Tulisn ini di turunkan hanya sebagai pembelajaran tentang sejarah keberadan AGAMA JAWA , bukan untuk menanamkan paham baru apalagi untuk keluar dari agama yang anda yakini saat ini.
Sejarah hanya berkewajiban mengungkap sebuah fakta dari sudut pandang data maupun artefak Arkeologi yang mungkin bisa di sajikan. Semua itu di tujukan Pada masyarakat jawa agar paham tentang asal usul agama nenek moyangnya yang jauh sebelum ISLAM datang ternyata mereka juga telah menyembah dan memiliki agama TAUHID yang di namai KAPITAYAN. Tentu saja, syareatnya berbeda. Tapi, dari situlah kita akan semakin bijak dalam mensikapi perbedaan yang ada.
Dalam berbagai upaya penggalian bukti secara ilmiah terkait etnis penghuni Nusantara, diketahui bahwa semenjak kala Pleistosen akhir para penghuni kuno kepulauan Nusantara
sudah mengenal peradaban yang berkaitan dengan agama.Sejarah hanya berkewajiban mengungkap sebuah fakta dari sudut pandang data maupun artefak Arkeologi yang mungkin bisa di sajikan. Semua itu di tujukan Pada masyarakat jawa agar paham tentang asal usul agama nenek moyangnya yang jauh sebelum ISLAM datang ternyata mereka juga telah menyembah dan memiliki agama TAUHID yang di namai KAPITAYAN. Tentu saja, syareatnya berbeda. Tapi, dari situlah kita akan semakin bijak dalam mensikapi perbedaan yang ada.
Dalam berbagai upaya penggalian bukti secara ilmiah terkait etnis penghuni Nusantara, diketahui bahwa semenjak kala Pleistosen akhir para penghuni kuno kepulauan Nusantara
Dari berbagai
jenis hasil budaya batu purba seperti menhir, dolmen, sarkofagus dan punden
berundak, yupa, diketahui sejak era paleolitikum yang berlanjut pada era
Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum penghuni Nusantara sudah mengenal
agama dengan berbagai ritual pemujaannya. Yang kemudian, berlanjut pada era
kebudayaan perunggu. Dari berbagai benda kuno berbahan perunggu hasil galian,
dapat diketahui adanya alat-alat yang digunakan sebagai sarana pemujaan,
termasuk alat-alat yang berhubungan dengan sistem penguburan mayat. Semua
aktivitas ekonomi dan budaya penghuni Nusantara sejak zaman batu sampai zaman
logam menunjuk pada tanda-tanda adanya hubungan integral antara Kebudayaan
dengan agama.
P. Mus dalam
L'Inde veu de I'Est. Cultes indiens etindigenes au champa
Menyatakan bahwa
pada zaman purbakala terdapat kesatuan kebudayaan pada suatu wilayah yang
sangat luas mencangkup India, Indocina, Indonesia, beberapa pulau di Lautan
Pasifik, dan barangkali Tiongkok Selatan. Kesatuan kebudayaan yang relatif luas
itu tidak boleh diartikan sebagai suatu kesatuan etnik.
Tersebar luasnya
wilayah budaya tersebut, dimungkinkan karena ada laut yang menghubungkan daerah
satu dengan daerah lainnya.
100 200 KM
lautan, lebih lebih dengan angin bermusim, merupakan jarak yang tidak berarti
daripada 100, -200 atau 1000 km daratan yang terpotong-potong oleh gunung,
hutan serta suku-suku bangsa yang bermusuhan, Seperti halnya di Semenanjung
Indocina atau dekkan zaman dahulu.
Di semua tempat yang keadaan pelayanan pelayarannya menghasilkan kesatuan pertukaran dengan sendirinya dapat diharapkan adanya kesatuan kebudayaan. Sebutan agama "daerah angin muson" lebih masuk akal daripada membicarakan agama India atau agama cina. sebelum kebudayaan dan yang akan memberi arti pada istilah-istilah tersebut
Di semua tempat yang keadaan pelayanan pelayarannya menghasilkan kesatuan pertukaran dengan sendirinya dapat diharapkan adanya kesatuan kebudayaan. Sebutan agama "daerah angin muson" lebih masuk akal daripada membicarakan agama India atau agama cina. sebelum kebudayaan dan yang akan memberi arti pada istilah-istilah tersebut
Untuk menggambarkan secara umum kepercayaan kerajaan paling kuno yang telah dianut dan seringkali masih tampak di daerah luas tersebut diatas, cara terbaik sementara ini adalah menggunakan istilah animisme. Yang dimaksud, pada masa dahulu Penduduk India, di Indocina, Indonesia, Tiongkok Selatan percaya kepada roh, yang ada dalam segala benda dan segala tempat- roh yang lepas dari raganya" hantu hantu penunggu air dan hutan - dan mereka juga percaya ada orang-orang tertentu yang berkedaulatan sakti untuk memanggil roh-roh tersebut atau mengusirnya.
Keberadaan ruh
di mana-mana adalah sebagian saja dari agama kuno yang dipelajari, sedangkan
sebagian yang lain merupakan keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan yang cocok
memungkinkan memanggil, mendamaikan, atau mengusirnya
Kedua bagian
tersebut berpasangan. kegiatan dukun Datu serta ilmu sihir mereka itulah yang
menjadikan alam manusia penuh dengan berbagai ruh.
Agama kuno yang tersebar luas sejak dari India, Indochina, Indonesia, Tiongkok selatan, hingga pulau-pulau Pasifik yang disebut.P Mus sebagai animisme itu, pada dasarnya adalah agama kuno penduduk nusantara, yang di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan "kapitayan" yaitu agama kuno yang tumbuh dan berkembang di Nusantara semenjak berkembangnya kebudayaan Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, megalitikum, yang berlanjut pada kala perunggu dan besi.
Itu Berarti
semenjak ras proto Melanesoid keturunan Homo Erectus menghuni Asia Tenggara dan
pulau-pulau Nusantara sampai kedatangan ras Austronesia keturunan homo sapiens
di Asia Tenggara sudah mengenal agama tersebut yaitu agama yang dianut dan
dijalankan turun-temurun oleh keturunan mereka yaitu ras australomelanesoid dan
kemudian mempengaruhi ruhi ras proto melayu dan ras deutro melayu Jauh sebelum
pengaruh kebudayaan India dan kebudayaan Cina datang pada awal abad Masehi.
Dalam konteks "agama angin muson" agama kuno yang disebut kapitayan merupakan agama yang dianut penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut oleh penghuni lama pulau Jawa berkulit hitam (ras Melanesia keturunan homo wajakensis). Dalam keyakinan penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur kapitayan adalah tokoh mitologi Dahyang Semar Putra Sanghyang Wukuham keturunan Sang Hyang Ismoyo.
Menurut cerita, Negeri asal daerah Danghyang semar adalah lemuria atau Sweta Dwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan danghyang Semar dan kaumnya mengungsi ke pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara bernama Sang Hantaga(togog) yang tinggal di negeri seberang (luar Jawa). Yang juga mengajarkan kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan dangh yang Semar. Saudara danghyang Semar yang lain lagi bernama Sanghyang manikmaya,menjadi penguasa di alam ghaib kediaman para leluhur yang disebut Kahyangan.
Secara
sederhana, kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang
memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna hampa,
kosong, Suwung, atau Awang uwung. Taya bermakna yang absolut, yang tidak bisa
di pikir dan dibayang bayang kan. Tidak bisa didekati dengan panca indra. Orang
Jawa kuno mendefinisikan sanghyang taya dalam 1 kalimat "Tan Keno kinoyo
ngopo" alias tidak bisa di apa-apakan keberadaan-Nya. Kata Awang uwung
bermakna ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi ada. Untuk itu, supaya bisa
dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya di gambarkan Mempribadi dalam nama
dan sifat ilahiyah yang disebut Tu atau To. Yang bermakna 'daya gaib' bersifat
adikodrati.
Tu atau To adalah tunggal dalam satu pribadi. Lazim disebut dengan nama
Sanghyang tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ketidakbaikan. Tu
yang bersifat baik disebut Tuhan yang sering disebut dengan nama Sang Hyang
Wenang. Sedang To yang bersifat ketidakbaikan disebut dengan nama sang manik
Moyo.
Demikianlah
Sanghyang wenang dan sang manik Moyo pada hakekatnya adalah sifat saja dari
Sanghyang tunggal. Karena itu baik Sanghyang tunggal, Sanghyang Wenang, maupun
Sanghyang manikmaya pada dasarnya bersifat Ghaib. Tidak pada dapat didekati
dengan panca indra maupun dengan akal pikiran. Sanghyang tunggal hanya
diketahui sifatnya saja.
Oleh karena
Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utama itu bersifat ghoib, Untuk Memuja Nya,
dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indra dan alam pikiran
manusia. Demikianlah, di dalam ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang
menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Sanghyang Toyo yang mempribadi, yang disebut
Tu atau To itu bersembunyi di dalam segala sesuatu yang memiliki nama berkait
dengan kata Tu atau To seperti : Wa-tu (batu) Tu-gu, Tu_ngkup (bangunan suci)
Tu-lang Tu-nda (bangunan bertingkat punden berundak), Tu-nggul, (Panji Panji)
Tu-nggal, (1) Tu-be, (mata air) ke-Tu-ban, (air terjun) Tu-mbak, (jenis lembing)
Tu-nggak, (batang pohon) Tu-lup, (Sumpit) Tu-rumbukan, ( pohon beringin) un-tu
(Gigi), Pin-tu, tutu-d ( hati limpa) tu-tuk (gua mulut) lubang To_peng, To-san
(pusaka), to-pong (mahkota), To parem baju keramat, To- mara (jenis lembing)
To-rana ( pintu gerbang) To-wok (jenis lembing) To-yan (air).
Dalam rangka
melakukan Puja Bakti kepada Sang Hyang tunggal, penganut kapitayan menyediakan
sesajen berupa: Tu-mpeng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi
dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam),
untuk dipersembahkan kepada Sang Hyang tunggal yang daya Goib Nya tersembunyi
pada segala sesuatu, yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti :Tu-ngkup
Tu-nda, Wa-tu Tu-gu, Tu-nggak dan lain-lain.
Para penganut kapitayan yang punya
maksud melakukan Tu ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan
memuja Sang Hyang Tunggal dengan persembahan khusus yang disebut Tu- mbal.
Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sesajen Sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung, Amalia yang lazim dijalankan para rohaniawan kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan Tutu-k ( lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.
Dalam bersembahyang, menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para rohaniawan kapitayan, mengikuti aturan-aturan tertentu:
1. Mula-mula, sang rohaniwan yang
sembahyang, melakukan Tu-lajeg (berdiri) tegak menghadap tutu-k (lubang
ceruk) dengan kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang Taya, di
dalam Tutu-d ( hati).
2. Setelah merasa Sanghyang Taya,
bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan disedekapkan di dada tepat pada
hati. Posisi ini disebut swa-dikep.( memegang ke-aku-an diri pribadi).
Proses Tu-lajeg ini, dilakukan dalam tempo relatif lama.
3. Setelah selesai sembahyang
dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang
juga dilakukan dalam tempo relatif lama.
4. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi Tu-lumpak
bersimpuhdengan kedua tumit diduduki,
5.
yang
terakhir dilakukan posisi To-ndhem ( bersujud seperti bayi dalam perut
ibunya).
Selama melakukan tu-lajeg,
Tu-ngkul,Tu-lampak, dan To-ndhem dalam waktu 1 jam lebih itu, rohaniwan
kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan keberadaan
Sanghyang Taya ( yang hampa) yang sudah disemayamkan di dalam Tutu-d (hati).
Seorang hamba Sanghyang Taya yang dianggap sholeh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (tu-ah) dan yang bersifat negatif (Tu-lah). Mereka yang sudah di karunia tuah dan tulah itulah, yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itu digelari sebutan Ra-tu atau Dhatu.
Dalam keyakinan kapitayan, para Ra-tu atau Dha-tu yang sudah dikaruniai Tu-ah
dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya, akan ditandai oleh Pi, yakni
kekuatan Rahasia Ilahi dari Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya Ra-tu
atau Dha_tu menyebut diri dengan kata ganti diri Pi_nakahulun.
- Jika berbicara disebut Pi-dato
- · Jika mendengar disebut Pi-harsa,
- · Jika mengajar pengetahuan disebut Pi-wulang,
- · Jika memberi petuah disebut Pi-tutur.
- · Jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh.
- · Jika menghukum disebut Pi-dana
- · Jika memberi keteguhan disebut Pi-andel.
- ·
Jika menyediakan sesajen untuk arwah leluhur, disebut Pi-tapuja, yang
lazimnya
berupa Pi-nda (kue dari tepung) Pi-nang Pi-tik Pi-ndodakakriya (nasi dan air), pi-sang. - Jika memancarkan kekuatan Wibawa disebut pi-deksa.
- Jika mereka meninggal dunia disebut pi-tara. Seorang Ra-tu atau Dha-tu
adalah
pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang Ra-tu adalah citra pribadi
Sanghyang tunggal.
Pengaruh agama
kapitayan tidak mengalami perubahan signifikan ketika migrasi penduduk Dongson
di Vietnam Utara membawa kebudayaan perunggu dan besi ke Nusantara. Sebab,
agama orang Dongson, yang masuk etnik annam, dan dasarnya tidak banyak
perbedaan dengan agama kapitayan, yaitu meyakini adanya To (daya gaib) di
berbagai tempat seperti mata air Lubuk airterjun, kolam, pohon Rindang, hutan
angker, Batu, puncak tinggi, batu di tengah sungai, dan jenis-jenis hewan
tertentu.
Diberbagai tempat di Papua dan pulau-pulau Pasifik, penduduknya memiliki kepercayaan terhadap roh gaib yang menghuni benda-benda tertentu sebagaimana ajaran kapitayan. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari terjadinya migrasi penduduk dari daratan Asia Tenggara dan juga dimungkinkan akibat perniagaan laut yang yang dilakukan oleh suku suku Melayu Polinesia yang melakukan hubungan dengan suku bangsa bangsa di India, Indochina, Indonesia, Tiongkok Selatan, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik melalui jalur laut.
Pak J
Sumber
- Atlas Walisongo ,sunyoto Agus,pustaka Iman dan LESBUMI PBNU,agustus 2016
- https://id.images.search.yahoo.com/yhs/search;_ylt=AwrxgzOYO31cKAgAcbL3RQx.;ylu=X3oDMTB0N2poMXRwBGNvbG8Dc2czBHBvcwMxBHZ0aWQDBHNlYwNwaXZ
- Agama Jawa: Abangan,Santri, priyayi dalam kebudayaan jawa, Geertz,Clifford, Komunitas bambu, Depok, cetakan ke 2 january 2014
- https://kanzunqalam.com/2015/12/01/misteri-ajaran-kapitayan-jejak-monotheisme-nabi-nuh-dalam-keyakinan-purba-masyarakat-nusantara
- http://salamnaskah.blogspot.com/2015/06/agama-bangsa-nusantara..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar