SERANGAN KE IBU KOTA JOGYAKARTA
Tidak terdapatnya titik temu antara delegasi RI dan delegasi Belanda dalam perundinganpancutan Renville menyebabkan Belanda "kehilangan kesabaran dan akal sehat."
Pada 13Desember 1948 menteri daerah Seberang lautan J. A. Sassen menyampaikan perintah kepada wakil tinggi mahkota Belanda Dr. L. J. M beel untuk melancarkan aksi militer yang dapat dimulai pada 17 Desember.
Akan tetapi, pada hari itu pula isi surat hatta yang ditawarkan oleh ketua delegasi Belanda diterima oleh pemerintah Belanda di Den Haag. Dalam surat itu, Hatta menyatakan bahwa NKRI sudah cukup memberikan konsensi kepada Belanda.
RI bersedia menunda penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada NIS sampai waktu yang akan ditetapkan kemudian, walaupun sudah menyimpang dari tanggal yang ditentukan sebelumnya.
Hatta juga menyatakan bahwa RI bersedia mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan.
Bagaimanapun, kabinet Belanda merasa perlu menjawab surat Hatta.
Oleh karena itu, rencana aksi militer diundur sampai 21 Desember. Surat jawaban pemerintah Belanda tiba di Jakarta pada 16 Desember sore. Seharusnya surat itu diantar langsung kepada KTN di Kaliurang sore itu juga dengan menggunakan pesawat terbang. Akan tetapi beel menahan nya.
Barulah 17 Desember isi surat itu di kawat kan kepada KTN setelah didesak oleh Sassen. Hatta menerimanya pada 16:30. isi surat itu adalah Tuntutan Belanda agar RI menerima semua usul mereka. pemerintah Belanda tidak memberikan batas waktu bagi harta untuk menyampaikan jawaban.
Akan tetapi, beel mencantumkan batas waktu paling lambat pukul 10.00 tanggal 18 desember 2018 atas sudah harus menyampaikan jawaban pemerintah RI.
Tidaklah mungkin bagi Hatta untuk menyusun jawaban dalam waktu hanya 18 jam. Dengan demikian, komunikasi terputus. Beel mendapat lampu hijau dari den haag untuk memulai serangan militer pada 16 desember 1948. Pada malam 18 Desember 1948, Belanda menyampaikan surat kepada perwakilan RI di Jakarta bahwa mereka tidak terikat lagi dengan persetujuan Renville dan perjanjian gencatan senjata.
Ini berarti mereka merasa bebas untuk melancarkan serangan militer.
Usaha perwakilan RI untuk menyampaikan isi surat itu ke Jogja tidak berhasil sebab hubungan telepon dan telegram sudah diputus oleh Belanda. Usaha untuk berangkat ke Jogja dengan pesawat HTM juga gagal. Belanda melarang pesawat tersebut tinggal Landas. Sasaran pokok serangan Belanda ialah menduduki ibukota RI. yakni Jogjakarta. dan pusat pemerintahan RI di Sumatera, yakni Bukittinggi. pada 19 Desember 1948. hari dimulainya agresi militer Belanda. kedua kota itu mengalami serangan udara. bedanya, Jogja diduduki pada hari itu juga, sedangkan Bukittinggi 3 hari kemudian.
Untuk menduduki Jogja, pimpinan Angkatan perang Belanda memikirkan dua alternatif. Pertama, mendaratkan pasukan di Pacitan dan dari sana bergerak ke Jogja.
kedua, menerjunkan pasukan di lapangan terbang Maguwo. Baik gerakan pasukan dari Pacitan maupun penerjunan pasukan dari Maguwo mengandung resiko sendiri-sendiri. Gerakan pasukan dari Pacitan diperkirakan akan menjadi sasaran penge…
Walaupun dengan arah yang berlawanan. begitu pula beberapa perwira lain termasuk Letnan Kolonel Soeharto komandan Brigade 10. Selang beberapa waktu kemudian, seorang Perwira menengah Belanda, memasuki istana sambil menatap bendera putih yang berkibar di depan kediaman resmi kepala negara RI itu. Dengan sikap sejati seorang militer, ia mengajak Presiden Soekarno menemui Kolonel van Langen di suatu tempat tak jauh dari istana. Pembicaraan antara Presiden dan Van Langen berlangsung singkat.
Van Langen mengatakan, bahwa presiden Soekarno dikenakan tahanan rumah. Dengan kata lain ditawan. Begitu pula beberapa menteri, yang masih ada di istana.
Adapun wakil presiden Hatta dijemput di rumahnya. Ia dibawa ke istana, bersama dengan komodor suryadarma, yang kebetulan sedang berada di rumah Hatta.
Hari itu 19 Desember 1948 ibu kota RI jogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Kota itu disebut dengan cara yang relatif mudah dan dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan strategi yang sudah ditetapkan kota itu memang akan ditinggalkan akan tetapi yang mengherankan ialah kejatuhan yang terlalu cepat itu sehingga banyak yang seharusnya dapat diselamatkan tidak terselamatkan keputusan pimpinan negara untuk tetap tinggal dalam kota sedikit banyaknya melukai perasaan pimpinan Angkatan perang Indonesia Apapun alasannya keputusan itu bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya tentang pengungsian total maka pada 19 Desember 1948 itu dipertontonkan kembali perbedaan sikap antara pemerintah dan Angkatan Perang dalam menghadapi Belanda perbedaan dalam meletakkan titik berat perjuangan antara berdiplomasi dan berperang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar