Rabu, 12 Maret 2025

KENAPA PENGGUNA JALAN TOL KENA DENDA

 


Sebentar lagi, jutaan orang akan memadati jalan tol demi merayakan Idulfitri bersama keluarga tercinta. Namun, ada bahaya tersembunyi yang mengintai pengguna tol, bukan berupa kecelakaan, melainkan aturan yang luput dari perhatian publik.

Kasus yang terjadi di ruas tol Surabaya-Madiun menjadi cermin buram betapa minimnya sosialisasi dari pengelola jalan tol. Tarif normal untuk perjalanan ini sekitar Rp130.000. 



Namun, jika saldo e-toll habis dan pengguna secara naluriah memakai kartu lain untuk membayar, mereka bisa didenda hingga Rp839.000. Apa alasannya? Sistem tol tertutup menghitung tarif berdasarkan jarak tempuh yang terekam sejak pintu masuk hingga keluar. Mengganti kartu saat keluar membuat sistem gagal mengenali data perjalanan, yang akhirnya dianggap sebagai pelanggaran.


Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 Pasal 86, pengguna yang tidak dapat menunjukkan bukti masuk yang valid dikenakan denda dua kali tarif terjauh. 


Aturan ini dibuat untuk menghindari potensi kecurangan, tapi tanpa edukasi yang memadai, malah menjadi jerat yang merugikan rakyat kecil. Bukankah ini paradoks? Infrastruktur yang dibangun demi kenyamanan rakyat justru menjadi jebakan biaya karena ketidaktahuan.

Kesalahan fatal terletak pada nihilnya sosialisasi intensif.


Pengelola tol seharusnya tidak hanya mengandalkan tulisan kecil di belakang struk atau laman media sosial yang jarang diakses pengguna. 

Mereka punya ruang luas di gerbang tol untuk memasang pengumuman besar: "Pastikan Gunakan Kartu yang Sama saat Keluar Tol. Mengganti Kartu Bisa Mengakibatkan Denda Berat." Sederhana, tapi efektif mencegah kejadian yang merugikan.


Ketidaktahuan masyarakat bukanlah celah yang boleh dimanfaatkan. Jika pengelola bersikeras menerapkan aturan denda tanpa edukasi, ini bisa dianggap sebagai kelalaian manajemen. Jalan tol dibangun dari dana rakyat, seharusnya melayani, bukan menjebak. Keadilan bagi pengguna tol bukan hanya soal kelancaran perjalanan, tapi juga transparansi aturan yang melindungi mereka dari sanksi yang sebenarnya bisa dicegah.


Maka, momentum mudik ini adalah saat yang tepat untuk menuntut perubahan. Pengelola jalan tol harus berbenah, memperbaiki cara sosialisasi, dan memastikan pengguna tol teredukasi dengan baik. 


Karena jalan tol, sejatinya, bukan sekadar aspal dan gerbang otomatis, melainkan jalur penghubung yang seharusnya mengantarkan kebahagiaan, bukan kekecewaan yang mahal harganya.


Sujarwa ( PAK J)

2 komentar:

  1. Alhamdulilahirobbil aalamiin. Suatu kritik yang positif
    Semoga menjadi perhatian pemangku kekuasaan.

    BalasHapus
  2. Matur nembah nuwun abah atas supportnya.

    BalasHapus