Minggu, 29 September 2024

KESOMBONGAN DALAM BERAGAMA

 


Foto : islam kaffah
Ketika seseorang, termasuk sebagian kelompok yang mengklaim mengikuti salafiun, dengan kebiasaan mereka membid’ahkan  muslim di luar kelompoknya  dan merasa merekalah satu-satunya yang benar dalam meniru Nabi Muhammad SAW, ini bukan sekedar pendapat biasa tapi sudah merupakan Alarm bahwa itu bentuk kesombongan spiritual yang sangat berbahaya. Jauh hari sebelum mereka melakukan itu, perasaan lebih baik dari orang lain sudah di praktekan oleh iblis laknatulloh. Kesombongan ini menjadikan seseorang menutup diri dari dialog, enggan menerima perbedaan, dan merasa paling benar di mata Allah.

Allah telah dengan tegas memperingatkan tentang bahaya kesombongan dalam Surat Al-A’raf ayat 40:

"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, hingga unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan." (QS. Al-A’raf: 40).

Ayat ini mengajarkan bahwa kesombongan menutup pintu-pintu rahmat Allah, dan seorang yang menyombongkan diri dalam hal agama, merasa dirinya paling benar, paling sunnah, dan menolak orang lain hanya karena perbedaan pendapat, adalah dalam posisi yang sangat berbahaya. Kesombongan itulah yang akan menghalangi seseorang untuk mendapatkan kebenaran yang sejati.

Mengikuti Nabi Lewat Ulama

Pernyataan “tidak perlu mengikuti ustadz, kyai, atau ulama, tapi langsung mengikuti Nabi” adalah sebuah pemahaman yang tidak logis. Bagaimana kita bisa mengikuti Nabi secara langsung ketika kita hidup ribuan tahun setelah beliau? Pemahaman kita tentang ajaran Nabi Muhammad SAW hanya sampai kepada kita melalui hadits, dan hadits-hadits ini tidak sampai begitu saja, melainkan melalui usaha gigih para ulama dalam mengumpulkan, memverifikasi, dan menyusunnya.

Mengabaikan peran ulama berarti menghancurkan mata rantai keilmuan yang menghubungkan kita dengan Rasulullah SAW. Tanpa ulama, kita tidak akan bisa memahami agama dengan benar, karena mereka adalah pewaris ilmu-ilmu Nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Mengingkari ulama sama saja dengan menutup pintu pemahaman terhadap Islam.

Bid'ah, Kafir, dan Neraka

Menjatuhkan vonis bid'ah, kafir, atau sesat kepada sesama Muslim tanpa dasar yang kuat adalah kesalahan fatal dan penuh kesombongan. Rasulullah SAW sendiri sangat berhati-hati dalam menilai seseorang, bahkan terhadap orang-orang yang jelas-jelas bermaksiat. Mengapa kita, manusia yang terbatas ilmu dan pemahamannya, berani menempatkan diri sebagai hakim atas iman orang lain?

foto: info muslim.com

Perbuatan ini juga bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an. Hanya Allah yang memiliki hak mutlak untuk menentukan siapa yang masuk surga atau neraka. Seseorang yang berani mengambil peran ini sebenarnya sedang melangkahi otoritas Allah. Surat An-Nisa ayat 94 mengingatkan kita untuk tidak gegabah dalam menilai keimanan seseorang:

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepadamu, 'Kamu bukan seorang mukmin,' (lalu kamu membunuhnya) karena mengharapkan harta kehidupan dunia." (QS. An-Nisa: 94).

Ini menunjukkan bahwa berhati-hati dalam menilai orang lain adalah bagian dari adab Islam. Jika Allah dan Rasul-Nya saja mengajarkan kehati-hatian dalam menilai seseorang, mengapa kita dengan mudahnya menjatuhkan label kepada orang lain?

Perbedaan dan Ikhtilaf

Islam adalah agama yang kaya dengan ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Dalam berbagai aspek fiqih dan pemahaman agama, para ulama dari berbagai mazhab seringkali memiliki perbedaan, tetapi mereka tetap saling menghormati. Mereka sadar bahwa ilmu manusia terbatas dan setiap pendapat ijtihad didasari oleh dalil yang mereka yakini kebenarannya. Namun, tidak satu pun dari mereka yang mengklaim dirinya paling benar dan yang lain pasti salah.

Sikap menghormati perbedaan adalah bagian dari ajaran Islam, dan tidak seharusnya kita sempitkan pemahaman agama dengan satu sudut pandang saja. Islam lebih luas dari sekedar satu pemahaman mazhab atau satu kelompok.

akhirnya

Kesombongan dalam beragama adalah pintu menuju kehancuran, bukan kebenaran. Allah memperingatkan dengan keras dalam Surat Al-A'raf ayat 40 bahwa kesombongan akan menghalangi seseorang masuk surga. Beragama dengan kerendahan hati, menghormati perbedaan, dan selalu membuka diri terhadap dialog adalah cara kita mendekatkan diri kepada Allah. Kita bukan penguasa surga, bukan pula hakim atas keimanan orang lain.

Tugas kita adalah mencari kebenaran dengan rendah hati dan saling menghormati, bukan mengklaim kebenaran mutlak dan merasa berhak menghakimi orang lain.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar