Sejarah adalah cermin besar yang membantu kita memahami masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik. Jika kita mengamati pola kehidupan para pemimpin Nusantara, ada satu tradisi yang menarik perhatian: banyak raja yang setelah lengser dari kekuasaannya memilih jalan mandito atau menyepi, meninggalkan gemerlap duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan merenungi kehidupan. Tradisi ini tidak hanya memperlihatkan kebesaran jiwa mereka, tetapi juga mengajarkan kita tentang makna sejati dari kekuasaan sebagai amanah, bukan sekadar gengsi atau ambisi.
Hal yang sama tercermin pada Presiden kedua dan ke tiga Republik Indonesia, Soeharto dan pak Habibi. Setelah masa baktinya berakhir, ia memilih untuk tidak lagi terlibat dalam hiruk-pikuk politik praktis. Meski warisan pemerintahannya masih menjadi bahan perdebatan, ia memahami batas bahwa setelah lengser, tugasnya sebagai kepala negara selesai. Sikap ini, bagaimanapun, menyiratkan penghormatan pada tata krama demokrasi Prilaku bijak yang bersangkutan.
Namun, ada fenomena baru yang menyimpang dari tradisi tersebut. Di era modern ini, kita menyaksikan seorang pemimpin yang, alih-alih menyepi, justru terkesan enggan meninggalkan panggung kekuasaan. Permintaan untuk melanjutkan kepemimpinan hingga tiga periode menjadi tanda tanya besar, mengingat semangat reformasi tahun 1998 yang mengamanatkan pembatasan masa jabatan presiden demi mencegah kekuasaan absolut. Belum lagi, langkah aktif mantan pemimpin yang ikut berkampanye mendukung calon tertentu pasca-jabatannya menunjukkan kecenderungan politik yang mencolok.
Apakah ini sesuai dengan nilai demokrasi yang dianut Indonesia? Apakah ini menjadi contoh baik bagi generasi mendatang tentang cara seorang pemimpin menghormati amanah dan mengakhiri masa pengabdiannya?
Di sisi lain, keterlibatan aktif mantan pemimpin dalam kontestasi politik pasca-jabatan dapat mengaburkan posisi netral yang seharusnya dimiliki. Sebagai tokoh bangsa, peran mereka seharusnya menjadi penjaga moral, pengayom, dan penasihat yang tidak berpihak, bukan sebagai pendukung salah satu pihak.
Kearifan para raja Nusantara yang memilih menjadi mandito ratu usai berkuasa menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki siklus yang jelas: datang, memimpin, lalu pergi dengan tenang. Mereka memahami bahwa dunia ini fana, dan kekuasaan hanyalah titipan sementara.
Para pendahulu republik juga memberikan contoh yang sama. Presiden pertama, Soekarno, meski dipaksa mundur, tidak lagi aktif dalam politik setelah lengser. Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati, meskipun tetap aktif dalam partai politik, tidak pernah menunjukkan keinginan untuk kembali ke kursi presiden setelah selesai menjabat.
Jika kita terus-menerus membiarkan ambisi kekuasaan melampaui etika demokrasi, kita berisiko kehilangan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Masa jabatan yang terbatas dan sikap menghormati aturan setelah lengser adalah fondasi penting bagi keberlangsungan demokrasi.
Sudah saatnya bangsa ini belajar dari sejarah dan mengambil pelajaran berharga tentang kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melepaskan jabatan dengan hati lapang, mengutamakan masa depan bangsa di atas kepentingan pribadi, serta memberikan contoh kebesaran jiwa yang inspiratif bagi rakyatnya.
Sejarah telah mencatat, dan kita sebagai bangsa harus menentukan apakah ingin menjadi bagian dari warisan kebijaksanaan atau malah mengulang kesalahan yang sama. Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pemimpin, dan pemimpin besar adalah mereka yang tahu kapan harus berhenti.
Nganjuk 24 Des2024
PAK J aktifis Sosial dan pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar