Kamis, 10 Oktober 2024

JIKA ANGKA MENJADI TUJUAN UTAMA

 

bell Kosong Sebuah pagi di kelas XII IPA 3 yang seharusnya riuh dengan aktivitas belajar, justru diwarnai sunyi. Hanya ada segelintir siswa yang hadir. Pak Fadil, sang guru matematika, berdiri di depan kelas dengan raut wajah penuh pertanyaan. "Di mana yang lainnya?" tanyanya pada diri sendiri. Seorang siswa, Dimas, duduk di bangku belakang dengan mata terpaku pada ponselnya. Dimas sering datang telat, atau bahkan tak hadir sama sekali. Ketika ditanya alasan ketidakhadirannya, jawabannya selalu sama, "Tugas, Pak. Banyak banget, gak sempat."

Pak Fadil tahu, bukan tugas yang menjadi masalah. Banyak siswa lainnya seperti Dimas, tak peduli dengan materi pelajaran, tapi akan hadir dengan semangat saat ujian tiba. "bell sudah lama berbunyi," pikir Pak Fadil, "tapi apa yang mereka dengar hanyalah bell angka, bukan bell ilmu." Bukan lonceng ilmu tapi sekedar lonceng formalitas belaka.

Data dari laporan UNESCO tahun 2019 menyebutkan bahwa absensi siswa kerap kali berkorelasi dengan kurangnya keterlibatan emosional dan motivasi intrinsik11 untuk belajar sering kali tidak melihat pentingnya proses belajar, melainkan hanya fokus pada hasil akhir berupa angka nilai. Pak Fadil merasakan ini tiap hari.


 Kertas yang Kosong Semester tengah berjalan, dan tumpukan tugas yang belum dikumpulkan mulai membuat Pak Fadil frustrasi. Setiap kali meminta tugas, Dimas dan beberapa siswa lainnya selalu memberi alasan klasik: "Lupa, Pak," atau "Nanti saya kumpulkan." Tugas-tugas itu bukan hanya untuk memenuhi syarat akademis, tapi sebagai evaluasi kemampuan mereka memahami materi. Namun, banyak dari mereka tampaknya tidak peduli.

Sebuah penelitian dari World Bank menunjukkan bahwa banyak siswa di Indonesia mengalami krisis kesadaran akademik, di mana mereka lebih berorientasi pada nilai ujian akhir daripada proses pembelajaran . Bagi Dimas proses belajar  hanyalah "formalitas" yang bisa dilewatkan, asalkan nilai ujian mereka tetap baik terutama saat ujian.

Suatu hari, Pak Fadil menemukan hal mengejutkan. Tugas yang dikumpulkan Dimas ternyata hanya berisi jawaban-jawaban yang disalin mentah dari internet. Bahkan suatu saat jawaban pertanyaan yang di kumpulkan ke pak fadi satu kelas jawabannya sama. Tidak ada pemahaman, tidak ada usaha. Saat Pak Fadil mengonfrontasi Dimas, jawabannya singkat, "Yang penting nilainya, Pak."

Saat Ujian Datang Ketika minggu ujian tiba, pemandangan di sekolah berubah drastis. Kelas yang biasanya kelas kelas banyak yang di tinggalkan penghuni nya, kini dipenuhi siswa yang selama ini jarang hadir. Dimas, yang sempat tak terlihat di kelas berhari-hari, tiba-tiba hadir di depan bangku paling depan, mempersiapkan diri untuk ujian. Raut wajahnya serius, seolah siap menghadapi apa pun.

"Ujian adalah cermin bagi mereka yang belajar," pikir Pak Fadil, "tetapi bagi sebagian siswa, ini hanyalah medan berupa perburuan angka." Fenomena ini didukung oleh penelitian dari OECD yang menunjukkan bahwa siswa di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung lebih fokus pada nilai ujian sebagai indikator kesuksesan daripada kemampuan atau pemahaman .

Saat ujian dimas terlihat gelisah. Beberapa kali ia melirik ke arah lembar jawab siswa di sebelahnya. Setelah ujian selesai, Pak Fadil mendapati banyak jawaban Dimas yang identik dengan jawaban siswa lain. Namun, apa yang lebih mengejutkan adalah sikap Dimas setelah ujian. Ketika nilai diumumkan, dan Dimas mendapatkan nilai rendah, ia dengan nada merendahkan berkata, "Pak, soal ujiannya sulit. Guru yang gak bisa ngajarin kali."


Di Balik Angka
Saat rapor dibagikan, Dimas dan beberapa siswa lainnya mendapatkan nilai yang cukup. Namun, Pak Fadil tahu bahwa nilai-nilai itu tidak mencerminkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Nilai hanyalah angka di atas kertas, tetapi moralitas dan sikap mereka terhadap pendidikan adalah masalah yang jauh lebih mendasar.

Psikolog pendidikan, Sugata Mitra, dalam penelitiannya tentang pendidikan global, menyatakan bahwa penekanan yang berlebihan pada angka nilai menciptakan budaya di mana siswa memanipulasi sistem pendidikan demi keuntungan pribadi, tanpa benar-benar menguasai keterampilan hidup . Fenomena ini tampak jelas kata  Pak Fadil.

"Apakah ini yang mereka kejar? Angka? Kesombongan? Merendahkan guru, seolah angka lebih penting daripada ilmu?" pikir Pak Fadil. Perjuangannya sebagai pendidik terasa semakin berat, tetapi ia tahu bahwa perubahan harus datang dari dalam diri siswanya sendiri.

Pintu yang Terkunci Di hari terakhir semester, Dimas datang terlambat ke sekolah. Ia tersenyum lebar, menganggap semester telah berlalu dan nilai yang ia kejar sudah aman. Namun, ia tidak tahu bahwa di balik angka-angka itu, ada sesuatu yang telah ia tinggalkan: kesempatan untuk belajar, menghargai guru, dan mengembangkan keterampilan hidup.

Saat berjalan melewati ruang kelas yang kosong, Dimas melihat sesuatu yang baru. Di papan tulis tertulis, "Apakah angka itu yang kau kejar? Atau kebenaran di balik angka?" Dimas terdiam. Ia sadar, pintu-pintu pengetahuan yang selama ini ia abaikan kini terasa seperti pintu yang terkunci.

Pelajaran Terakhir Dalam sebuah pertemuan akhir semester, Pak Fadil berbicara di depan kelas. "Anak-anak, sekolah bukanlah tempat untuk mengejar angka. Ini adalah tempat kalian belajar hidup, menghargai proses, dan menghormati orang yang membimbing kalian." Beberapa siswa menunduk, termasuk Dimas. Akhirnya, kesadaran itu datang. Namun, apakah terlambat?

Iya… benar kesadaran yang terlambat karena mereka termasuk Dimas sudah di penghujung tingkat. Itu artinya sebentar lagi ia akan meninggalkan sekolah ini dengan berbagai kenangan yang sudah tertulis tinta hitam.

Andai saja proses itu tak terabaikan oleh mereka tentu hasil akhirnya akan jauh berbeda dengan yang mereka dapatkan saat ini.

Gurulah  yang paling menyesal karena ada satu generasi yang minus akhlaq mulia, karena orientasi sekolah nya sekedar memburu angka. Tanpa mempedulikan tatakrama dalam belajar nya.

Sumber Referensi:

  1. "Learning Poverty in Indonesia" - World Bank, 2020.
  2. "Global Education Monitoring Report" - UNESCO, 2019.
  3. "The Shadow Education System" - OECD, 2017.
  4. Mitra, Sugata. "Beyond The Hole in The Wall: Discovering the Power of Self-Organized Learning" - TED Talks, 2013.

1. dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan sesuatu tanpa perlu rangsangan dari luar

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 09 Oktober 2024

DIMANA LETAK WIBAWA GURU, BUBARKAN KPAI ?

Di mana letak wibawa guru saat murid tak lagi menghormati mereka? Seorang murid yang seharusnya tunduk pada aturan sekolah, malah menunjukkan sikap tak acuh dan berani melawan teguran halus dari gurunya. Ketika seorang guru dengan penuh sopan santun meminta murid untuk memasukkan bajunya dan melepas jaket sesuai aturan sekolah, yang diterima justru perlawanan yang memalukan. Dengan mata melotot dan suara ketus, murid itu menjawab “SIK” (entar) dengan sikap yang penuh kesombongan. Bukannya mengikuti aturan sederhana, murid itu malah bersikap seolah guru tak pantas untuk dihormati. Lebih parah lagi, ketika sang guru mencoba menegakkan disiplin, ia dipermalukan, dihina, dan dipandang rendah.

Pertanyaan besar pun muncul: Di mana peran KPAI dalam hal ini? Mengapa lembaga yang konon katanya melindungi hak-hak anak, justru sering menjadi alasan bagi guru-guru kita takut menegakkan disiplin di sekolah? KPAI, yang seharusnya melindungi anak-anak dari pelanggaran serius, kini malah menjadi perisai bagi perilaku buruk anak-anak yang tak tahu sopan santun. Guru, yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai pendidik, malah dipaksa tunduk pada murid yang menginjak-injak wibawa mereka.

Ironi yang memuakkan ini tak hanya menghancurkan kewibawaan guru, tapi juga merusak moral generasi muda. Banyak murid sekarang kehilangan akhlak, minus etika, dan miskin rasa hormat. Alih-alih fokus pada pembelajaran, mereka menjadi kaya akan amarah yang tidak pada tempatnya. Di sekolah, guru malah menjadi obyek bullying, sering ditertawakan oleh murid-murid yang merasa tak tersentuh oleh hukum dan aturan.

Peran pemerintah dalam hal ini juga patut dipertanyakan. Mengapa pembuat kebijakan dan otoritas pendidikan tampak diam? Bukankah pendidikan moral dan etika merupakan fondasi dari bangsa yang beradab? Pemerintah terkesan abai terhadap kemerosotan akhlak di sekolah. Apa gunanya kita membicarakan generasi emas jika generasi ini dibiarkan liar tanpa kendali moral?

okezone news
Guru adalah pilar pendidikan bangsa, bukan obyek penghinaan dan perendahan. Kita butuh kebijakan yang tegas dan hukum yang bisa membedakan mana yang membangun moral dan mana yang hanya melindungi pelanggaran. Jika KPAI dan pemerintah tidak segera berbenah, maka jangan heran jika sekolah-sekolah kita berubah menjadi arena anarki, tempat di mana guru tak lagi memiliki kekuatan untuk mendidik, dan moral bangsa perlahan runtuh di bawah kibaran bendera "perlindungan anak" yang salah arah.




Kalau sepeti itu yang terjadi, sebenarnya untuk apa KPAI di-ada-kan?.
kenapa KPAI tidak di bubarkan saja karena keberadaannya meresahkan guru  yang benar benar ingin mendidik akhlaq murid murid nya.

Pak J aktifis pendidikan.

Rabu, 02 Oktober 2024

Bakti Terakhir: Saat Sayap Tak Lagi Mampu Terbang

 


Awal Kehidupan Burung Tua

Di sebuah hutan lebat yang penuh dengan pepohonan tinggi, hidup seekor burung tua bernama Sangka. Dulu, Sangka adalah burung yang sangat gagah, dengan bulu-bulu berwarna hitam pekat yang memantulkan sinar matahari. Dia terbang bebas menembus awan, berburu makanan, dan memimpin kawanan burung lainnya. Tapi, waktu terus berjalan, dan kini sayapnya yang dulu kuat mulai melemah. Sangka tak lagi bisa terbang sejauh dulu.

Di sore yang kelam, Sangka termenung di dahan sebuah pohon besar. Sayapnya terasa berat, tubuhnya lelah. Sangkanya, tak ada lagi yang peduli padanya. Tidak ada kawan yang menemaninya berburu atau berbagi cerita seperti dulu. Bahkan untuk mencari makan pun kini terasa mustahil. Hari-hari yang sulit semakin dekat.

Suatu pagi, di tengah rasa putus asanya, seekor burung muda bernama Rumi terbang mendekat. Dengan ringan ia membawa biji-bijian di paruhnya, lalu meletakkannya di depan Sangka. "Ini untukmu," kata Rumi sambil tersenyum, "makanlah." Sangka terkejut, tak menyangka ada yang peduli padanya. Tapi ia merasa malu menerima bantuan.

"Aku tak butuh belas kasihan," katanya lemah.

Rumi tersenyum bijak. "Ini bukan belas kasihan, ini naluri. Aku merasa terpanggil untuk membantumu."

Semenjak hari itu, Sangka perlahan mulai menerima bantuan dari Rumi. Setiap pagi, burung muda itu datang membawa makanan untuk Sangka. Awalnya, Sangka merasa tersinggung, merasa dirinya tidak lagi berguna, tapi Rumi selalu mengatakan bahwa ini adalah jalan alam.

"Setiap makhluk punya peran, Sangka. Aku mungkin muda dan kuat sekarang, tapi suatu hari aku juga akan butuh bantuan. Saat itulah giliran burung muda lain yang akan menolongku," ujar Rumi suatu hari. Kata-kata Rumi menusuk hati Sangka. Ia mulai berpikir, mungkin ada alasan di balik semua ini. Tuhan mengatur segala sesuatu dengan sempurna. Jika burung-burung muda seperti Rumi bisa menunjukkan kasih sayang tanpa pamrih, mengapa dirinya sebagai burung tua merasa malu?

Sangka mulai menerima kenyataan bahwa ia tak lagi sekuat dulu, dan dengan rasa syukur ia menerima setiap butir makanan yang dibawa oleh Rumi.

Pengorbanan Rumi

Namun, kehidupan tak selalu mudah bagi Rumi. Setiap hari ia harus terbang jauh untuk mencari makanan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Sangka. Di hutan yang luas, persaingan untuk mendapatkan makanan semakin ketat. Burung-burung lain mulai memperhatikan tindakan Rumi, dan beberapa di antaranya bahkan mengejeknya.

"Kenapa kamu repot-repot menyuapi burung tua yang sudah tidak berguna? Lebih baik kamu fokus pada dirimu sendiri!" ejek salah satu burung lainnya.

Rumi hanya tersenyum dan berkata, "Aku hanya mengikuti hatiku. Tuhan telah memberikan naluri kepada kita untuk peduli pada sesama. Jika aku mampu, mengapa tidak membantu?"

Meski begitu, tekanan dari kawanan semakin berat. Tapi Rumi tetap bertahan. Setiap hari ia datang untuk memberi makan Sangka, meskipun itu berarti ia harus berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

 

Pergulatan Hati Sangka

Suatu malam, setelah Rumi pulang dari perburuan yang berat, Sangka merenung dalam sunyi. Ia memandang bintang-bintang yang berkilauan di langit, dan hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ia merasa bahwa hidupnya yang kini tergantung pada Rumi terlalu membebani burung muda itu. Apakah ini yang diinginkan oleh Tuhan?

Sangka mengingat kembali masa mudanya, ketika ia masih bisa terbang bebas. Apakah hidupnya kini hanya menjadi beban bagi yang lain? Ia memikirkan untuk pergi, meninggalkan hutan agar Rumi bisa hidup lebih bebas tanpa perlu merawatnya. Namun, sesuatu dalam hatinya menahannya. Rasa syukur yang mulai tumbuh dalam dirinya mengingatkannya bahwa hidup bukan hanya tentang memberi, tapi juga tentang menerima.

Kebangkitan Kecil

Suatu hari, Rumi datang dengan membawa lebih banyak makanan dari biasanya. "Hari ini, aku menemukan sumber makanan yang melimpah," katanya dengan gembira. Sangka tersenyum lemah, tapi di dalam dirinya muncul keinginan untuk kembali membantu.

"Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Rumi? Aku merasa sudah terlalu banyak menerima tanpa memberi," tanya Sangka.

Rumi tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Sangka. Kehadiranmu saja sudah cukup. Kau adalah pengingat bagiku bahwa kita semua saling bergantung satu sama lain. Bahkan saat kau tidak bisa terbang, kau tetap memberiku pelajaran berharga tentang kesabaran dan kasih sayang."

Kata-kata Rumi menyentuh hati Sangka, dan dengan perlahan, Sangka mulai menyadari bahwa meskipun sayapnya tak lagi mampu terbang tinggi, ia masih bisa memberi makna bagi burung-burung lain di sekitarnya.

Akhir yang Indah

Waktu terus berjalan, dan hari-hari Sangka semakin singkat. Namun, sebelum napas terakhirnya tiba, ia merasakan sesuatu yang hangat dalam hatinya. Ia tak lagi merasa sebagai beban, tapi sebagai bagian dari rantai kehidupan yang lebih besar. Ketika akhirnya tiba waktu bagi Sangka untuk pergi, ia melakukannya dengan tenang.

Rumi datang di pagi itu seperti biasa, tetapi kali ini, Sangka tak lagi menyambutnya. Rumi tahu, saat itu telah tiba. Dengan penuh kasih, ia menutup mata Sangka yang telah beristirahat dengan damai.

Di langit, seekor burung lain terbang mendekat. Itu adalah burung muda yang baru saja memulai hidupnya, siap untuk mengambil peran seperti yang Rumi lakukan dulu. Karena dalam siklus kehidupan ini, tak ada yang benar-benar hilang. Kita saling merawat, saling memberi, dan Tuhan selalu menyediakan cara bagi setiap makhluk untuk saling bergantung dalam kasih sayang-Nya.

Cermin Kehidupan Manusia

Setelah kepergian Sangka, Rumi merenung tentang arti kehidupan dan tanggung jawab. Sebagai burung muda, ia pernah berpikir bahwa kekuatan dan kebebasan adalah segalanya. Namun, kini ia mengerti bahwa kekuatan sejati terletak pada rasa peduli dan kasih sayang kepada yang lebih lemah. "Tuhan memberikan kita naluri bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk peduli terhadap sesama," gumam Rumi dalam hatinya.


Rumi mulai melihat bahwa peristiwa dengan Sangka adalah cerminan bagi kehidupan manusia. Ia membayangkan bagaimana manusia seringkali lalai merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia, melihat mereka sebagai beban atau tanggung jawab yang berat. Padahal, justru dalam merawat orang tua, manusia bisa menemukan kasih sayang Tuhan yang lebih dalam.

Dalam perjalanan terbangnya, Rumi melihat di kejauhan seorang manusia yang merawat orang tuanya yang sudah tua. Manusia itu dengan sabar mengajak orang tuanya berjalan pelan-pelan, menyuapinya makanan dengan lembut, dan memberikan perhatian tanpa rasa tergesa-gesa. "Manusia itu mengerti," pikir Rumi, "seperti aku yang telah merawat Sangka, manusia itu merawat orang tuanya dengan tulus."

Kewajiban yang Luhur

Seiring waktu, Rumi semakin sadar bahwa pesan dari Tuhan tidak hanya tertuju kepada burung, tapi juga kepada manusia. Seperti burung yang memiliki naluri alami untuk merawat sesamanya, manusia juga diberi hati yang penuh dengan kasih. Namun, seringkali manusia lupa bahwa orang tua adalah tanggung jawab yang harus dijaga hingga akhir.

Melalui pengalamannya bersama Sangka, Rumi belajar bahwa hidup adalah sebuah siklus. Orang tua yang dulu merawat kita saat masih kecil, sekarang membutuhkan perawatan di usia tua. "Betapa pentingnya kewajiban ini bagi manusia," pikir Rumi. "Karena dengan merawat orang tua, mereka tidak hanya memenuhi kewajiban sosial, tapi juga membangun jembatan kasih sayang yang menghubungkan mereka dengan Tuhan."

Rumi berharap bahwa lebih banyak manusia yang memahami pesan ini. Bahwa merawat orang tua bukan sekadar tugas, tapi adalah bentuk ibadah yang tinggi di mata Tuhan. Sebagaimana burung diberi naluri untuk merawat sesamanya, manusia juga dianugerahi perasaan kasih yang lebih dalam. Pada akhirnya, rasa ikhlas dalam merawat orang tua adalah cerminan ketulusan seorang hamba kepada Penciptanya.

Tamat.

Pak J

BAGAIMANA PENDIDIK HARUS BERSIKAP ?

 Patuh Secara Formal, Hilang Substansi Moral

Pendidikan di sekolah saat ini telah bergeser ke arah yang membingungkan, di mana aturan formal menjadi prioritas utama, tetapi esensi moral dan akhlak dikesampingkan. Sekolah-sekolah hanya mencetak lulusan yang patuh secara formal, tetapi kehilangan substansi moral yang lebih mendasar.  Yang lebih mengkhawatirkan, sekolah tampaknya hanya sibuk dengan urusan administratif dan prosedural, sementara nilai-nilai fundamental yang membangun karakter nyaris tak tersentuh.

Sekolah telah menjadi mesin birokrasi, di mana siswa diprogram untuk mengikuti aturan tanpa pemahaman mendalam tentang mengapa aturan tersebut ada. Siswa belajar bagaimana "mematuhi", tetapi tidak diajarkan untuk "memahami". Mereka mungkin masuk kelas tepat waktu, mengenakan seragam dengan rapi, dan mengerjakan tugas sesuai instruksi, tetapi apakah mereka memahami makna tanggung jawab, integritas, atau rasa malu atas kesalahan? Sayangnya, banyak yang tidak. Mereka patuh, tetapi hanya di permukaan. Di balik ketaatan formal itu, sering kali tidak ada landasan moral yang kuat.

Hilangnya Pendidikan Karakter yang Hakiki

Ketika sekolah hanya menekankan aturan formal, esensi pendidikan yang sebenarnya—yakni membentuk manusia dengan karakter kuat—menjadi kabur. Seharusnya, sekolah adalah tempat di mana siswa tidak hanya dilatih untuk patuh pada peraturan, tetapi juga untuk memahami nilai-nilai moral seperti kejujuran, rasa tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama. Pendidikan karakter yang seharusnya menjadi fondasi dalam proses pendidikan, kini sering diabaikan atau hanya sebatas formalitas dalam bentuk pelajaran PPKn atau kegiatan ekstrakurikuler yang minim penghayatan.

Kita tidak lagi berbicara tentang pendidikan yang melahirkan generasi dengan akhlak yang mulia, tetapi lebih banyak tentang lulusan yang sekadar memenuhi kriteria formal untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sebuah generasi yang lebih pandai mengikuti prosedur daripada mempraktikkan nilai-nilai etis yang membentuk peradaban. Lulusan ini mungkin berhasil secara akademik, tetapi mereka tidak disiapkan untuk menjadi warga negara yang memiliki integritas dan empati.

Guru Sebagai Garda Terdepan, Tapi Terikat Aturan Formal


Yang lebih menyedihkan lagi adalah peran guru yang mulai tereduksi hanya sebagai pengawas formalitas. Banyak guru yang mungkin ingin menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak, namun mereka sering kali terjebak dalam ketakutan akan jerat hukum atau tudingan pelanggaran hak siswa. Fokus mereka bergeser dari pembentukan karakter siswa menjadi sekadar menjalankan tugas administratif dan menjaga diri dari masalah hukum. Akibatnya, ada pengabaian terhadap upaya nyata dalam membentuk moral siswa.

Padahal, pendidikan adalah tentang bagaimana mengajarkan siswa untuk berpikir secara kritis, berperilaku dengan integritas, dan memiliki akhlak yang baik. Ketika guru hanya difokuskan pada penegakan disiplin formal, kesempatan untuk mendidik siswa secara mendalam tentang nilai-nilai kehidupan hilang begitu saja. Ini adalah pengkhianatan terhadap esensi pendidikan itu sendiri.

Mengembalikan Esensi Pendidikan yang Sesungguhnya

Jika paradigma pendidikan tidak segera diubah, kita akan terus melihat sekolah-sekolah yang hanya mencetak lulusan yang patuh secara administratif, tetapi kosong secara moral. Kita harus kembali pada tujuan mendasar dari pendidikan: membentuk manusia berkarakter. Disiplin harus melampaui aspek formal dan masuk ke ranah penghayatan nilai-nilai moral dan akhlak.

Sekolah harus menjadi tempat di mana siswa belajar untuk memahami, bukan sekadar mematuhi. Penegakan aturan tidak boleh menjadi tujuan akhir, melainkan alat untuk menanamkan nilai-nilai mendalam yang dapat diterapkan siswa dalam kehidupan nyata. Guru harus diberi ruang untuk menjalankan tugas mendidik moral siswa tanpa rasa takut terhadap jerat hukum yang berlebihan.


Pendidikan yang hanya menghasilkan kepatuhan formal tanpa substansi moral adalah pendidikan yang gagal. Generasi yang kita hasilkan mungkin patuh pada aturan, tetapi apakah mereka siap menghadapi dunia nyata yang membutuhkan lebih dari sekadar ketaatan prosedural? Hanya dengan mengembalikan fokus pendidikan pada pembentukan karakter, moral, dan akhlak, kita dapat benar-benar mengatakan bahwa sekolah telah menjalankan fungsinya sebagai pilar pembentukan bangsa yang beradab.

Senin, 30 September 2024

Kembalikan Mereka!!!!!!




Saat ini, kita menyaksikan sebuah ironi besar di dunia pendidikan, terutama di sekolah-sekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk membentuk moral, akhlak, dan karakter bangsa, perlahan kehilangan esensi utamanya. Muncul permasalahan di mana aturan disiplin yang ada diterapkan hanya untuk beberapa aspek formal, seperti memasukkan baju ke dalam celana atau memastikan siswa tidak terlambat. Namun, disiplinyang lebih esensial seperti kebersihan, mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab, dan terutama pembentukan karakter, sering kali diabaikan.

Apa yang lebih menyedihkan adalah penegakan disiplin ini terbatas pada sejumlah guru yang memang memiliki kewajiban langsung, sementara banyak guru lainnya tampaknya lebih fokus pada bagaimana agar tetap aman dari jerat hukum atau tudingan KPAI. Akibatnya, banyak yang bersikap acuh tak acuh terhadap pelaksanaan nilai-nilai karakter, moral, dan akhlak di sekolah.

Sekolah tidak lagi menjadi tempat candradimuka bagi pembentukan karakter bangsa. Nilai-nilai seperti kesantunan, kerendahan hati, saling membantu dalam kebenaran, dan memiliki rasa malu terhadap kesalahan semakin terkikis. Pertanyaannya, jika esensi sekolah sebagai tempat pembentukan karakter ini diabaikan, untuk apa sekolah didirikan? Apakah kita hanya ingin mencetak generasi yang patuh secara formal, tetapi kehilangan substansi moral?

Sekolah tidak hanya tentang nilai akademis atau pencapaian formal, tetapi jauh lebih penting dari itu. Sekolah adalah tempat di mana anak-anak harus diajarkan bagaimana bersikap santun, bagaimana menjadi rendah hati, bagaimana bekerja sama dalam hal yang benar, dan bagaimana merasa malu ketika melakukan hal yang salah. Karakter, moral, dan akhlak adalah esensi pendidikan, dan inilah yang harus dikembalikan.

Untuk itu, paradigma berpikir dan perilaku seluruh warga sekolah harus diubah. Kita harus kembali mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya soal kepatuhan aturan secara kaku, tetapi juga bagaimana membentuk manusia yang berakhlak mulia. Guru harus kembali memandang tugasnya bukan hanya sebagai pengajar mata pelajaran, tetapi juga sebagai pembentuk karakter siswa. Mereka harus berani menegakkan disiplin bukan karena takut hukuman, tetapi karena mereka paham pentingnya nilai-nilai moral dan akhlak bagi masa depan bangsa.

Maka dari itu, kita butuh langkah konkret untuk mengembalikan esensi pendidikan di sekolah. Disiplin yang diterapkan harus mencakup semua aspek, mulai dari kebersihan, tanggung jawab terhadap tugas, hingga perilaku santun dalam keseharian. Guru dan seluruh warga sekolah harus kembali memiliki kesadaran bahwa mereka adalah agen perubahan yang memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk generasi berkarakter.

Jika sekolah kembali pada esensi dasarnya—membentuk karakter, moral, dan akhlak—maka kita akan melihat perubahan besar. Generasi muda tidak hanya akan cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia. Hanya dengan begitu, kita dapat membangun bangsa yang kuat, beradab, dan bermartabat.

Minggu, 29 September 2024

KESOMBONGAN DALAM BERAGAMA

 


Foto : islam kaffah
Ketika seseorang, termasuk sebagian kelompok yang mengklaim mengikuti salafiun, dengan kebiasaan mereka membid’ahkan  muslim di luar kelompoknya  dan merasa merekalah satu-satunya yang benar dalam meniru Nabi Muhammad SAW, ini bukan sekedar pendapat biasa tapi sudah merupakan Alarm bahwa itu bentuk kesombongan spiritual yang sangat berbahaya. Jauh hari sebelum mereka melakukan itu, perasaan lebih baik dari orang lain sudah di praktekan oleh iblis laknatulloh. Kesombongan ini menjadikan seseorang menutup diri dari dialog, enggan menerima perbedaan, dan merasa paling benar di mata Allah.

Allah telah dengan tegas memperingatkan tentang bahaya kesombongan dalam Surat Al-A’raf ayat 40:

"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, hingga unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan." (QS. Al-A’raf: 40).

Ayat ini mengajarkan bahwa kesombongan menutup pintu-pintu rahmat Allah, dan seorang yang menyombongkan diri dalam hal agama, merasa dirinya paling benar, paling sunnah, dan menolak orang lain hanya karena perbedaan pendapat, adalah dalam posisi yang sangat berbahaya. Kesombongan itulah yang akan menghalangi seseorang untuk mendapatkan kebenaran yang sejati.

Mengikuti Nabi Lewat Ulama

Pernyataan “tidak perlu mengikuti ustadz, kyai, atau ulama, tapi langsung mengikuti Nabi” adalah sebuah pemahaman yang tidak logis. Bagaimana kita bisa mengikuti Nabi secara langsung ketika kita hidup ribuan tahun setelah beliau? Pemahaman kita tentang ajaran Nabi Muhammad SAW hanya sampai kepada kita melalui hadits, dan hadits-hadits ini tidak sampai begitu saja, melainkan melalui usaha gigih para ulama dalam mengumpulkan, memverifikasi, dan menyusunnya.

Mengabaikan peran ulama berarti menghancurkan mata rantai keilmuan yang menghubungkan kita dengan Rasulullah SAW. Tanpa ulama, kita tidak akan bisa memahami agama dengan benar, karena mereka adalah pewaris ilmu-ilmu Nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Mengingkari ulama sama saja dengan menutup pintu pemahaman terhadap Islam.

Bid'ah, Kafir, dan Neraka

Menjatuhkan vonis bid'ah, kafir, atau sesat kepada sesama Muslim tanpa dasar yang kuat adalah kesalahan fatal dan penuh kesombongan. Rasulullah SAW sendiri sangat berhati-hati dalam menilai seseorang, bahkan terhadap orang-orang yang jelas-jelas bermaksiat. Mengapa kita, manusia yang terbatas ilmu dan pemahamannya, berani menempatkan diri sebagai hakim atas iman orang lain?

foto: info muslim.com

Perbuatan ini juga bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an. Hanya Allah yang memiliki hak mutlak untuk menentukan siapa yang masuk surga atau neraka. Seseorang yang berani mengambil peran ini sebenarnya sedang melangkahi otoritas Allah. Surat An-Nisa ayat 94 mengingatkan kita untuk tidak gegabah dalam menilai keimanan seseorang:

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepadamu, 'Kamu bukan seorang mukmin,' (lalu kamu membunuhnya) karena mengharapkan harta kehidupan dunia." (QS. An-Nisa: 94).

Ini menunjukkan bahwa berhati-hati dalam menilai orang lain adalah bagian dari adab Islam. Jika Allah dan Rasul-Nya saja mengajarkan kehati-hatian dalam menilai seseorang, mengapa kita dengan mudahnya menjatuhkan label kepada orang lain?

Perbedaan dan Ikhtilaf

Islam adalah agama yang kaya dengan ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Dalam berbagai aspek fiqih dan pemahaman agama, para ulama dari berbagai mazhab seringkali memiliki perbedaan, tetapi mereka tetap saling menghormati. Mereka sadar bahwa ilmu manusia terbatas dan setiap pendapat ijtihad didasari oleh dalil yang mereka yakini kebenarannya. Namun, tidak satu pun dari mereka yang mengklaim dirinya paling benar dan yang lain pasti salah.

Sikap menghormati perbedaan adalah bagian dari ajaran Islam, dan tidak seharusnya kita sempitkan pemahaman agama dengan satu sudut pandang saja. Islam lebih luas dari sekedar satu pemahaman mazhab atau satu kelompok.

akhirnya

Kesombongan dalam beragama adalah pintu menuju kehancuran, bukan kebenaran. Allah memperingatkan dengan keras dalam Surat Al-A'raf ayat 40 bahwa kesombongan akan menghalangi seseorang masuk surga. Beragama dengan kerendahan hati, menghormati perbedaan, dan selalu membuka diri terhadap dialog adalah cara kita mendekatkan diri kepada Allah. Kita bukan penguasa surga, bukan pula hakim atas keimanan orang lain.

Tugas kita adalah mencari kebenaran dengan rendah hati dan saling menghormati, bukan mengklaim kebenaran mutlak dan merasa berhak menghakimi orang lain.

 

Sabtu, 28 September 2024

Jawa Timur Butuh Pemimpin Berani, Bukan yang Tersandra

 

Jawa Timur Butuh Pemimpin Berani, Bukan yang Tersandra

serikatnews.com

Pemilihan Gubernur Jawa Timur yang akan segera di lakukan bukan sekadar pemilihan biasa, ini adalah pertaruhan masa depan. Kita harus ingat bahwa pemimpin yang kita pilih akan menentukan bagaimana keadilan didistribusikan ke seluruh lapisan masyarakat, dari kota besar hingga pelosok desa. Namun, jangan tertipu oleh janji-janji manis yang kosong.

Rakyat Jawa Timur harus sadar bahwa memilih pemimpin bukan hanya soal popularitas atau retorika, melainkan soal keberanian, integritas, dan rekam jejak nyata dalam membela kepentingan rakyat.

Tidak Akan Peduli pada Rakyat

Calon yang memiliki riwayat tersandra oleh kekuasaan lebih tinggi membawa masalah serius. Jika seorang calon pernah tunduk pada kepentingan politik yang lebih besar, kita harus bertanya: apakah mereka benar-benar mampu berdiri untuk rakyatnya?

Atau justru mereka akan menjadi boneka yang terus-menerus terseret oleh kepentingan elit yang lebih kuat? Seorang pemimpin yang tersandra akan terjebak dalam permainan politik yang hanya fokus menyelamatkan diri mereka sendiri. Hasilnya? Rakyat akan terabaikan dan terus-menerus berada di pinggiran kekuasaan, menjadi korban dari sistem yang rusak.

Rakyat Jangan Terjebak!

Masa kampanye sering kali menjadi ajang pencitraan, di mana calon pemimpin berlomba-lomba menawarkan janji-janji spektakuler yang tampak menggugah. Namun, rakyat jangan tertipu oleh janji manis yang tanpa landasan! Berapa banyak janji yang terdengar muluk tetapi tidak pernah terlaksana setelah pemilihan usai? Ini adalah jebakan klasik.

Sebagai pemilih yang cerdas, kita harus mulai melihat track record yang sebenarnya. Program-program kerja yang mereka tawarkan harus diuji: apakah program ini realistis dan benar-benar bisa diterapkan di lapangan? Bagaimana mereka mengatasi masalah yang nyata, seperti ketimpangan sosial, akses pendidikan, dan kesehatan di daerah-daerah terpencil? Jangan biarkan kita disilaukan oleh program populis tanpa fondasi yang jelas.

Investasi Bisnis

Ini adalah peringatan keras: jika calon pemimpin sudah membeli suara Anda, mereka akan menjadikan Anda objek untuk mengembalikan uang mereka. Pemimpin yang menggunakan uang untuk mendapatkan suara bukanlah pemimpin yang akan memperjuangkan hak-hak rakyat, melainkan pemimpin yang melihat rakyat sebagai investasi bisnis.

Setelah mereka terpilih, tujuan mereka hanya satu: mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan dengan berbagai cara, bahkan jika itu berarti mengorbankan kepentingan rakyat.

Suap dan Politik Uang

Politik uang adalah salah satu bentuk korupsi paling awal dalam proses demokrasi, dan kita harus sadar bahwa pemimpin yang memulai langkahnya dengan membeli suara tidak akan segan-segan melanjutkan praktik-praktik korup di pemerintahan. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Jika pemimpin sudah tergoda oleh kekuasaan dan uang sejak awal, kita bisa yakin bahwa mereka tidak akan ragu untuk mengabaikan janji-janji mereka setelah duduk di kursi kekuasaan.

Evaluasi dengan Kritis!

.program kerja yang diusung calon harus diuji dengan ketat. Bukan hanya melihat seberapa indah program tersebut terdengar, tetapi seberapa realistis dan konkret pelaksanaannya. Bandingkan program-program yang ditawarkan dengan kenyataan di lapangan:

Apakah program tersebut mampu menjawab permasalahan riil yang dihadapi masyarakat Jawa Timur? Jika jawabannya tidak, program tersebut hanya alat untuk mendapatkan suara.

 Jangan Salah Pilih!

Rakyat Jawa Timur harus mulai berpikir lebih cerdas dan kritis. Jika kita ingin pemimpin yang mampu mendistribusikan keadilan, maka kita harus memilih dengan kepala dingin, bukan berdasarkan godaan politik uang atau janji-janji palsu. Jangan biarkan kita jatuh ke dalam perangkap yang sama.

Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang berani melawan arus kekuasaan yang korup, berdiri tegak untuk rakyat, dan memiliki rekam jejak kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Rakyat harus berani menolak politik uang, janji manis, dan calon yang tersandra oleh kekuatan elit. Saatnya memilih berdasarkan rekam jejak dan integritas, bukan retorika dan iming-iming uang.

Ingat, suara kita menentukan masa depan. Jangan biarkan suara kita dibeli dan dijadikan alat oleh calon yang hanya ingin memperkaya diri sendiri. Pilih pemimpin yang memiliki visi jelas, rekam jejak yang terbukti, dan keberanian untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap rakyat.

Senin, 23 September 2024

Dari Dendam ke Tanah Kemenangan: SEJARAH Candi Lor dan Prasasti Anjuk Ladang

candi lor  yang di lilit pohon
 Pada suatu masa, di era Kerajaan Mataram Kuno, terjadi konflik besar yang memecah keluarga kerajaan. Permusuhan ini bermula antara Balaputradewa, keturunan Dinasti Sailendra, dan Rakai Pikatan, raja dari Mataram Kuno. Balaputradewa, yang kalah dalam perebutan kekuasaan di tanah Jawa, melarikan diri ke Sriwijaya, sebuah kerajaan kuat di Sumatera, dan akhirnya menjadi raja di sana. Meski jauh, dendam Balaputradewa terhadap Rakai Pikatan tidak pernah padam, dan keturunannya terus menyimpan dendam yang mendalam.

Bertahun-tahun kemudian, saat Sriwijaya berada di bawah penerus Balaputradewa, mereka terus berusaha menghancurkan Mataram Kuno, melancarkan serangan demi serangan. Hingga akhirnya, Raja Wawa, penguasa Mataram Kuno saat itu, menghadapi tekanan besar dari serangan Sriwijaya, bencana alam, dan hama yang memporak-porandakan negeri. Untuk menyelamatkan kerajaannya, Raja Wawa memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Jawa Timur. Misi ini diserahkan kepada Rakai Hino Pu Sendok, panglima utama kerajaan.

Gambaran imajinasi  utuh candi. 

Namun, meskipun ibu kota telah berpindah, ancaman dari Sriwijaya tidak surut. Tentara Sriwijaya yang berasal dari Divisi Jambi dikirim untuk mengejar Pu Sendok dan pasukannya. Di tanah Jawa Timur, Pu Sendok dengan cerdik menyusun strategi. Tidak hanya bergantung pada pasukannya, dia juga melibatkan penduduk lokal – para petani, yang bersedia ikut berjuang dengan senjata sederhana seperti sabit dan cangkul.

Pertempuran besar pecah di wilayah yang kini dikenal sebagai Nganjuk. Di Desa Berbek, suara tentara Sriwijaya yang bergerak mengejar pasukan Pu Sendok terdengar seperti "berk-berk-berk," sehingga desa itu diberi nama Berbek. Setelah itu, pertempuran berlanjut ke Desa Kacangan, di mana Pu Sendok mempersiapkan strategi terakhirnya. Pertempuran puncak terjadi di Desa Kalangan, sebuah lapangan luas yang dikelilingi pohon-pohon besar.

candi lor saat ini
Pu Sendok memancing tentara Sriwijaya ke tengah lapangan. Ketika pasukan musuh masuk, tanda pertempuran dimulai dengan bunyi kentongan yang bergema. Para petani dan penduduk yang telah bersembunyi di balik pepohonan berhamburan menyerang dengan tiba-tiba. Tentara Sriwijaya yang terjebak di lapangan luas itu panik dan kocar-kacir. Dengan taktik cerdik dan dukungan rakyat, pasukan Pu Sendok berhasil mengalahkan tentara Sriwijaya. Hanya beberapa dari mereka yang berhasil melarikan diri, tetapi akhirnya mereka pun terkejar dan dikalahkan. Desa di mana mereka bersembunyi kini dikenal sebagai Dukuh Kapungan di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.

Sebagai penghormatan atas kemenangan ini, Pu Sendok mendirikan Candi Lor di Desa Candirejo, Nganjuk. Di samping candi, didirikan pula sebuah prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Anjuk Ladang, yang bermakna "Tanah Kemenangan." Prasasti ini mengabadikan jasa rakyat Anjuk Ladang yang membantu Pu Sendok mengusir tentara Sriwijaya dan memberi mereka hadiah tanah sebagai penghargaan.

dua makam orang dekat pu sendok

Hingga kini, Candi Lor dan Prasasti Anjuk Ladang menjadi saksi bisu dari perjuangan panjang Mataram Kuno, serta simbol dari persatuan antara raja dan rakyat dalam menghadapi ancaman besar. Kemenangan ini mengabadikan nama Anjuk Ladang sebagai tanah kemenangan, yang kini dikenal sebagai Kabupaten Nganjuk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Atmadi, Subroto. "Seni Bangunan dan Seni Hias Candi di Jawa Timur Abad VIII-XV." Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan, 1994.

2. Boechari. "Prasasti Koleksi Museum Nasional." Jakarta: Museum

Nasional Indonesia, 1979.

3. Hariani Santiko, "Mpu Sindok, Raja Pertama Jawa Timur," dalam "Hindu-Java Art and Religion: Essays in Honour of Dr. Satyawati Suleiman," Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2000.

4. Munandar, Agus Aris. "Peralihan Kekuasaan di Jawa: Mpu Sindok, Sriwijaya, dan Awal Kedatuan di Jawa Timur." Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014. 

5. Oetomo, Dwi Cahyono. "Jejak Langkah Mpu Sindok di Nganjuk: Analisis Situs dan Prasasti Anjuk Ladang." Surabaya: Bina Media Press, 2011. 

6. Sukendar, "Prasasti Anjukladang D.59: Penemuan Baru di Wilayah Nganjuk." Makalah Seminar Nasional Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1990. 

7. Sumadio, Bambang (Ed.). "Sejarah Nasional Indonesia II." Jakarta: Balai Pustaka, 1984. 

8. Timbul Haryono, "Kekuasaan dan Hubungan Politik Mataram Kuno dengan Sriwijaya." Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.  

Sabtu, 21 September 2024

"Mikul Duwur, Mendhem Jero"

Masa jabatan Presiden Jokowi yang akan segera berakhir menjadi momen refleksi bagi banyak pihak, khususnya terkait pencapaian serta kontroversi yang menyertainya. Di satu sisi, Jokowi telah memberikan banyak kontribusi signifikan bagi kemajuan negara, seperti pembangunan infrastruktur masif, pengentasan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain, muncul berbagai indikasi penyalahgunaan wewenang yang melibatkan kepentingan pribadi dan keluarga. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana seharusnya kita bersikap? Apakah jasa-jasanya bagi bangsa membuat kita perlu memaafkan atau justru membawa persoalan ini ke ranah hukum?

"Mikul Duwur, Mendhem Jero" adalah filosofi Jawa yang berarti menghormati jasa baik dan menyembunyikan kesalahan seseorang. Dalam konteks Jokowi, prinsip ini sering dikemukakan sebagai bentuk penghormatan terhadap seorang pemimpin yang telah berkontribusi besar bagi negara. Namun, apakah kita hanya perlu memaafkan dengan alasan jasa-jasanya? Di satu sisi, prinsip ini mengajak kita untuk tidak mengungkit kesalahan secara terbuka demi menjaga martabat seorang pemimpin yang pernah berbuat baik bagi bangsa.

pinterest

Namun, dalam negara hukum yang demokratis, supremasi hukum seharusnya tidak pandang bulu. Setiap dugaan penyalahgunaan wewenang, termasuk oleh pejabat tinggi negara, harus ditindaklanjuti secara adil. Penegakan hukum bukanlah soal balas dendam, melainkan demi keadilan, transparansi, dan memastikan agar praktik-praktik tidak etis tidak terulang kembali di masa depan. Hal ini penting untuk menjaga integritas lembaga negara dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Memilih untuk "mikul mendhem jero" mungkin memberikan kesan damai, tetapi bisa berisiko menciptakan preseden buruk: bahwa seorang pemimpin yang berjasa boleh mengabaikan etika dan hukum karena kontribusi masa lalunya. Di sisi lain, membawa Jokowi ke ranah hukum, jika terbukti ada bukti kuat, menunjukkan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Keputusan ini juga bisa mengukuhkan semangat reformasi dan akuntabilitas pejabat publik di masa depan.

Oleh karena itu, kita harus mencari keseimbangan. Apresiasi terhadap jasa-jasa Jokowi adalah hal yang penting dan patut diingat, namun keadilan harus tetap dijunjung tinggi. Jika ada bukti penyalahgunaan wewenang, proses hukum yang adil perlu dilakukan, bukan sebagai bentuk penghancuran pribadi, tetapi untuk menegakkan prinsip hukum dan kebenaran. Pada akhirnya, ini tentang menjaga kehormatan negara dan memastikan masa depan yang lebih transparan serta berkeadilan.

Makan dan Minum Sesuai Ajaran Nabi SAW" yang Mulai Dilupakan"

Makan dan minum dengan cara yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Ketika kecil, kita diajarkan untuk makan sambil duduk, menggunakan tangan kanan, dan selalu memulai dengan membaca doa. Prinsip-prinsip sederhana ini sering kali hilang seiring kita tumbuh dewasa. Makan dengan tangan kiri, sambil berdiri atau berjalan, dianggap hal yang biasa, padahal tindakan tersebut bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.

Makan dan minum menggunakan tangan kanan bukan hanya soal adab atau sopan santun, melainkan bagian dari ketaatan kita kepada ajaran agama. Rasulullah SAW bersabda, "Jika salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan jika ia minum, hendaklah ia minum dengan tangan kanannya. Sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya" (HR. Muslim). Ajaran ini menunjukkan bahwa perilaku kita dalam hal sekecil makan dan minum bisa membawa dampak yang besar bagi keimanan kita. Dengan melakukannya sesuai sunnah, kita tidak hanya menjaga adab, tetapi juga menjaga diri dari mengikuti langkah setan.

Hal ini bukan berarti kebiasaan baik tersebut harus dilupakan karena kesibukan atau kemodernan hidup. Menjaga adab makan dan minum adalah salah satu cara untuk memperkuat hubungan kita dengan ajaran Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Saat kita duduk dengan tenang, memulai dengan doa, dan menggunakan tangan kanan, kita tidak hanya meneladani beliau, tapi juga menghormati diri sendiri sebagai seorang muslim yang patuh pada ajaran Islam. Alangkah indahnya jika kebiasaan itu di mulai dari para pemimpin negri ini, pendidik, guru dan orang orang yang punya pengaruh baik di lingkungan, maka akan berdampak kebaikan bagi masyarakat kita.

Jadi, mari kita kembalikan kebiasaan baik ini dalam kehidupan kita. Ayo kita ingatkan diri kita dan orang-orang di sekitar kita bahwa makan dan minum dengan cara yang benar bukan hanya tentang adab, tetapi tentang iman, ketaatan, dan keikhlasan menjalankan sunnah. Bukan hanya untuk diri kita, tapi juga menjadi contoh bagi generasi setelah kita.
Sudahkan kebiasaan minum dan makan memakai tangan kanan itu, menjadi bagian hidup anda?

Pak J 

Senin, 16 September 2024

Meneladani Rasulullah SAW

 

face book

Rasulullah SAW adalah sosok yang sempurna dalam keimanan, akhlak, dan kepemimpinan. Beliau tidak membutuhkan popularitas atau pengakuan duniawi untuk menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Dengan kesederhanaan dan ketulusan, pengaruh Rasulullah SAW melintasi zaman dan menjadi inspirasi hingga akhir waktu.

Banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dari perjalanan hidup Rasulullah SAW:



  1. Tindakan Nyata Lebih Berarti dari Sekadar Kata-kata
    Rasulullah SAW adalah sosok yang mewujudkan kebaikan melalui tindakan nyata, bukan sekadar melalui ucapan. Beliau mencontohkan kejujuran, kesabaran, dan cinta kasih dalam setiap langkah hidupnya. Sebagai umat dan santri, kita harus meniru beliau dengan menjadi teladan dalam ucapan dan perbuatan.

  2. Ilmu yang Diamalkan Lebih Bernilai
    Ilmu yang paling berharga adalah yang diamalkan. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa ilmu tidak hanya untuk dibicarakan, tetapi untuk diterapkan demi kesejahteraan umat. Tidak semua harus dibagikan di media sosial, namun niat tulus untuk berbagi kebaikan akan membawa dampak yang besar.

  3. Ketenangan Hati dan Fokus pada Perbaikan Diri
    Di era yang penuh gangguan, penting bagi kita untuk menjaga hati tetap tenang, jauh dari hiruk-pikuk dunia maya. Dengan ketenangan hati, kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dan memperbaiki kualitas ibadah serta amal sholeh kita.

  4. Konsistensi dalam Kebaikan
    Meskipun dunia menawarkan berbagai godaan, penting bagi kita untuk tetap berpegang teguh pada ajaran kebaikan dan prinsip-prinsip yang benar. Rasulullah SAW adalah teladan konsistensi, terus teguh meskipun dihadapkan pada berbagai cobaan.

Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari

Untuk mengamalkan pelajaran dari Rasulullah SAW, kita dapat menerapkan beberapa langkah berikut:

  • Perbanyak Amal Sholeh: Kebaikan bisa dimulai dari hal kecil, seperti senyum, membantu sesama, atau memberikan sedekah. Setiap amal kebaikan akan mendekatkan kita kepada Allah SWT.
  • Belajar dari Al-Quran dan Sunnah: Sebagai santri, kita harus mendalami Al-Quran dan Sunnah untuk menambah keimanan, memahami petunjuk, dan meneladani akhlak Rasulullah SAW.
  • Bergaul dengan Orang-orang Sholeh: Lingkungan yang positif sangat berperan dalam membentuk akhlak. Berada di sekitar orang-orang yang baik akan mendorong kita untuk terus meningkatkan kualitas diri.
  • Introspeksi Diri: Evaluasi diri sangat penting untuk melihat kekurangan kita dan memperbaiki diri secara terus-menerus agar menjadi hamba yang lebih baik di hadapan Allah SWT.

Minggu, 15 September 2024

Petani Cemas, Lahan Subur Nganjuk Beralih Jadi Industri?

 Anjul Ladang —

Tanah pertanian di Kabupaten Nganjuk, terutama di daerah utara, semakin banyak yang berubah menjadi kawasan industri. Para petani di wilayah ini mulai merasa cemas dan khawatir dengan keberlangsungan pertanian yang sudah menjadi mata pencaharian mereka selama bertahun-tahun.

Desa Nglaban di Kecamatan Loceret, misalnya, dikenal memiliki tanah yang sangat subur. Hampir semua tanaman bisa tumbuh dengan baik di sini, mulai dari padi, brambang, lombok, kedelai, hingga sayuran. Keadaan yang sama juga bisa dilihat di wilayah lain di Nganjuk, di mana hamparan sawah dan ladang menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, dengan munculnya industri dan pabrik yang mulai menguasai lahan pertanian, banyak yang khawatir bahwa produktivitas tanah akan menurun dan ekosistem pertanian bisa rusak.

"Saat ini, di Desa Nglaban memang belum ada pabrik besar, tapi sawah-sawah mulai dialihfungsikan menjadi peternakan. Kami khawatir, jika ini dibiarkan, lahan pertanian di desa kami akan terus menyusut," ujar salah satu petani setempat yang tak ingin disebutkan namanya.

Kondisi yang lebih mengkhawatirkan terlihat di daerah utara Nganjuk. Banyak

lahan subur yang dulunya menghasilkan berbagai komoditas pertanian kini telah disulap menjadi kawasan industri. Pabrik-pabrik berdiri di atas tanah yang dulunya menjadi tempat para petani menggantungkan hidup.

Para petani merasa pemerintah daerah kurang memperhatikan dampak jangka panjang dari pengalihan fungsi lahan ini. "Harusnya, tanah subur seperti ini bisa dimanfaatkan lebih maksimal untuk pertanian, bukan untuk bangun pabrik. Kalau tanah subur diubah jadi industri, bagaimana nasib kami petani?" keluh salah satu petani dari wilayah tersebut.


Beberapa pihak beranggapan bahwa modernisasi dan pembangunan industri memang penting untuk kemajuan daerah. Namun, petani dan masyarakat lokal menilai, seharusnya pemerintah bisa lebih bijak dalam menjaga keseimbangan antara industri dan pertanian. Mereka juga mengkritisi kebijakan bupati sebelumnya yang dianggap terlalu pragmatis dan mengorbankan tanah subur demi kepentingan industri.

"Seharusnya para pemimpin bisa mengambil nilai lebih dari pertanian. Kalau sistem pemasaran hasil tani diperbaiki, kami yakin petani bisa lebih makmur, dan daerah ini juga bisa berkembang. Tapi sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya, tanah dijual, pabrik dibangun," tambah salah satu warga.

Kekhawatiran semakin memuncak menjelang Pilkada, di mana masyarakat berharap ada pemimpin baru yang lebih berpihak pada pertanian. Mereka menyuarakan pentingnya pemilu yang bersih dan murah biaya, agar pemimpin terpilih nanti bisa fokus pada kepentingan rakyat tanpa harus menjual lahan subur untuk kepentingan sesaat.

Untuk sekarang, para petani di Nganjuk hanya bisa berharap agar lahan-lahan yang tersisa masih bisa diselamatkan. Karena bagi mereka, tanah subur bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga warisan berharga yang harus dijaga untuk generasi mendatang.

Sept 2024 

Pak J

Nasi Becek Pak Harjo: Legenda Kuliner Nganjuk yang Tak Lekang oleh Waktu

 

pak J
Nganjuk, Jawa Timur – Di tengah gemerlapnya dunia kuliner modern, ada sebuah warung sederhana di Nganjuk yang tetap setia menyajikan cita rasa klasik. Nasi Becek Pak Harjo, sebuah warung yang berdiri sejak tahun 1980, telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu dan perubahan zaman di Kota Angin.

Bermula dari sebuah inisiatif sederhana untuk menyajikan hidangan hangat bagi masyarakat, warung nasi becek , kini telah menjadi ikon kuliner Nganjuk. Cerita menarik di balik berdirinya warung ini diawali dari masa ketika televisi hitam putih baru saja muncul di Indonesia. Saat itu, televisi tersebut ditempatkan di sisi timur terminal Nganjuk, menjadi pusat perhatian warga. itu pun televisi pembelian pemkab yang didedikasikan untuk warga, yang memang saat itu belum banyak yang punya atau memiliki.

"Waktu itu saya masih SMP, Pak," ujar Hari, putra Pak Harjo yang kini berusia 57 tahun. Beliau melanjutkan, "Sekolahnya di SMPN 1 Nganjuk, sebuah sekolah favorit di kota ini." Dari cerita Hari, kita dapat membayangkan betapa sederhana namun penuh semangatnya awal mula warung nasi becek ini.

Awalnya, warung ini dikelola langsung oleh Pak Harjo dan istrinya, dibantu oleh dua orang karyawan. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Hari dan istrinya memutuskan untuk melanjutkan usaha keluarga ini. karena dua kakak pak hari dan satu adik perempuan nya enggan menjadi pelanjut kuliner klasik rintisan pak Harjo. karena saudara pak hari latar belakang mereka sebagai guru dan ASN, maka pak hari dan Istrinya seperti ketiban sampur kata orang jawa. meski begitu semangat melestarikan warisan keluarga akhirnya mengalahkan segalanya.

Lokasi warung yang sangat strategis, hanya 50 meter dari terminal bus antar kota lama,dan stasiun kereta yang masih ada sampai saat ini, membuat warung ini selalu ramai pengunjung. Bahkan hingga kini, di tengah persaingan bisnis kuliner yang semakin ketat, Nasi Becek Pak Harjo tetap menjadi pilihan favorit banyak orang.

pak J

"Saya datang ke sini jam 19.10, tapi ternyata tinggal beberapa porsi lagi," ujar salah satu pelanggan.yang mengaku orang kampung kauman. Hal ini menunjukkan betapa populernya nasi becek  Pak Harjo, terutama di kalangan masyarakat Nganjuk dan sekitarnya.

Cita Rasa Khas yang Tak Terlupakan

Nasi becek Pak Harjo memiliki cita rasa yang khas dan sulit ditemukan di tempat lain. Perpaduan bumbu yang kaya rempah dan santan yang gurih menciptakan sensasi rasa yang unik dan menggugah selera. Daging kambing yang empuk dan bumbu yang meresap sempurna membuat setiap suapan menjadi kenikmatan tersendiri.

Lebih dari Sekedar Kuliner

pak J

Nasi Becek Pak Harjo bukan hanya sekedar warung makan, tetapi  Bagi warga Nganjuk, warung ini memiliki nilai sejarah dan sentimental yang tinggi. Banyak pelanggan yang datang bukan hanya untuk menikmati makanannya, tetapi juga untuk mengenang masa lalu dan menjalin silaturahmi.

Pelestarian Warisan Kuliner

Keberadaan Nasi Becek Pak Harjo menjadi bukti bahwa kuliner tradisional masih memiliki tempat di hati masyarakat modern. Dengan mempertahankan cita rasa asli dan kualitas bahan baku yang baik, warung ini berhasil bertahan selama puluhan tahun dan tetap relevan hingga saat ini.

Pesan Moral

pak j

Kisah Nasi Becek Pak Harjo mengajarkan kita tentang pentingnya melestarikan warisan budaya, termasuk kuliner. Dengan semangat yang sama, kita dapat menjaga kelangsungan kuliner tradisional Indonesia dan memperkenalkannya kepada generasi muda.

pak J