Kamis, 10 Oktober 2024

JIKA ANGKA MENJADI TUJUAN UTAMA

 

bell Kosong Sebuah pagi di kelas XII IPA 3 yang seharusnya riuh dengan aktivitas belajar, justru diwarnai sunyi. Hanya ada segelintir siswa yang hadir. Pak Fadil, sang guru matematika, berdiri di depan kelas dengan raut wajah penuh pertanyaan. "Di mana yang lainnya?" tanyanya pada diri sendiri. Seorang siswa, Dimas, duduk di bangku belakang dengan mata terpaku pada ponselnya. Dimas sering datang telat, atau bahkan tak hadir sama sekali. Ketika ditanya alasan ketidakhadirannya, jawabannya selalu sama, "Tugas, Pak. Banyak banget, gak sempat."

Pak Fadil tahu, bukan tugas yang menjadi masalah. Banyak siswa lainnya seperti Dimas, tak peduli dengan materi pelajaran, tapi akan hadir dengan semangat saat ujian tiba. "bell sudah lama berbunyi," pikir Pak Fadil, "tapi apa yang mereka dengar hanyalah bell angka, bukan bell ilmu." Bukan lonceng ilmu tapi sekedar lonceng formalitas belaka.

Data dari laporan UNESCO tahun 2019 menyebutkan bahwa absensi siswa kerap kali berkorelasi dengan kurangnya keterlibatan emosional dan motivasi intrinsik11 untuk belajar sering kali tidak melihat pentingnya proses belajar, melainkan hanya fokus pada hasil akhir berupa angka nilai. Pak Fadil merasakan ini tiap hari.


 Kertas yang Kosong Semester tengah berjalan, dan tumpukan tugas yang belum dikumpulkan mulai membuat Pak Fadil frustrasi. Setiap kali meminta tugas, Dimas dan beberapa siswa lainnya selalu memberi alasan klasik: "Lupa, Pak," atau "Nanti saya kumpulkan." Tugas-tugas itu bukan hanya untuk memenuhi syarat akademis, tapi sebagai evaluasi kemampuan mereka memahami materi. Namun, banyak dari mereka tampaknya tidak peduli.

Sebuah penelitian dari World Bank menunjukkan bahwa banyak siswa di Indonesia mengalami krisis kesadaran akademik, di mana mereka lebih berorientasi pada nilai ujian akhir daripada proses pembelajaran . Bagi Dimas proses belajar  hanyalah "formalitas" yang bisa dilewatkan, asalkan nilai ujian mereka tetap baik terutama saat ujian.

Suatu hari, Pak Fadil menemukan hal mengejutkan. Tugas yang dikumpulkan Dimas ternyata hanya berisi jawaban-jawaban yang disalin mentah dari internet. Bahkan suatu saat jawaban pertanyaan yang di kumpulkan ke pak fadi satu kelas jawabannya sama. Tidak ada pemahaman, tidak ada usaha. Saat Pak Fadil mengonfrontasi Dimas, jawabannya singkat, "Yang penting nilainya, Pak."

Saat Ujian Datang Ketika minggu ujian tiba, pemandangan di sekolah berubah drastis. Kelas yang biasanya kelas kelas banyak yang di tinggalkan penghuni nya, kini dipenuhi siswa yang selama ini jarang hadir. Dimas, yang sempat tak terlihat di kelas berhari-hari, tiba-tiba hadir di depan bangku paling depan, mempersiapkan diri untuk ujian. Raut wajahnya serius, seolah siap menghadapi apa pun.

"Ujian adalah cermin bagi mereka yang belajar," pikir Pak Fadil, "tetapi bagi sebagian siswa, ini hanyalah medan berupa perburuan angka." Fenomena ini didukung oleh penelitian dari OECD yang menunjukkan bahwa siswa di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung lebih fokus pada nilai ujian sebagai indikator kesuksesan daripada kemampuan atau pemahaman .

Saat ujian dimas terlihat gelisah. Beberapa kali ia melirik ke arah lembar jawab siswa di sebelahnya. Setelah ujian selesai, Pak Fadil mendapati banyak jawaban Dimas yang identik dengan jawaban siswa lain. Namun, apa yang lebih mengejutkan adalah sikap Dimas setelah ujian. Ketika nilai diumumkan, dan Dimas mendapatkan nilai rendah, ia dengan nada merendahkan berkata, "Pak, soal ujiannya sulit. Guru yang gak bisa ngajarin kali."


Di Balik Angka
Saat rapor dibagikan, Dimas dan beberapa siswa lainnya mendapatkan nilai yang cukup. Namun, Pak Fadil tahu bahwa nilai-nilai itu tidak mencerminkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Nilai hanyalah angka di atas kertas, tetapi moralitas dan sikap mereka terhadap pendidikan adalah masalah yang jauh lebih mendasar.

Psikolog pendidikan, Sugata Mitra, dalam penelitiannya tentang pendidikan global, menyatakan bahwa penekanan yang berlebihan pada angka nilai menciptakan budaya di mana siswa memanipulasi sistem pendidikan demi keuntungan pribadi, tanpa benar-benar menguasai keterampilan hidup . Fenomena ini tampak jelas kata  Pak Fadil.

"Apakah ini yang mereka kejar? Angka? Kesombongan? Merendahkan guru, seolah angka lebih penting daripada ilmu?" pikir Pak Fadil. Perjuangannya sebagai pendidik terasa semakin berat, tetapi ia tahu bahwa perubahan harus datang dari dalam diri siswanya sendiri.

Pintu yang Terkunci Di hari terakhir semester, Dimas datang terlambat ke sekolah. Ia tersenyum lebar, menganggap semester telah berlalu dan nilai yang ia kejar sudah aman. Namun, ia tidak tahu bahwa di balik angka-angka itu, ada sesuatu yang telah ia tinggalkan: kesempatan untuk belajar, menghargai guru, dan mengembangkan keterampilan hidup.

Saat berjalan melewati ruang kelas yang kosong, Dimas melihat sesuatu yang baru. Di papan tulis tertulis, "Apakah angka itu yang kau kejar? Atau kebenaran di balik angka?" Dimas terdiam. Ia sadar, pintu-pintu pengetahuan yang selama ini ia abaikan kini terasa seperti pintu yang terkunci.

Pelajaran Terakhir Dalam sebuah pertemuan akhir semester, Pak Fadil berbicara di depan kelas. "Anak-anak, sekolah bukanlah tempat untuk mengejar angka. Ini adalah tempat kalian belajar hidup, menghargai proses, dan menghormati orang yang membimbing kalian." Beberapa siswa menunduk, termasuk Dimas. Akhirnya, kesadaran itu datang. Namun, apakah terlambat?

Iya… benar kesadaran yang terlambat karena mereka termasuk Dimas sudah di penghujung tingkat. Itu artinya sebentar lagi ia akan meninggalkan sekolah ini dengan berbagai kenangan yang sudah tertulis tinta hitam.

Andai saja proses itu tak terabaikan oleh mereka tentu hasil akhirnya akan jauh berbeda dengan yang mereka dapatkan saat ini.

Gurulah  yang paling menyesal karena ada satu generasi yang minus akhlaq mulia, karena orientasi sekolah nya sekedar memburu angka. Tanpa mempedulikan tatakrama dalam belajar nya.

Sumber Referensi:

  1. "Learning Poverty in Indonesia" - World Bank, 2020.
  2. "Global Education Monitoring Report" - UNESCO, 2019.
  3. "The Shadow Education System" - OECD, 2017.
  4. Mitra, Sugata. "Beyond The Hole in The Wall: Discovering the Power of Self-Organized Learning" - TED Talks, 2013.

1. dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan sesuatu tanpa perlu rangsangan dari luar

 

 

 

 

 

 

 

1 komentar:

  1. jos karya yang luar biasa , trenyuh saya membaca nya

    BalasHapus