Minggu, 02 Maret 2025

MEMBACA DI MOMENT RAMADHAN

Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ, firman yang disampaikan bukanlah perintah untuk shalat, zakat, atau jihad. Melainkan satu kata yang menjadi kunci peradaban: "Iqra" (Bacalah!). Bacaan ini bukan sekadar melafalkan huruf, melainkan perintah untuk memahami, merenungi, dan menghayati baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Namun, lihatlah kenyataan hari ini. Umat Islam semakin jauh dari perintah membaca. Tidak hanya membaca teks-teks keilmuan, tetapi juga gagal membaca fenomena kehidupan, tanda-tanda zaman, dan isyarat dari Allah yang berserakan di sekitar kita. Akibatnya? Umat kehilangan arah. Kita mudah terprovokasi, gampang menyalahkan, dan miskin refleksi.

Lebih tragis lagi, jika para pendidik pun mulai enggan membaca. Bagaimana mungkin mereka bisa membimbing generasi jika diri sendiri abai terhadap ilmu? Pendidikan pun menjadi stagnan, berputar dalam lingkaran yang sama tanpa kemajuan berarti. Lantas, bagaimana kita berharap mencetak generasi cerdas, kritis, dan berakhlak, jika fondasi utama pendidikan - yaitu membaca - justru ditinggalkan?

Di sinilah Ramadhan hadir sebagai momentum evaluasi. Bulan penuh berkah ini bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, melainkan kesempatan emas untuk kembali menghidupkan semangat Iqra. Saat perut dikosongkan, akal dan hati seharusnya diisi. Saat malam dihidupkan dengan tarawih, siang harinya seharusnya dipenuhi dengan tadabbur.

Ramadhan seharusnya melahirkan generasi pembaca: pembaca Al-Qur'an, pembaca sejarah, dan pembaca realitas sosial. Karena hanya dengan membaca, kita bisa memahami hakikat hidup dan bertindak bijak dalam setiap langkah. Tanpa membaca, kita beribadah tanpa makna, berdakwah tanpa ilmu, dan berjuang tanpa strategi.

Jadi, sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah Ramadhan kali ini akan kita biarkan berlalu tanpa menghidupkan kembali perintah pertama yang diturunkan Allah? Ataukah kita akan menjadikannya titik balik untuk mengembalikan budaya membaca sebagai landasan amal dan ibadah?

Jawabannya ada di tangan kita. Dan Ramadhan ini, semoga kita memilih untuk kembali kepada Iqra.

MIRIS!! PERINTAH ITU MAKIN BANYAK DI TINGGALKAN GURU ?


Firman pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca: Iqra’! Sebuah perintah yang menjadi fondasi keilmuan, pijakan berpikir, dan syarat utama kemajuan. Membaca bukan sekadar mengeja huruf, melainkan memahami makna, menangkap pesan yang tersurat maupun tersirat, agar bijak sebelum bertindak dan berbicara. Inilah yang diajarkan Islam sejak awal. Tapi, mirisnya, perintah ini justru makin banyak ditinggalkan.


Lihatlah kondisi pendidikan kita hari ini. Anak-anak malas membaca. Pengumuman sekolah disampaikan jelas, pakai bahasa Indonesia yang mudah dipahami, tapi tetap saja muncul pertanyaan, “Ini apa, Bu?”, “Ini maksudnya gimana, Pak?”. Bukannya membaca dan mencerna informasi, mereka malah memilih bertanya instan. Seakan-akan membaca jadi beban yang terlalu berat.

Ironisnya, ini bukan cuma soal siswa. Guru pun banyak yang enggan membaca. Program literasi hanya jadi jargon, tanpa implementasi nyata. Bagaimana mungkin mendidik generasi pembelajar, kalau pendidiknya sendiri enggan memperkaya wawasan?

Inilah akar masalahnya. Malas membaca berarti malas berpikir. Malas berpikir berarti mudah tersesat. Akhirnya, kebijakan pendidikan sekadar formalitas, program sekolah jalan di tempat, dan kualitas lulusan makin menurun. Tak heran kalau pendidikan kita sulit maju.

Kalau kita ingin perubahan, mulai dari yang paling sederhana: membaca! Bangun kembali budaya literasi, bukan sekadar membaca teks, tapi membaca realitas, membaca hikmah. Tanpa membaca, kita kehilangan daya kritis, kehilangan pijakan, dan makin jauh dari pesan mulia yang Allah turunkan. Sudah saatnya kita kembali ke firman pertama itu: Iqra' — bacalah, pahami, dan amalkan!

Kalau tidak sekarang, mau sampai kapan kita terus terpuruk?

Sabtu, 01 Maret 2025

SMK DAN PENDIDIKAN KARAKTER: MENYIAPKAN PROFESIONAL BERETIKA ATAU ROBOT INDUSTRI?

Pendidikan adalah fondasi utama yang menentukan arah dan masa depan sebuah bangsa. Ia seharusnya menjadi wahana sakral untuk menanamkan nilai-nilai luhur, membangun karakter, memperkokoh integritas, dan membekali generasi muda dengan keterampilan hidup yang berkelanjutan. Namun, ironisnya, makna pendidikan yang agung ini kian terkikis oleh paradigma materialistis yang menjangkiti penyelenggara pendidikan, termasuk pemerintah.

Jika pendidikan hanya dimaknai sebatas kelengkapan alat, fasilitas mewah, dan sekadar pemenuhan infrastruktur fisik, maka hakikat pendidikan akan terus tersesat dalam fatamorgana kemajuan semu. Sekolah menjadi gedung megah tanpa ruh, ruang belajar berubah menjadi pasar transaksi antara pihak yang merasa membayar dan penyedia layanan pendidikan yang sibuk menghitung keuntungan.

Lebih menyedihkan lagi, ketika pendidikan dikomersialisasi sebagai bisnis pengajaran semata. Guru terpaksa berperan sebagai tenaga jasa, sementara siswa sekadar pelanggan. Dalam ekosistem seperti ini, nilai-nilai moral dan karakter bangsa dikorbankan atas nama efisiensi dan profitabilitas. Pendidikan menjadi ajang perlombaan angka dan sertifikasi, sementara akhlak dan jiwa merdeka anak-anak bangsa terabaikan.

Pemerintah, sebagai pemegang amanah utama penyelenggaraan pendidikan, seharusnya menjadi benteng terakhir yang menjaga kemurnian makna pendidikan. Tetapi, kenyataan sering kali berkata lain. Kebijakan yang lahir lebih sering condong ke arah pengelolaan data, target kurikulum yang serampangan, dan kebijakan-kebijakan yang menciptakan kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah.


Apakah kita benar-benar ingin mengubur masa depan bangsa dengan mengabaikan aspek moralitas dan karakter dalam pendidikan? Apakah pembangunan manusia yang beradab bisa tercapai hanya dengan menjejali siswa dengan tumpukan teori tanpa mengasah jiwa dan hati nurani mereka?

Sudah saatnya pemerintah dan penyelenggara pendidikan berbenah. Pendidikan harus dikembalikan ke akar sejatinya sebagai proses memanusiakan manusia. Bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi melahirkan insan berkarakter kuat yang berani jujur, berjiwa sosial tinggi, dan mampu menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara.

Tanpa pemaknaan ulang ini, pendidikan yang kita cita-citakan tak akan pernah terwujud, bahkan hingga dunia ini berakhir. Karena pendidikan sejati bukan sekadar perkara ilmu, melainkan pembentukan peradaban yang bermartabat.



SOLUSI KONGKRIT NYA ?

Untuk mewujudkan pendidikan yang berakar pada integritas, akhlak, dan keterampilan hidup berkelanjutan di jenjang SMK, berikut adalah langkah-langkah spesifik yang bisa diterapkan:

  1. Kelas Refleksi Karakter (30 Menit/Minggu):

    • Setiap minggu, sisihkan 30 menit untuk sesi refleksi karakter.

    • Guru memandu diskusi kasus nyata, misalnya etika kerja di perusahaan, dampak korupsi kecil, atau pentingnya kejujuran dalam transaksi.

    • Siswa diajak menyusun solusi dan merefleksikan bagaimana sikap mereka seandainya menghadapi situasi tersebut.

  2. Magang Berbasis Karakter:

    • Saat magang industri, siswa wajib membuat jurnal harian yang mencatat tantangan moral yang mereka temui.

    • Guru pembimbing mengulas jurnal ini secara berkala dan mengadakan diskusi kelompok setelah magang selesai untuk membahas pelajaran karakter yang didapat.

  3. Program Mentor Sebaya:

    • Bentuk kelompok kecil dengan siswa yang lebih matang secara emosional menjadi mentor.

    • Mentor ini bertugas membantu teman-temannya mengatasi konflik, menumbuhkan empati, dan memberi contoh perilaku positif.

  4. Simulasi Dunia Kerja (2 Bulan Sekali):

    • Adakan simulasi yang melibatkan studi kasus nyata dunia kerja.

    • Contoh: Menyelesaikan konflik antar rekan kerja, menghadapi tekanan atasan, atau menolak ajakan berbuat curang dalam pekerjaan.

  5. Gerakan Tanggung Jawab Sosial (Minimal 1x/Semester):

    • Wajibkan siswa ikut program sosial, seperti membantu UMKM lokal, mengajar anak-anak kurang mampu, atau membersihkan lingkungan.

    • Ini melatih rasa kepedulian, empati, dan tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar.

  6. Kontrak Karakter Pribadi:

    • Setiap siswa menulis 'kontrak karakter' pribadi yang berisi nilai-nilai yang ingin mereka pegang.

    • Kontrak ini dievaluasi berkala, dan siswa diajak merefleksikan apakah tindakan mereka sudah sesuai dengan prinsip yang mereka tulis.

  7. Apresiasi Khusus untuk Sikap Positif:

    • Buat papan apresiasi karakter di kelas atau sekolah.

    • Guru dan teman sekelas bisa menulis catatan penghargaan untuk siswa yang menunjukkan sikap terpuji, misalnya membantu tanpa diminta, bersikap jujur saat ada kesalahan, atau menjadi penengah saat terjadi konflik.

Dengan langkah-langkah ini, karakter siswa SMK bisa dibentuk secara nyata melalui pengalaman langsung dan refleksi mendalam. Pendidikan karakter akan terasa hidup, bukan hanya sekadar teori di ruang kelas, tetapi menjadi napas yang membangun pribadi mereka untuk masa depan.

PAK. J


SUMBER KERUSAKAN DI BUMI

Apa artinya kita mengucap syahadat, menyatakan keimanan kepada Allah, bila tangan-tangan kita justru menjadi sumber kerusakan di bumi? Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an, bahwa kerusakan di darat dan di laut terjadi akibat ulah tangan manusia? (QS. Ar-Rum: 41). Lalu, bagaimana mungkin kita mengaku bertuhan, tetapi tingkah laku kita justru bertentangan dengan ajaran-Nya?


Ketika seseorang mengeruk kekayaan alam tanpa batas, merusak hutan, mencemari sungai, dan memusnahkan habitat makhluk hidup, ia bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga merampas hak generasi mendatang. Apakah itu sikap seorang hamba yang tunduk kepada Allah? Tidak. Itu adalah cermin ketamakan yang menodai fitrah kemanusiaan.

Ibadah yang sesungguhnya bukan hanya tentang shalat dan puasa, tetapi juga menjaga amanah sebagai khalifah di bumi. Menyembah Allah berarti menghidupkan cinta dan kasih sayang kepada sesama makhluk-Nya. Apa gunanya sujud berjam-jam jika setelahnya kita membiarkan tetangga kelaparan? Apa artinya berzikir jika perkataan kita menyakiti hati orang lain?

Bertuhan tidak cukup hanya di bibir. Bertuhan harus meresap ke dalam tindakan sehari-hari. Kita tidak bisa mengklaim mencintai Allah, sementara tangan kita menjadi penyebab penderitaan orang lain. Jika keimanan tidak melahirkan kebaikan, maka itu bukan iman, melainkan sekadar kedok belaka.

Mari kita renungkan, adakah ibadah kita sudah benar-benar menjadi cahaya bagi sekitar? Ataukah kita hanya sibuk mengejar pahala pribadi, tapi abai terhadap lingkungan dan sesama?

Saudara-saudaraku,

Mari bertuhan dengan kejujuran. Bertuhan dengan tindakan nyata. Jadilah manusia yang kehadirannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Sebab Allah tidak hanya melihat ucapan kita, tetapi juga apa yang kita perbuat. Semoga kita menjadi hamba yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap gerak langkah hidup kita.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Jumat, 28 Februari 2025

KETIKA BULAN ITU, TAK LAGI MAMPU MERUBAH DIRIMU ?

Ramadhan adalah sekolah alam, tempat manusia dididik langsung oleh ritme kehidupan yang mengajarkan makna kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan. Ia bukan sekadar bulan ibadah, tetapi laboratorium jiwa, tempat setiap individu ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Alam Sebagai Guru Kesabaran

Saat panas menyengat dan tubuh lelah karena lapar dan dahaga, Ramadhan mengajarkan bahwa sabar bukan hanya tentang menahan diri, tetapi tentang menerima ketidaknyamanan dengan lapang dada. Seperti pohon yang tetap berdiri kokoh meski diterpa badai, manusia yang ditempa Ramadhan akan belajar mengakar kuat dalam keteguhan hati.

Rasa Lapar yang Menumbuhkan Empati


Ketika perut kosong, Ramadhan mengajak manusia merasakan derita orang-orang yang kekurangan. Ini adalah pelajaran empati yang tak bisa diajarkan di ruang kelas. Melalui rasa lapar, Ramadhan membangunkan hati yang tertidur — menyadarkan bahwa di luar sana ada yang menahan perih setiap hari tanpa tahu kapan berbuka.

Keheningan yang Mengasah Kejujuran

Di tengah sunyi, ketika tak ada yang melihat, puasa menjadi latihan kejujuran yang murni. Tidak ada pengawas, tidak ada sanksi duniawi. Ini mengajarkan bahwa integritas adalah tentang melakukan yang benar, meskipun tidak ada yang menyaksikan. Sebuah pelajaran penting untuk membangun karakter yang berlandaskan moralitas.

Alam Mengajarkan Rasa Syukur

Ketika langit senja menyambut waktu berbuka, Ramadhan mengingatkan bahwa nikmat sekecil apa pun layak disyukuri. Seteguk air menjadi berharga, sebutir kurma terasa luar biasa. Alam mengajarkan bahwa manusia sering lupa menghargai yang sederhana, dan Ramadhan mengembalikan kesadaran itu.

Membentuk Akhlak Mulia Melalui Kontemplasi

Ramadhan menyediakan ruang untuk merenung — mengajak manusia berkaca pada diri sendiri. Dalam keheningan malam, ketika sujud terasa lebih dalam, manusia dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sudahkah aku menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih pemaaf, lebih penuh kasih sayang?

Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?

Kalau di bulan Ramadhan yang penuh rahmat dan kemudahan untuk menjadi baik seperti ini manusia tidak mampu berubah menjadi lebih baik, di bulan seperti apakah mereka akan berubah? Ketika setan dibelenggu, pintu surga dibuka, dan setiap amal dilipatgandakan, namun hati tetap keras dan lisan tetap kasar — apakah masih ada waktu yang lebih tepat untuk memperbaiki diri?

Kelulusan dari Sekolah Ramadhan

Lulus dari sekolah ini bukan tentang berapa banyak ibadah yang dilakukan, melainkan sejauh mana karakter dan akhlak membaik setelahnya. Apakah kesabaran bertahan setelah Ramadhan pergi? Apakah empati tetap hidup saat tak lagi berpuasa? Inilah indikator keberhasilan sesungguhnya.

Ramadhan adalah guru yang tak pernah lelah mengajarkan kebaikan. Alam menjadi ruang kelasnya, dan kehidupan menjadi kurikulumnya. Tinggal bagaimana kita — sebagai murid — memilih: belajar dengan sungguh-sungguh, atau sekadar melewatinya sebagai rutinitas tahunan.

KETIKA JABATAN MENUMPULKAN EMPATI

Menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan atau kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Ibadah dan keimanan seorang pemimpin akan kehilangan makna jika tangan yang seharusnya menolong justru abai terhadap penderitaan bawahan. Apa artinya mengaku dekat dengan Tuhan, tetapi membiarkan karyawan hidup dalam kesusahan? Apa gunanya berdoa, jika anak buah tak pernah tersenyum bahagia karena beban yang tak kunjung ringan?

Pemimpin sejati adalah mereka yang hadir untuk menyejahterakan, bukan sekadar mengumpulkan pujian. Jika ada rekan seperjuangan yang meninggal dunia saja tak peduli, lalu untuk apa memimpin? Kepemimpinan semacam itu bukanlah tentang kebijaksanaan, tetapi hanya tentang kepentingan pribadi — sekadar menjadi bijaksini, bukan bijaksana.

Ketulusan seorang pemimpin tercermin dari tindakannya, bukan ucapannya. Pemimpin yang hanya berbuat baik saat ada kamera, yang membantu hanya saat ada sorotan media, sebenarnya bukan mengabdi pada rakyat, tetapi pada pencitraan. Mereka bertuhan pada kebohongan, beriman pada puja-puji, dan beribadah demi tepuk tangan manusia.

Pemimpin yang benar-benar beriman akan peka terhadap derita sesama. Ia akan berjuang agar rakyatnya hidup layak, karyawannya sejahtera, dan masyarakat merasakan kehadiran pemimpin yang peduli. Sebab, pada akhirnya, kemuliaan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa tinggi posisinya, melainkan seberapa besar manfaat yang ia tebarkan.

Mari kita renungkan: apakah kita memilih pemimpin yang membawa maslahat atau yang sekadar menjual citra? Karena kepemimpinan yang berkah adalah kepemimpinan yang membawa kebaikan bagi banyak orang, bukan hanya keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya.

Selasa, 25 Februari 2025

MEMBONGKAR NARASI PALSU SERAT GATOLOCO

Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri pada abad ke-12, terdapat sosok senopati bernama Tunggul Wulung, yang bersama rekannya, Buta Locaya, mengabdikan diri untuk menjaga kerajaan. 


Setelah Jayabaya moksa, keduanya dipercaya menjaga kawasan penting: Buta Locaya menjaga Selabale (gua Selomangleng), sementara Tunggul Wulung menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak membahayakan warga sekitar.

Namun, ada sosok lain yang memiliki nama serupa, yaitu Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Ia hidup pada abad ke-19 dan memiliki perjalanan hidup yang unik. Berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, ia bernama asli Kiai Ngabdullah atau Raden Tandakusuma, anak dari selir Raden Ngabehi Atmasudirdja. 




Karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830) memusuhi diponegoro atau di pihak belanda, ia melarikan diri dan menjadi rakyat biasa, hidup bertapa di lereng Gunung Kelud.

Dalam pertapaannya, Ibrahim Tunggul Wulung mengaku menemukan secarik kertas berisi Sepuluh Perintah tuhan yang kemudian mengarahkan dirinya untuk mendalami agama Kristen. 

Ia akhirnya dibaptis pada tahun 1855 oleh Jellesma di Mojowarno. Namun, keterlibatannya dengan Belanda tidak berhenti di situ.

Ia juga diberi tugas untuk menyusun Serat Gatoloco, sebuah naskah yang dianggap sebagai rekayasa sejarah untuk mendukung narasi kolonial Belanda.

Serat Gatoloco mengandung kisah yang memutarbalikkan sejarah, menyebut bahwa Raden Patah, raja pertama Demak, memberontak melawan ayahnya yang berkuasa di Majapahit. Padahal, berdasarkan catatan sejarah yang lebih kredibel, Majapahit runtuh bukan karena serangan Raden Patah, melainkan akibat serangan Raja Girindra Wardana dari Kerajaan Hindu Kediri. Ini menjadi bagian dari strategi Belanda untuk memecah belah semangat juang rakyat Jawa dengan mengaburkan fakta sejarah.

Ibrahim Tunggul Wulung, meskipun dikenal sebagai penginjil pribumi, menjadi alat politik Belanda dalam menyebarkan narasi-narasi yang menguntungkan kolonialisme. Keterlibatannya ini menjadi ironi besar, di mana sosok yang semula mencari kebenaran justru terjerat dalam propaganda penjajah. Namun, kisah ini menjadi pengingat bahwa sejarah perlu dilihat dengan kritis, dan warisan leluhur harus dijaga agar tidak tergeser oleh narasi yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kebenaran.

PAK  J .

Selasa, 18 Februari 2025

KETIKA PEMIMPIN MENYURUH RAKYAT NYA MINGGAT ? Oleh Pak J

Sungguh memprihatinkan! Seorang menteri dengan enteng mengatakan, "Kabur sajalah kalau perlu, jangan balik lagi!" Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap tagar #KaburAjadulu—sebuah gerakan yang menggambarkan kekecewaan anak muda terhadap kondisi di negeri ini.


Alih-alih mendengar aspirasi, pemerintah justru merespons dengan ketus, seakan-akan anak muda tak punya hak untuk mengeluh. Mereka lupa bahwa pemuda adalah penerus bangsa. Jika mereka lebih memilih pergi ke luar negeri untuk mencari masa depan yang lebih baik, bukankah itu alarm keras bahwa ada yang tidak beres di dalam negeri?


Ketika para guru di Indonesia sibuk, berjibaku berjuang mendidik generasi muda agar mereka bisa mengelola sumber daya alam negeri sendiri, justru ada pemimpin yang dengan enteng berkata: "Kabur sajalah kalau perlu, jangan balik lagi!". Pernyataan ini bukan hanya melukai perasaan anak muda, tapi juga menunjukkan betapa jauhnya jarak antara pemerintah dan rakyatnya.

Jika pemimpin benar-benar peduli, seharusnya mereka mencari solusi, bukan justru menyuruh pergi.

Inilah akibat ketika pemimpin lebih memilih menjadi bijaksini (rakus) daripada bijaksana (berbagi). Pemimpin yang bijaksini hanya memikirkan kepentingan sendiri. Mereka memastikan kekuasaan tetap dalam genggaman keluarga, anak-anak dan menantunya diberi jabatan, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Kata-kata mereka mungkin terdengar baik, tetapi di telinga rakyat, itu hanyalah kebohongan yang menyakitkan.

Pemimpin yang benar-benar bijaksana tidak akan menyuruh rakyatnya pergi. Sebaliknya, ia akan menciptakan kondisi agar mereka mau bertahan, bekerja, dan membangun negeri ini bersama. Pemimpin yang baik akan mendengar, memahami, dan mencari solusi.

Jadi, jika hari ini banyak anak muda yang ingin pergi, jangan salahkan mereka. Salahkan pemimpin yang membuat mereka merasa tak punya harapan di negeri sendiri.

Pak J

Senin, 17 Februari 2025

JODOH DI TANGAN TUHAN, TAPI USIA LEBIH 30 TAHUN TUHAN LEPAS TANGAN ? oleh pak J


gamabar dari dian tri hartati
c
inta itu baik. Cinta itu universal. Cinta adalah obat yang menyembuhkan luka dan menenangkan jiwa. Cinta juga mengajarkan kita untuk tidak sombong—bahwa sehebat apapun manusia, tetap membutuhkan orang lain.

Namun, mengapa masih banyak orang yang enggan menikah?

Ada yang berkata, "Jodoh itu di tangan Tuhan." Benar. Tapi jika di usia 30-an kita masih sendiri, mungkinkah Tuhan sudah lepas tangan?  Tentu jawaban nya tentu Tidak. Tuhan tidak pernah lepas tangan. Namun, bisa jadi kita sendiri yang terlalu menggenggam ketakutan.





Ketakutan yang Tidak Disadari

Sering kali, seseorang tidak segera menikah bukan karena tak ada jodoh, tetapi karena ada tembok tinggi yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Tembok itu  berupa:

Takut gagal – Melihat pernikahan yang tidak harmonis di sekitar membuat sebagian orang berpikir, "Daripada gagal, lebih baik sendiri."

Takut kehilangan kebebasan – Menikah berarti berbagi hidup dengan orang lain. Tidak bisa lagi semaunya sendiri.

Takut tidak siap secara finansial – Menikah dianggap sebagai beban ekonomi, padahal rezeki bukan hanya soal materi.

Takut memilih orang yang salah – Ini sering terjadi karena terlalu banyak ekspektasi dan standar yang kadang tidak realistis.

Semua ketakutan itu bisa dimaklumi. Tapi ingat, ketakutan bukan untuk dipelihara. Ketakutan harus dikalahkan dengan keberanian.

Jodoh Itu Takdir, Tapi Bukan Sekadar Menunggu


Menunggu jodoh tanpa usaha sama seperti menunggu hujan tapi tak pernah menengadahkan tangan untuk merasakan sejuknya tetesan hujan. Tuhan memang menentukan jodoh, tapi Tuhan juga menyuruh manusia untuk tidak masa bodoh.

Orang yang ingin sukses dalam karier, belajar dan bekerja keras. Orang yang ingin sehat, menjaga pola makan dan olahraga. Maka, orang yang ingin menikah juga perlu membuka hati, mengenali kesempatan, dan berani melangkah untuk mewujudkan.

Jangan terjebak dalam pemikiran bahwa jodoh akan datang sendiri tanpa ada usaha. Bisa jadi jodohmu sudah ada di dekatmu, tapi tertutup oleh tembok ketakutan yang kamu bangun sendiri.

Menikah Itu Bukan Sekadar keinginan , Tapi Ladang Kebaikan

Pernikahan bukan hanya tentang mendapatkan pasangan hidup, tetapi juga tentang menemukan teman berbagi, sahabat berjuang, dan partner menuju kebaikan. Menikah adalah ibadah, salah satu cara untuk belajar kesabaran, keikhlasan, dan kebersamaan.

Tidak ada pernikahan yang sempurna. Tidak ada pasangan yang tanpa kekurangan. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah cinta bekerja,saling menerima, saling memperbaiki, dan saling menguatkan. asyiiik hahahahaha

Jika Masih Ragu, Tanyakan Pada Diri Sendiri

Sampai kapan ingin sendiri? 
Apa yang benar-benar kamu takutkan?

Sudahkah kamu memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bertemu seseorang yang bisa jadi jodohmu?

Apa yang akan kamu rasakan di usia tua jika tetap memilih sendiri?

Menikah bukan kewajiban mutlak, tapi jika kamu merasa ada keinginan di hati, jangan biarkan ketakutan mengalahkan kebahagiaan yang bisa kamu raih.

Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi usaha ada di tangan kita. Tuhan tidak akan pernah lepas tangan. Namun, jangan sampai kita yang sengaja menarik tangan kita dari takdir baik yang telah Tuhan siapkan.

Beranilah membuka hati, beranilah melangkah. Karena cinta bukan hanya tentang menemukan, tapi juga tentang diperjuangkan. 

Pak J

Rabu, 12 Februari 2025

ANTARA AMANAH DAN AMBISI.



Menjadi seorang pemimpin itu sebenarnya tidak sulit. Tidak perlu teori yang rumit atau strategi yang berbelit-belit. Jika seorang pemimpin benar-benar berpegang pada tiga prinsip sederhana ini, maka kepemimpinannya akan berjalan lurus dan penuh keberkahan:

  1. Jangan mengambil yang bukan haknya.
  2. Penuhi janji yang sudah diucapkan saat kampanye. Atau janji saat belum terpilih. baik lisan atau tulisan.
  3. Jangan membuat program di luar janji kampanye. janji yang di lontarkan

Tiga hal ini terdengar mudah, tetapi justru di sinilah ujian terbesar seorang pemimpin itu. baik presiden Bupati Gubernur Ketua Yayasan, pejabat, Rektor, kepala sekolah, pimpinan perusahaan RT,RW Lurah dan lain lain.

Mari kita lihat realitas di sekitar kita. Betapa sering kita melihat pemimpin yang begitu semangat berjanji sebelum terpilih, tetapi setelah berkuasa, janji-janji itu lenyap seperti kabut pagi. Mereka beralasan kondisi tidak memungkinkan, anggaran kurang, atau tiba-tiba punya "visi besar" yang tak pernah disebutkan saat kampanye.

Yang lebih parah, ada pemimpin yang justru lebih sibuk dengan program-program baru yang tidak pernah dijanjikan sebelumnya. Program ini sering kali bukan untuk rakyat, melainkan untuk ambisinya sendiri. Ia ingin meninggalkan "legacy," ingin dianggap visioner, ingin dikenang. Padahal, dalam prosesnya, rakyat justru menjadi korban. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk janji-janji kampanye malah terserap ke proyek ambisius yang belum tentu dibutuhkan.

Inilah yang disebut belenggu ambisi. Seorang pemimpin yang awalnya dipilih karena janji-janji yang realistis, tiba-tiba terjebak dalam keinginan pribadinya sendiri. Ia ingin membangun sesuatu yang besar, sesuatu yang membuatnya dikenang, tetapi melupakan tugas utamanya: menepati janji kepada rakyat.

Kepemimpinan sejati bukan soal seberapa besar proyek yang ditinggalkan, melainkan seberapa besar kepercayaan rakyat yang tetap terjaga hingga akhir masa jabatan. Jika ingin menjadi pemimpin yang dihormati, cukup lakukan tiga hal tadi: jangan korupsi, tepati janji, dan jangan keluar jalur. Sesederhana itu, sesulit itu, menjadi orang nomor satu di bidang apapun..

Senin, 13 Januari 2025

PAGAR MAKAN LAUTAN ITU ULAH SIAPA

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan munculnya pagar laut di wilayah pesisir Tangerang. Keberadaan pagar ini menuai pertanyaan: untuk apa pagar laut itu? Atas izin siapa pembangunannya dilakukan? Apa urgensinya? Dan yang paling menggelitik, mengapa tidak ada pengawasan yang memadai hingga sebuah struktur yang menghalangi akses laut bisa berdiri tanpa sorotan?


Pagar untuk Siapa?

Pagar laut ini, yang kabarnya membentang cukup panjang di perairan Tangerang, menjadi perhatian karena posisinya yang strategis namun justru menghalangi akses nelayan lokal. Laut adalah sumber penghidupan bagi ribuan keluarga nelayan, dan pagar ini tampaknya seperti “batas tak kasat mata” yang membatasi mereka dari mata pencaharian utama. Apakah pagar ini memang sengaja dibangun untuk meminggirkan nelayan kecil? Jika iya, ini jelas bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin hak rakyat atas akses sumber daya alam.

Pertanyaan krusial berikutnya adalah: Siapa yang mengizinkan pembangunan ini? Apakah ada perizinan resmi dari pemerintah daerah, kementerian terkait, atau institusi hukum yang berwenang? Jika izin memang ada, maka publik berhak mengetahui detail alasan dan tujuan di balik pembangunan pagar tersebut. Jika tidak ada izin, maka ini adalah pelanggaran serius terhadap tata kelola ruang laut yang seharusnya diatur dengan ketat.


Pagar laut, jika ditinjau dari urgensinya, perlu memiliki alasan kuat untuk keberadaannya. Biasanya, pagar seperti ini dibangun untuk alasan keamanan, misalnya menjaga wilayah dari aktivitas ilegal, seperti penyelundupan atau penangkapan ikan secara destruktif. Namun, jika urgensinya hanya untuk kepentingan tertentu, seperti melindungi properti swasta atau proyek komersial, hal ini harus dipertanyakan.

Di sisi lain, wilayah perairan Tangerang dikenal sebagai area tangkapan ikan penting bagi nelayan kecil. Apakah urgensi pagar ini sebanding dengan dampak negatifnya bagi masyarakat pesisir? Apakah nelayan akan diberi alternatif untuk tetap melaut tanpa halangan? Atau justru pagar ini menjadi simbol eksklusivitas, di mana laut seolah-olah dimiliki oleh segelintir pihak?


Keberadaan pagar ini juga mencerminkan minimnya pengawasan terhadap wilayah pesisir dan laut. Seharusnya, setiap aktivitas yang memodifikasi wilayah perairan mendapat pengawasan ketat dari pihak terkait, termasuk pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Namun, fakta bahwa pagar ini bisa dibangun tanpa diketahui publik menunjukkan ada celah besar dalam tata kelola ruang laut kita.

Apakah ini kelalaian atau ada unsur kesengajaan untuk membiarkan pihak tertentu berbuat semena-mena? Transparansi adalah kunci di sini. Masyarakat berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini dan apa konsekuensinya bagi ekosistem laut dan nelayan.

Memagari Nelayan?

Pertanyaan terakhir, apakah pagar ini sengaja dibuat untuk memagari nelayan agar tidak melaut? Jika benar, ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang tidak bisa dibiarkan. Nelayan kecil sudah menghadapi banyak tantangan, seperti cuaca ekstrem, naiknya harga bahan bakar, hingga persaingan dengan kapal besar. Menambah beban mereka dengan membangun pagar yang membatasi akses ke laut adalah keputusan yang tidak berperikemanusiaan.

Laut adalah milik bersama, dan membangun pagar yang membatasi akses tanpa konsultasi publik adalah bentuk monopoli yang melanggar prinsip keadilan sosial. Nelayan adalah garda terdepan dalam menjaga ekosistem laut. Justru mereka yang harus diberdayakan, bukan dipinggirkan.


Pemerintah dan lembaga terkait harus segera bertindak. Pertama, harus ada audit menyeluruh terkait keberadaan pagar laut ini: siapa pembangunnya, untuk apa, dan bagaimana izin diperoleh. Kedua, jika ditemukan pelanggaran hukum, maka pihak yang bertanggung jawab harus diberi sanksi tegas. Ketiga, nelayan lokal harus dilibatkan dalam setiap kebijakan yang memengaruhi akses mereka ke laut.

Pagar laut di Tangerang adalah cermin buruknya tata kelola ruang laut di Indonesia. Jika dibiarkan, kasus ini bisa menjadi preseden bagi eksploitasi wilayah pesisir di tempat lain. Kita tidak boleh tinggal diam. Keadilan bagi nelayan kecil harus diperjuangkan, dan laut harus tetap menjadi milik bersama, bukan segelintir pihak.

Rabu, 01 Januari 2025

MENGUBAH HARAPAN JADI KENYATAAN, MEWUJUDKAN MIMPI JADI BERARTI.


S
etiap pergantian tahun adalah fenomena biasa. Matahari terbit, bumi berputar pada porosnya, dan hari berganti.

Namun, mengapa begitu banyak orang menyambut tahun baru dengan gegap gempita, pesta meriah, hingga petasan yang membakar uang? Bukankah hal serupa juga terjadi setiap malam ketika kita menyambut esok hari? 

Lalu, apa yang membuat malam tahun baru begitu istimewa?

Baca juga : Berangkat dari puing cerita 2024.



Sebagian besar dari kita merayakan tahun baru bukan karena memahami maknanya, tetapi karena mengikuti tradisi. Dari generasi ke generasi, tahun baru identik dengan euforia, pesta, dan kemeriahan. Namun, seringkali kita lupa bahwa setiap perayaan seharusnya memiliki esensi. Jika hanya sebatas hiburan semata, apa yang kita rayakan sebenarnya?
Susu terapi sehat untuk lambung kolesterol dan diabet order 089521328467

Dalam kesibukan menyusun resolusi atau mempersiapkan kembang api, kita sering melupakan inti dari pergantian tahun: "introspeksi". Tahun baru menawarkan kita ruang untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sudah aku capai? Apakah aku telah menjadi pribadi yang lebih baik? Apa yang perlu aku perbaiki?” Tanpa refleksi, perayaan hanyalah ritual kosong.

Apa yang Membuatnya Penting?

Tahun 2025 mungkin tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dunia akan tetap menghadapi tantangan: perubahan iklim, krisis sosial, ketimpangan ekonomi, dan konflik kemanusiaan. 


Namun, apa yang membuat tahun ini berbeda adalah pilihan kita untuk menjadikannya lebih bermakna. 



Alih-alih pesta yang berlebihan, mengapa tidak menjadikan tahun baru sebagai titik awal untuk peduli lebih banyak, berbagi lebih luas, dan bertindak lebih bijak?

Bayangkan jika perayaan tahun baru diisi dengan aksi nyata. Daripada membeli petasan, kita menyumbangkan dana untuk pendidikan anak-anak yang kurang mampu. 

Alih-alih berpesta hingga larut malam, kita menghabiskan waktu bersama keluarga, berbicara tentang harapan dan rencana untuk masa depan. 

Bukan berarti perayaan dilarang, tetapi bagaimana jika kita memberi makna lebih besar pada setiap dentuman kembang api yang kita lihat? Bagaimana jika kita merancang mewujudkan mimpi jadi lebih berarti?

bramgore asli tanpa MSG sehat dan enak. order hub 089521328467

Pergantian tahun hanyalah momen biasa dalam siklus alam semesta. Seharusnya tidak hanya di syukuri setiap tahun, tapi setiap hari. Namun, bagi manusia, ini adalah peluang luar biasa untuk berhenti sejenak, merenung, dan melangkah ke depan dengan semangat baru,motivasi baru.dan menciptakan peluang baru. 

Jangan biarkan tahun baru berlalu sebagai euforia sesaat. Jadikanlah ia sebagai awal untuk perjalanan yang lebih bermakna, tidak hanya untuk diri kita, tetapi juga bagi orang-orang di sekitar kita.

Tahun baru adalah waktu untuk bertanya: “Apakah aku sudah cukup berkontribusi untuk dunia ini? untuk agama Islam kami?, untuk keluarga kami dan diri sendiri?” Jika jawabannya belum, maka 2025 adalah kesempatan emas untuk memulai.
Tetapkan 2025 untuk meraih cita  mewujudkan mimpi dan waktu untuk berbenah diri.

Pak J