-kesalahanku." Bagaimana dengan kita?

Jika ada seseorang yang mengingatkan kita, mari belajar untuk menerima dengan hati yang lapang. Karena, sesungguhnya, mengingatkan adalah tanda kasih sayang. Mereka tidak ingin kita terjerumus dalam kesalahan yang sama.

kawan ...............,semoga kalian masih  ingat firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 18:

“...yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang memiliki akal sehat.”

Mari kita berusaha menjadi hamba yang rendah hati, yang tidak malu untuk belajar dan memperbaiki diri. Karena dakwah itu adalah untuk kebaikan kita semua. Jangan malu untuk berubah, karena berubah menuju kebaikan adalah jalan mulia yang diridhai Allah.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Kamis, 19 Desember 2024

OBOR YANG TAK BOLEH PADAM


Pada waktu pembinaan guru dan karyawan yys, wakil dari ketua pembina yys Sunan Giri, Abah Suharis, BA  menyampaikan:

Perjalanan Yayasan Sunan Giri adalah kisah panjang yang sarat makna. 

Sejak awal berdirinya di tahun 1965, yayasan ini lahir dari semangat membangun generasi bangsa yang berilmu dan beriman, bahkan di tengah tantangan yang tak mudah. 

Kita semua tahu, saat itu banyak anak dari keluarga eks-PKI yang membutuhkan bimbingan. Yayasan ini membuka pintu seluas-luasnya tanpa memandang latar belakang. Prinsip inilah yang menjadi warisan luar biasa untuk kita lanjutkan: membina, bukan menghakimi.

SUSU TERAPI kesehatan, enak dan menyembuhkan inshaalloh
 Order dan pemesanan susu terapi 089521328467
250 Gr RP 50.000

Kini, perjalanan itu telah berbuah manis. Dari PGA yang melebur menjadi SMA, hingga lahirnya SMK Sunan Giri pada 1993, semuanya telah menjadi bagian dari sejarah perjuangan yang harus kita syukuri. 

Gedung megah yang kita miliki hari ini adalah saksi nyata betapa jerih payah para pendiri tidak sia-sia. Namun, ingatlah, gedung hanyalah tempat; yang menentukan masa depan siswa adalah kita, para guru.

BACA JUGA : Cinta dan dedikasi pendidik smk sunan Giri

Guru Hebat, Siswa Hebat

Ketua Umum Yayasan Abah Muji,S.Pd.mengingatkan, guru yang hebat adalah kunci lahirnya siswa hebat. Tapi apa arti "guru hebat"? Apakah itu sekadar gelar? Tidak, guru hebat adalah mereka yang terus belajar, memperkaya ilmu, dan mendidik dengan hati dan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan.

Mari kita merenung sejenak. Jika kita, sebagai guru, merasa cukup dengan apa yang sudah kita tahu, maka apa yang akan kita sampaikan kepada siswa? 

Jika kita berhenti membaca, berhenti menulis, dan berhenti mencari ilmu baru, maka bagaimana kita bisa menginspirasi siswa kita untuk menjadi pembelajar seumur hidup?

Bapak dan Ibu Guru, Allah berjanji akan mengangkat derajat orang-orang berilmu dan beriman. Tapi ilmu itu tidak datang begitu saja; kita harus menjemputnya. 

Baca Pula : Guru bicara adab itu untuk apa.?

Kita harus giat membaca, menulis, dan menyampaikan ilmu dengan cara yang menarik. Salah satunya adalah melalui storytelling, menyampaikan pelajaran dengan cerita yang memikat hati siswa.


Jangan Pernah Berhenti Belajar

Dalam dunia pendidikan, berhenti belajar berarti berhenti hidup. Teknologi berkembang pesat, dan dunia terus berubah. 

Siswa kita menghadapi tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Maka, kita sebagai guru harus menjadi teladan. 

Teladan dalam semangat belajar, teladan dalam integritas, dan teladan dalam menghadirkan pendidikan yang bermakna.

Baca Juga : Pendaftaran siswa baru indent SMK yang inovatif

Pelatihan, seminar, dan literasi bukanlah beban, tetapi kesempatan. Kesempatan untuk memperkaya diri, memperbarui cara mengajar, dan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. 

Ketika kita sungguh-sungguh mengikuti pelatihan, itu bukan hanya untuk kita, tapi untuk masa depan siswa kita.

Menghormati Jasa Para Pendiri

ruangid5.co.id
Akhirnya, mari kita tidak melupakan jasa para pendiri Yayasan Sunan Giri. Mereka telah menanamkan pondasi yang kokoh, yang kini kita nikmati hasilnya. 


Menghormati jasa mereka berarti menjaga api semangat mereka tetap menyala. 


Kita melanjutkan perjuangan itu dengan menjadi guru yang pantang menyerah, terus belajar, dan memberikan yang terbaik bagi siswa.

Bapak dan Ibu Guru, Anda adalah obor yang menerangi jalan siswa menuju masa depan. Jangan biarkan obor itu padam. Teruslah belajar, teruslah berkarya, dan teruslah menginspirasi.

Karena ketika guru hebat, siswa hebat akan lahir dari tangan Anda.

Senin, 16 Desember 2024

GURU : TEGAS DI PENJARA LEMBEK DI REMEHKAN SISWA

Apa jadinya sebuah bangsa jika guru tak lagi bisa bersikap tegas? Jika kesantunan hanya jadi kata-kata indah tanpa aksi nyata di sekolah, siapa yang akan bertanggung jawab atas generasi tanpa moral ini?.

 Hari ini, guru terjepit di antara orang tua protektif yang membabi buta dan hukum negara yang lumpuh memahami esensi pendidikan karakter.

Kesantunan, yang dulu ditanam dengan disiplin, kini hanya jadi omong kosong. 

Guru yang mencoba tegas menghadapi dua risiko besar: berhadapan dengan orang tua yang memelihara ego anaknya, atau hukum yang melabeli tindakan mendidik sebagai kekerasan. 

Jika guru memilih aman, wibawa mereka hancur di depan siswa. Jika berani, mereka diseret ke meja hukum atau dihakimi di media sosial.

--------------------------------------------------------------

Bramgore BBGsa enak,sehat dan tanpa msg  order 089521328467

...................................................................................

Generasi Lemah Karena Proteksi Berlebihan

Mari kita bicara fakta. Proteksi orang tua yang seharusnya membangun justru menjadi penghambat. 

Anak yang salah tidak lagi diproses untuk belajar bertanggung jawab, melainkan dilindungi mati-matian oleh orang tua yang egois. 


Segelintir orang tua hari ini hanya peduli pada harga diri mereka, bukan pada pembentukan karakter anaknya.

Contoh nyata: seorang guru menegur siswa yang berperilaku buruk. Teguran itu sampai ke orang tua, tetapi alih-alih introspeksi, guru itu justru dikecam. 

Tidak cukup dengan marah di ruang guru, kasus itu diunggah ke media sosial, lengkap dengan narasi penuh fitnah. Sang guru hancur nama baiknya, sementara si anak melenggang bebas tanpa memahami konsekuensi atas perilakunya.

Apakah ini yang kita mau? Anak-anak tumbuh tanpa kesantunan karena merasa orang tua dan "aturan" akan selalu membela mereka?

Hukum: Melindungi atau Membungkam Guru?

Peran hukum juga jauh dari memuaskan. Hari ini, guru berada dalam zona bahaya setiap kali mereka mencoba mendisiplinkan siswa. 

Apa pun tindakan guru, betapa pun mendidiknya, bisa saja dilabeli sebagai kekerasan. Seolah-olah guru adalah sumber masalah, bukan pelurus akhlak. 



Celakanya, hukum lebih cepat bertindak untuk melindungi siswa yang salah daripada mendengar suara guru yang sekarat martabatnya.

Lantas, siapa yang masih berani mendidik dengan disiplin? Siapa yang bersedia menjadi sasaran ketika mencoba mengajarkan kesantunan? Di bawah hukum yang tumpul ini, guru hanya punya dua pilihan: menyerah atau diam. 

Sayangnya, generasi di bawah mereka tak peduli pada kompromi semacam itu—mereka hanya akan melihat guru yang lemah dan tanpa wibawa.

Kesantunan Tanpa Tegas: Hasilnya Nol Besar

Kesantunan tidak mungkin diajarkan dengan senyum kosong dan basa-basi. Ketika siswa tidak tahu konsekuensi dari tindakannya, mereka akan terus melanggar tanpa rasa bersalah. 

Guru yang tidak berani bertindak tegas hanya akan menghasilkan generasi yang permisif—mereka menganggap segalanya bisa dinegosiasikan, bahkan kesalahan.

Namun, ironisnya, masyarakat menuntut hasil besar dari guru yang terus-menerus dilumpuhkan. Ketika siswa berperilaku buruk, guru disalahkan. 

Ketika nilai siswa turun, guru juga yang dicerca. Namun, adakah yang bertanya berapa banyak kewenangan yang telah dicabut dari tangan guru?

________________________________________

Susu TERAPI hedgoat Etawa ,untuk lambung ,asam urat jantung dan paru.0rder 089521328467

--------------------------------------------------------------

Solusi Radikal: Mengembalikan Wibawa Guru

Sudah cukup basa-basi. Kita butuh solusi nyata untuk keluar dari krisis ini.

  1. Reformasi Hukum Pendidikan

    • Guru harus mendapatkan perlindungan hukum yang tegas. Tindakan mendisiplinkan siswa harus dibedakan dari kekerasan. Aturan yang kabur hari ini hanya membuka celah bagi orang tua untuk memanfaatkan hukum demi membungkam guru. Jika hukum tetap bias, jangan harap ada pendidikan karakter yang efektif.
  2. Orang Tua Harus Ikut Sekolah

    • Orang tua yang protektif negatif tidak boleh dibiarkan. Sekolah perlu mengadakan program wajib untuk mendidik orang tua tentang batasan proteksi terhadap anak mereka. Mereka harus tahu bahwa disiplin adalah bentuk kasih sayang, bukan kekerasan.
  3. Tegas, Tapi Cerdas

    • Guru perlu dididik untuk menegakkan disiplin tanpa celah untuk disalahgunakan. Pendekatan seperti hukuman edukatif (misalnya proyek sosial) dapat memberikan pelajaran mendalam tanpa membuka pintu untuk konflik hukum.
  4. Kembalikan Wibawa Guru

    • Media, pemerintah, dan masyarakat perlu berhenti menjadikan guru sebagai kambing hitam. Guru adalah pilar pendidikan, bukan pelayan ego masyarakat. Kampanye nasional untuk memulihkan martabat guru sangat diperlukan.

Apa yang Akan Terjadi Jika Ini Terus Berlanjut?


Jika kita terus membiarkan kesantunan terkikis tanpa tindakan tegas, generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang arogan, manja, dan tanpa rasa tanggung jawab. 

Ketika kesantunan mati, kita tidak hanya kehilangan generasi yang berbudi pekerti, tetapi juga masa depan bangsa yang bermartabat.

Maka pertanyaannya adalah: Apakah kita masih ingin memelihara budaya protektif ini? Atau berani mengembalikan kewenangan guru sebagai pendidik karakter bangsa?


Jawabannya ada di tangan kita semua—bukan hanya guru, tetapi orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Jangan sampai, ketika semuanya sudah terlambat, kita hanya bisa berkata, "Kenapa dulu kita tidak bertindak?"


Pak J 

Jumat, 13 Desember 2024

WAKIL RAKYAT: INIKAH CARAMU MEMBELA KAMI ?

seputar sumut.com
Semula, kami memilihmu bukan tanpa alasan. Harapan besar kami titipkan di pundakmu. Saat itu, engkau datang menawarkan janji: membela nasib rakyat, mengupayakan kemakmuran, dan mengelola sumber daya negeri ini demi seluruh bangsa. 

Namun kini, semua harapan itu terasa bagai bayangan yang memudar. bagaikan fatamorgana yang seakan memberikan harapan ternyata hanya ilusi belaka.

Kami, rakyat yang memilihmu, bertanya-tanya: Inikah caramu membela kami? Dengan menaikkan beban pajak yang semakin menyesakkan dada? inikah cara dirimu memakmurkan golongan dan keluarga mu?

Susu terapi paling jujur. dan menyehatkan order hub 089521328467


Kebijakan yang Membebani Rakyat

redaksi8
Belum cukup rasanya PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada tahun lalu. Kini, engkau berencana menaikkannya lagi menjadi 12% di tahun 2025. 

Belum lagi kami memahami alasan kebijakan itu, kau umumkan pula opsen pajak kendaraan bermotor sebesar 66%! Pungutan tambahan ini meliputi pajak kendaraan, bea balik nama kendaraan, hingga pengurusan plat nomor. 

Semua itu kau lakukan di tengah jeritan rakyat yang bergulat dengan biaya hidup yang kian tak terjangkau.

Apakah engkau pernah bertanya pada dirimu sendiri: Mampukah rakyat kecil menanggung semua ini?

Kami bukan pengusaha besar dengan laba melimpah. 

Kami adalah petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, guru,dan pekerja serabutan yang harus mengencangkan ikat pinggang untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Ketika pajak dinaikkan, semua harga barang akan ikut melambung. Pada akhirnya, kamilah yang harus membayar mahal untuk setiap kebijakan yang kau buat wahai "wakil rakyat" dan penguasa.

Bramgor bbgsa enak dan sehat. tanpa msg order :089521328467

Harapan yang Dikhianati


Dulu, saat engkau meminta suara kami, kau berkata ingin memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Kau berjanji akan menciptakan peluang kerja, menurunkan biaya hidup, dan menjamin akses pendidikan serta kesehatan yang layak. Namun, apa yang kami lihat sekarang?

Kau cerdas menaikkan pajak, tapi di mana kecerdasanmu dalam menurunkan kemiskinan? Di mana usahamu mengelola sumber daya alam untuk rakyat, bukan hanya segelintir elite?

Apakah janji-janji itu hanya sekadar kata-kata manis yang hilang setelah kau duduk nyaman di kursi kekuasaan?



suara.com
Kami Tidak Setuju!

Kami menolak keras kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat! Jika memang ada kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan negara, mengapa tidak dimulai dari:

  1. Menghentikan kebocoran anggaran yang merugikan triliunan rupiah setiap tahunnya.
  2. Memperketat pengawasan atas proyek-proyek besar yang kerap menjadi ladang korupsi.
  3. Mengoptimalkan pajak dari kelompok super kaya yang selama ini sering luput dari kewajiban mereka.

Mengapa beban selalu dilimpahkan kepada rakyat kecil, sementara segelintir orang di lingkaran kekuasaan tetap hidup mewah tanpa peduli penderitaan kami?

Kembalilah Pada Amanahmu

beritasatu.com
Kami tidak butuh wakil rakyat yang pandai menaikkan pajak tapi lupa memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Kami ingin pemimpin yang mau mendengar, merasakan, dan bertindak untuk meringankan beban kami, bukan malah menambahnya. 

Jika memang kau masih memiliki hati nurani, batalkan kebijakan ini dan fokuslah pada solusi yang lebih adil.

Ketahuilah, suara rakyat yang membawamu ke kursi kekuasaan adalah suara yang bisa mengguncangkanmu kembali. Jangan sia-siakan amanah yang telah kami titipkan padamu. Sebab, ketika kepercayaan hilang, kami takkan segan untuk mencabut dukungan dan memperjuangkan perubahan yang lebih baik.

Semoga amanah yang dulu kau terima, tak berakhir menjadi pengkhianatan yang merugikan kami semua.


Pak J