Senin, 28 Oktober 2024

MAKLUK ANEH ITU BERNAMA GURU

 

MENJADI JADI GURU DI NEGERI ORANG TUA PERFEKSIONIS"

"Selamat Datang, Pak Riko!"

SMP IT Masjid Syuhada'
Pak Riko, adalah  seorang guru muda yang baru 5 tahun bertugas, setiap hari pak riko melangkah ke halaman sekolah dengan antusiasme yang sulit disembunyikan. Sekolah tempat mengajarnya ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk kota industri, namun tetap memiliki reputasi di masyarakatnya.

Hari itu adalah hari pertama Pak Riko bertemu dengan siswa sekaligus orang tua mereka, karena ada acara pertemuan wali murid disekolah. Pertemuan itu terasa istimewa setelah 3 bulan di liburkan karena hampir 6 lokal gedung sekolah nya terkena bencana bumi bergoyang (gempa bumi). Dalam Hati pak riko  bertekad untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik, untuk benar-benar menjadi sosok guru yang dirindukan oleh setiap muridnya.

Namun, harapan baru itu, tiba tiba menghilang seiring datangnya seorang wali murid mendekat pada diri nya. Ia, seorang ibu yang tampak anggun namun tegas, langsung menyambut Pak Riko dengan pandangan penuh ekspektasi. Ia tak menyia-nyiakan waktu, langsung menyodorkan daftar nilai putrinya yang menurutnya "masih kurang memuaskan."

"Pak Guru Riko, ia memulai pembicaraan nya, tolong bantu anak saya pak,supaya nilainya lebih baik. Saya tahu Pak Riko pasti mengerti susahnya jadi orang tua zaman sekarang, kan?" ujarnya, dengan nada seakan menuntut tanpa meninggalkan senyum di wajahnya.


Pak Riko tertegun, mencoba mencerna kata-kata itu sambil tetap tersenyum sopan.walaupun di pikir berulang kali perkataan ibu tadi, tetap menjadi misteri yang tak terjawab” untuk apa sebenar nya. Kenapa tidak berbicara bagaimana peningkatan kedisplinan dan akhlak putrinya. Mengapa tidak menyampaikan harapan moral, ibadah dan kekujuran  yang baik untuk putrinya kepada guru yang membimbing nya.?

Untuk apa sebenarnya angka angka yang mereka pejuangkan? Bukankah itu di masa depan sama sekali tak berguna bagi anak nya. Apakah orang tua tidak paham bahwa angka angka di rapot atau selembar kertas yang bernama ijasah itu, sama sekali tak akan berguna kecuali di barengi kualitas akhlaq kesantunan, kedisiplinan dan kejujuran pemilik nya. Mengapa, mengapa, mengapa. Pikiran pak riko bergelayut tanpa mengerti sikap orang tua siswa seperti ini.

Sejak hari pertama, rupanya tugasnya tidak hanya mengajar, melainkan juga memenuhi harapan setinggi gunung dari para orang tua. Dalam hati, pak riko bergumam, “Wah, sepertinya jadi guru juga harus jago ilmu negosiasi, ya.”

Sambil mengangguk dan mendengarkan keluhan sang ibu, Pak Riko pun menyadari bahwa perjalanan sebagai guru di tempat ini akan jauh lebih menantang dari yang ia bayangkan.

"Siapa Bilang Guru Boleh Tegas?"

di Minggu ke tiga pak Riko mengajar, Pak Riko menghela napas panjang saat ia memasuki ruang kelas XII C yang penuh suara riuh. Bukan hanya murid-muridnya yang bersemangat bicara, beberapa bahkan sudah berdiri, bercanda sambil tertawa lepas. Pak Riko merasa tubuhnya seakan meleleh baru beberapa minggu ia kembali  mengajar di sekolah ini, dan tiap harinya rasanya seperti medan perang tanpa akhir.

“Anak-anak, bisa tolong tenang sebentar?” Pak Riko memulai berbicara dengan nada datar, tetapi hanya sedikit yang memerhatikannya. Ia mendekati papan tulis, mengetuknya pelan, dan mengulangi kalimatnya, kali ini lebih tegas. Suasana kelas mendadak senyap, meski beberapa pasang mata masih meliriknya dengan gelagat tak nyaman.

Dengar, Bapak tidak ingin membuang waktu kalian. Pelajaran ini penting untuk ujian akhir nanti. Kalian tahu, bukan, ujian itu cuma beberapa minggu lagi?” Pak Riko berusaha menguatkan intonasinya, namun ia merasakan adanya ketegangan dan kegundahan dalam suara.

Beberapa anak mulai membuka buku, meski masih ada yang tampak malas-malasan. Salah satu dari mereka, Dani, dengan suara rendah tetapi cukup terdengar, bergumam, “Baru masuk satu jam sudah mulai marah-marah…”

Kalimat itu menusuk hati Pak Riko. Ia berusaha menahan perasaannya dan tetap melanjutkan pelajaran, walau ia tahu, suasana belajar yang diidamkannya sudah tak lagi hangat.

Esuk harinya, usai pelajaran, seorang murid menyerahkan surat untuknya. "Dari orang tua Dani, Pak," kata si anak sambil berlalu cepat. Dengan cemas bercampur penasaran, Pak Riko membuka surat itu dan mulai membaca.

Kepada Pak Riko


“Pak Riko yang terhormat, saya mendengar anak saya, Dani, mendapat teguran keras dalam kelas. Sebagai orang tua, saya merasa prihatin karena dani(anak saya) merasa, Bapak terlalu cepat bereaksi tegas kepada anak-anak. Saya berharap guru tetap bersabar dan tak berlebihan…” Pak Riko, mohon lebih sabar, anak-anak ini masih belajar. Mereka butuh pengertian, bukan ketegasan.” Ia membaca ulang kalimat itu, mencoba menangkap setiap makna tersiratnya.

sebaiknya bapak belajar psikologis , sehingga bapak bisa memahami psikis masing masing anak,yang bapak ajar. Jika bapak perlakukan anak semacam ini maka kerugian besar buat kami pak. Sebaiknya Bapak Tidak galak dalam mendidik anak kami . Demikian surat permintaan kami sbg wali

hormat kami ibunda dani.

Perkataan yang bernada sombong dari orang tua ini membuat Pak Riko tersenyum getir,dan tidak tau harus seperti apa dalam mengelola kelas dan menangani siswa seperti dani, yang setiap harinya selalu bermalas malasan tapi kalau ada teguran ia mengadukan ke-orang tuanya. Kedepan dani akan selalu bersikap seperti itu, karena merasa ada perlindungan jika berbuat apapun di sekolah.

Dari kata-kata orang tua dani  itu juga sempat membuat Pak Riko tersentak. Baru mulai ia mengajar, namun sudah dituduh galak! Apakah sebegitu salahkah ia menegur siswa yang tak fokus dan bermalas malasan belajar? Apa sebenarnya yang diadukan dani  ke orang tua. dan apa sebenarnya tujuan orang tua dani memasukan anak nya ke sekolah ini.

Walau demikian Pak Riko berusaha tetap tenang, meski  benaknya berkecamuk juga. “Apakah salah jika seorang guru ingin menjaga disiplin di kelasnya?” tanyanya dalam hati. “Apakah untuk menjadi guru yang dihormati, aku harus membiarkan murid-muridku bersikap seperti itu?”

Pak Riko duduk termenung di ruang guru, menatap jendela yang mengarah ke taman sekolah. Sejenak ia membayangkan, betapa sulitnya jika ia hanya berperan sebagai "teman" bagi siswa, tanpa pernah bersikap tegas. Bukankah tugasnya adalah mendidik, bukan sekadar menyenangkan hati semua orang?


Mendidik Lunak, Hasilnya Apa?"

Pak Riko menghela napas panjang saat memasuki kelas XII C  pagi itu. Ia sudah memutuskan untuk mengubah pendekatannya. Setelah mendapat keluhan dari orang tua Dani yang merasa dirinya terlalu Tegas. Pak Riko memilih mencoba cara yang lebih lunak. “Mungkin benar,” pikirnya, “Jika aku terlalu tegas, mereka malah akan sulit memahami niatku.”

Maka hari itu, Pak Riko menekan suaranya agar lebih lembut, berusaha tersenyum setiap kali ia berbicara, bahkan ketika beberapa anak mulai ribut saat ia menjelaskan materi. Seperti biasa, Dani dan Andi saling melempar kertas kecil dari bangku belakang, sementara Reza sibuk menuliskan coretan di mejanya. Pak Riko berusaha untuk tidak menegur mereka terlalu keras, hanya berkata, “Ayo, anak-anak, coba fokus, ya. ilmu ini penting untuk ujian kalian nanti.”

Beberapa anak berhenti sejenak, menatapnya heran, tetapi kemudian kembali ke kebiasaan semula. Dani tertawa, menepuk punggung Andi, dan berbisik, “Eh, Pak Riko sekarang nggak galak lagi!” Suasana kelas semakin ramai, murid-murid berbicara sesuka hati, dan perhatian mereka terhadap pelajaran semakin menipis.

Pak Riko mencoba bertahan, tetapi ia mulai merasa lelah. Ia melirik arlojinya, berharap waktu berlalu lebih cepat sehingga dirinya segera bisa lolos dari neraka yang bernama kelas. Sebagai manusia dirinya merasa di bully oleh murid nya sendiri. Setiap kali ia berusaha menarik perhatian mereka, beberapa anak memang melihatnya, tapi tak lama kemudian fokus mereka kembali terpecah. Pak Riko merasa ada dinding yang memisahkannya dengan mereka, membuat nasihatnya sekadar angin lalu.

Apakah ini yang dimaksud pak menteri dengan kurikulum merdeka nya :” Biarkan anak-anak belajar berdasar minat nya? Apakah pak Menteri tidak pernah mengadakan penelitian lewat pak dirjend atau tim nya?. Bahwa sejak anak anak membawa Gawai keruang-ruang kelas disekolah mereka, minat mereka hanya sebatas menghibur diri, menuruti kesenangan dengan mobil legend, Free Fire Max, scrol Tiktok, Ig,  WA dan sejenis nya.

Dari pembiaran gawai masuk ke ruang-ruang kelas secara aman membuat  mereka merasa segala nya serba  boleh, termasuk tiduran saat guru di dalam kelas dan mengangkat kaki diatas bangku atau tidur diatas meja saat jam pembelajaran. Para siswa dengan terang terangan melakukan semua ini lantaran, apapun yang dilakukan mereka di sekolah ada perlindungan dari orang tua mereka, KPAI bahkan hukum. mereka berani cuek, masobodoh dan angkuh terhadap guru gurunyalantaran munculnya anggapan guru tidak berani menegur karena ada ancaman hukum negara atau sekedar peringatan dari pimpinan sekolah yang tidak punya misi kebaikan.  kebiasaan jelek ini terjadi dipicu pula oleh tabiat sebagian  para pimpinan sekolah kawatir dan takut kehilangan jabatan.

Kelas berakhir dengan perasaan bercampur aduk. Pak Riko meninggalkan ruangan dengan kepala tertunduk, bertanya dalam hati, “Apa memang ini caranya? Apakah dengan cara lembut, mereka bisa belajar lebih baik?” apakah calon tentara dan polisi juga begitu pendidikan nya? Lembut, lemah gemulai, mengikuti kemauan calon yang ada.atau sang tentor pelatih bersikap keras dan tegas? Katanya tidak boleh keras. Benarkah tentara dan polisi tanpa pendidikan tegas dan keras bisa jadi tentara dan polisi yang baik?

Tetapi Pak Riko tetap menguatkan dirinya. “Mungkin perlu waktu, mungkin aku harus bersabar,” batinnya, aku harus menambah kesabaranku lebih dari guru lain di sekolah ini.

Beberapa hari kemudian, Pak Riko menghadiri rapat bulanan para guru. Saat gilirannya memberi laporan, ia menyampaikan situasi di kelas XII C dengan bahasa hati-hati.

“Saya mencoba pendekatan yang lebih lembut, tidak terlalu menegur langsung, dan memberi ruang pada anak-anak untuk belajar lebih santai,” ujarnya. Pak Riko berharap ada apresiasi atas upayanya menyesuaikan diri.

Namun, suasana di ruang rapat mendadak sunyi, sebelum akhirnya Bu Sari, seorang guru senior, berkomentar, “Pak Riko, kalau saya boleh saran, anak-anak kelas XII C itu tipe yang butuh bimbingan tegas. Kalau terlalu lembut, mereka merasa bebas.” Mereka akan santai dan akhirnya mereka akan meremehkan semua guru yang hadir di kelas itu

Pak Riko tersenyum miris, mencoba menutupi perasaan bingung yang berkecamuk di hatinya. “Padahal baru kemarin, mereka bilang saya terlalu galak…saya bersikap keras” pikirnya. Ia merasa seakan dilempar ke kanan dan ke kiri, keatas  dan ke bawah seperti bola yang  mencari titik tengah yang tak kunjung ia temukan.

Sesampainya di kediaman Pak Riko, yang kebetulan dekat dengan makam umum desa itu, Malam harinya, Pak Riko duduk di ruang tamunya yang sepi, ia merenung. Pikirannya terus melayang pada wajah-wajah muridnya di kelas. “Mengapa mendidik harus menjadi pilihan antara tegas atau lunak?” tanyanya dalam hati.Mengapa guru harus diposisikan antara hitam dan putih. Ia memegang secarik kertas, surat dari wali murid yang masih ia simpan sebagai pengingat.

Pak Riko yang terhormat, saya mendengar anak saya, Dani, mendapat teguran keras dalam kelas. Sebagai orang tua, saya merasa prihatin karena dani merasa Bapak terlalu cepat bereaksi tegas kepada anak-anak. Saya berharap guru tetap bersabar dan tak berlebihan…”sebaiknya bapak belajar psikologis , sehingga bapak bisa memahami psikis masing masing anak,yang bapak ajar. Jika bapak perlakukan anak-anak semacam ini maka kerugian besar buat kami pak. Sebaiknya Bapak Tidak galak dalam mendidik anak kami

Di situ tertulis, “Pak Riko, mohon lebih sabar, anak-anak ini masih belajar. Mereka butuh pengertian, bukan ketegasan.” Ia membaca ulang kalimat itu, mencoba menangkap setiap makna tersiratnya.

Di sisi lain, ia teringat kata-kata Bu Sari di rapat tadi: “Anak-anak ini butuh bimbingan tegas.” Dua pandangan yang bertolak belakang, namun sama-sama datang dengan harapan agar anak-anak itu tumbuh  dan berkembang menjadi pribadi yang baik.

Dengan perasaan bingung, Pak Riko membatin, “Apakah caraku salah? Apakah aku yang kurang mengerti cara mendidik mereka?”

Esoknya, Pak Riko kembali ke kelas dengan semangat baru, meski kebimbangannya masih terasa. Ia memutuskan untuk menjadi lebih fleksibel berusaha tegas pada waktunya, namun tetap lembut dan memahami ketika dibutuhkan. Ketika Dani mulai berbicara sendiri di kelas, Pak Riko menegurnya dengan tegas, “Dani, kalau kamu tidak mau fokus, lebih baik kamu pindah tempat.”

Anak-anak sejenak terdiam, seakan merasakan wibawa yang berbeda dari Pak Riko. Tapi ia tidak berhenti di situ. Ia menghampiri Dani, menepuk bahunya pelan, dan berkata dengan nada lebih lembut, “Dani, saya paham kamu suka bercanda, tapi tolong bantu saya membuat kelas ini lebih nyaman untuk belajar. Saya percaya kamu bisa lebih baik.”

Dani menatap Pak Riko dengan bingung namun ada secercah rasa hormat di sana. Ia mengangguk pelan, dan sejak saat itu, Dani lebih tenang dan serius saat pelajaran berlangsung. Pak Riko akhirnya merasa sedikit lega.

Ia sadar, bahwa menjadi guru bukan soal memilih tegas atau lunak, melainkan mengerti kapan harus tegas dan kapan harus lunak. Tepat ketika lonceng tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, Pak Riko tersenyum, puas bahwa ia telah menemukan cara mendidik yang lebih seimbang menggabungkan disiplin dan empati, untuk murid-murid yang dihadapinya setiap hari.

Jadi Guru vs Pembimbing Kursus"


Pak Riko duduk di meja kerjanya setelah bel sekolah berbunyi, tanda berakhirnya jam pelajaran. Ia menghela napas, menumpu kan dagunya pada telapak tangan. Meski hari itu cukup melelahkan, ia merasa sedikit lega bahwa ia telah mengatasi pembelajaran hari ini tanpa kejadian yang terlalu menguras pikiran  emosiku guman nya.

Saat tengah mengemasi buku-buku pelajaran, pintu kelas diketuk pelan. Seorang murid bernama Raka, yang biasanya pemalu dan jarang berbicara, muncul di ambang pintu dengan raut ragu.

“Pak… boleh minta waktu sebentar?” tanya Raka.

Pak Riko tersenyum, “Tentu, Raka. Ada yang bisa Bapak bantu?”

Raka melangkah masuk dan duduk dengan gelisah di depan Pak Riko. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Pak, saya merasa kesulitan mengikuti pelajaran Matematika. Nilai saya selalu rendah, dan saya bingung cara belajar yang benar.”

Pak Riko terdiam sejenak. Ia tahu, ini adalah kesempatan yang ia tunggu. Seorang murid yang benar-benar datang meminta bimbingan, bukan karena paksaan atau tuntutan dari orang tua. Sebuah keinginan yang muncul dari hati seorang anak yang sungguh-sungguh ingin tumbuh dan berkembang.

“Baik, Raka. Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat jadwal tambahan?” ujar Pak Riko, penuh antusias. “Kamu bisa datang setiap Selasa dan Kamis setelah jam sekolah, dan kita bisa mengulang materi yang belum kamu pahami.”

Raka tersenyum penuh harap. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha datang.”

Minggu pertama bimbingan berlangsung cukup lancar. Pak Riko meluangkan waktunya, mengulang materi dari dasar dan menyesuaikan penjelasannya dengan gaya belajar Raka yang lebih lambat dalam menangkap pelajaran. Ia menyusun latihan soal, memberikan contoh-contoh sederhana, bahkan mendengarkan setiap pertanyaan yang Raka ajukan tanpa terburu-buru. Raka tampak bersemangat, dan Pak Riko merasa ada kepuasan dalam hati.

Namun, pada beberapa minggu kemudian, semangat itu mulai goyah. Saat sesi bimbingan, Raka tampak gelisah. Ia berkali-kali melirik jam tangannya, dan ketika Pak Riko bertanya, Raka hanya tersenyum kikuk.

“Ada apa, Raka?” tanya Pak Riko, penuh tanda tanya. “Kamu terlihat tidak tenang.”

Raka ragu sejenak, lalu berkata, “Begini, Pak… orang tua saya memasukkan saya ke kursus tambahan. Mereka bilang di sana lebih lengkap dan lebih intensif…”

Pak Riko menelan ludah. Sebuah kursus? Di tengah usahanya mendampingi Raka dengan sabar, ada pihak lain yang tiba-tiba dianggap lebih efektif hanya karena membawa nama “kursus.” Ia berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa sedikit nyeri.

“Oh, ya? Ya, tidak apa-apa, Raka,” jawab Pak Riko akhirnya. “Semoga kamu mendapat manfaat dari kursus tersebut. Bapak tetap bisa membantu jika kamu membutuhkan sesuatu.” baik pak terima kasih atas pengertian nya.

Beberapa minggu berlalu, dan Pak Riko mulai merasakan perbedaan pada Raka. Nilainya meningkat pesat, dan ia sering bercerita tentang kursusnya dengan penuh semangat. Pak Riko mencoba tetap tersenyum tiap kali mendengar pujian yang diutarakan Raka untuk tempat kursusnya. “Pak, di sana guru kursusnya asik sekali! Mereka tahu cara mengajar yang enak,” ujar Raka suatu hari. Pak Riko hanya menanggapi dengan anggukan kecil, meski dalam hatinya bergumul rasa campur aduk.

Ketika nilai ujian Raka mengalami peningkatan signifikan, orang tua Raka datang ke sekolah untuk mengambil rapor. Mereka bertemu Pak Riko sejenak di lorong, dan langsung berbicara penuh semangat.

“Pak Riko, terima kasih atas semua upayanya di sekolah,” ujar ibu Raka sambil tersenyum. “Kami akhirnya melihat perubahan besar pada Raka, berkat les di tempat kursus, nilainya langsung naik. Kami jadi sadar, mungkin memang kursus adalah solusi terbaik untuk anak-anak kami.”

Pak Riko tersenyum pahit, menahan diri agar tidak terlihat kecewa. Ia ingin sekali berkata bahwa ia juga berperan dalam perubahan Raka. Ia yang sabar mendampingi di jam-jam tambahan itu. Tapi suara hatinya tenggelam dalam senyap, karena ia tahu apa yang orang tua Raka ingin dengar bukanlah usahanya,  melainkan hasil dari tempat  kursus itu.

Di perjalanan pulang, Pak Riko merenung, merasa seperti bayangan tak terlihat. Ia bertanggung jawab untuk mendidik, tapi tak pernah mendapat pujian yang sama dengan kursus. Mungkin, menjadi guru bukan tentang pengakuan, melainkan kesadaran bahwa apa yang ia tanam akan tumbuh suatu hari nanti, meski tanpa siapa pun yang tahu.

Dengan perasaan berat namun tetap ikhlas, Pak Riko tersenyum tipis sambil berbisik pada dirinya sendiri, “Mungkin, suatu hari nanti mereka akan mengerti.”

 

Tugas Jadi Orang Tua Kedua"


Pak Riko berjalan perlahan di lorong sekolah, kepalanya penuh dengan pikiran yang berat. Baru saja ia menerima panggilan dari ruang kepala sekolah. Kali ini, giliran orang tua siswa yang mengeluhkan anaknya terlibat perkelahian di luar sekolah, dan, entah bagaimana, hal itu dianggap sebagai cerminan dari kegagalannya dalam mengajar pendidikan karakter di ruang kelas nya.

“Pak Riko, bagaimana pendidikan karakter di kelas Anda?” tanya salah seorang wali murid yang ikut hadir di ruangan kepala sekolah. Tatapan mereka menghakimi, pandangan mereka penuh kekecewaan. seakan kesalahan anak-anak ini adalah kesalahan pribadinya.

Pak Riko terdiam, menelan kalimat-kalimat yang ingin ia utarakan. Pendidikan karakter? Pikirnya, Bukankah seharusnya itu dimulai dari rumah, dari cara orang tua memberikan teladan? Namun, tanggung jawab itu mengapa  seolah hari ini  berpindah padanya begitu saja. Ia berusaha tersenyum dan menjawab dengan tenang, “Kami berusaha mendidik yang terbaik, Bu. Mungkin beberapa perilaku memangharus dan  perlu adanya dukungan yang lebih, di luar sekolah.”

Namun, dalam hati, Pak Riko merasa semakin tak berdaya. Tuntutan masyarakat terhadap guru seperti dirinya terasa semakin tinggi, laksana  mencari sesuatu yang sempurna di balik seragam yang ia gunakan untuk mengajar setiap hari nya. Sebenarnya, “makhluk seperti ” apa yang diinginkan masyarakat dari seorang guru? Menurut ku guru itu makluk yang paling aneh di muka bumi jika di kaitkan dengan tugas yang mereka emban.

Pertanyaan pertanyaan itu masih bergaung di benak Pak Riko. Tergambar jelas gelayutnya dalam pandangan semu dan fatamorgana pendidikan. Di tengah gelayutnya pikiran itu, tiba-tiba seorang siswa mengetuk pintu ruang guru. Pak Riko mendongak, menatap wajah anak itu, seorang siswa yang selama ini dikenal pendiam di kelas, tak pernah sekalipun mengajukan pertanyaan,apalagi mengajukan argumentasi.

“Ada yang bisa Bapak bantu?” tanya Pak Riko sambil mencoba tersenyum.

“Pak, saya cuma mau bilang… waktu pelajaran matematika kemarin, Bapak ngajarin salah konsep kepada saya dan teman teman di kelas. Kata ayah, saya harus lapor kalau ada yang salah di sekolah,” kata anak itu dengan wajah polos, tanpa sadar bahwa pernyataannya sangat menohok kepada gurunya.

Pak Riko terhentak sejenak. Lalu pak Riko  sadar, di balik ketidaksukaannya pada siswa yang tak pernah bertanya, justru ia kini diingatkan, kini  pak Riko di sadarkan, bahwa kesalahannya lah dalam pelajaran matematika kemarin,  yang memantik dan membuat  keberanian siswa ini. Sepertinya, di mata murid-murid, tidak ada yang lebih menarik dari pada kesalahan seorang guru.

Belum selesai Pak Riko mencerna hal itu, siswa tersebut melanjutkan, “Pak, bisa nggak nilai matematika saya ditambah? Ayah bilang, kalau saya dapat nilai 90, dia akan belikan saya motor.” Mata anak itu penuh harap, polos tanpa sadar bahwa nilai bukanlah tiket menuju barang atau  hadiah.

Pak Riko menarik napas panjang. Di balik permintaan sederhana itu, ia melihat gambaran yang jauh lebih rumit: anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman bahwa nilai adalah segalanya, bahwa guru hanya ada untuk memastikan angka tinggi tanpa mempertimbangkan proses di baliknya. Sesaat, ia merasa sesak seperti mengemban tugas menjadi orang tua kedua, tapi tanpa hak, tanpa pengakuan, hanya beban terus menerus yang tak pernah sepenuhnya dihargai.

Dengan senyum lelah namun tulus, Pak Riko menepuk pundak anak itu. “Belajar itu untuk memahami, Nak, bukan sekadar mendapatkan angka. Bapak akan bantu kamu kalau kamu sungguh-sungguh mau belajar. Tapi, nilai tidak bisa diubah semudah itu.”

Anak itu hanya mengangguk, dan dengan langkah kecil, meninggalkan Pak Riko sendirian. Pak Riko menatap pintu yang baru saja tertutup. Di situ, di ruangan itu, ia bukan hanya seorang guru; ia berusaha menjadi segalanya yang diinginkan masyarakat. Tapi malam itu, Pak Riko tahu, ia telah memenuhi tugasnya, meski hanya sebagai seorang guru yang tak pernah berhenti berharap untuk dipahami.

Siapa yang Berhak Atas Kesantunan Itu?"


Pagi itu, Pak Riko mengawasi para siswa saat bel masuk berbunyi. Ia tersenyum tipis saat menyaksikan beberapa dari mereka mulai menyapa dan mengucapkan salam dengan santun. Ada kehangatan tersendiri yang dirasakannya. Meski tak mudah, ia selalu menekankan pentingnya sopan santun, menghormati guru, dan mengendalikan diri.

Siang harinya, seorang wali murid datang ke ruangannya. Dengan raut wajah yang bangga, ibu itu berkata, “Pak Riko, anak saya sekarang jadi lebih santun, ya. Tapi, ya, tentu itu karena didikan kami di rumah.” Wajahnya berseri-seri, penuh kepuasan.

Pak Riko tersenyum tipis, memaksa dirinya untuk menerima ucapan itu dengan tenang. Hasil didikan orang tua di rumah, katanya. Rasanya ia ingin tertawa dan menangis sekaligus. Semua usaha yang ia tanamkan selama ini seolah lenyap dalam satu pujian yang bukan untuk dirinya. Ia kembali tersenyum,kali ini senyum yang samar dan penuh makna yang hanya dirinya yang mampu mengerti.

Tak lama setelah ibu itu berlalu, seorang guru lain datang ke mejanya, membawa kabar tentang seorang siswa yang terlibat masalah di luar sekolah. Anak itu, yang dikenal sering mengganggu teman-temannya, membuat para guru dipanggil untuk memberi penjelasan. Seolah kebandelan anak itu adalah cermin dari kegagalan guru, bukan orang tuanya.

“Pak Riko, mungkin ini perlu dibicarakan dengan orang tuanya,” kata rekan guru itu. “Anaknya benar-benar sulit diatur. Pasti nanti mereka tanya lagi, kok bisa anaknya begitu, salahnya dididik bagaimana?”

Di dalam benaknya, Pak Riko tak bisa lagi menahan perasaan yang mengendap. Bagaimana mungkin pujian atas kesantunan dan keberhasilan anak selalu jatuh kepada orang tua, sementara keburukan mereka dibebankan sepenuhnya pada guru? Apakah, selama ini, ia hanya berdiri di balik bayang-bayang yang dipuja atau dicerca sesuai kehendak mereka?

Dengan tatapan mata yang sedikit lesu, Pak Riko berbisik dalam hati, "Mendidik bukan tentang siapa yang mendapat pengakuan, tapi mengapa beban dan sorotannya selalu tidak adil?”

Sore itu, di tengah keheningan ruang kelas yang telah kosong, Pak Riko duduk sendirian. Ia menatap kursi-kursi yang kosong, membayangkan wajah-wajah muridnya. Di balik kelelahannya, ia tahu bahwa esok ia akan tetap hadir, akan tetap mengajarkan mereka sopan santun meski mungkin hasilnya akan diklaim lagi oleh orang lain.

Baginya, kebahagiaan sederhana adalah melihat anak-anak itu tumbuh menjadi manusia yang santun, bahkan jika dirinya tetap tak tampak dalam cerita mereka.

Sekelumit Harapan di Malam Sunyi"

smk bina taruna purwokerto 
Di tengah malam yang sunyi, setelah acara perpisahan yang penuh haru, Pak Riko duduk di beranda rumahnya, menikmati suara suara binatang malam sekaligus menatap bulan dan bintang yang sesekali bersembunyi di balik awan. perasaan pak Riko masih terbayang pada ucapan tulus salah satu muridnya tadi siang, yang meneteskan air mata saat berkata, “Terima kasih, Pak. Bapak sudah banyak membantu saya.”

Untuk pertama kalinya, ia merasa usahanya dihargai. Namun, sesaat setelah perasaan hangat itu menyelinap, ia teringat pada komentar-komentar yang tak pernah lelah menyerangnya dari berbagai pihak. Begitu ia membuka media sosial di ponselnya, komentar pedas dari publik tentang "sistem pendidikan yang gagal" kembali menyeruak. Di situ, tertulis beragam kritik yang tak hanya mengarah pada sekolah atau kurikulum, tapi juga menohok profesi guru seperti dirinya.

Pak Riko menarik napas panjang, matanya tak lepas dari layar ponsel yang kini terlihat gelap. Seakan terserap dalam gulita pikirannya, ia memandang jauh ke arah tumpukan buku dan materi-materi pelajaran di meja ruang tamunya. “Apa gunanya semua ini jika yang mereka lihat hanya kesalahan kita?” tanyanya lirih pada dirinya sendiri.

Saat itulah, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari nomor yang tak ia kenali muncul di layar. Dengan sedikit ragu, ia membukanya. Ternyata pesan itu berasal dari seorang murid lamanya, Bimo, yang kini telah menempuh semester awal di salah satu universitas ternama di kota.

"Pak Riko, saya cuma ingin mengucapkan terima kasih. Bapak selalu sabar mengajari saya saat saya hampir menyerah dulu. Tanpa Bapak, saya mungkin tidak akan punya keberanian untuk menjadi seperti sekarang. Bapak adalah guru terbaik yang pernah saya miliki."

Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat yang tiba-tiba menyelimuti perasaannya yang nyaris hampa. Pandangannya mulai kabur, dan tanpa sadar, air mata pun mengalir di pipinya. Semua kenangan selama mengajar, mulai dari perjuangan memperbaiki cara belajar siswa, hingga menghadapi tuntutan tanpa henti, perlahan terasa lebih ringan. Ia membayangkan Bimo, seorang anak yang dulu sangat pemalu, kini tumbuh menjadi pemuda percaya diri, mengirimkan rasa terima kasih yang tulus dari jauh.

Pak Riko tersenyum kecil, meresapi kembali rasa bangga yang sempat tenggelam oleh kritik dan tuntutan. “Ternyata, meskipun kadang tak terlihat, aku punya arti untuk mereka,” gumamnya, seraya menyeka sisa air matanya yang tersisa. Di dalam hati, ia mulai sadar bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar di dalam kelas, tetapi juga membentuk jalan hidup bagi mereka, membekali mereka dengan semangat dan keberanian yang mungkin baru terlihat setelah sekian lama mereka jauh melangkah.

Keesokan harinya, saat Pak Riko berjalan ke sekolah, ia melihat para siswa tengah bermain di halaman, tertawa ceria tanpa beban. Ia sadar, bahwa meskipun tak semua orang akan memahami jerih payahnya, anak-anak itu adalah alasan ia tetap bertahan. Setiap senyum mereka, setiap langkah yang mereka ambil dalam hidup, adalah jejak kecil dari pengabdiannya sebagai seorang guru.

Di tengah perjalanan menuju ruang kelas, Pak Riko bertemu dengan kepala sekolah yang tersenyum padanya. “Pak Riko, sapa nya beliau: "kita semua tahu betapa keras bapak bekerja untuk siswa-siswa kita. Mungkin tidak semua orang bisa melihatnya, tapi kami, para guru di sini, tahu bahwa bapak adalah salah satu alasan anak-anak kita memiliki masa depan yang lebih cerah.”

Pak Riko tersenyum, kali ini lebih lega dari sebelumnya. Ia tahu, meskipun pekerjaan ini kadang tak mudah, di balik setiap keluhan, masih ada orang-orang yang percaya padanya.

Di akhir hari, Pak Riko menutup ruang kelas dengan hati yang lebih ringan. Ia merasa, meski profesi guru sering kali tidak dihargai seperti yang semestinya, masih ada siswa-siswa seperti Bimo yang menyimpan rasa terima kasih, ada kolega yang memahami perjuangannya, dan ada masyarakat yang suatu saat akan merasakan dampak dari setiap peluh yang ia teteskan. Ia melangkah pulang dengan senyum di wajahnya, membawa tekad untuk terus mengajar dengan hati.Baginya, itu lebih dari cukup.

Pak J 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar