Senin, 16 Desember 2024

GURU : TEGAS DI PENJARA LEMBEK DI REMEHKAN SISWA

Apa jadinya sebuah bangsa jika guru tak lagi bisa bersikap tegas? Jika kesantunan hanya jadi kata-kata indah tanpa aksi nyata di sekolah, siapa yang akan bertanggung jawab atas generasi tanpa moral ini?.

 Hari ini, guru terjepit di antara orang tua protektif yang membabi buta dan hukum negara yang lumpuh memahami esensi pendidikan karakter.

Kesantunan, yang dulu ditanam dengan disiplin, kini hanya jadi omong kosong. 

Guru yang mencoba tegas menghadapi dua risiko besar: berhadapan dengan orang tua yang memelihara ego anaknya, atau hukum yang melabeli tindakan mendidik sebagai kekerasan. 

Jika guru memilih aman, wibawa mereka hancur di depan siswa. Jika berani, mereka diseret ke meja hukum atau dihakimi di media sosial.

--------------------------------------------------------------

Bramgore BBGsa enak,sehat dan tanpa msg  order 089521328467

...................................................................................

Generasi Lemah Karena Proteksi Berlebihan

Mari kita bicara fakta. Proteksi orang tua yang seharusnya membangun justru menjadi penghambat. 

Anak yang salah tidak lagi diproses untuk belajar bertanggung jawab, melainkan dilindungi mati-matian oleh orang tua yang egois. 


Segelintir orang tua hari ini hanya peduli pada harga diri mereka, bukan pada pembentukan karakter anaknya.

Contoh nyata: seorang guru menegur siswa yang berperilaku buruk. Teguran itu sampai ke orang tua, tetapi alih-alih introspeksi, guru itu justru dikecam. 

Tidak cukup dengan marah di ruang guru, kasus itu diunggah ke media sosial, lengkap dengan narasi penuh fitnah. Sang guru hancur nama baiknya, sementara si anak melenggang bebas tanpa memahami konsekuensi atas perilakunya.

Apakah ini yang kita mau? Anak-anak tumbuh tanpa kesantunan karena merasa orang tua dan "aturan" akan selalu membela mereka?

Hukum: Melindungi atau Membungkam Guru?

Peran hukum juga jauh dari memuaskan. Hari ini, guru berada dalam zona bahaya setiap kali mereka mencoba mendisiplinkan siswa. 

Apa pun tindakan guru, betapa pun mendidiknya, bisa saja dilabeli sebagai kekerasan. Seolah-olah guru adalah sumber masalah, bukan pelurus akhlak. 



Celakanya, hukum lebih cepat bertindak untuk melindungi siswa yang salah daripada mendengar suara guru yang sekarat martabatnya.

Lantas, siapa yang masih berani mendidik dengan disiplin? Siapa yang bersedia menjadi sasaran ketika mencoba mengajarkan kesantunan? Di bawah hukum yang tumpul ini, guru hanya punya dua pilihan: menyerah atau diam. 

Sayangnya, generasi di bawah mereka tak peduli pada kompromi semacam itu—mereka hanya akan melihat guru yang lemah dan tanpa wibawa.

Kesantunan Tanpa Tegas: Hasilnya Nol Besar

Kesantunan tidak mungkin diajarkan dengan senyum kosong dan basa-basi. Ketika siswa tidak tahu konsekuensi dari tindakannya, mereka akan terus melanggar tanpa rasa bersalah. 

Guru yang tidak berani bertindak tegas hanya akan menghasilkan generasi yang permisif—mereka menganggap segalanya bisa dinegosiasikan, bahkan kesalahan.

Namun, ironisnya, masyarakat menuntut hasil besar dari guru yang terus-menerus dilumpuhkan. Ketika siswa berperilaku buruk, guru disalahkan. 

Ketika nilai siswa turun, guru juga yang dicerca. Namun, adakah yang bertanya berapa banyak kewenangan yang telah dicabut dari tangan guru?

________________________________________

Susu TERAPI hedgoat Etawa ,untuk lambung ,asam urat jantung dan paru.0rder 089521328467

--------------------------------------------------------------

Solusi Radikal: Mengembalikan Wibawa Guru

Sudah cukup basa-basi. Kita butuh solusi nyata untuk keluar dari krisis ini.

  1. Reformasi Hukum Pendidikan

    • Guru harus mendapatkan perlindungan hukum yang tegas. Tindakan mendisiplinkan siswa harus dibedakan dari kekerasan. Aturan yang kabur hari ini hanya membuka celah bagi orang tua untuk memanfaatkan hukum demi membungkam guru. Jika hukum tetap bias, jangan harap ada pendidikan karakter yang efektif.
  2. Orang Tua Harus Ikut Sekolah

    • Orang tua yang protektif negatif tidak boleh dibiarkan. Sekolah perlu mengadakan program wajib untuk mendidik orang tua tentang batasan proteksi terhadap anak mereka. Mereka harus tahu bahwa disiplin adalah bentuk kasih sayang, bukan kekerasan.
  3. Tegas, Tapi Cerdas

    • Guru perlu dididik untuk menegakkan disiplin tanpa celah untuk disalahgunakan. Pendekatan seperti hukuman edukatif (misalnya proyek sosial) dapat memberikan pelajaran mendalam tanpa membuka pintu untuk konflik hukum.
  4. Kembalikan Wibawa Guru

    • Media, pemerintah, dan masyarakat perlu berhenti menjadikan guru sebagai kambing hitam. Guru adalah pilar pendidikan, bukan pelayan ego masyarakat. Kampanye nasional untuk memulihkan martabat guru sangat diperlukan.

Apa yang Akan Terjadi Jika Ini Terus Berlanjut?


Jika kita terus membiarkan kesantunan terkikis tanpa tindakan tegas, generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang arogan, manja, dan tanpa rasa tanggung jawab. 

Ketika kesantunan mati, kita tidak hanya kehilangan generasi yang berbudi pekerti, tetapi juga masa depan bangsa yang bermartabat.

Maka pertanyaannya adalah: Apakah kita masih ingin memelihara budaya protektif ini? Atau berani mengembalikan kewenangan guru sebagai pendidik karakter bangsa?


Jawabannya ada di tangan kita semua—bukan hanya guru, tetapi orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Jangan sampai, ketika semuanya sudah terlambat, kita hanya bisa berkata, "Kenapa dulu kita tidak bertindak?"


Pak J 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar