Data arkeologis
menunjukkan bahwa masyarakat Bali tampaknya sudah cukup Kompleks sebelum
munculnya Kerajaan Hindu.
di daerah ini., Sistem penguburan pada akhir masa
prasejarah di Bali menunjukkan bahwa yang dikubur dengan menggunakan wadah,
seperti nekara, sarkafogus atau tempayan, mungkin mempunyai kedudukan yang
berbeda dengan mereka yang dikubur tanpa wadah. Perbedaan ukuran atau bentuk
sarkofagus yang digunakan sebagai wadah, mungkin juga menunjukkan perbedaan
sosial yang ada pada masyarakat Bali pada waktu itu.
Temuan gerabah
India dengan pola hias rolet dan sejumlah manik-manik dari kaca atau Carnelian
pada situs arkeologi di Bali, mencerminkan bahwa Bali telah terlibat dalam
perdagangan dengan dunia luar.
Disamping itu
peradaban pekerjaan logam pada masa prasejarah di Bali tidak ada bahan baku
logam, yakni timah dan tembaga. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Bali telah ikut
dalam perdagangan antar pulau Pada masa itu. Bahan baku logam seperti timah,
dan tembaga mungkin kita datangkan dari daerah lain di Nusantara. atau dari
daerah lain di kawasan Asia Tenggara data arkeologi juga menunjukkan, bahwa
hubungan daerah pesisir dan pedalaman pada akhir masa prasejarah di Bali,
tampaknya cukup intensif.
Hal ini terlihat
dari barang temuan arkeologis berupa manik-manik dari kaca dan kemuliaan dan
artefak logam dengan sarkofagus yang ditemukan di daerah pedalaman menunjukkan
persamaan dengan artepak sejenis di
daerah pesisir, akan tetapi tampaknya perdagangan jarak jauh bukanlah,
satu-satunya faktor yang mendorong munculnya Kerajaan Hindu di Bali.
Kondisi sosial
ekonomi masyarakat Bali pada masa aktif prasejarah tampaknya Cukup Makmur.
Sistem penguburan mayat dengan sarkofagus dan jumlah bekal kubur yang
disertakan memerlukan biaya yang cukup besar. tambahannya lagi, temuan nekara
Pejeng yang merupakan nekara terbesar yang telah ditemukan selama ini di Asia
Tenggara. mencerminkan, keadaan masyarakat Bali Pada masa itu, tampaknya cukup
Makmur. Perekonomian masyarakat Bali pada waktu itu sangat mungkin bertumpu
pada pertanian.
PENINGGALAN KERAJAAN DI BALI |
Perlu dicatat
bahwa sebaran sarkafogus di Bali, sebagian besar ini, terletak daerah
persawahan yang cukup subur. Bukti-bukti arkeologis di Bali Utara, situs
(pacung) menunjukkan, bahwa padi telah
dibudidayakan pada awal abad Masehi.
Prasasti Klungkung
A
yang berasal
dari tahun 1072, memuat ungkapan sawah kadandani kasuwan Rawas. kata kasualan
mengingatkan kita pada kata Subak saat ini, di Bali. Yakni suatu organisasi
dalam bidang pengairan. Jika kata kasualan itu mempunyai arti yang sama dengan
pengertian Subak, maka ungkapan dalam prasasti tersebut, mengandung arti sawah
kekuasaan danda yang terletak di Subak Rawas.
Hal ini
menunjukkan bahwa organisasi Subak, telah ada di Bali setidaknya pada abad 11.
Informasi yang menarik mengenai air tertulis dalam prasasti manukaya yang
berangka tahun 960. Dalam prasasti itu, terdapat informasi bahwa Raja Chandra
Bhayang singha warmadewa. memperbaiki tanggul pada sumber mata air di Tirta
Empul, yang setiap tahun dilanda oleh banjir.
Pertanyaan yang
timbul, Mengapa Raja Chandra Bhayan singha sangat berkepentingan, terhadap
perbaikan tanggul tersebut.
Apakah kegiatan
itu dilakukan untuk kepentingan agama, atau irigasi.? Hal ini masih belum
jelas. Namun perlu diingat bahwa mata air yang berasal dari Tirta Empul, kini
digunakan untuk kepentingan irigasi Subak kumba, dan pulau yang terletak di
desa Pejeng.
Kedua prasasti
tersebut di atas berasal dari abad 10 - 11 dan bali pada waktu itu, merupakan
sebuah kerajaan atau negara yang diperintah oleh dinasti warmadewa.
Para ahli juga
berpendapat bahwa ideologi memegang faktor penting dalam organisasi sosial politik. Semakin Kompleks
perkembangan dari suatu masyarakat, maka pada saat yang bersamaan, diperlukan
pula ideologi atau suatu konsep etika yang dapat memberi arah dan mengatur
segala perilaku masyarakat untuk mencapai tujuan.
Studi kasus di
Sri Lanka menunjukkan, bahwa ideologi telah Dapat mengikat atau menjalin
persatuan masyarakat.
Fenomena yang sama mungkin terjadi juga di
Bali pada awal munculnya Kerajaan. Penerapan konsep dewaRaja di Asia Tenggara,
dapat dipandang sebagai suatu refleksi dari pentingnya ideologi dalam proses
terbentuknya negara.
Keterangan yang berkenaan dengan nama tokoh
atau raja yang tersirat dalam prasasti Bali kuno, cukup menarik untuk
dikemukakan.
Nama-nama raja Bali kuno, yang tersurat dalam
prasasti yang berasal dari tahun 882- 1011 sebagian besar, menggunakan gelar
ratu. Dalam kurun waktu 129 tahun, ada tuju orang Raja (kesari warmmadewa,
Ugrasena, tabanendra marwadewa, Jaya singha marwadewa, Jayasadu marwadewa,
Wijaya Mahadewi, dan Udayana) yang disebutkan dan 2 diantaranya tidak
menggunakan gelar Ratu, yakni kesari warmadewa, dan Wijaya Mahadewi.
Titel atau gelar
Ratu adalah kata Indonesia asli yang menurut damais, setara artinya dengan kata
Sansekerta Sri Maharaja. Kata Ratu, mungkin sama artinya dengan Datu yang
digunakan dalam prasasti telaga batu di Sriwijaya.
Yang artinya kepala suku. Kesari menggunakan
gelar Adipatih dalam Prasasti Blanjong, kata Sansekerta yang artinya Raja
Agung. RajaSriwijaya Mahadewi adalah
raja pertama di Bali yang menggunakan gelar Sri Maharaja. yakni sebuah frasa
dalam bahasa Sansekerta yang artinya Raja besar atau Agung. penggunaan titel
atau gelar Ratu oleh raja raja Bali kuno mungkin merefleksikan unsur-unsur
kebudayaan Indonesia asli, yang masih ada pada saat munculnya Kerajaan Bali
yang bernuansa Hindu Budha.
Studi kasus di
Bali menunjukkan bahwa munculnya suatu negara atau kerajaan tampaknya
disebabkan oleh berbagai Faktor atau Kausa. Faktor dari luar masyarakat tidak
dapat diingkari, demikian pula halnya dengan perkembangan internal dari
masyarakat Bali sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar