Selasa, 25 Februari 2025

MEMBONGKAR NARASI PALSU SERAT GATOLOCO

Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri pada abad ke-12, terdapat sosok senopati bernama Tunggul Wulung, yang bersama rekannya, Buta Locaya, mengabdikan diri untuk menjaga kerajaan. 


Setelah Jayabaya moksa, keduanya dipercaya menjaga kawasan penting: Buta Locaya menjaga Selabale (gua Selomangleng), sementara Tunggul Wulung menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak membahayakan warga sekitar.

Namun, ada sosok lain yang memiliki nama serupa, yaitu Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Ia hidup pada abad ke-19 dan memiliki perjalanan hidup yang unik. Berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, ia bernama asli Kiai Ngabdullah atau Raden Tandakusuma, anak dari selir Raden Ngabehi Atmasudirdja. 




Karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830) memusuhi diponegoro atau di pihak belanda, ia melarikan diri dan menjadi rakyat biasa, hidup bertapa di lereng Gunung Kelud.

Dalam pertapaannya, Ibrahim Tunggul Wulung mengaku menemukan secarik kertas berisi Sepuluh Perintah tuhan yang kemudian mengarahkan dirinya untuk mendalami agama Kristen. 

Ia akhirnya dibaptis pada tahun 1855 oleh Jellesma di Mojowarno. Namun, keterlibatannya dengan Belanda tidak berhenti di situ.

Ia juga diberi tugas untuk menyusun Serat Gatoloco, sebuah naskah yang dianggap sebagai rekayasa sejarah untuk mendukung narasi kolonial Belanda.

Serat Gatoloco mengandung kisah yang memutarbalikkan sejarah, menyebut bahwa Raden Patah, raja pertama Demak, memberontak melawan ayahnya yang berkuasa di Majapahit. Padahal, berdasarkan catatan sejarah yang lebih kredibel, Majapahit runtuh bukan karena serangan Raden Patah, melainkan akibat serangan Raja Girindra Wardana dari Kerajaan Hindu Kediri. Ini menjadi bagian dari strategi Belanda untuk memecah belah semangat juang rakyat Jawa dengan mengaburkan fakta sejarah.

Ibrahim Tunggul Wulung, meskipun dikenal sebagai penginjil pribumi, menjadi alat politik Belanda dalam menyebarkan narasi-narasi yang menguntungkan kolonialisme. Keterlibatannya ini menjadi ironi besar, di mana sosok yang semula mencari kebenaran justru terjerat dalam propaganda penjajah. Namun, kisah ini menjadi pengingat bahwa sejarah perlu dilihat dengan kritis, dan warisan leluhur harus dijaga agar tidak tergeser oleh narasi yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kebenaran.

PAK  J .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar