Oleh: Pak J
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan lalu lintas
modern di jantung Kota Nganjuk, berdirilah sebuah bangunan kokoh nan bersejarah
di Jalan Dr. Sutomo — Gedung Juang Nganjuk. Meski tak dibangun pada masa
kolonial atau langsung terlibat dalam pertempuran fisik kemerdekaan, Gedung
Juang Nganjuk tetap menjadi simbol kuat perjuangan dan keteguhan semangat para
pahlawan lokal, termasuk sosok legendaris Kyai Dermojoyo.
Gedung ini mulai dibangun pada tahun 1977 dan
diresmikan secara resmi pada 7 Maret 1978 oleh Menteri Dalam Negeri saat itu.
Fungsinya sebagai gedung serbaguna dan pertemuan terbesar di Kabupaten Nganjuk
menjadikannya ruang kolektif masyarakat dalam mengenang semangat perjuangan dan
pengorbanan leluhur bangsa, terutama mereka yang berasal dari Nganjuk.
Bukan Sekadar Bangunan, Tapi
Monumen Jiwa Perlawanan
Meskipun Gedung Juang tidak memiliki hubungan
historis langsung dengan medan pertempuran fisik, esensinya tidak bisa
dipisahkan dari semangat para tokoh lokal yang berani menentang penindasan
kolonial. Salah satu figur paling menonjol adalah Kyai Dermojoyo,
pemimpin pemberontakan petani Nganjuk tahun 1907.
Mengenal Kyai Dermojoyo: Sang
Pengembara Spiritualitas dan Perlawanan
Kyai Dermojoyo, yang memiliki nama kecil Bagus
Talban, lahir pada tahun 1833 di Gebog, Distrik Cendono, Afdeeling Kudus,
Karesidenan Semarang. Ia adalah putra tunggal dari pasangan petani sederhana,
Soetrono (Sali) dan Poepon. Sejak kecil, Talban telah menunjukkan semangat
belajar dan mengembara yang luar biasa. Di usia 7 atau 8 tahun, ia mulai
menjelajahi berbagai wilayah untuk berguru kepada tokoh-tokoh agama besar
seperti Kadji Toean Sanap, Kyai Bardagin, Kyai Doel Wahab, hingga Raden Bagus
Suradi, putra Pangeran Katong dari Kadilangu, Demak.
Perjalanan rohaninya berlanjut ke wilayah timur,
dari lereng Gunung Lawu hingga Pesantren Kasan Besari di Ponorogo — tempat ia
menyerap ilmu keislaman, kebatinan, dan keprigelan rakyat jelata. Ia juga
sempat singgah di berbagai kabupaten seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang,
hingga Sumenep, memperluas jejaring dan pandangan sosialnya.
Pada akhirnya, Kyai Dermojoyo memilih bermukim di Dukuh
Bendungan, Desa Kedungrejo, Kecamatan Tanjunganom, Nganjuk. Ia hidup
sederhana, bertani, mengobati warga, dan dikenal sebagai sosok spiritualis yang
memiliki ilmu kebatinan serta kekebalan yang luar biasa.
Benih Pemberontakan:
Ketidakadilan Agraria dan Penindasan Petani
Nganjuk pada awal abad ke-20 merupakan daerah
agraris yang subur, namun justru menjadi ladang eksploitasi kolonial. Rakyat
dipaksa menyerahkan tanahnya untuk ditanami tebu demi kepentingan pabrik gula
milik Belanda. Tanah ganjaran (kompensasi) untuk kepala desa pun kerap diambil
secara semena-mena, melebihi batas ketetapan pemerintah kolonial.
Puncak kemarahan rakyat terjadi pada 29 Januari
1907, dipimpin langsung oleh Kyai Dermojoyo. Dengan taktik halus namun
revolusioner, ia mengadakan ritual selametan di halaman rumahnya. Dalam
acara yang menyembelih sapi itu, ia secara terbuka menyatakan dirinya sebagai Sang
Ratu Adil, sosok mesianistik yang akan menegakkan keadilan bagi rakyat
tertindas. Ia mengangkat anaknya Mardjan serta pengikut-pengikut setianya
seperti Soerapati, Kasiban, dan Nitiharso sebagai panglima gerakan.
Laporan Residen Kediri, E. Constant, pada 1 Maret
1907 mencatat peristiwa ini dengan sangat hati-hati, menyoroti keramaian rumah
Kyai Dermojoyo dan kegelisahan pemerintah kolonial atas aktivitasnya.
Puncak Perlawanan dan Gugurnya
Sang Kyai
Pemberontakan yang dipimpin Kyai Dermojoyo
direncanakan menyasar pusat kekuatan ekonomi penjajah, yakni Pabrik Gula
Kutjonmanis. Ia bersama para pengikutnya berusaha mengguncang sendi-sendi
dominasi ekonomi kolonial Belanda yang sangat menindas petani. Namun, seperti
halnya banyak pemberontakan lokal pada masa itu, kekuatan senjata dan strategi
militer kolonial masih terlalu unggul.
Belanda segera mengirim kawat telegram ke Surabaya
untuk meminta bala bantuan militer. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, Kyai
Dermojoyo gugur sebagai syuhada di tanah kelahirannya sendiri, menjadi
simbol keberanian rakyat melawan penindasan.
Warisan Tak Tertulis yang
Terpatri di Bumi Nganjuk
Kyai Dermojoyo tidak meninggalkan pesantren, tidak
pula menulis kitab, namun namanya tetap abadi di benak rakyat. Ia dikenang
bukan karena bangunan megah atau harta benda, melainkan karena semangat
perlawanan, keteguhan hati, dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Kini, makamnya di Dusun Bendungan, Desa
Kedungrejo, menjadi saksi bisu perjuangan itu. Gedung Juang yang berdiri di
pusat kota mungkin tak langsung berkaitan dengan jejak langkahnya, tetapi jiwa
dan semangat Kyai Dermojoyo terasa hidup dalam setiap kegiatan yang
memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan rakyat.
Penutup: Semangat Juang yang
Terus Menyala
Gedung Juang Nganjuk dan kisah Kyai Dermojoyo
adalah dua entitas berbeda secara historis, namun menyatu dalam satu napas — napas
perjuangan rakyat melawan penindasan. Gedung Juang menjadi tempat
mengenang, sementara Kyai Dermojoyo adalah isi dari kenangan itu. Melalui
keduanya, kita belajar bahwa sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, tapi sumber
energi untuk melangkah lebih berani di masa depan.
Tags: #GedungJuangNganjuk #KyaiDermojoyo #SejarahNganjuk
#PemberontakanPetani #RatuAdil #PahlawanLokal #PerjuanganMelawanKolonialisme
#ArtikelSejarahIndonesia