Suara
Kecil dari Sajadah
“Ini,
tempat kita berbicara dengan Allah,” ucapku sambil menatap wajah polos mereka.
Belum tentu mereka paham, tapi aku berharap kata-kataku akan terpatri di hati
mereka.
Setiap
kali aku mengajak mereka ke masjid, hati ini berbunga. Ada perasaan bangga,
karena aku bisa menuntun mereka, menunjukkan jalan menuju Sang Pencipta. Waktu
berlalu, dan mereka mulai hafal doa-doa sholat. Bahkan di saat-saat mereka
terlalu lelah atau enggan melangkah, aku tetap mengajak mereka—karena aku tahu,
kebiasaan ini akan menjadi pondasi hidup mereka kelak.
Namun,
di saat itu, aku tak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti, panggilan adzan
akan menjadi lebih dari sekadar suara. Ia akan menjadi ujian terbesar bagi
hatiku sebagai seorang ayah.
Pesantren, Titipan Harapan
Ketika anak-anak mulai menginjak usia remaja, kami memutuskan untuk menitipkan mereka di pesantren. Harapanku sederhana—agar apa yang telah kutanamkan di rumah, diperdalam dengan ilmu agama yang lebih luas. Di pesantren, mereka akan belajar Qur’an, hadist, dan memperkuat sholat mereka.
Hari-hari
pertama tanpa mereka terasa hampa. Setiap kali waktu sholat tiba, aku teringat
betapa biasanya kami berjamaah bersama di rumah. Ada kesepian yang aneh, namun
aku harus kuat. "Ini demi kebaikan mereka," batinku berulang kali.
Ketika
berkunjung ke pesantren, kulihat wajah mereka lebih dewasa. Tapi jauh di dalam,
aku bertanya-tanya, apakah mereka semakin dekat dengan Allah seperti yang aku
harapkan? Apakah sholat yang mereka lakukan di pesantren sekadar kewajiban,
atau benar-benar telah menjadi bagian dari diri mereka?
Pertanyaan-pertanyaan
itu sering muncul dalam hatiku, membayangi setiap langkahku menuju rumah.
Subuh yang Menggugah Kegelisahan
Kini mereka telah lulus pesantren. Mereka kembali ke rumah, tapi ada yang terasa berbeda. Setiap kali adzan Subuh berkumandang, mereka tak lagi dengan cepat bangun dan bersiap. Seringkali, aku harus memanggil mereka berkali-kali. Di saat itulah kegelisahanku mulai tumbuh.
“Mengapa
mereka tidak segera bangun? Mengapa mereka tidak merespons panggilan Ilahi ini
dengan penuh kesadaran seperti dulu?” tanyaku dalam hati, walaupun mulutku
tetap diam.
Setiap
kali harus membangunkan mereka, hatiku terasa berat. Apakah aku telah gagal?
Apakah yang pernah kutanamkan bertahun-tahun itu mulai pudar?
Mereka
tetap sholat, tak pernah meninggalkan waktu lima waktunya. Tapi mengapa sering
terlambat? Mengapa hati mereka tak segera tergerak saat panggilan-Nya
berkumandang?
Saat Dunia Lebih Menarik
Aku mulai menyadari, dunia luar semakin menarik perhatian mereka. Waktu sholat kadang bersaing dengan gawai mereka, atau acara televisi yang memikat. Sebagai ayah, aku bisa melihat pertempuran batin mereka, meski mereka tak pernah mengatakannya.
Ada
saat-saat ketika aku merasa, mungkin aku harus membiarkan mereka. Biarkan
mereka belajar dari kesalahan, biarkan mereka merasakan dampaknya sendiri.
Namun, naluri orang tua tak bisa membiarkan itu begitu saja. Setiap detik
keterlambatan mereka untuk menjawab panggilan adzan terasa seperti duri yang
menusuk di hatiku.
Apakah
kesadaran itu akan datang dengan sendirinya? Ataukah aku harus lebih keras
dalam mengingatkan? Tapi, sholat bukan tentang paksaan, bukan tentang ketakutan
akan hukuman. Sholat adalah hubungan, adalah pengabdian. Bagaimana aku bisa
menanamkan itu dalam hati mereka jika mereka tak merasakannya sendiri?
Gelisah Tak Berujung
Malam-malamku sering dihabiskan dengan merenung. Aku menatap sajadah di depanku, mengingat masa-masa ketika aku dulu membimbing mereka dengan tangan ini. Kini, tangan itu tak lagi cukup kuat untuk menarik mereka kembali.
Mereka
sudah dewasa. Mereka sudah memiliki pilihan sendiri. Dan aku, sebagai orang
tua, hanya bisa berdoa, berharap bahwa sholat akan kembali menjadi pusat hidup
mereka.
Kepada
siapa lagi aku mengadu kalau bukan kepada Allah? Kepada siapa lagi aku meminta
kalau bukan kepada-Nya yang Maha Mengetahui isi hati? Setiap malam, setelah
selesai sholat tahajud, kutengadahkan tangan, mengucap doa agar Allah
melembutkan hati mereka, agar panggilan-Nya selalu direspon dengan cepat dan
penuh cinta.
Sujud yang Kutunggu
Waktu berlalu, dan aku masih menunggu. Setiap panggilan adzan adalah harapan baru bagiku. Harapan bahwa suatu hari nanti, mereka akan bangkit sebelum aku sempat memanggil mereka. Bahwa suatu hari nanti, sholat bukan hanya menjadi rutinitas, tapi menjadi denyut nadi hidup mereka.
Aku
tak pernah lelah berdoa. Tak pernah berhenti berharap, karena aku percaya,
setiap manusia memiliki perjalanan spiritualnya sendiri. Allah yang menanamkan
iman dalam hati hamba-Nya, dan aku yakin, di suatu hari nanti, sujud mereka
akan menjadi sujud yang kukuh—sujud yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.
Dan
ketika hari itu tiba, mungkin aku sudah tak lagi di sini. Tapi aku akan pergi
dengan tenang, karena aku tahu, anak-anakku telah menemukan Allah dengan hati
mereka sendiri.
Masya Alloh inspiratif sekali, smg bisa saling menyemangati utk memotivasi amanah² Alloh ini agar semakin taat pada Robb Nya
BalasHapus