Jumat, 28 Februari 2025

KETIKA JABATAN MENUMPULKAN EMPATI

Menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan atau kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Ibadah dan keimanan seorang pemimpin akan kehilangan makna jika tangan yang seharusnya menolong justru abai terhadap penderitaan bawahan. Apa artinya mengaku dekat dengan Tuhan, tetapi membiarkan karyawan hidup dalam kesusahan? Apa gunanya berdoa, jika anak buah tak pernah tersenyum bahagia karena beban yang tak kunjung ringan?

Pemimpin sejati adalah mereka yang hadir untuk menyejahterakan, bukan sekadar mengumpulkan pujian. Jika ada rekan seperjuangan yang meninggal dunia saja tak peduli, lalu untuk apa memimpin? Kepemimpinan semacam itu bukanlah tentang kebijaksanaan, tetapi hanya tentang kepentingan pribadi — sekadar menjadi bijaksini, bukan bijaksana.

Ketulusan seorang pemimpin tercermin dari tindakannya, bukan ucapannya. Pemimpin yang hanya berbuat baik saat ada kamera, yang membantu hanya saat ada sorotan media, sebenarnya bukan mengabdi pada rakyat, tetapi pada pencitraan. Mereka bertuhan pada kebohongan, beriman pada puja-puji, dan beribadah demi tepuk tangan manusia.

Pemimpin yang benar-benar beriman akan peka terhadap derita sesama. Ia akan berjuang agar rakyatnya hidup layak, karyawannya sejahtera, dan masyarakat merasakan kehadiran pemimpin yang peduli. Sebab, pada akhirnya, kemuliaan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa tinggi posisinya, melainkan seberapa besar manfaat yang ia tebarkan.

Mari kita renungkan: apakah kita memilih pemimpin yang membawa maslahat atau yang sekadar menjual citra? Karena kepemimpinan yang berkah adalah kepemimpinan yang membawa kebaikan bagi banyak orang, bukan hanya keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar