PETIRTAAN NGAWONGGO |
Situs
Petirtaan Ngawonggo, yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan
salah satu saksi bisu perjalanan panjang sejarah Jawa. Situs ini tidak hanya
mencerminkan warisan dari era Mataram Kuno, tetapi juga mencerminkan bagaimana
masyarakat lokal menjaga hubungan spiritual mereka dengan alam dan budaya
melalui generasi. Mulai dari masa kejayaan Hindu-Buddha, penyebaran Islam,
hingga upaya pelestarian modern, Ngawonggo telah menjadi bagian integral dari
identitas lokal yang kaya dengan sejarah dan spiritualitas.
Ngawonggo sebagai Mandala Suci (943 Masehi)
Situs
Petirtaan Ngawonggo pertama kali diketahui berasal dari era Mpu Sindok,
penguasa Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Dinasty isyana, yang memindahkan pusat kekuasaannya dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan ini didorong oleh berbagai faktor, seperti
bencana alam yang melanda Jawa Tengah dan ancaman dari kerajaan-kerajaan
tetangga termasuk yang uutama adalah serangan dari musuh bebuyutanya kerajaan Sriwijaya divisi Jambi. Mpu Sindok memerintah antara tahun 929 hingga 947 Masehi, dan pada
masanya, muncul berbagai tempat suci di wilayah Jawa Timur, termasuk Kaswangga,
yang disebutkan dalam Prasasti Wurandungan (Kanuruhan B) bertarikh 943 Masehi.
Kaswangga diduga kuat merupakan nama kuno dan nama lain dari Ngawonggo.
Sejak awal, Petirtaan Ngawonggo memiliki fungsi religius sebagai tempat suci, untuk menyucikan diri bagi para rohaniwan Hindu dan Buddha. Dalam tradisi Hindu, air memiliki makna spiritual yang sangat mendalam, sebagai lambang pemurnian dari dosa dan energi negatif. Oleh karena itu, petirtaan atau kolam suci seperti yang ada di Ngawonggo sangat penting dalam kehidupan keagamaan pada masa Mataram Kuno. Para pendeta dan bangsawan akan menggunakan petirtaan ini sebelum melaksanakan upacara atau persembahan besar di candi-candi utama, seperti Candi Singosari dan Candi Badut, dan candi cndi laian nya yang berada di Jawa Timur.
KULINER NGAWONGGO |
Petirtaan
Ngawonggo didesain sebagai bagian dari "mandala" atau
"kahyangan," istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti tempat suci
atau kediaman para dewa. Mandala ini merupakan bagian dari sistem keagamaan
yang tidak hanya berfokus pada bangunan fisik, tetapi juga pada makna spiritual
di balik ritual penyucian yang dilakukan di sana. Struktur kolam dan pancuran
di situs ini diyakini mengalirkan air dari sumber mata air alami yang dianggap
memiliki kekuatan ilahi. Air tersebut digunakan untuk berbagai upacara penting,
termasuk ritual mandi penyucian atau "tirthayatra," yang hingga kini
masih menjadi tradisi dalam agama Hindu.
Kolam-kolam
di Petirtaan Ngawonggo tidak hanya menjadi sarana untuk pembersihan fisik,
tetapi juga sebagai bagian dari proses meditasi dan refleksi spiritual.
Relief-relief yang ada di sekitarnya menggambarkan berbagai dewa dan makhluk
mitologis yang terkait dengan kepercayaan Hindu dan Buddha, menguatkan fungsi
spiritual dari situs ini.
Legenda Mbah Surayuda (1476 Masehi)
Seiring
dengan berakhirnya era Kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan mojopahit, Jawa Timur mulai mengalami
perubahan besar dengan masuknya Islam pada abad ke-15. Proses penyebaran Islam
di Jawa Timur dipelopori oleh para wali dan ulama, terutama Wali Songo, yang
dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam proses Islamisasi Pulau Jawa. Di
wilayah Malang, salah satu tokoh yang memiliki peran besar menurut tradisi
lokal adalah Mbah Surayuda, atau dikenal juga dengan Mbah Jalaludin, seorang
murid Sunan Bayat dari Klaten, Jawa Tengah. Menurut legenda, Mbah Surayuda
diutus untuk menyebarkan Islam di wilayah Ngawonggo pada sekitar tahun 1476
Masehi.
Namun,
seperti banyak cerita rakyat lainnya, tidak ada bukti arkeologis yang kuat yang
dapat mengonfirmasi kebenaran kisah ini. Meskipun demikian, kisah Mbah Surayuda
mencerminkan bagaimana situs-situs suci Hindu-Buddha diadaptasi oleh masyarakat
setempat dalam konteks Islam, sebagai budaya adiluhung yang semakin dominan pada masa itu. Tradisi lisan
ini juga menunjukkan adanya kesinambungan antara kepercayaan lama dan baru, di
mana nilai-nilai dan tempat-tempat suci Hindu-Buddha tetap dipertahankan dalam
bentuk yang berbeda, sering kali dengan simbolisme Islam yang ditambahkan.
PETIRTAAN DAN RELIEF |
Setelah
masa penyebaran Islam, Petirtaan Ngawonggo tidak kehilangan fungsi sakralnya.
Meskipun tidak lagi digunakan secara luas oleh rohaniwan Hindu-Buddha,
masyarakat lokal masih menggunakan air dari pancuran di situs tersebut untuk
kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi maupun upacara-upacara adat. Air dari
petirtaan dipercaya memiliki kekuatan magis, mampu menyembuhkan penyakit, dan
memberikan keberuntungan. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun,
mencerminkan bagaimana masyarakat lokal terus menghormati situs tersebut
sebagai tempat yang memiliki kekuatan spiritual.
Namun,
perubahan teknologi dan akses terhadap air bersih di desa-desa sekitar mulai
menggeser peran petirtaan ini. Sejak diperkenalkannya sumur dan jaringan air
PDAM pada pertengahan abad ke-20, pancuran di situs ini mulai ditinggalkan.
Vegetasi tumbuh liar dan menutupi sebagian besar situs, dan kolam-kolam
petirtaan menjadi tertutup lumpur. Pada periode ini, situs Petirtaan Ngawonggo
mulai dilupakan oleh banyak orang, meskipun masih ada beberapa warga yang
mengenangnya sebagai tempat suci yang penuh dengan arca dan relief.
Penemuan Kembali (1970-an - 2017)
Pada tahun
1970-an, warga sekitar mulai menyadari bahwa terdapat peninggalan-peninggalan
kuno di Ngawonggo, yang mereka sebut sebagai "reca" atau arca. Namun,
kesadaran bahwa situs ini adalah petirtaan kuno dari era Mataram Kuno belum
sepenuhnya muncul. Situs ini hanya dilihat sebagai tempat yang memiliki
sejumlah arca tanpa pemahaman yang mendalam tentang sejarah atau fungsinya sebagai
tempat penyucian.
Momentum
penemuan kembali situs ini terjadi pada tahun 2017 ketika seorang warga bernama
Yasin, bersama rekan-rekannya, mengunggah video tentang situs Ngawonggo di kanal YouTubenya. Video tersebut menjadi viral di kalangan pegiat sejarah dan menarik
perhatian komunitas arkeologi, termasuk Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
Jawa Timur. Tindakan ini membuka jalan bagi ekskavasi resmi yang dilakukan pada
bulan Mei 2017. Ekskavasi ini berlangsung selama sembilan hari dan melibatkan
warga lokal yang bekerja bersama tim arkeolog.
Ekskavasi
mengungkap berbagai relief dan struktur kolam yang sebelumnya tertimbun oleh
lumpur dan ditumbuhi vegetasi. Temuan ini menegaskan bahwa situs tersebut
adalah sebuah petirtaan yang penting pada masa Mataram Kuno, dengan
relief-relief yang masih utuh menggambarkan mitologi Hindu. Kolam-kolam yang
ditemukan juga memperlihatkan pola yang sama dengan petirtaan lain di Jawa
Timur yang berasal dari periode yang sama.
Upaya Pelestarian oleh Masyarakat (2017 - Sekarang)
Setelah ekskavasi, upaya pelestarian situs ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat setempat. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dipimpin oleh Yasin mengambil peran penting dalam menjaga situs ini. Mereka secara rutin melakukan kegiatan kerja bakti untuk membersihkan area situs, merawat struktur yang sudah ditemukan, serta menjaga agar tidak ada vandalisme atau kerusakan akibat aktivitas manusia.
Namun,
meskipun situs ini telah memenuhi syarat sebagai cagar budaya, hingga kini
situs Petirtaan Ngawonggo belum diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai
situs cagar budaya. Pengakuan resmi ini penting, karena dengan status cagar
budaya, situs tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum serta dukungan
finansial untuk pelestarian yang lebih baik. Meskipun demikian, inisiatif warga
yang terus melibatkan diri dalam pelestarian situs ini patut diapresiasi
sebagai upaya swadaya yang berharga.
Potensi Wisata dan Pendidikan
Situs Petirtaan Ngawonggo memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Keindahan arsitektur dan relief-relief yang ditemukan di sana merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama mereka yang tertarik dengan sejarah Jawa kuno. Selain itu, situs ini juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi untuk mengajarkan sejarah dan budaya kepada generasi muda. Melalui pemahaman yang lebih serius tentang sejarah situs ini, masyarakatpun dapat lebih menghargai warisan budaya mereka dan berkontribusi pada upaya pelestarian. dengan semakin bertambah nya pengunjung dan penataan sarana rekreasi nya, situs ini akan semakin di kenal masyarakat di wilayah Malang raya pada kususnya dan Jawa timur pada Umumnya.
di rangkum dari berbagai sumber.
Pak J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar