Foto : islam kaffah |
Allah telah dengan tegas memperingatkan tentang
bahaya kesombongan dalam Surat Al-A’raf ayat 40:
"Sesungguhnya orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan
dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga,
hingga unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat kejahatan." (QS. Al-A’raf: 40).
Ayat ini mengajarkan bahwa kesombongan menutup pintu-pintu rahmat Allah,
dan seorang yang menyombongkan diri dalam hal agama, merasa dirinya paling
benar, paling sunnah, dan menolak orang lain hanya karena perbedaan pendapat,
adalah dalam posisi yang sangat berbahaya. Kesombongan itulah yang akan
menghalangi seseorang untuk mendapatkan kebenaran yang sejati.
Mengikuti Nabi Lewat Ulama
Pernyataan “tidak perlu mengikuti ustadz, kyai,
atau ulama, tapi langsung mengikuti Nabi” adalah sebuah pemahaman yang tidak logis.
Bagaimana kita bisa mengikuti Nabi secara langsung ketika kita hidup ribuan
tahun setelah beliau? Pemahaman kita tentang ajaran Nabi Muhammad SAW hanya
sampai kepada kita melalui hadits,
dan hadits-hadits ini tidak sampai begitu saja, melainkan melalui usaha gigih
para ulama dalam mengumpulkan, memverifikasi, dan menyusunnya.
Mengabaikan peran ulama berarti menghancurkan mata rantai keilmuan
yang menghubungkan kita dengan Rasulullah SAW. Tanpa ulama, kita tidak akan
bisa memahami agama dengan benar, karena mereka adalah pewaris ilmu-ilmu Nabi,
sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa ulama adalah pewaris para nabi.
Mengingkari ulama sama saja dengan menutup pintu pemahaman terhadap Islam.
Bid'ah, Kafir, dan Neraka
Menjatuhkan vonis bid'ah, kafir, atau sesat kepada sesama Muslim tanpa dasar yang kuat adalah kesalahan fatal dan penuh kesombongan. Rasulullah SAW sendiri sangat berhati-hati dalam menilai seseorang, bahkan terhadap orang-orang yang jelas-jelas bermaksiat. Mengapa kita, manusia yang terbatas ilmu dan pemahamannya, berani menempatkan diri sebagai hakim atas iman orang lain?
foto: info muslim.com |
Perbuatan ini juga bertentangan dengan ajaran
Al-Qur'an. Hanya Allah yang memiliki
hak mutlak untuk menentukan siapa yang masuk surga atau neraka.
Seseorang yang berani mengambil peran ini sebenarnya sedang melangkahi otoritas
Allah. Surat An-Nisa ayat 94 mengingatkan kita untuk tidak gegabah dalam
menilai keimanan seseorang:
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang memberi salam kepadamu, 'Kamu bukan seorang
mukmin,' (lalu kamu membunuhnya) karena mengharapkan harta kehidupan
dunia." (QS. An-Nisa: 94).
Ini menunjukkan bahwa berhati-hati dalam menilai orang lain adalah bagian
dari adab Islam. Jika Allah dan Rasul-Nya saja mengajarkan
kehati-hatian dalam menilai seseorang, mengapa kita dengan mudahnya menjatuhkan
label kepada orang lain?
Perbedaan dan Ikhtilaf
Islam adalah agama yang kaya dengan ikhtilaf (perbedaan pendapat) di
kalangan ulama. Dalam berbagai aspek fiqih dan pemahaman agama, para ulama dari
berbagai mazhab seringkali memiliki perbedaan, tetapi mereka tetap saling
menghormati. Mereka sadar bahwa ilmu manusia terbatas dan setiap pendapat
ijtihad didasari oleh dalil yang mereka yakini kebenarannya. Namun, tidak satu
pun dari mereka yang mengklaim dirinya paling benar dan yang lain pasti salah.
Sikap menghormati perbedaan adalah bagian dari ajaran Islam, dan tidak seharusnya
kita sempitkan pemahaman agama dengan satu sudut pandang saja. Islam lebih luas
dari sekedar satu pemahaman mazhab atau satu kelompok.
akhirnya
Kesombongan dalam beragama adalah pintu menuju
kehancuran, bukan kebenaran. Allah memperingatkan dengan keras dalam Surat
Al-A'raf ayat 40 bahwa kesombongan akan menghalangi seseorang masuk surga.
Beragama dengan kerendahan hati, menghormati perbedaan, dan selalu membuka diri
terhadap dialog adalah cara kita mendekatkan diri kepada Allah. Kita bukan penguasa
surga, bukan pula hakim atas keimanan orang lain.
Tugas
kita adalah mencari kebenaran dengan rendah hati dan saling menghormati, bukan
mengklaim kebenaran mutlak dan merasa berhak menghakimi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar