Rabu, 16 Oktober 2024

SAAT SUJUD TERASA JAUH: KISAH SEORANG AYAH YANG TAK HENTI BERHARAP

 Suara Kecil dari Sajadah


Aku masih ingat jelas, saat pertama kali memperkenalkan mereka kepada masjid. Waktu itu, suara adzan adalah panggilan yang sederhana namun penuh makna. Anak-anakku, dengan langkah-langkah kecilnya, menggenggam erat tanganku. Mata mereka berbinar melihat lampu-lampu mushola yang bersinar lembut di malam hari.

“Ini, tempat kita berbicara dengan Allah,” ucapku sambil menatap wajah polos mereka. Belum tentu mereka paham, tapi aku berharap kata-kataku akan terpatri di hati mereka.

Setiap kali aku mengajak mereka ke masjid, hati ini berbunga. Ada perasaan bangga, karena aku bisa menuntun mereka, menunjukkan jalan menuju Sang Pencipta. Waktu berlalu, dan mereka mulai hafal doa-doa sholat. Bahkan di saat-saat mereka terlalu lelah atau enggan melangkah, aku tetap mengajak mereka—karena aku tahu, kebiasaan ini akan menjadi pondasi hidup mereka kelak.

Namun, di saat itu, aku tak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti, panggilan adzan akan menjadi lebih dari sekadar suara. Ia akan menjadi ujian terbesar bagi hatiku sebagai seorang ayah.

 

 Pesantren, Titipan Harapan

Ketika anak-anak mulai menginjak usia remaja, kami memutuskan untuk menitipkan mereka di pesantren. Harapanku sederhana—agar apa yang telah kutanamkan di rumah, diperdalam dengan ilmu agama yang lebih luas. Di pesantren, mereka akan belajar Qur’an, hadist, dan memperkuat sholat mereka.

Hari-hari pertama tanpa mereka terasa hampa. Setiap kali waktu sholat tiba, aku teringat betapa biasanya kami berjamaah bersama di rumah. Ada kesepian yang aneh, namun aku harus kuat. "Ini demi kebaikan mereka," batinku berulang kali.

Ketika berkunjung ke pesantren, kulihat wajah mereka lebih dewasa. Tapi jauh di dalam, aku bertanya-tanya, apakah mereka semakin dekat dengan Allah seperti yang aku harapkan? Apakah sholat yang mereka lakukan di pesantren sekadar kewajiban, atau benar-benar telah menjadi bagian dari diri mereka?

Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul dalam hatiku, membayangi setiap langkahku menuju rumah.

 

 Subuh yang Menggugah Kegelisahan

Kini mereka telah lulus pesantren. Mereka kembali ke rumah, tapi ada yang terasa berbeda. Setiap kali adzan Subuh berkumandang, mereka tak lagi dengan cepat bangun dan bersiap. Seringkali, aku harus memanggil mereka berkali-kali. Di saat itulah kegelisahanku mulai tumbuh.

“Mengapa mereka tidak segera bangun? Mengapa mereka tidak merespons panggilan Ilahi ini dengan penuh kesadaran seperti dulu?” tanyaku dalam hati, walaupun mulutku tetap diam.

Setiap kali harus membangunkan mereka, hatiku terasa berat. Apakah aku telah gagal? Apakah yang pernah kutanamkan bertahun-tahun itu mulai pudar?

Mereka tetap sholat, tak pernah meninggalkan waktu lima waktunya. Tapi mengapa sering terlambat? Mengapa hati mereka tak segera tergerak saat panggilan-Nya berkumandang?

 

 Saat Dunia Lebih Menarik

Aku mulai menyadari, dunia luar semakin menarik perhatian mereka. Waktu sholat kadang bersaing dengan gawai mereka, atau acara televisi yang memikat. Sebagai ayah, aku bisa melihat pertempuran batin mereka, meski mereka tak pernah mengatakannya.

Ada saat-saat ketika aku merasa, mungkin aku harus membiarkan mereka. Biarkan mereka belajar dari kesalahan, biarkan mereka merasakan dampaknya sendiri. Namun, naluri orang tua tak bisa membiarkan itu begitu saja. Setiap detik keterlambatan mereka untuk menjawab panggilan adzan terasa seperti duri yang menusuk di hatiku.

Apakah kesadaran itu akan datang dengan sendirinya? Ataukah aku harus lebih keras dalam mengingatkan? Tapi, sholat bukan tentang paksaan, bukan tentang ketakutan akan hukuman. Sholat adalah hubungan, adalah pengabdian. Bagaimana aku bisa menanamkan itu dalam hati mereka jika mereka tak merasakannya sendiri?

 

 Gelisah Tak Berujung

Malam-malamku sering dihabiskan dengan merenung. Aku menatap sajadah di depanku, mengingat masa-masa ketika aku dulu membimbing mereka dengan tangan ini. Kini, tangan itu tak lagi cukup kuat untuk menarik mereka kembali.

Mereka sudah dewasa. Mereka sudah memiliki pilihan sendiri. Dan aku, sebagai orang tua, hanya bisa berdoa, berharap bahwa sholat akan kembali menjadi pusat hidup mereka.

Kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan kepada Allah? Kepada siapa lagi aku meminta kalau bukan kepada-Nya yang Maha Mengetahui isi hati? Setiap malam, setelah selesai sholat tahajud, kutengadahkan tangan, mengucap doa agar Allah melembutkan hati mereka, agar panggilan-Nya selalu direspon dengan cepat dan penuh cinta.

 

 Sujud yang Kutunggu

Waktu berlalu, dan aku masih menunggu. Setiap panggilan adzan adalah harapan baru bagiku. Harapan bahwa suatu hari nanti, mereka akan bangkit sebelum aku sempat memanggil mereka. Bahwa suatu hari nanti, sholat bukan hanya menjadi rutinitas, tapi menjadi denyut nadi hidup mereka.

Aku tak pernah lelah berdoa. Tak pernah berhenti berharap, karena aku percaya, setiap manusia memiliki perjalanan spiritualnya sendiri. Allah yang menanamkan iman dalam hati hamba-Nya, dan aku yakin, di suatu hari nanti, sujud mereka akan menjadi sujud yang kukuh—sujud yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.

Dan ketika hari itu tiba, mungkin aku sudah tak lagi di sini. Tapi aku akan pergi dengan tenang, karena aku tahu, anak-anakku telah menemukan Allah dengan hati mereka sendiri.

 


1 komentar:

  1. Masya Alloh inspiratif sekali, smg bisa saling menyemangati utk memotivasi amanah² Alloh ini agar semakin taat pada Robb Nya

    BalasHapus