"Mikul Duwur, Mendhem Jero" adalah filosofi Jawa yang berarti menghormati jasa baik dan menyembunyikan kesalahan seseorang. Dalam konteks Jokowi, prinsip ini sering dikemukakan sebagai bentuk penghormatan terhadap seorang pemimpin yang telah berkontribusi besar bagi negara. Namun, apakah kita hanya perlu memaafkan dengan alasan jasa-jasanya? Di satu sisi, prinsip ini mengajak kita untuk tidak mengungkit kesalahan secara terbuka demi menjaga martabat seorang pemimpin yang pernah berbuat baik bagi bangsa.
Namun, dalam negara hukum yang demokratis, supremasi hukum seharusnya tidak pandang bulu. Setiap dugaan penyalahgunaan wewenang, termasuk oleh pejabat tinggi negara, harus ditindaklanjuti secara adil. Penegakan hukum bukanlah soal balas dendam, melainkan demi keadilan, transparansi, dan memastikan agar praktik-praktik tidak etis tidak terulang kembali di masa depan. Hal ini penting untuk menjaga integritas lembaga negara dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Memilih untuk "mikul mendhem jero" mungkin memberikan kesan damai, tetapi bisa berisiko menciptakan preseden buruk: bahwa seorang pemimpin yang berjasa boleh mengabaikan etika dan hukum karena kontribusi masa lalunya. Di sisi lain, membawa Jokowi ke ranah hukum, jika terbukti ada bukti kuat, menunjukkan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Keputusan ini juga bisa mengukuhkan semangat reformasi dan akuntabilitas pejabat publik di masa depan.
Oleh karena itu, kita harus mencari keseimbangan. Apresiasi terhadap jasa-jasa Jokowi adalah hal yang penting dan patut diingat, namun keadilan harus tetap dijunjung tinggi. Jika ada bukti penyalahgunaan wewenang, proses hukum yang adil perlu dilakukan, bukan sebagai bentuk penghancuran pribadi, tetapi untuk menegakkan prinsip hukum dan kebenaran. Pada akhirnya, ini tentang menjaga kehormatan negara dan memastikan masa depan yang lebih transparan serta berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar