Lihatlah kondisi pendidikan kita hari ini. Anak-anak malas membaca. Pengumuman sekolah disampaikan jelas, pakai bahasa Indonesia yang mudah dipahami, tapi tetap saja muncul pertanyaan, “Ini apa, Bu?”, “Ini maksudnya gimana, Pak?”. Bukannya membaca dan mencerna informasi, mereka malah memilih bertanya instan. Seakan-akan membaca jadi beban yang terlalu berat.
Ironisnya, ini bukan cuma soal siswa. Guru pun banyak yang enggan membaca. Program literasi hanya jadi jargon, tanpa implementasi nyata. Bagaimana mungkin mendidik generasi pembelajar, kalau pendidiknya sendiri enggan memperkaya wawasan?
Inilah akar masalahnya. Malas membaca berarti malas berpikir. Malas berpikir berarti mudah tersesat. Akhirnya, kebijakan pendidikan sekadar formalitas, program sekolah jalan di tempat, dan kualitas lulusan makin menurun. Tak heran kalau pendidikan kita sulit maju.
Kalau kita ingin perubahan, mulai dari yang paling sederhana: membaca! Bangun kembali budaya literasi, bukan sekadar membaca teks, tapi membaca realitas, membaca hikmah. Tanpa membaca, kita kehilangan daya kritis, kehilangan pijakan, dan makin jauh dari pesan mulia yang Allah turunkan. Sudah saatnya kita kembali ke firman pertama itu: Iqra' — bacalah, pahami, dan amalkan!
Kalau tidak sekarang, mau sampai kapan kita terus terpuruk?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar