Awal Kehidupan Burung Tua
Di sebuah hutan lebat yang penuh dengan pepohonan tinggi, hidup seekor burung tua bernama Sangka. Dulu, Sangka adalah burung yang sangat gagah, dengan bulu-bulu berwarna hitam pekat yang memantulkan sinar matahari. Dia terbang bebas menembus awan, berburu makanan, dan memimpin kawanan burung lainnya. Tapi, waktu terus berjalan, dan kini sayapnya yang dulu kuat mulai melemah. Sangka tak lagi bisa terbang sejauh dulu.Di sore
yang kelam, Sangka termenung di dahan sebuah pohon besar. Sayapnya terasa
berat, tubuhnya lelah. Sangkanya, tak ada lagi yang peduli padanya. Tidak ada
kawan yang menemaninya berburu atau berbagi cerita seperti dulu. Bahkan untuk
mencari makan pun kini terasa mustahil. Hari-hari yang sulit semakin dekat.
Suatu pagi,
di tengah rasa putus asanya, seekor burung muda bernama Rumi terbang mendekat.
Dengan ringan ia membawa biji-bijian di paruhnya, lalu meletakkannya di depan
Sangka. "Ini untukmu," kata Rumi sambil tersenyum,
"makanlah." Sangka terkejut, tak menyangka ada yang peduli padanya.
Tapi ia merasa malu menerima bantuan.
"Aku
tak butuh belas kasihan," katanya lemah.
Rumi
tersenyum bijak. "Ini bukan belas kasihan, ini naluri. Aku merasa
terpanggil untuk membantumu."
Semenjak
hari itu, Sangka perlahan mulai menerima bantuan dari Rumi. Setiap pagi, burung
muda itu datang membawa makanan untuk Sangka. Awalnya, Sangka merasa
tersinggung, merasa dirinya tidak lagi berguna, tapi Rumi selalu mengatakan
bahwa ini adalah jalan alam.
"Setiap
makhluk punya peran, Sangka. Aku mungkin muda dan kuat sekarang, tapi suatu
hari aku juga akan butuh bantuan. Saat itulah giliran burung muda lain yang
akan menolongku," ujar Rumi suatu hari. Kata-kata Rumi menusuk hati
Sangka. Ia mulai berpikir, mungkin ada alasan di balik semua ini. Tuhan
mengatur segala sesuatu dengan sempurna. Jika burung-burung muda seperti Rumi
bisa menunjukkan kasih sayang tanpa pamrih, mengapa dirinya sebagai burung tua
merasa malu?
Sangka
mulai menerima kenyataan bahwa ia tak lagi sekuat dulu, dan dengan rasa syukur
ia menerima setiap butir makanan yang dibawa oleh Rumi.
Pengorbanan
Rumi
Namun,
kehidupan tak selalu mudah bagi Rumi. Setiap hari ia harus terbang jauh untuk
mencari makanan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Sangka. Di
hutan yang luas, persaingan untuk mendapatkan makanan semakin ketat.
Burung-burung lain mulai memperhatikan tindakan Rumi, dan beberapa di antaranya
bahkan mengejeknya.
"Kenapa
kamu repot-repot menyuapi burung tua yang sudah tidak berguna? Lebih baik kamu
fokus pada dirimu sendiri!" ejek salah satu burung lainnya.
Rumi hanya
tersenyum dan berkata, "Aku hanya mengikuti hatiku. Tuhan telah memberikan
naluri kepada kita untuk peduli pada sesama. Jika aku mampu, mengapa tidak
membantu?"
Meski
begitu, tekanan dari kawanan semakin berat. Tapi Rumi tetap bertahan. Setiap
hari ia datang untuk memberi makan Sangka, meskipun itu berarti ia harus
berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pergulatan
Hati Sangka
Suatu malam, setelah Rumi pulang dari perburuan yang berat, Sangka merenung dalam sunyi. Ia memandang bintang-bintang yang berkilauan di langit, dan hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ia merasa bahwa hidupnya yang kini tergantung pada Rumi terlalu membebani burung muda itu. Apakah ini yang diinginkan oleh Tuhan?
Sangka
mengingat kembali masa mudanya, ketika ia masih bisa terbang bebas. Apakah
hidupnya kini hanya menjadi beban bagi yang lain? Ia memikirkan untuk pergi,
meninggalkan hutan agar Rumi bisa hidup lebih bebas tanpa perlu merawatnya.
Namun, sesuatu dalam hatinya menahannya. Rasa syukur yang mulai tumbuh dalam
dirinya mengingatkannya bahwa hidup bukan hanya tentang memberi, tapi juga
tentang menerima.
Kebangkitan
Kecil
Suatu hari,
Rumi datang dengan membawa lebih banyak makanan dari biasanya. "Hari ini,
aku menemukan sumber makanan yang melimpah," katanya dengan gembira.
Sangka tersenyum lemah, tapi di dalam dirinya muncul keinginan untuk kembali
membantu.
"Apa
yang bisa aku lakukan untukmu, Rumi? Aku merasa sudah terlalu banyak menerima
tanpa memberi," tanya Sangka.
Rumi
tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Sangka. Kehadiranmu saja sudah cukup.
Kau adalah pengingat bagiku bahwa kita semua saling bergantung satu sama lain.
Bahkan saat kau tidak bisa terbang, kau tetap memberiku pelajaran berharga
tentang kesabaran dan kasih sayang."
Kata-kata
Rumi menyentuh hati Sangka, dan dengan perlahan, Sangka mulai menyadari bahwa
meskipun sayapnya tak lagi mampu terbang tinggi, ia masih bisa memberi makna
bagi burung-burung lain di sekitarnya.
Akhir yang
Indah
Waktu terus
berjalan, dan hari-hari Sangka semakin singkat. Namun, sebelum napas
terakhirnya tiba, ia merasakan sesuatu yang hangat dalam hatinya. Ia tak lagi
merasa sebagai beban, tapi sebagai bagian dari rantai kehidupan yang lebih
besar. Ketika akhirnya tiba waktu bagi Sangka untuk pergi, ia melakukannya
dengan tenang.
Rumi datang
di pagi itu seperti biasa, tetapi kali ini, Sangka tak lagi menyambutnya. Rumi
tahu, saat itu telah tiba. Dengan penuh kasih, ia menutup mata Sangka yang
telah beristirahat dengan damai.
Di langit,
seekor burung lain terbang mendekat. Itu adalah burung muda yang baru saja
memulai hidupnya, siap untuk mengambil peran seperti yang Rumi lakukan dulu.
Karena dalam siklus kehidupan ini, tak ada yang benar-benar hilang. Kita saling
merawat, saling memberi, dan Tuhan selalu menyediakan cara bagi setiap makhluk
untuk saling bergantung dalam kasih sayang-Nya.
Cermin Kehidupan Manusia
Setelah kepergian Sangka, Rumi merenung tentang arti kehidupan dan tanggung jawab. Sebagai burung muda, ia pernah berpikir bahwa kekuatan dan kebebasan adalah segalanya. Namun, kini ia mengerti bahwa kekuatan sejati terletak pada rasa peduli dan kasih sayang kepada yang lebih lemah. "Tuhan memberikan kita naluri bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk peduli terhadap sesama," gumam Rumi dalam hatinya.
Rumi mulai
melihat bahwa peristiwa dengan Sangka adalah cerminan bagi kehidupan manusia.
Ia membayangkan bagaimana manusia seringkali lalai merawat orang tua mereka
yang sudah lanjut usia, melihat mereka sebagai beban atau tanggung jawab yang
berat. Padahal, justru dalam merawat orang tua, manusia bisa menemukan kasih
sayang Tuhan yang lebih dalam.
Dalam
perjalanan terbangnya, Rumi melihat di kejauhan seorang manusia yang merawat
orang tuanya yang sudah tua. Manusia itu dengan sabar mengajak orang tuanya
berjalan pelan-pelan, menyuapinya makanan dengan lembut, dan memberikan
perhatian tanpa rasa tergesa-gesa. "Manusia itu mengerti," pikir
Rumi, "seperti aku yang telah merawat Sangka, manusia itu merawat orang
tuanya dengan tulus."
Kewajiban
yang Luhur
Seiring
waktu, Rumi semakin sadar bahwa pesan dari Tuhan tidak hanya tertuju kepada
burung, tapi juga kepada manusia. Seperti burung yang memiliki naluri alami
untuk merawat sesamanya, manusia juga diberi hati yang penuh dengan kasih.
Namun, seringkali manusia lupa bahwa orang tua adalah tanggung jawab yang harus
dijaga hingga akhir.
Melalui
pengalamannya bersama Sangka, Rumi belajar bahwa hidup adalah sebuah siklus.
Orang tua yang dulu merawat kita saat masih kecil, sekarang membutuhkan
perawatan di usia tua. "Betapa pentingnya kewajiban ini bagi
manusia," pikir Rumi. "Karena dengan merawat orang tua, mereka tidak
hanya memenuhi kewajiban sosial, tapi juga membangun jembatan kasih sayang yang
menghubungkan mereka dengan Tuhan."
Rumi
berharap bahwa lebih banyak manusia yang memahami pesan ini. Bahwa merawat
orang tua bukan sekadar tugas, tapi adalah bentuk ibadah yang tinggi di mata
Tuhan. Sebagaimana burung diberi naluri untuk merawat sesamanya, manusia juga
dianugerahi perasaan kasih yang lebih dalam. Pada akhirnya, rasa ikhlas dalam
merawat orang tua adalah cerminan ketulusan seorang hamba kepada Penciptanya.
Tamat.
Pak J
Semakin produktif
BalasHapusbagus pak ayooo terus literasi
BalasHapus