Pemilihan kepala daerah serentak yang semestinya menjadi tonggak demokrasi kini menyisakan keprihatinan. Calon kepala daerah yang diharapkan oleh rakyat untuk memimpin mereka, terhalang untuk maju. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi alat aspirasi rakyat, kini tersandera oleh kasus hukum yang mudah dimanipulasi untuk menekan mereka sesuai kehendak penguasa. Kondisi ini membuat banyak daerah hanya memiliki satu calon tunggal yang melawan "bumbung kosong." Pertanyaan besar pun muncul: inikah makna demokrasi yang kita pilih untuk mengelola negara dan daerah?
Demokrasi seharusnya memberi rakyat ruang kebebasan memilih pemimpin yang mereka percayai. Namun, ketika calon yang diharapkan tidak bisa maju, dan partai politik tunduk pada tekanan kekuasaan, makna demokrasi itu sendiri mulai memudar. Ini bukan lagi sebuah sistem yang mencerminkan kehendak rakyat, melainkan sebuah permainan kekuasaan yang mengorbankan kebebasan politik dan harapan masyarakat.
Fenomena ini memperlihatkan rusaknya mekanisme demokrasi di negeri ini. Pilihan rakyat menjadi terbatas, ruang politik yang seharusnya diisi oleh beragam kandidat, kini dikosongkan oleh dominasi kekuasaan. Di sisi lain, banyak dari kita mulai bertanya: mengapa sebagian rakyat enggan untuk berubah? Mengapa sebagian masyarakat tampak pasif di tengah situasi yang semakin mengkhawatirkan ini?
Jawabannya mungkin terletak pada dua hal. Pertama, apatisme yang tumbuh akibat kekecewaan yang berkepanjangan. Rakyat melihat bahwa janji-janji perubahan yang dijanjikan penguasa sering kali hanya retorika kosong.Ketidakmampuan pemerintah dan partai politik untuk membawa perubahan nyata, membuat banyak masyarakat merasa tidak ada gunanya berharap atau berjuang untuk perubahan.
Rakyat yang apatis atau pasrah, adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada proses politik, ketika mereka enggan untuk bergerak dan memperjuangkan perubahan, maka kekuatan demokrasi melemah. Padahal, perubahan hanya bisa terwujud jika ada partisipasi aktif dari masyarakat.
Untuk keluar dari krisis ini, kita harus menyadari bahwa demokrasi bukan sekadar formalitas pemilu. Demokrasi adalah kekuatan rakyat untuk menentukan masa depan mereka. Jika kita membiarkan kekuasaan terus menekan dan membatasi pilihan kita, maka kita hanya akan menjadi penonton di negeri kita sendiri, sementara hak dan suara kita terus direduksi.
Sekarang adalah saatnya bagi rakyat untuk bangkit. Kita harus menyuarakan kebebasan memilih, menolak kekuasaan yang mempermainkan sistem demokrasi, dan memperjuangkan kembali makna sejati demokrasi: kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat dalam menentukan arah bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar