Kementerian Pendidikan mengklaim bahwa PPG adalah bagian dari upaya meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru, namun ketentuan yang menyertainya justru mempersulit banyak guru yang telah lama berpengalaman. Guru yang telah mengabdi lebih dari lima tahun, meski telah memiliki pengalaman bertahun-tahun, tetap diwajibkan melalui PPG untuk mendapatkan Serdik.
Begitu mereka berhasil mendapatkan Serdik, mereka masih harus memenuhi syarat mengajar 24 jam per minggu untuk bisa memperoleh Tunjangan Profesi Guru (TPG). Ironisnya, di sekolah-sekolah yang memiliki jumlah kelas dan jam pelajaran terbatas, seperti guru agama yang hanya mendapatkan 3 jam pelajaran per minggu, perjuangan untuk memenuhi syarat ini malah menciptakan persaingan antar guru. Guru yang telah menerima Serdik berlomba mencari tambahan jam demi memenuhi syarat 24 jam, sementara kelas dan mata pelajaran terbatas. Alhasil, guru terjebak dalam kecemasan mengejar jam mengajar, bukan lagi fokus pada kualitas pengajaran. Kebijakan ini bukan hanya memberatkan, tetapi juga melemahkan motivasi mengajar.
Apakah program PPG dan Serdik benar-benar dirancang untuk meningkatkan mutu pendidikan, ataukah sekadar aturan administratif tanpa mempertimbangkan realitas lapangan?
Administrasi Rumit Menambah Beban, Fokus Mengajar Tergadaikan
Bukan hanya proses PPG yang panjang, administrasi yang berlebihan juga menyita waktu guru. Dapodik, yang awalnya diharapkan menjadi sistem administrasi terpadu, malah membuat urusan administratif makin kompleks. Pendaftaran Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang seharusnya dapat diurus melalui Dapodik, nyatanya justru memiliki jalur terpisah yang menyulitkan. Banyak guru yang mengajar bertahun-tahun, bahkan satu dekade, belum juga memperoleh NUPTK mereka. Contoh kasus guru yang mengajar sejak 2013 namun baru mendapatkan NUPTK di usia 56 tahun pada 2024 adalah potret nyata buruknya tata kelola administrasi ini. Jika aksesibilitas dan transparansi Dapodik tak mampu menyederhanakan sistem, apa artinya investasi dalam digitalisasi pendidikan selama ini?Para guru bukan hanya terjebak dalam belitan administrasi Dapodik, mereka juga dibebani oleh kewajiban pengumpulan bukti dan dokumen yang rumit hanya demi memperoleh TPG. Akibatnya, waktu yang seharusnya mereka alokasikan untuk memperkaya pengalaman belajar siswa habis tersita oleh berbagai tuntutan administratif.
Menghentikan Kebijakan yang Memalingkan Fokus Guru dari Siswa
kompasiana.com |
Jika Kementerian Pendidikan benar-benar peduli terhadap kualitas pendidikan, maka kebijakan yang memberatkan dan merumitkan urusan administratif guru harus direvisi. Mengingat bahwa fokus utama guru adalah mendidik siswa, segala aturan yang memaksa mereka mengalihkan perhatian pada administrasi atau persaingan jam mengajar malah berpotensi mengorbankan kualitas pembelajaran siswa. Saat ini, guru terlalu banyak disibukkan oleh urusan kesejahteraan melalui jalur administrasi yang ribet. Bukankah lebih baik jika kesejahteraan guru dikaitkan langsung dengan status mereka sebagai pendidik yang telah memenuhi persyaratan dasar, bukan melalui tes-tes tambahan yang menyulitkan?
Membangun Sistem yang Berpihak pada Guru dan Pendidikan
Kesejahteraan guru seharusnya dirancang untuk mendukung peran mereka sebagai pendidik, bukan dengan persyaratan yang kaku dan administrasi yang berbelit-belit. Kebijakan yang berpihak pada guru akan menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif di mana guru ikhlas bekerja, mengajar dengan tenang, dan fokus pada siswa. Jika Kementerian Pendidikan serius ingin mengangkat kualitas pendidikan, maka langkah utama adalah menghilangkan birokrasi yang tidak perlu dan memberikan dukungan penuh pada kesejahteraan guru.Dengan membenahi sistem yang memihak guru, kita membuka pintu bagi pendidikan yang lebih berkualitas di mana guru dapat memberikan yang terbaik bagi siswanya. Sudah saatnya Kementerian Pendidikan memikirkan kebijakan yang benar-benar pro-guru agar siswa, yang merupakan penerus bangsa, bisa belajar dengan baik dan sepenuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar