MENJADI JADI GURU DI NEGERI ORANG TUA
PERFEKSIONIS"
"Selamat Datang, Pak Riko!"
|
SMP IT Masjid Syuhada' |
Pak Riko, adalah seorang guru muda yang baru 5 tahun
bertugas, setiap hari pak riko melangkah ke halaman sekolah dengan antusiasme
yang sulit disembunyikan. Sekolah tempat mengajarnya ini terletak di pinggiran kota, jauh
dari hiruk-pikuk kota industri, namun tetap memiliki reputasi di masyarakatnya.
Hari itu adalah hari pertama Pak Riko bertemu dengan siswa sekaligus orang tua mereka, karena ada acara pertemuan wali murid disekolah. Pertemuan itu terasa istimewa setelah 3 bulan di liburkan karena hampir 6 lokal gedung sekolah nya terkena bencana
bumi bergoyang (gempa bumi). Dalam Hati pak riko bertekad untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik, untuk
benar-benar menjadi sosok guru yang dirindukan oleh setiap muridnya.
Namun, harapan baru itu, tiba tiba menghilang
seiring datangnya seorang wali murid
mendekat pada diri nya. Ia, seorang ibu yang tampak anggun namun tegas, langsung menyambut
Pak Riko dengan pandangan penuh ekspektasi. Ia tak menyia-nyiakan waktu,
langsung menyodorkan daftar nilai putrinya yang menurutnya "masih kurang
memuaskan."
"Pak Guru Riko, ia memulai pembicaraan nya,
tolong bantu anak saya pak,supaya nilainya lebih baik. Saya tahu Pak Riko pasti
mengerti susahnya jadi orang tua zaman sekarang, kan?" ujarnya, dengan
nada seakan menuntut tanpa meninggalkan senyum di wajahnya.
Pak Riko tertegun, mencoba mencerna kata-kata itu
sambil tetap tersenyum sopan.walaupun di pikir berulang kali perkataan ibu
tadi, tetap menjadi misteri yang tak terjawab” untuk apa sebenar nya. Kenapa tidak
berbicara bagaimana peningkatan kedisplinan dan akhlak putrinya. Mengapa tidak
menyampaikan harapan moral, ibadah dan kekujuran
yang baik untuk putrinya kepada guru yang
membimbing nya.?
Untuk apa sebenarnya angka angka yang mereka
pejuangkan? Bukankah itu di masa depan sama sekali tak berguna bagi anak nya.
Apakah orang tua tidak paham bahwa angka angka di rapot atau selembar kertas
yang bernama ijasah itu, sama sekali tak akan berguna kecuali di barengi
kualitas akhlaq kesantunan, kedisiplinan dan kejujuran pemilik nya. Mengapa,
mengapa, mengapa. Pikiran pak riko bergelayut tanpa mengerti sikap orang tua
siswa seperti ini.
Sejak hari pertama, rupanya tugasnya tidak hanya
mengajar, melainkan juga memenuhi harapan setinggi gunung dari para orang tua.
Dalam hati, pak riko bergumam, “Wah, sepertinya jadi guru juga harus jago ilmu
negosiasi, ya.”
Sambil mengangguk dan mendengarkan keluhan sang
ibu, Pak Riko pun menyadari bahwa perjalanan sebagai guru di tempat ini akan
jauh lebih menantang dari yang ia bayangkan.
"Siapa
Bilang Guru Boleh Tegas?"
di Minggu ke tiga pak Riko mengajar, Pak Riko
menghela napas panjang saat ia memasuki ruang kelas XII C yang penuh suara riuh.
Bukan hanya murid-muridnya yang bersemangat bicara, beberapa bahkan sudah
berdiri, bercanda sambil tertawa lepas. Pak Riko merasa tubuhnya seakan meleleh
baru beberapa minggu ia kembali mengajar
di sekolah ini, dan tiap harinya rasanya seperti medan perang tanpa akhir.
“Anak-anak,
bisa tolong tenang sebentar?” Pak Riko memulai berbicara dengan nada datar,
tetapi hanya sedikit yang memerhatikannya. Ia mendekati papan tulis,
mengetuknya pelan, dan mengulangi kalimatnya, kali ini lebih tegas. Suasana
kelas mendadak senyap, meski beberapa pasang mata masih meliriknya dengan
gelagat tak nyaman.
“Dengar, Bapak tidak ingin membuang waktu
kalian. Pelajaran ini penting untuk ujian akhir nanti. Kalian tahu, bukan,
ujian itu cuma beberapa minggu lagi?” Pak Riko berusaha menguatkan intonasinya,
namun ia merasakan adanya ketegangan dan kegundahan dalam suara.
Beberapa
anak mulai membuka buku, meski masih ada yang tampak malas-malasan. Salah satu
dari mereka, Dani, dengan suara rendah tetapi cukup terdengar, bergumam, “Baru
masuk satu jam sudah mulai marah-marah…”
Kalimat itu
menusuk hati Pak Riko. Ia berusaha menahan perasaannya dan tetap melanjutkan
pelajaran, walau ia tahu, suasana belajar yang diidamkannya sudah tak lagi
hangat.
Esuk harinya,
usai pelajaran, seorang murid menyerahkan surat untuknya. "Dari orang tua
Dani, Pak," kata si anak sambil berlalu cepat. Dengan cemas bercampur
penasaran, Pak Riko membuka surat itu dan mulai membaca.
Kepada Pak
Riko
“Pak Riko
yang terhormat, saya mendengar anak saya, Dani, mendapat teguran keras dalam
kelas. Sebagai orang tua, saya merasa prihatin karena dani(anak saya) merasa, Bapak terlalu
cepat bereaksi tegas kepada anak-anak. Saya berharap guru tetap bersabar dan
tak berlebihan…” Pak Riko, mohon lebih sabar, anak-anak ini masih belajar.
Mereka butuh pengertian, bukan ketegasan.” Ia membaca ulang kalimat itu,
mencoba menangkap setiap makna tersiratnya.
sebaiknya
bapak belajar psikologis , sehingga bapak bisa memahami psikis masing masing
anak,yang bapak ajar. Jika bapak perlakukan anak semacam ini maka kerugian
besar buat kami pak. Sebaiknya Bapak Tidak galak dalam mendidik anak kami . Demikian
surat permintaan kami sbg wali
hormat kami
ibunda dani.
Perkataan
yang bernada sombong dari orang tua ini membuat Pak Riko tersenyum getir,dan
tidak tau harus seperti apa dalam mengelola kelas dan menangani siswa seperti
dani, yang setiap harinya selalu bermalas malasan tapi kalau ada teguran ia
mengadukan ke-orang tuanya. Kedepan dani akan selalu bersikap seperti itu,
karena merasa ada perlindungan jika berbuat apapun di sekolah.
Dari kata-kata
orang tua dani itu juga sempat membuat
Pak Riko tersentak. Baru mulai ia mengajar, namun sudah dituduh galak! Apakah
sebegitu salahkah ia menegur siswa yang tak fokus dan bermalas malasan belajar?
Apa sebenarnya yang diadukan dani ke
orang tua. dan apa sebenarnya tujuan orang tua dani memasukan anak nya ke sekolah ini.
Walau
demikian Pak Riko berusaha tetap tenang, meski benaknya berkecamuk juga. “Apakah salah jika
seorang guru ingin menjaga disiplin di kelasnya?” tanyanya dalam hati. “Apakah
untuk menjadi guru yang dihormati, aku harus membiarkan murid-muridku bersikap seperti
itu?”
Pak Riko
duduk termenung di ruang guru, menatap jendela yang mengarah ke taman sekolah.
Sejenak ia membayangkan, betapa sulitnya jika ia hanya berperan sebagai
"teman" bagi siswa, tanpa pernah bersikap tegas. Bukankah tugasnya
adalah mendidik, bukan sekadar menyenangkan hati semua orang?
Mendidik Lunak, Hasilnya Apa?"
Pak Riko
menghela napas panjang saat memasuki kelas XII C pagi itu. Ia sudah memutuskan untuk mengubah
pendekatannya. Setelah mendapat keluhan dari orang tua Dani yang merasa dirinya
terlalu Tegas. Pak Riko memilih mencoba cara yang lebih lunak. “Mungkin benar,”
pikirnya, “Jika aku terlalu tegas, mereka malah akan sulit memahami niatku.”
Maka hari
itu, Pak Riko menekan suaranya agar lebih lembut, berusaha tersenyum setiap
kali ia berbicara, bahkan ketika beberapa anak mulai ribut saat ia menjelaskan
materi. Seperti biasa, Dani dan Andi saling melempar kertas kecil dari bangku
belakang, sementara Reza sibuk menuliskan coretan di mejanya. Pak Riko berusaha
untuk tidak menegur mereka terlalu keras, hanya berkata, “Ayo, anak-anak, coba
fokus, ya. ilmu ini penting untuk ujian kalian nanti.”
Beberapa
anak berhenti sejenak, menatapnya heran, tetapi kemudian kembali ke kebiasaan
semula. Dani tertawa, menepuk punggung Andi, dan berbisik, “Eh, Pak Riko
sekarang nggak galak lagi!” Suasana kelas semakin ramai, murid-murid berbicara
sesuka hati, dan perhatian mereka terhadap pelajaran semakin menipis.
Pak Riko
mencoba bertahan, tetapi ia mulai merasa lelah. Ia melirik arlojinya, berharap
waktu berlalu lebih cepat sehingga dirinya segera bisa lolos dari neraka yang bernama
kelas. Sebagai manusia dirinya merasa di bully oleh murid nya sendiri. Setiap
kali ia berusaha menarik perhatian mereka, beberapa anak memang melihatnya,
tapi tak lama kemudian fokus mereka kembali terpecah. Pak Riko merasa ada
dinding yang memisahkannya dengan mereka, membuat nasihatnya sekadar angin
lalu.
Apakah ini yang dimaksud pak menteri dengan kurikulum merdeka nya :” Biarkan anak-anak belajar berdasar minat nya? Apakah pak
Menteri tidak pernah mengadakan penelitian lewat pak dirjend atau tim nya?. Bahwa sejak anak
anak membawa Gawai keruang-ruang kelas disekolah mereka, minat mereka hanya
sebatas menghibur diri, menuruti kesenangan dengan mobil legend, Free Fire Max,
scrol Tiktok, Ig, WA dan sejenis nya.
Dari pembiaran
gawai masuk ke ruang-ruang kelas secara aman membuat mereka merasa segala nya serba boleh, termasuk tiduran saat guru di dalam
kelas dan mengangkat kaki diatas bangku atau tidur diatas meja saat jam
pembelajaran. Para siswa dengan terang terangan melakukan semua ini lantaran, apapun yang dilakukan mereka di sekolah ada perlindungan dari orang tua mereka, KPAI bahkan hukum. mereka berani cuek, masobodoh dan angkuh terhadap guru gurunyalantaran munculnya anggapan guru tidak berani menegur karena ada ancaman hukum negara atau sekedar peringatan dari pimpinan sekolah yang tidak punya misi kebaikan. kebiasaan jelek ini terjadi dipicu pula oleh tabiat sebagian para pimpinan sekolah kawatir dan takut kehilangan jabatan.
Kelas
berakhir dengan perasaan bercampur aduk. Pak Riko meninggalkan ruangan dengan
kepala tertunduk, bertanya dalam hati, “Apa memang ini caranya? Apakah dengan
cara lembut, mereka bisa belajar lebih baik?” apakah calon tentara dan polisi
juga begitu pendidikan nya? Lembut, lemah gemulai, mengikuti kemauan calon yang
ada.atau sang tentor pelatih bersikap keras dan tegas? Katanya tidak boleh keras.
Benarkah tentara dan polisi tanpa pendidikan tegas dan keras bisa jadi tentara dan
polisi yang baik?
Tetapi Pak
Riko tetap menguatkan dirinya. “Mungkin perlu waktu, mungkin aku harus bersabar,”
batinnya, aku harus menambah kesabaranku lebih dari guru lain di sekolah ini.
Beberapa
hari kemudian, Pak Riko menghadiri rapat bulanan para guru. Saat gilirannya
memberi laporan, ia menyampaikan situasi di kelas XII C dengan bahasa hati-hati.
“Saya
mencoba pendekatan yang lebih lembut, tidak terlalu menegur langsung, dan
memberi ruang pada anak-anak untuk belajar lebih santai,” ujarnya. Pak Riko
berharap ada apresiasi atas upayanya menyesuaikan diri.
Namun,
suasana di ruang rapat mendadak sunyi, sebelum akhirnya Bu Sari, seorang guru
senior, berkomentar, “Pak Riko, kalau saya boleh saran, anak-anak kelas XII C itu
tipe yang butuh bimbingan tegas. Kalau terlalu lembut, mereka merasa bebas.” Mereka
akan santai dan akhirnya mereka akan meremehkan semua guru yang hadir di kelas
itu
Pak Riko
tersenyum miris, mencoba menutupi perasaan bingung yang berkecamuk di hatinya.
“Padahal baru kemarin, mereka bilang saya terlalu galak…saya bersikap keras”
pikirnya. Ia merasa seakan dilempar ke kanan dan ke kiri, keatas dan ke bawah seperti bola yang mencari titik tengah yang tak kunjung ia
temukan.
Sesampainya
di kediaman Pak Riko, yang kebetulan dekat dengan makam umum desa itu, Malam harinya, Pak
Riko duduk di ruang tamunya yang sepi, ia merenung. Pikirannya terus melayang pada
wajah-wajah muridnya di kelas. “Mengapa mendidik harus menjadi pilihan antara
tegas atau lunak?” tanyanya dalam hati.Mengapa guru harus diposisikan antara
hitam dan putih. Ia memegang secarik kertas, surat dari wali murid yang masih
ia simpan sebagai pengingat.
Pak Riko
yang terhormat, saya mendengar anak saya, Dani, mendapat teguran keras dalam
kelas. Sebagai orang tua, saya merasa prihatin karena dani merasa Bapak terlalu
cepat bereaksi tegas kepada anak-anak. Saya berharap guru tetap bersabar dan
tak berlebihan…”sebaiknya bapak belajar psikologis , sehingga bapak bisa memahami
psikis masing masing anak,yang bapak ajar. Jika bapak perlakukan anak-anak
semacam ini maka kerugian besar buat kami pak. Sebaiknya Bapak Tidak galak
dalam mendidik anak kami
Di situ
tertulis, “Pak Riko, mohon lebih sabar, anak-anak ini
masih belajar. Mereka butuh pengertian, bukan ketegasan.” Ia membaca ulang
kalimat itu, mencoba menangkap setiap makna tersiratnya.
Di sisi lain,
ia teringat kata-kata Bu Sari di rapat tadi: “Anak-anak ini butuh bimbingan
tegas.” Dua pandangan yang bertolak belakang, namun sama-sama datang dengan
harapan agar anak-anak itu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik.
Dengan
perasaan bingung, Pak Riko membatin, “Apakah caraku salah? Apakah aku yang
kurang mengerti cara mendidik mereka?”
Esoknya,
Pak Riko kembali ke kelas dengan semangat baru, meski kebimbangannya masih
terasa. Ia memutuskan untuk menjadi lebih fleksibel berusaha tegas pada
waktunya, namun tetap lembut dan memahami ketika dibutuhkan. Ketika Dani mulai
berbicara sendiri di kelas, Pak Riko menegurnya dengan tegas, “Dani, kalau kamu
tidak mau fokus, lebih baik kamu pindah tempat.”
Anak-anak
sejenak terdiam, seakan merasakan wibawa yang berbeda dari Pak Riko. Tapi ia
tidak berhenti di situ. Ia menghampiri Dani, menepuk bahunya pelan, dan berkata
dengan nada lebih lembut, “Dani, saya paham kamu suka bercanda, tapi tolong
bantu saya membuat kelas ini lebih nyaman untuk belajar. Saya percaya kamu bisa
lebih baik.”
Dani
menatap Pak Riko dengan bingung namun ada secercah rasa hormat di sana. Ia
mengangguk pelan, dan sejak saat itu, Dani lebih tenang dan serius saat
pelajaran berlangsung. Pak Riko akhirnya merasa sedikit lega.
Ia sadar, bahwa menjadi guru bukan soal memilih
tegas atau lunak, melainkan mengerti kapan harus tegas dan kapan harus lunak.
Tepat ketika lonceng tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, Pak Riko tersenyum,
puas bahwa ia telah menemukan cara mendidik yang lebih seimbang menggabungkan
disiplin dan empati, untuk murid-murid yang dihadapinya setiap hari.
Jadi Guru vs Pembimbing Kursus"
Pak Riko
duduk di meja kerjanya setelah bel sekolah berbunyi, tanda berakhirnya jam
pelajaran. Ia menghela napas, menumpu kan dagunya pada telapak tangan. Meski
hari itu cukup melelahkan, ia merasa sedikit lega bahwa ia telah mengatasi
pembelajaran hari ini tanpa kejadian
yang terlalu menguras pikiran emosiku
guman nya.
Saat tengah
mengemasi buku-buku pelajaran, pintu kelas diketuk pelan. Seorang murid bernama
Raka, yang biasanya pemalu dan jarang berbicara, muncul di ambang pintu dengan
raut ragu.
“Pak… boleh
minta waktu sebentar?” tanya Raka.
Pak Riko
tersenyum, “Tentu, Raka. Ada yang bisa Bapak bantu?”
Raka
melangkah masuk dan duduk dengan gelisah di depan Pak Riko. Setelah beberapa
saat, ia berkata, “Pak, saya merasa kesulitan mengikuti pelajaran Matematika.
Nilai saya selalu rendah, dan saya bingung cara belajar yang benar.”
Pak Riko
terdiam sejenak. Ia tahu, ini adalah kesempatan yang ia tunggu. Seorang murid
yang benar-benar datang meminta bimbingan, bukan karena paksaan atau tuntutan
dari orang tua. Sebuah keinginan yang muncul dari hati seorang anak yang
sungguh-sungguh ingin tumbuh dan berkembang.
“Baik,
Raka. Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat jadwal tambahan?” ujar Pak Riko,
penuh antusias. “Kamu bisa datang setiap Selasa dan Kamis setelah jam sekolah,
dan kita bisa mengulang materi yang belum kamu pahami.”
Raka
tersenyum penuh harap. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha datang.”
Minggu
pertama bimbingan berlangsung cukup lancar. Pak Riko meluangkan waktunya,
mengulang materi dari dasar dan menyesuaikan penjelasannya dengan gaya belajar
Raka yang lebih lambat dalam menangkap pelajaran. Ia menyusun latihan soal,
memberikan contoh-contoh sederhana, bahkan mendengarkan setiap pertanyaan yang
Raka ajukan tanpa terburu-buru. Raka tampak bersemangat, dan Pak Riko merasa
ada kepuasan dalam hati.
Namun, pada beberapa minggu kemudian, semangat itu mulai goyah. Saat sesi bimbingan, Raka tampak
gelisah. Ia berkali-kali melirik jam tangannya, dan ketika Pak Riko bertanya,
Raka hanya tersenyum kikuk.
“Ada apa,
Raka?” tanya Pak Riko, penuh tanda tanya. “Kamu terlihat tidak tenang.”
Raka ragu
sejenak, lalu berkata, “Begini, Pak… orang tua saya memasukkan saya ke kursus
tambahan. Mereka bilang di sana lebih lengkap dan lebih intensif…”
Pak Riko
menelan ludah. Sebuah kursus? Di tengah usahanya mendampingi Raka dengan sabar,
ada pihak lain yang tiba-tiba dianggap lebih efektif hanya karena membawa nama
“kursus.” Ia berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa sedikit nyeri.
“Oh, ya?
Ya, tidak apa-apa, Raka,” jawab Pak Riko akhirnya. “Semoga kamu mendapat
manfaat dari kursus tersebut. Bapak tetap bisa membantu jika kamu membutuhkan
sesuatu.” baik pak terima kasih atas pengertian nya.
Beberapa
minggu berlalu, dan Pak Riko mulai merasakan perbedaan pada Raka. Nilainya
meningkat pesat, dan ia sering bercerita tentang kursusnya dengan penuh
semangat. Pak Riko mencoba tetap tersenyum tiap kali mendengar pujian yang
diutarakan Raka untuk tempat kursusnya. “Pak, di sana guru kursusnya asik
sekali! Mereka tahu cara mengajar yang enak,” ujar Raka suatu hari. Pak Riko
hanya menanggapi dengan anggukan kecil, meski dalam hatinya bergumul rasa
campur aduk.
Ketika
nilai ujian Raka mengalami peningkatan signifikan, orang tua Raka datang ke
sekolah untuk mengambil rapor. Mereka bertemu Pak Riko sejenak di lorong, dan
langsung berbicara penuh semangat.
“Pak Riko,
terima kasih atas semua upayanya di sekolah,” ujar ibu Raka sambil tersenyum.
“Kami akhirnya melihat perubahan besar pada Raka, berkat les di tempat kursus,
nilainya langsung naik. Kami jadi sadar, mungkin memang kursus adalah solusi
terbaik untuk anak-anak kami.”
Pak Riko
tersenyum pahit, menahan diri agar tidak terlihat kecewa. Ia ingin sekali
berkata bahwa ia juga berperan dalam perubahan Raka. Ia yang sabar mendampingi
di jam-jam tambahan itu. Tapi suara hatinya tenggelam dalam senyap, karena ia
tahu apa yang orang tua Raka ingin dengar bukanlah usahanya, melainkan hasil dari tempat kursus itu.
Di
perjalanan pulang, Pak Riko merenung, merasa seperti bayangan tak terlihat. Ia
bertanggung jawab untuk mendidik, tapi tak pernah mendapat pujian yang sama
dengan kursus. Mungkin, menjadi guru bukan tentang pengakuan, melainkan
kesadaran bahwa apa yang ia tanam akan tumbuh suatu hari nanti, meski tanpa
siapa pun yang tahu.
Dengan perasaan berat namun tetap ikhlas, Pak Riko tersenyum tipis
sambil berbisik pada dirinya sendiri, “Mungkin, suatu hari nanti mereka akan
mengerti.”
Tugas Jadi
Orang Tua Kedua"
Pak Riko
berjalan perlahan di lorong sekolah, kepalanya penuh dengan pikiran yang berat.
Baru saja ia menerima panggilan dari ruang kepala sekolah. Kali ini, giliran
orang tua siswa yang mengeluhkan anaknya terlibat perkelahian di luar sekolah,
dan, entah bagaimana, hal itu dianggap sebagai cerminan dari kegagalannya dalam
mengajar pendidikan karakter di ruang kelas nya.
“Pak Riko,
bagaimana pendidikan karakter di kelas Anda?” tanya salah seorang wali murid
yang ikut hadir di ruangan kepala sekolah. Tatapan mereka menghakimi, pandangan
mereka penuh kekecewaan. seakan kesalahan anak-anak ini adalah kesalahan
pribadinya.
Pak Riko
terdiam, menelan kalimat-kalimat yang ingin ia utarakan. Pendidikan karakter? Pikirnya,
Bukankah seharusnya itu dimulai dari rumah, dari cara orang tua memberikan
teladan? Namun, tanggung jawab itu mengapa seolah hari ini berpindah padanya begitu saja. Ia berusaha
tersenyum dan menjawab dengan tenang, “Kami berusaha mendidik yang terbaik, Bu.
Mungkin beberapa perilaku memangharus dan perlu adanya dukungan yang lebih, di luar sekolah.”
Namun,
dalam hati, Pak Riko merasa semakin tak berdaya. Tuntutan masyarakat terhadap
guru seperti dirinya terasa semakin tinggi, laksana mencari sesuatu yang sempurna di balik seragam
yang ia gunakan untuk mengajar setiap hari nya. Sebenarnya, “makhluk seperti ”
apa yang diinginkan masyarakat dari seorang guru? Menurut ku guru itu makluk
yang paling aneh di muka bumi jika di kaitkan dengan tugas yang mereka emban.
Pertanyaan pertanyaan
itu masih bergaung di benak Pak Riko. Tergambar jelas gelayutnya dalam
pandangan semu dan fatamorgana pendidikan. Di tengah gelayutnya pikiran itu, tiba-tiba
seorang siswa mengetuk pintu ruang guru. Pak Riko mendongak, menatap wajah anak
itu, seorang siswa yang selama ini dikenal pendiam di kelas, tak pernah
sekalipun mengajukan pertanyaan,apalagi mengajukan argumentasi.
“Ada yang
bisa Bapak bantu?” tanya Pak Riko sambil mencoba tersenyum.
“Pak, saya
cuma mau bilang… waktu pelajaran matematika kemarin, Bapak ngajarin salah
konsep kepada saya dan teman teman di kelas. Kata ayah, saya harus lapor kalau ada yang salah di
sekolah,” kata anak itu dengan wajah polos, tanpa sadar bahwa pernyataannya sangat
menohok kepada gurunya.
Pak Riko
terhentak sejenak. Lalu pak Riko sadar,
di balik ketidaksukaannya pada siswa yang tak pernah bertanya, justru ia kini
diingatkan, kini pak Riko di sadarkan,
bahwa kesalahannya lah dalam pelajaran matematika kemarin, yang memantik dan membuat keberanian siswa ini. Sepertinya, di mata
murid-murid, tidak ada yang lebih menarik dari pada kesalahan seorang guru.
Belum
selesai Pak Riko mencerna hal itu, siswa tersebut melanjutkan, “Pak, bisa nggak
nilai matematika saya ditambah? Ayah bilang, kalau saya dapat nilai 90, dia
akan belikan saya motor.” Mata anak itu penuh harap, polos tanpa sadar bahwa
nilai bukanlah tiket menuju barang atau hadiah.
Pak Riko
menarik napas panjang. Di balik permintaan sederhana itu, ia melihat gambaran
yang jauh lebih rumit: anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman bahwa nilai
adalah segalanya, bahwa guru hanya ada untuk memastikan angka tinggi tanpa
mempertimbangkan proses di baliknya. Sesaat, ia merasa sesak seperti mengemban
tugas menjadi orang tua kedua, tapi tanpa hak, tanpa pengakuan, hanya beban terus
menerus yang tak pernah sepenuhnya dihargai.
Dengan
senyum lelah namun tulus, Pak Riko menepuk pundak anak itu. “Belajar itu untuk
memahami, Nak, bukan sekadar mendapatkan angka. Bapak akan bantu kamu kalau
kamu sungguh-sungguh mau belajar. Tapi, nilai tidak bisa diubah semudah itu.”
Anak itu
hanya mengangguk, dan dengan langkah kecil, meninggalkan Pak Riko sendirian.
Pak Riko menatap pintu yang baru saja tertutup. Di situ, di ruangan itu, ia
bukan hanya seorang guru; ia berusaha menjadi segalanya yang diinginkan
masyarakat. Tapi malam itu, Pak Riko tahu, ia telah memenuhi tugasnya, meski
hanya sebagai seorang guru yang tak pernah berhenti berharap untuk dipahami.
Siapa yang Berhak Atas Kesantunan
Itu?"
Pagi itu, Pak Riko mengawasi para siswa saat bel
masuk berbunyi. Ia tersenyum tipis saat menyaksikan beberapa dari mereka mulai
menyapa dan mengucapkan salam dengan santun. Ada kehangatan tersendiri yang
dirasakannya. Meski tak mudah, ia selalu menekankan pentingnya sopan santun,
menghormati guru, dan mengendalikan diri.
Siang harinya, seorang wali murid datang ke
ruangannya. Dengan raut wajah yang bangga, ibu itu berkata, “Pak Riko, anak
saya sekarang jadi lebih santun, ya. Tapi, ya, tentu itu karena didikan kami di
rumah.” Wajahnya berseri-seri, penuh kepuasan.
Pak Riko tersenyum tipis, memaksa dirinya untuk
menerima ucapan itu dengan tenang. Hasil didikan orang tua di rumah, katanya.
Rasanya ia ingin tertawa dan menangis sekaligus. Semua usaha yang ia tanamkan
selama ini seolah lenyap dalam satu pujian yang bukan untuk dirinya. Ia kembali
tersenyum,kali ini senyum yang samar dan penuh makna yang hanya dirinya yang
mampu mengerti.
Tak lama setelah ibu itu berlalu, seorang guru
lain datang ke mejanya, membawa kabar tentang seorang siswa yang terlibat
masalah di luar sekolah. Anak itu, yang dikenal sering mengganggu
teman-temannya, membuat para guru dipanggil untuk memberi penjelasan. Seolah
kebandelan anak itu adalah cermin dari kegagalan guru, bukan orang tuanya.
“Pak Riko, mungkin ini perlu dibicarakan dengan
orang tuanya,” kata rekan guru itu. “Anaknya benar-benar sulit diatur. Pasti
nanti mereka tanya lagi, kok bisa anaknya begitu, salahnya dididik bagaimana?”
Di dalam benaknya, Pak Riko tak bisa lagi menahan
perasaan yang mengendap. Bagaimana mungkin pujian atas kesantunan dan
keberhasilan anak selalu jatuh kepada orang tua, sementara keburukan mereka
dibebankan sepenuhnya pada guru? Apakah, selama ini, ia hanya berdiri di balik
bayang-bayang yang dipuja atau dicerca sesuai kehendak mereka?
Dengan tatapan mata yang sedikit lesu, Pak Riko
berbisik dalam hati, "Mendidik bukan tentang siapa yang mendapat
pengakuan, tapi mengapa beban dan sorotannya selalu tidak adil?”
Sore itu, di tengah keheningan ruang kelas yang
telah kosong, Pak Riko duduk sendirian. Ia menatap kursi-kursi yang kosong,
membayangkan wajah-wajah muridnya. Di balik kelelahannya, ia tahu bahwa esok ia
akan tetap hadir, akan tetap mengajarkan mereka sopan santun meski mungkin
hasilnya akan diklaim lagi oleh orang lain.
Baginya, kebahagiaan sederhana adalah melihat
anak-anak itu tumbuh menjadi manusia yang santun, bahkan jika dirinya tetap tak
tampak dalam cerita mereka.
Sekelumit
Harapan di Malam Sunyi"
|
smk bina taruna purwokerto |
Di tengah
malam yang sunyi, setelah acara perpisahan yang penuh haru, Pak Riko duduk di
beranda rumahnya, menikmati suara suara binatang malam sekaligus menatap bulan dan bintang yang sesekali bersembunyi di balik
awan. perasaan pak Riko masih terbayang pada ucapan tulus salah satu muridnya tadi
siang, yang meneteskan air mata saat berkata, “Terima kasih, Pak. Bapak sudah
banyak membantu saya.”
Untuk
pertama kalinya, ia merasa usahanya dihargai. Namun, sesaat setelah perasaan
hangat itu menyelinap, ia teringat pada komentar-komentar yang tak pernah lelah
menyerangnya dari berbagai pihak. Begitu ia membuka media sosial di ponselnya,
komentar pedas dari publik tentang "sistem pendidikan yang gagal"
kembali menyeruak. Di situ, tertulis beragam kritik yang tak hanya mengarah
pada sekolah atau kurikulum, tapi juga menohok profesi guru seperti dirinya.
Pak Riko
menarik napas panjang, matanya tak lepas dari layar ponsel yang kini terlihat
gelap. Seakan terserap dalam gulita pikirannya, ia memandang jauh ke arah
tumpukan buku dan materi-materi pelajaran di meja ruang tamunya. “Apa gunanya
semua ini jika yang mereka lihat hanya kesalahan kita?” tanyanya lirih pada
dirinya sendiri.
Saat
itulah, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari nomor yang tak ia kenali muncul
di layar. Dengan sedikit ragu, ia membukanya. Ternyata pesan itu berasal dari
seorang murid lamanya, Bimo, yang kini telah menempuh semester awal di salah
satu universitas ternama di kota.
"Pak
Riko, saya cuma ingin mengucapkan terima kasih. Bapak selalu sabar mengajari
saya saat saya hampir menyerah dulu. Tanpa Bapak, saya mungkin tidak akan punya
keberanian untuk menjadi seperti sekarang. Bapak adalah guru terbaik yang pernah
saya miliki."
Kalimat itu
terasa seperti pelukan hangat yang tiba-tiba menyelimuti perasaannya yang
nyaris hampa. Pandangannya mulai kabur, dan tanpa sadar, air mata pun mengalir
di pipinya. Semua kenangan selama mengajar, mulai dari perjuangan memperbaiki
cara belajar siswa, hingga menghadapi tuntutan tanpa henti, perlahan terasa
lebih ringan. Ia membayangkan Bimo, seorang anak yang dulu sangat pemalu, kini
tumbuh menjadi pemuda percaya diri, mengirimkan rasa terima kasih yang tulus
dari jauh.
Pak Riko
tersenyum kecil, meresapi kembali rasa bangga yang sempat tenggelam oleh kritik
dan tuntutan. “Ternyata, meskipun kadang tak terlihat, aku punya arti untuk
mereka,” gumamnya, seraya menyeka sisa air matanya yang tersisa. Di dalam hati,
ia mulai sadar bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar di dalam kelas,
tetapi juga membentuk jalan hidup bagi mereka, membekali mereka dengan
semangat dan keberanian yang mungkin baru terlihat setelah sekian lama mereka jauh
melangkah.
Keesokan
harinya, saat Pak Riko berjalan ke sekolah, ia melihat para siswa tengah
bermain di halaman, tertawa ceria tanpa beban. Ia sadar, bahwa meskipun tak
semua orang akan memahami jerih payahnya, anak-anak itu adalah alasan ia tetap
bertahan. Setiap senyum mereka, setiap langkah yang mereka ambil dalam hidup,
adalah jejak kecil dari pengabdiannya sebagai seorang guru.
Di tengah
perjalanan menuju ruang kelas, Pak Riko bertemu dengan kepala sekolah yang
tersenyum padanya. “Pak Riko, sapa nya beliau: "kita semua tahu betapa keras bapak bekerja untuk
siswa-siswa kita. Mungkin tidak semua orang bisa melihatnya, tapi kami, para
guru di sini, tahu bahwa bapak adalah salah satu alasan anak-anak kita memiliki
masa depan yang lebih cerah.”
Pak Riko
tersenyum, kali ini lebih lega dari sebelumnya. Ia tahu, meskipun pekerjaan ini
kadang tak mudah, di balik setiap keluhan, masih ada orang-orang yang percaya
padanya.
Di akhir
hari, Pak Riko menutup ruang kelas dengan hati yang lebih ringan. Ia merasa,
meski profesi guru sering kali tidak dihargai seperti yang semestinya, masih
ada siswa-siswa seperti Bimo yang menyimpan rasa terima kasih, ada kolega yang
memahami perjuangannya, dan ada masyarakat yang suatu saat akan merasakan
dampak dari setiap peluh yang ia teteskan. Ia melangkah pulang dengan senyum di
wajahnya, membawa tekad untuk terus mengajar dengan hati.Baginya,
itu lebih dari cukup.
Pak J