Sabtu, 26 Oktober 2024

GURU YANG PROTES ITU TIDAK BERSYUKUR, & TIDAK IKHLAS ?

 

Kompasiana.com
Selama bertahun-tahun, kita semua tumbuh dengan anggapan bahwa profesi guru adalah profesi mulia, sebuah jalan pengabdian yang menuntut totalitas tanpa banyak tuntutan. Namun, seiring berjalannya waktu, gagasan "guru adalah panggilan jiwa" mulai berubah menjadi beban. Seringkali guru dianggap "tidak perlu" memperjuangkan kesejahteraan ekonomi, seolah-olah kesejahteraan pribadi adalah hal tabu. Mereka dianggap harus selalu menjadi "manusia yang penuh keikhlasan," meskipun kondisi kesejahteraan yang diberikan tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka berikan.



"Gaji Sekali, Kerja Sebulan"

Sederhananya, bayangkan seorang guru bekerja keras selama 4 minggu, tetapi hanya dibayar layaknya upah untuk seminggu. Jam kerja mereka tidak terbatas pada mengajar di kelas. Mereka harus mempersiapkan materi, mengevaluasi tugas, dan sering kali berhadapan dengan permasalahan siswa yang tidak ringan. Namun, ketika gaji tiba, guru hanya menerima seadanya. Banyak yang berpakaian rapi, mengenakan sepatu bagus, terlihat seperti orang-orang yang mapan, tetapi pakaian perlente itu,sesunguhnya hanya topeng bagi kenyataan pahit kehidupan mereka di balik layar. pakain bagus sepatu bagus adalah tuntutan pendidikan, siapa yang mau di didik oleh guru pakaian  kumal kusam dan bau?.

 "Guru Harus Ikhlas"

Masyarakat seringkali memasukkan angin surga, bahwa "guru pasti rezekinya berkah," tetapi tidak sedikit dari mereka yang tidak tahu bahwa seorang guru mungkin harus mencari pekerjaan tambahan atau bahkan berutang hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar keluarganya. Banyak guru harus menahan rasa malu untuk tidak meminta kenaikan gaji, khawatir dilabeli "tidak ikhlas" oleh murid, wali murid, atau masyarakat. Ironi yang pedih, di mana guru dituntut mulia dan ikhlas tanpa ampun. pada hal stakeholder termasuk yayasan dan pemerintahlah yang harusnya membuat guru untuk ikhlas bekerja .



Perlindungan Sosial dan Hukum 

gurusiana
Lebih ironis lagi, jika seorang guru terlibat dalam kasus yang mungkin sepele tetapi viral, seperti masalah disiplin atau teguran pada siswa, respons publik sering kali adalah menghakimi. seakan akan mereka seperti penjahat yang harus di libas oleh kekuatan super power. Bandingkan perlakuan masyarakat terhadap para maling uang rakyat yang diberi julukan KORUPTOR. 

Guru tidak mendapatkan perlindungan atau dukungan dalam menghadapi tekanan ini. Mereka harus mempertaruhkan profesi dan reputasi mereka sendiri, berjuang sendiri, kalau perlu menangis mereka harus menangis sendiri. Sementara dukungan dari lembaga pemerintah atau instansi yang berwenang seringkali minim bahkan tidak ada. kalau tega begitu, seakan akan mereka akan berkata: salahnya ngajar ndak hati hati, tanggung tuh akibatnya.

Keinginan Dasar Seperti Profesi Lainnya

Guru bukanlah makhluk tanpa hati. Mereka bukan pula robot yang bisa bertahan hidup dari sedikit penghargaan finansial dan janji surgawi. Stakeholder, termasuk pemerintah, harus membuka mata dan telinga bahwa mereka juga ingin sejahtera, ingin merasa aman, dan ingin diperhatikan. Kesejahteraan guru tidak boleh dianggap sebagai beban bagi negara, melainkan sebagai investasi masa depan. Jika kesejahteraan guru meningkat, maka mutu pendidikan yang mereka berikan akan semakin baik.

 



Guru adalah Profesi yang Layak Dihargai Secara Pantas

Mari kita hargai mereka sebagai manusia yang bekerja keras untuk masa depan bangsa. Perbaikan kesejahteraan bagi para guru bukanlah keinginan yang berlebihan; ini adalah kebutuhan yang sepatutnya kita penuhi. Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah berhenti melihat guru sebagai "makhluk ikhlas" semata, tetapi sebagai pribadi yang layak hidup dengan penghargaan penuh. Dalam kerangka "Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani," filosofi luhur ini seolah menjadi batu penjuru yang tak terbantahkan dalam profesi seorang guru. Namun, dalam bayang-bayang kebesaran falsafah ini, realitas pahit kesejahteraan guru justru sering diabaikan.

“Ing Ngarso Sung Tulodho” – Guru sebagai Teladan


Di depan, guru adalah figur panutan, yang menjadi teladan bagi anak didik dalam segala hal. Namun, bagaimana seorang guru dapat terus menjadi teladan jika ia hidup dengan keterbatasan ekonomi yang mengimpit? Bagaimana ia dapat menunjukkan kepada muridnya arti perjuangan hidup yang baik, sementara ia sendiri harus berjibaku mencari pekerjaan tambahan hanya untuk menutup kebutuhan sehari-hari? Tanpa kesejahteraan yang layak, guru-guru kita sulit menampilkan sosok "sung tulodho" dengan sepenuh hati.

“Ing Madyo Mbangun Karso” – Guru sebagai Inspirator di Tengah Anak Didik

Di tengah, guru berperan sebagai inspirator, membangun semangat, kreativitas, dan motivasi dalam diri siswa. Namun, inspirasi seharusnya tidak tumbuh dari hati yang gelisah. 

Guru yang setiap hari harus mengkhawatirkan pemenuhan kebutuhan hidupnya akan kehilangan energi untuk menginspirasi. Penghasilan yang layak bukan hanya soal finansial, tetapi soal ketenangan batin. Kesejahteraan ekonomi adalah fondasi bagi guru untuk membangun karso (semangat) yang tulus dan murni bagi siswa-siswanya.

“Tut Wuri Handayani” – Guru sebagai Pendukung dan Pendorong dari Belakang

Di belakang, guru adalah sosok yang memberikan dorongan dan dukungan penuh kepada murid-muridnya. Namun, dalam mendukung mereka, seringkali guru yang mengalami tekanan, kesulitan, bahkan ancaman ketika muncul permasalahan antara siswa dan masyarakat. 

Saat seorang guru menghadapi krisis dalam mengatur kelas, masalah disiplin, atau tindak bullying, mereka sering ditinggalkan tanpa perlindungan atau bantuan. 

Guru yang seharusnya didukung di belakang justru ditinggalkan untuk menanggung semua konsekuensinya sendiri, tanpa jaminan perlindungan dari institusi yang semestinya melindungi mereka.

Mengembalikan Makna Filosofi Luhur dengan Mengangkat Kesejahteraan Guru

nuraga ebook sang guru.cdr

Jika kita benar-benar menghidupkan kembali filosofi ini, maka sudah selayaknya kita mendukung kesejahteraan guru agar mereka benar-benar dapat menjalankan perannya sebagai teladan, inspirator, dan pendukung bagi generasi masa depan. Mari kita berhenti memandang profesi guru sebagai "pengabdian semata" yang menuntut ikhlas tanpa batas. Mereka berhak atas kehidupan yang layak dan pengakuan akan profesi mereka sebagaimana profesi lainnya.

Jargon ini akan menjadi utuh jika kita tidak hanya menuntut guru untuk ikhlas dan mengabdi, tetapi juga memberikan kesejahteraan yang layak agar nilai-nilai "Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani" tidak sekadar menjadi kata-kata kosong. Guru layak untuk hidup dengan layak—sehingga mereka bisa sepenuhnya menjalankan peran mulia ini tanpa beban ekonomi yang menghimpit.
Stakeholder dan pemerintahlah yang membuat guru  menjadi ikhlas bekerja, BUKAN malah mereka yang selalu menuntut guru untuk berbuat ikhlas.

3 komentar:

  1. Perjalanan yang dilalui dalam berkarya dan memenuhi kebutuhan.

    Tetap semangat adalah motivasi.

    BalasHapus
  2. Guru jaman sekarang harus lebih diperhatikan terutama kesejahteraannya kenapa ... sekarang semua serba duit !!!

    BalasHapus