Senin, 09 September 2024

SAAT HATI MENJAUH DAN CINTA TAK LAGI DI TEMUKAN

 


Foto: liputan6.com
Di sebuah desa kecil, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang tampak bahagia dari luar. Ayahnya, Pak Sandi, adalah seorang pria pekerja keras, sementara ibunya, Bu Maya, adalah seorang ibu rumah tangga penuh kasih sayang. Mereka memiliki seorang putri kecil bernama Lila, seorang anak yang selalu ceria, dengan tawa yang menghangatkan rumah mereka setiap harinya.

Namun, di balik keharmonisan keluarga tersebut, ada satu hal yang menjadi beban pikiran Pak Sandi. Hubungannya dengan orang tuanya—kakek dan nenek Lila—tidak lagi baik. Setiap kali Lila pulang setelah berkunjung ke rumah kakek dan neneknya, ia selalu menceritakan dengan antusias tentang bagaimana ia menyukai bermain di sana. Tetapi bagi Pak Sandi, cerita itu adalah pengingat akan hubungan yang penuh kekecewaan dengan orang tuanya.

Suatu hari, Pak Sandi mulai berbicara dengan Lila, "Jangan terlalu sering ke rumah kakek dan nenek. Mereka tidak peduli lagi pada kita." Lila yang masih kecil hanya bisa bertanya dengan polos, "Kenapa, Ayah?" Namun, jawaban itu selalu diiringi dengan nada tegas dan keras. Meskipun Lila belum mengerti sepenuhnya, ia mulai merasakan bahwa menjauhi kakek dan neneknya adalah hal yang benar.

Hari demi hari, suasana di rumah semakin berat. Ketika Lila melakukan kesalahan kecil—seperti menumpahkan susu atau lupa merapikan mainannya—Pak Sandi mulai kehilangan kendali. "Lila, kenapa kamu tidak bisa mendengarkan?!" teriaknya dengan keras. Suara bentakan Pak Sandi menggema di rumah, membuat Lila gemetar ketakutan. Suatu ketika, dalam kemarahannya, Pak Sandi mengancam, "Kalau kamu nakal, Ayah akan mengunci kamu di kamar gelap!"

foto :dream.co

Lila menangis, rasa takut menyelimuti hatinya. Kamar yang seharusnya menjadi tempat aman baginya kini berubah menjadi ancaman menakutkan. Hari demi hari, Lila tumbuh dengan rasa takut akan kemarahan ayahnya. Perlahan, ia mulai merasa bahwa dirinya selalu salah, dan cintanya kepada kakek serta neneknya berangsur-angsur menghilang, digantikan oleh rasa benci yang ditanamkan oleh ayahnya.

Waktu berlalu, Lila tumbuh menjadi seorang remaja. Ia tidak lagi pergi ke rumah kakek dan neneknya, bahkan ketika Bu Maya memintanya untuk mengunjungi mereka. Setiap kali ia melihat mereka di desa, Lila cenderung menghindar. Di dalam hatinya, hubungan dengan kakek dan neneknya terasa jauh dan dingin—sesuatu yang ia pelajari dari ayahnya.

Pak Sandi mulai merasakan perubahan dalam diri Lila. Anak perempuannya yang dulu ceria dan penuh tawa kini berubah menjadi pendiam dan lebih sering merasa tertekan. Namun, Pak Sandi tidak menyadari bahwa perlakuannya terhadap Lila selama ini yang membuatnya berubah. Lila kini menyimpan rasa takut dan luka yang mendalam akibat sikap ayahnya yang keras.

Islam post

Tahun demi tahun berlalu, Pak Sandi mulai menua. Pada suatu hari, Pak Sandi jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia mulai bergantung pada Lila untuk merawatnya. Namun, Lila yang telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa, tidak lagi merasakan kehangatan terhadap ayahnya. Setiap kali Pak Sandi meminta bantuan, Lila bersikap dingin. Dalam hatinya, ia mengingat masa kecilnya yang penuh ancaman dan ketakutan.

"Kamu tidak peduli pada Ayah, Lila?" tanya Pak Sandi dengan suara lemah.

Lila menatap ayahnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Ayah, aku hanya melakukan apa yang Ayah ajarkan kepadaku selama ini," jawabnya dengan suara datar.

Pak Sandi tertegun. Saat itu, ia menyadari bahwa segala yang ia tanamkan pada Lila kini telah kembali kepadanya. Lila memperlakukannya dengan cara yang sama seperti bagaimana dulu ia mengajari anaknya untuk menjauh dari kakek dan neneknya—dengan rasa dingin, jarak, dan kekosongan emosional. Hatinya hancur saat ia menyadari bahwa segala kemarahan dan kekerasan yang ia tunjukkan selama ini telah menghilangkan rasa cinta dan kasih sayang anaknya terhadapnya.

Narasi ini adalah pengingat bagi setiap orang tua bahwa anak-anak merekam setiap ucapan, perilaku, dan perlakuan yang mereka terima. Mereka belajar dari kita, dan apa yang kita tanamkan di masa kecil mereka akan tumbuh menjadi dasar bagaimana mereka bersikap di masa depan. Sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak kita dengan kasih sayang dan kelembutan, bukan dengan kekerasan. Sebab, jejak kecil yang kita tinggalkan dalam hati mereka akan menjadi bekal besar dalam kehidupan mereka, dan pada akhirnya, mereka akan memperlakukan kita sebagaimana kita memperlakukan mereka saat mereka kecil.

gambar:kompas.com

Pesan Moral:

Apa yang kita tanamkan pada anak-anak kita hari ini akan tumbuh menjadi cermin bagaimana mereka memperlakukan kita dan orang lain di masa depan. Mendidik dengan kasih sayang, kesabaran, dan tanpa kekerasan bukan hanya membentuk anak yang sehat secara emosional, tetapi juga membangun hubungan yang kuat dan hangat dengan mereka.

Narasi ini dirancang untuk pembelajaran parenting, di mana orang tua bisa belajar bahwa setiap tindakan dan cara mendidik mereka akan berdampak pada perkembangan anak, baik secara emosional maupun psikologis.

 Pak J


 

Sabtu, 07 September 2024

MENCETAK PENGGERAK INOVASI ATAU HANYA PEKERJA MURAH ?

 

beranda inspirasi
Pemerintah memiliki program untuk lulusan SMK dengan fokus utama pada tiga pilihan: bekerja, berwirausaha, atau melanjutkan pendidikan. Namun, kenyataannya, sebagian besar kebijakan tampaknya lebih menekankan lulusan SMK untuk segera memperoleh pekerjaan dibandingkan dengan berwirausaha atau melanjutkan kuliah. Ini menimbulkan beberapa pertanyaan serius tentang arah kebijakan pendidikan kejuruan kita.

Mengapa porsi kebijakan yang lebih besar tidak diarahkan untuk menciptakan lulusan yang mandiri dan inovatif? Pemerintah tentu menyadari bahwa jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah lulusan SMK setiap tahunnya. Apakah ini berarti mereka secara tidak langsung menciptakan “pengangguran terselubung” yang hanya terfokus pada tenaga kerja operator? Apakah tujuan sebenarnya hanya untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja murah dan terampil, namun mengabaikan potensi besar para lulusan untuk menjadi wirausahawan atau pemikir kreatif?



fortal indonesia

Jika kita terus mendorong lulusan SMK untuk mengambil pilihan instan—lulus dan bekerja seadanya—siapa yang nantinya akan mengelola sumber daya alam Indonesia yang melimpah? Apakah kita akan membiarkan sumber daya alam kita dikelola oleh pihak asing karena lulusan kita tidak dipersiapkan untuk berpikir jauh ke depan, menguasai teknologi, dan menjadi pemimpin di sektor-sektor strategis?

Pendekatan yang hanya berfokus pada menyediakan tenaga kerja siap pakai untuk perusahaan besar, tanpa mendorong kemampuan inovasi dan berpikir kritis, hanya akan membuat bangsa ini bergantung pada pihak luar. Lulusan SMK yang diarahkan untuk mengambil jalan pintas menuju pekerjaan seadanya cenderung tidak berkembang, tidak kreatif, dan tidak memiliki keinginan untuk menjadi penggerak perubahan. Jika hal ini dibiarkan, kita hanya akan mencetak generasi yang menjadi pekerja, bukan pemimpin.

Pemerintah perlu memikirkan ulang kebijakan pendidikan SMK. Tidak hanya menyediakan tenaga kerja bagi industri, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan untuk berwirausaha, menciptakan inovasi, dan berpikir strategis dalam jangka panjang. Jika tidak, kita akan tetap menjadi penonton di negeri sendiri, sementara sumber daya alam kita dikuasai oleh orang asing.

Pendidikan kejuruan harus menjadi wadah untuk mencetak generasi mandiri dan berdaya saing, bukan sekadar pekerja pasif.

 

Petirtaan Ngawonggo: Warisan Kuno Jawa yang Memukau"

 

PETIRTAAN NGAWONGGO

Situs Petirtaan Ngawonggo, yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan salah satu saksi bisu perjalanan panjang sejarah Jawa. Situs ini tidak hanya mencerminkan warisan dari era Mataram Kuno, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat lokal menjaga hubungan spiritual mereka dengan alam dan budaya melalui generasi. Mulai dari masa kejayaan Hindu-Buddha, penyebaran Islam, hingga upaya pelestarian modern, Ngawonggo telah menjadi bagian integral dari identitas lokal yang kaya dengan sejarah dan spiritualitas.

 Ngawonggo sebagai Mandala Suci (943 Masehi)

Situs Petirtaan Ngawonggo pertama kali diketahui berasal dari era Mpu Sindok, penguasa Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Dinasty isyana, yang memindahkan pusat kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan ini didorong oleh berbagai faktor, seperti bencana alam yang melanda Jawa Tengah dan ancaman dari kerajaan-kerajaan tetangga termasuk yang uutama adalah serangan dari musuh bebuyutanya kerajaan Sriwijaya divisi Jambi. Mpu Sindok memerintah antara tahun 929 hingga 947 Masehi, dan pada masanya, muncul berbagai tempat suci di wilayah Jawa Timur, termasuk Kaswangga, yang disebutkan dalam Prasasti Wurandungan (Kanuruhan B) bertarikh 943 Masehi. Kaswangga diduga kuat merupakan nama kuno dan nama lain  dari Ngawonggo.

Sejak awal, Petirtaan Ngawonggo memiliki fungsi religius sebagai tempat suci, untuk menyucikan diri bagi para rohaniwan Hindu dan Buddha. Dalam tradisi Hindu, air memiliki makna spiritual yang sangat mendalam, sebagai lambang pemurnian dari dosa dan energi negatif. Oleh karena itu, petirtaan atau kolam suci seperti yang ada di Ngawonggo sangat penting dalam kehidupan keagamaan pada masa Mataram Kuno. Para pendeta dan bangsawan akan menggunakan petirtaan ini sebelum melaksanakan upacara atau persembahan besar di candi-candi utama, seperti Candi Singosari dan Candi Badut, dan candi cndi laian nya yang berada di Jawa Timur.

KULINER NGAWONGGO

Petirtaan Ngawonggo didesain sebagai bagian dari "mandala" atau "kahyangan," istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti tempat suci atau kediaman para dewa. Mandala ini merupakan bagian dari sistem keagamaan yang tidak hanya berfokus pada bangunan fisik, tetapi juga pada makna spiritual di balik ritual penyucian yang dilakukan di sana. Struktur kolam dan pancuran di situs ini diyakini mengalirkan air dari sumber mata air alami yang dianggap memiliki kekuatan ilahi. Air tersebut digunakan untuk berbagai upacara penting, termasuk ritual mandi penyucian atau "tirthayatra," yang hingga kini masih menjadi tradisi dalam agama Hindu.

Kolam-kolam di Petirtaan Ngawonggo tidak hanya menjadi sarana untuk pembersihan fisik, tetapi juga sebagai bagian dari proses meditasi dan refleksi spiritual. Relief-relief yang ada di sekitarnya menggambarkan berbagai dewa dan makhluk mitologis yang terkait dengan kepercayaan Hindu dan Buddha, menguatkan fungsi spiritual dari situs ini.

 Legenda Mbah Surayuda (1476 Masehi)

Seiring dengan berakhirnya era Kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan mojopahit, Jawa Timur mulai mengalami perubahan besar dengan masuknya Islam pada abad ke-15. Proses penyebaran Islam di Jawa Timur dipelopori oleh para wali dan ulama, terutama Wali Songo, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam proses Islamisasi Pulau Jawa. Di wilayah Malang, salah satu tokoh yang memiliki peran besar menurut tradisi lokal adalah Mbah Surayuda, atau dikenal juga dengan Mbah Jalaludin, seorang murid Sunan Bayat dari Klaten, Jawa Tengah. Menurut legenda, Mbah Surayuda diutus untuk menyebarkan Islam di wilayah Ngawonggo pada sekitar tahun 1476 Masehi.

Namun, seperti banyak cerita rakyat lainnya, tidak ada bukti arkeologis yang kuat yang dapat mengonfirmasi kebenaran kisah ini. Meskipun demikian, kisah Mbah Surayuda mencerminkan bagaimana situs-situs suci Hindu-Buddha diadaptasi oleh masyarakat setempat dalam konteks Islam, sebagai budaya adiluhung yang semakin dominan pada masa itu. Tradisi lisan ini juga menunjukkan adanya kesinambungan antara kepercayaan lama dan baru, di mana nilai-nilai dan tempat-tempat suci Hindu-Buddha tetap dipertahankan dalam bentuk yang berbeda, sering kali dengan simbolisme Islam yang ditambahkan.

PETIRTAAN DAN RELIEF
Cerita tentang Mbah Surayuda tidak hanya menjadi bagian dari narasi sejarah, tetapi juga sebagai sarana masyarakat lokal untuk menegaskan bahwa situs-situs seperti Petirtaan Ngawonggo tetap memiliki nilai spiritual di tengah-tengah perubahan agama dan budaya. Keberlanjutan spiritualitas situs ini meskipun dalam bentuk yang berbeda, memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat Jawa Timur beradaptasi dengan pengaruh luar, tetapi tetap menjaga warisan budaya mereka.

 Era yang Berjalan Seiring Waktu (1476 - 1970-an)

Setelah masa penyebaran Islam, Petirtaan Ngawonggo tidak kehilangan fungsi sakralnya. Meskipun tidak lagi digunakan secara luas oleh rohaniwan Hindu-Buddha, masyarakat lokal masih menggunakan air dari pancuran di situs tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi maupun upacara-upacara adat. Air dari petirtaan dipercaya memiliki kekuatan magis, mampu menyembuhkan penyakit, dan memberikan keberuntungan. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan bagaimana masyarakat lokal terus menghormati situs tersebut sebagai tempat yang memiliki kekuatan spiritual.

Namun, perubahan teknologi dan akses terhadap air bersih di desa-desa sekitar mulai menggeser peran petirtaan ini. Sejak diperkenalkannya sumur dan jaringan air PDAM pada pertengahan abad ke-20, pancuran di situs ini mulai ditinggalkan. Vegetasi tumbuh liar dan menutupi sebagian besar situs, dan kolam-kolam petirtaan menjadi tertutup lumpur. Pada periode ini, situs Petirtaan Ngawonggo mulai dilupakan oleh banyak orang, meskipun masih ada beberapa warga yang mengenangnya sebagai tempat suci yang penuh dengan arca dan relief.

 Penemuan Kembali (1970-an - 2017)

Pada tahun 1970-an, warga sekitar mulai menyadari bahwa terdapat peninggalan-peninggalan kuno di Ngawonggo, yang mereka sebut sebagai "reca" atau arca. Namun, kesadaran bahwa situs ini adalah petirtaan kuno dari era Mataram Kuno belum sepenuhnya muncul. Situs ini hanya dilihat sebagai tempat yang memiliki sejumlah arca tanpa pemahaman yang mendalam tentang sejarah atau fungsinya sebagai tempat penyucian.

Momentum penemuan kembali situs ini terjadi pada tahun 2017 ketika seorang warga bernama Yasin, bersama rekan-rekannya, mengunggah video tentang situs Ngawonggo di kanal YouTubenya. Video tersebut menjadi viral di kalangan pegiat sejarah dan menarik perhatian komunitas arkeologi, termasuk Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Tindakan ini membuka jalan bagi ekskavasi resmi yang dilakukan pada bulan Mei 2017. Ekskavasi ini berlangsung selama sembilan hari dan melibatkan warga lokal yang bekerja bersama tim arkeolog.

Ekskavasi mengungkap berbagai relief dan struktur kolam yang sebelumnya tertimbun oleh lumpur dan ditumbuhi vegetasi. Temuan ini menegaskan bahwa situs tersebut adalah sebuah petirtaan yang penting pada masa Mataram Kuno, dengan relief-relief yang masih utuh menggambarkan mitologi Hindu. Kolam-kolam yang ditemukan juga memperlihatkan pola yang sama dengan petirtaan lain di Jawa Timur yang berasal dari periode yang sama.

 Upaya Pelestarian oleh Masyarakat (2017 - Sekarang)

Setelah ekskavasi, upaya pelestarian situs ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat setempat. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dipimpin oleh Yasin mengambil peran penting dalam menjaga situs ini. Mereka secara rutin melakukan kegiatan kerja bakti untuk membersihkan area situs, merawat struktur yang sudah ditemukan, serta menjaga agar tidak ada vandalisme atau kerusakan akibat aktivitas manusia.

Namun, meskipun situs ini telah memenuhi syarat sebagai cagar budaya, hingga kini situs Petirtaan Ngawonggo belum diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai situs cagar budaya. Pengakuan resmi ini penting, karena dengan status cagar budaya, situs tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum serta dukungan finansial untuk pelestarian yang lebih baik. Meskipun demikian, inisiatif warga yang terus melibatkan diri dalam pelestarian situs ini patut diapresiasi sebagai upaya swadaya yang berharga.

 Potensi Wisata dan Pendidikan

Situs Petirtaan Ngawonggo memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Keindahan arsitektur dan relief-relief yang ditemukan di sana merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama mereka yang tertarik dengan sejarah Jawa kuno. Selain itu, situs ini juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi untuk mengajarkan sejarah dan budaya kepada generasi muda. Melalui pemahaman yang lebih serius tentang sejarah situs ini, masyarakatpun dapat lebih menghargai warisan budaya mereka dan berkontribusi pada upaya pelestarian. dengan semakin bertambah nya pengunjung dan penataan sarana rekreasi nya, situs ini akan semakin di kenal masyarakat di wilayah Malang raya pada kususnya dan Jawa timur pada Umumnya.


di rangkum dari berbagai sumber.
Pak J 

 

Jumat, 06 September 2024

KETIKA RAKYAT KEHILANGAN HARAPAN UNTUK PERUBAHAN

 



Pemilihan kepala daerah serentak yang semestinya menjadi tonggak demokrasi kini menyisakan keprihatinan. Calon kepala daerah yang diharapkan oleh rakyat untuk memimpin mereka, terhalang untuk maju. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi alat aspirasi rakyat, kini tersandera oleh kasus hukum yang mudah dimanipulasi untuk menekan mereka sesuai kehendak penguasa. Kondisi ini membuat banyak daerah hanya memiliki satu calon tunggal yang melawan "bumbung kosong." Pertanyaan besar pun muncul: inikah makna demokrasi yang kita pilih untuk mengelola negara dan daerah?

Demokrasi seharusnya memberi rakyat ruang kebebasan memilih pemimpin yang mereka percayai. Namun, ketika calon yang diharapkan tidak bisa maju, dan partai politik tunduk pada tekanan kekuasaan, makna demokrasi itu sendiri mulai memudar. Ini bukan lagi sebuah sistem yang mencerminkan kehendak rakyat, melainkan sebuah permainan kekuasaan yang mengorbankan kebebasan politik dan harapan masyarakat.

Fenomena ini memperlihatkan rusaknya mekanisme demokrasi di negeri ini. Pilihan rakyat menjadi terbatas, ruang politik yang seharusnya diisi oleh beragam kandidat, kini dikosongkan oleh dominasi kekuasaan. Di sisi lain, banyak dari kita mulai bertanya: mengapa sebagian rakyat enggan untuk berubah? Mengapa sebagian masyarakat tampak pasif di tengah situasi yang semakin mengkhawatirkan ini?

Jawabannya mungkin terletak pada dua hal. Pertama, apatisme yang tumbuh akibat kekecewaan yang berkepanjangan. Rakyat melihat bahwa janji-janji perubahan yang dijanjikan penguasa sering kali hanya retorika kosong.Ketidakmampuan pemerintah dan partai politik untuk membawa perubahan nyata, membuat banyak masyarakat merasa tidak ada gunanya berharap atau berjuang untuk perubahan.


Kedua, ketidakpahaman akan kekuatan demokrasi itu sendiri. Sebagian masyarakat masih belum memahami bahwa demokrasi adalah hak mereka, bukan milik elite penguasa. Tanpa kesadaran ini, rakyat cenderung menerima apapun yang terjadi, termasuk kebuntuan politik yang terjadi saat ini.

Rakyat yang apatis atau pasrah, adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada proses politik, ketika mereka enggan untuk bergerak dan memperjuangkan perubahan, maka kekuatan demokrasi melemah. Padahal, perubahan hanya bisa terwujud jika ada partisipasi aktif dari masyarakat.


Untuk keluar dari krisis ini, kita harus menyadari bahwa demokrasi bukan sekadar formalitas pemilu. Demokrasi adalah kekuatan rakyat untuk menentukan masa depan mereka. Jika kita membiarkan kekuasaan terus menekan dan membatasi pilihan kita, maka kita hanya akan menjadi penonton di negeri kita sendiri, sementara hak dan suara kita terus direduksi.

Sekarang adalah saatnya bagi rakyat untuk bangkit. Kita harus menyuarakan kebebasan memilih, menolak kekuasaan yang mempermainkan sistem demokrasi, dan memperjuangkan kembali makna sejati demokrasi: kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat dalam menentukan arah bangsa.

Rabu, 04 September 2024

"ketika Ketua Umum Partai Tersandera,dan Rakyat Semakin Tersingkirkan"

 

koran tempo.co
Dalam dinamika politik terkini, beberapa ketua umum partai politik nasional dilaporkan secara tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatan mereka tanpa penjelasan yang jelas. Pengunduran diri tersebut memicu spekulasi bahwa mereka berada di bawah tekanan kuat dari sosok berpengaruh bernama Mulyono, yang diduga memanfaatkan ancaman hukum untuk menyandera dan mengendalikan mereka. Langkah ini menciptakan kegaduhan di kalangan politik dan publik, menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas demokrasi di negeri ini.

Mulyono, seorang tokoh yang dikenal memiliki pengaruh besar di lingkaran politik, diduga menyandera ketua-ketua partai yang memiliki rekam jejak kurang bersih. Ketum-ketum ini, yang seharusnya memimpin partai untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, justru berbondong-bondong merapat kepada Mulyono, meninggalkan idealisme partai mereka dan mengabaikan konstituen yang telah memilih mereka. Dengan kata lain, rakyat yang seharusnya mendapatkan wakil dan pemimpin yang memperjuangkan kepentingan mereka, justru merasa dikhianati oleh pemimpin-pemimpin yang tunduk pada skema politik elit.

Menurut pengamat politik, tindakan Mulyono ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan bagian dari strategi besar untuk memastikan kekuasaannya tetap kuat hingga 2029. Dugaan semakin kuat bahwa Mulyono ingin memastikan calon pilihannya, yang sering disebut sebagai "putra mahkota", bisa maju dalam Pemilihan Presiden 2029 tanpa hambatan. Jika pemimpin yang diinginkan rakyat diusung dan berhasil terpilih dalam waktu dekat, maka rencana Mulyono untuk memajukan calon pilihannya akan terancam gagal.


Namun, situasi ini memperlihatkan masalah yang lebih dalam di tubuh partai politik. Ketum-ketum yang disandera oleh Mulyono bukan sekadar korban, melainkan juga bagian dari sistem yang korup. Mereka, yang semestinya memperjuangkan kepentingan rakyat, mudah disandera karena catatan hukum mereka yang tidak bersih. Jika mereka bersih dan teguh memegang prinsip, Mulyono mungkin takkan bisa menekan mereka. Namun, kenyataannya, mereka lebih memilih untuk tunduk daripada mempertahankan integritas.



Akibat dari semua ini, rakyat dirugikan. Kesempatan untuk mengajukan calon pemimpin yang ideal sesuai dengan kehendak rakyat tersingkirkan karena ketum-ketum partai takut mengambil risiko melawan Mulyono. Rakyat yang dulu berharap partai bisa menjadi jembatan aspirasi kini melihat bahwa suara mereka semakin dipinggirkan oleh kepentingan elit politik.

koran tempo.co 

Tak hanya itu, anggota legislatif yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan suara rakyat pun diduga telah terjebak dalam konspirasi yang dirancang oleh Mulyono dan timnya. Anggota legislatif yang tersandera ini seolah membiarkan keadaan ini berlanjut, tanpa memperhatikan tuntutan masyarakat. Dengan kontrol yang semakin kuat di tangan Mulyono, rakyat merasa semakin tidak berdaya dan terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan politik yang seharusnya melibatkan mereka.

Meski demikian, gelombang keresahan di kalangan masyarakat mulai terlihat. Banyak yang merasa bahwa politik saat ini sudah tak lagi berpihak pada kepentingan mereka. Beberapa pengamat politik menilai bahwa jika keadaan ini terus berlanjut tanpa ada perlawanan, demokrasi di Indonesia akan semakin terkikis, dan kekuasaan akan kembali terkonsentrasi pada segelintir elit.

Rakyat perlu menyadari bahwa kekuatan sejati ada di tangan mereka. Meski Mulyono dan para elite politik berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, termasuk melalui konspirasi dan ancaman, rakyat tetap memiliki hak dan kekuatan untuk menuntut perubahan. Suara rakyat tidak boleh dianggap remeh, dan ini saatnya untuk membuktikan bahwa bangsa ini tidak akan dikuasai oleh mereka yang menganggap rakyat bodoh dan tak berdaya.

Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang memberi tempat bagi suara rakyat, bukan yang dikendalikan oleh segelintir orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Mulyono dan para pemimpin partai yang tunduk pada kekuasaan gelap harus dihadapkan pada pertanggungjawaban. Rakyat harus bangkit, bersatu, dan menuntut keadilan serta transparansi. Sebab, jika kita terus diam, maka masa depan bangsa ini akan dikuasai oleh mereka yang hanya peduli pada kekuasaan, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Rakyat Indonesia berhak atas pemimpin yang bersih, adil, dan berani. Masa depan bangsa ini ada di tangan kita, dan kita harus bersatu untuk memastikan bahwa kekuatan segelintir elit tidak akan merampas harapan dan impian kita.

Ketua Umum Partai Disandera, Rakyat Dirugikan oleh Manuver Politik Mulyono"


koran tempo.co 

Dalam perkembangan politik terkini, ada Ketua Umum partai politik diduga berada di bawah tekanan dan pengaruh Mulyono tiba tiba mundur dari kepemimpinan nya, banyak orang membuat anekdot, ada pohon besar dan tua di gergaji mulyono .seorang tokoh berkuasa yang menggunakan ancaman hukum untuk menyandera mereka. Tanpa penjelasan,  ketua umum ini mengundurkan diri dari posisi mereka, meninggalkan idealisme partai dan mengabaikan jeritan konstituen.

Mulyono, yang dipandang sebagai dalang di balik manuver ini, diduga sengaja melemahkan pemimpin partai yang tidak bersih, memaksanya tunduk pada skenario politiknya. Rakyat kehilangan kesempatan untuk mengajukan calon pemimpin ideal mereka, karena para ketua partai takut melawan pengaruh Mulyono. Kekhawatiran muncul bahwa konspirasi ini berpotensi memuluskan rencana Mulyono untuk memajukan sosok "putra mahkota" pada 2029, mengabaikan aspirasi rakyat.

Situasi ini menimbulkan keresahan di masyarakat, yang merasa suara mereka tidak lagi diperhitungkan dalam proses politik yang seharusnya demokratis.

nasib rakyat di bawah penguasa tak peduli ibarat kambing di tengah tengah kepungan serigala.

Saat Air Menjadi Harapan:

  Ulurkan Tangan untuk Desa Kunjorowesi


Di sudut lain dari negeri ini, ada sebuah Desa bernama Kunjorowesi.tengah berjuang melawan dampak kemarau panjang. Air, yang bagi kita adalah kebutuhan sehari-hari yang mudah dijangkau, kini menjadi barang yang sangat mahal dan susah untuk di hadirkan di sana.

Hampir setiap hari warga desa terpaksa menempuh perjalanan jauh, melintasi jalanan berbatu dan terik matahari, hanya untuk mengumpulkan air bersih yang semakin langka. Mereka memikul dan memanggul. 

Bayangkan, dalam kondisi seperti ini, mereka harus memilih antara minum, memasak, atau menjaga kebersihan. Setiap tetes air adalah harapan, dan setiap kali mereka menimba dari sumber yang jauh, mereka berharap itu cukup untuk bertahan sehari lagi.


Kita tidak bisa membiarkan mereka berjuang sendiri. Dalam momen-momen sulit seperti ini, solidaritas kita adalah kekuatan yang nyata bagi mereka. Setiap donasi yang Anda berikan bukan sekadar sumbangan—itu adalah air kehidupan, membawa harapan dan senyum ke wajah-wajah yang telah lama mengalami lelah.


Dengan hanya Rp 500.000, Anda dapat membantu menyediakan satu tangki air bersih berkapasitas 5000 liter, atau dengan Rp 50.000, Anda dapat membantu meringankan beban mereka yang tengah berjuang di tengah krisis ini.


Mari kita bersama-sama menciptakan perubahan nyata. Mari  sama samTangan Anda adalah berkah bagi mereka. Setiap rupiah yang Anda donasikan adalah langkah menuju kehidupan yang lebih baik untuk saudara-saudara kita di Desa Kunjorowesi.


Bantu sekarang, dan jadilah cahaya dalam kegelapan mereka.


Untuk donasi, hubungi kami di: 📞 Hotline: 031 5151 2722 // 0851 7539 9113 💳 Rekening BSI eks BSM: No. Rek. 70 155 78712 a.n Dompet Kepedulian Muslim 🏡 Office: Jl. Mayangkara Kav. 9 Gayung Kebonsari, Surabaya.


Setiap bantuan Anda, sekecil apapun, akan membawa harapan baru bagi mereka yang paling membutuhkan.

 Pak J

Selasa, 03 September 2024

Biarkan Mereka Tetap Bodoh

Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, seharusnya dapat memanfaatkan kekayaan ini untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya. Namun, sistem pendidikan, khususnya sekolah vokasi, justru membuat bangsa ini terjebak dalam ketertinggalan. Bukannya mengajarkan kemandirian dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sekolah-sekolah vokasi lebih fokus pada mencetak tenaga kerja yang siap dipekerjakan sebagai operator di industri.

Mindset pragmatis yang dibangun oleh pemangku kebijakan ini mengajarkan siswa untuk mencari jalan tercepat dan termudah, tanpa memikirkan bagaimana mereka bisa mengembangkan potensi besar yang dimiliki oleh negeri ini.tanpa berusaha bagaimana mereka mampu  memikirkan, mengembangkan dan mengelola sumber daya alam yg ada. Mereka tidak dididik untuk menjadi pengusaha atau inovator yang bisa mengolah kekayaan alam, melainkan hanya menjadi pekerja yang melayani kebutuhan industri.


Akibatnya, sumber daya alam Indonesia tetap dikuasai oleh segelintir orang kaya, sementara mayoritas rakyat tetap tertinggal. Jika paradigma pendidikan ini tidak diubah, maka bangsa ini akan terus membiarkan kebodohannya. Indonesia akan terus bergantung pada orang lain untuk mengelola kekayaannya, sementara generasi mudanya hanya diajarkan untuk menjadi pekerja, bukan pemimpin atau pengusaha. Dengan begitu, sistem ini akan terus mempertahankan kebodohan yang merugikan masa depan bangsa.


Biarkan mereka tetap bodoh—itulah pesan tersirat dari kebijakan pendidikan yang ada. Dan jika tidak ada perubahan, kebodohan ini akan menjadi warisan yang tak terhindarkan. 

Dan potensi sda Indonesia yg luar biasa ini, akan selalu di nikmati oleh segelintir / sekelompok manusia dan  negara sebesar ini, akan di kendalikan oleh mereka, siapapun presiden nya. 

Sabtu, 31 Agustus 2024

PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN

 PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN


Titik Awal dari Sebuah Perjuangan


Di sebuah desa kecil bernama  Tritik , Kecamatan Rejoso, Kabupaten Kota Angin, yang dikenal sebagai Anjuk Ladang, hiduplah seorang pemuda bernama  Darwis   Berbeda dengan anak-anak sebayanya,  Darwis tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika usianya baru menginjak satu tahun, ibunya meninggal dunia. Setahun kemudian, ayahnya pun menyusul ke pangkuan Tuhan. Sejak saat itu,  Darwis diasuh oleh neneknya yang sudah tua renta. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan, bergantung pada belas kasihan tetangga dan hasil jualan sapu lidi buatan neneknya.

Dari kecil,  Darwissudah terbiasa bekerja keras untuk sekadar mendapatkan sesuap nasi. Neneknya, dengan sisa tenaga yang ada, mengajarkan  Darwis cara membuat sapu lidi dari daun kelapa yang mereka kumpulkan dari hutan di samping rumah mereka. Terkadang, mereka mendapat cukup uang untuk makan, namun sering kali mereka harus tidur dengan perut kosong.

Meski hidup dalam kesulitan,  Darwis tumbuh menjadi anak yang kuat dan tabah. Ia jarang sekali bermain seperti anak-anak lain seusianya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membantu neneknya, mencari rezeki untuk mengisi perut mereka yang lapar.  Darwis sadar, hidupnya tidaklah semudah teman-temannya yang masih bisa merasakan kasih sayang orang tua dan bermain bebas tanpa beban.

Tahun demi tahun berlalu. Dengan bantuan seorang tetangga jauh yang iba melihat keadaan mereka,  Darwis akhirnya bisa merasakan pendidikan hingga tingkat SMA. Ia merupakan siswa yang cerdas, namun setelah lulus SMA,  Darwis dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa mencari pekerjaan di negeri ini tidaklah mudah, terutama jika tidak memiliki "orang dalam" yang bisa memuluskan jalan.

 Darwis tidak putus asa. Ia memilih untuk tidak menyerah pada keadaan. Ia memutuskan untuk bekerja apa saja yang bisa ia lakukan. Setelah berpikir keras, akhirnya  Darwis memilih menjadi seorang pemain pantomim jalanan. Ia mewarnai seluruh wajahnya dengan bedak putih dan menampilkan aksi lucu untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang di desa-desa sekitar. Setiap hari, mulai pagi hingga sore,  Darwis berkeliling dari kampung ke kampung, menawarkan hiburan sederhana yang mampu menghadirkan senyuman di wajah orang-orang.

"Kalau aku bisa membuat satu anak saja tertawa hari ini, itu sudah cukup bagiku," pikir  Darwissetiap kali ia memulai harinya.

Hari itu, matahari bersinar terik di atas desa kecil itu. Seperti biasa,  Darwis berdiri di pojok jalan desa, menampilkan aksi pantomimnya yang lucu. Meski keringat mengucur deras, ia tetap tersenyum. Setiap lemparan koin atau uang receh yang diterimanya disambut dengan senyuman tulus dan rasa syukur. Hingga jam menunjukkan pukul 15.20, seorang pemuda mendekatinya. Usianya sekitar 25 tahun, tujuh tahun lebih tua dari  Darwis 

"Mas, mau beli duren?" tanyanya sambil mengulurkan buah durian besar ke arah  Darwis 

 Darwistersenyum lelah. "Maaf, Mas, saya nggak ada uang untuk beli duren. Uang saya hanya cukup untuk makan saya dan nenek saya."

Pemuda itu tersenyum tipis. "Saya lagi butuh uang, Mas. Anak saya yang pertama lagi dirawat di rumah sakit umum daerah, kena sakit tifus. Satu buah duren ini, saya jual 200 ribu."

 Darwisterdiam sejenak. Meski hatinya tersentuh, ia tahu betul bahwa ia tidak punya uang sebanyak itu. Ia hanya punya uang 50 ribu hasil mengamen seharian. Namun, pendidikan yang diberikan oleh neneknya untuk selalu berempati dan peduli kepada sesama membuat  Darwis merogoh saku celananya. Dengan sedikit ragu, ia menyerahkan seluruh uang yang ia miliki.

"Ini, Mas. Saya cuma punya 50 ribu. Ambil saja, semoga bisa sedikit membantu," kata  Darwis sambil tersenyum tulus.

Pemuda itu tertegun. "Kamu ikhlas memberikan uangmu ini? Terus, nanti kamu makan apa kalau semuanya kamu kasih ke saya?"

 Darwis mengangguk, "Tidak apa-apa, Mas. Setelah ini, aku masih bisa mengamen lagi. Semoga Allah memberi jalan rezeki yang lain."

Mata pemuda itu berkaca-kaca. Ia menyerahkan durian itu ke  Darwis  , namun  Darwis menolak.

"Bawa saja durennya, Mas. Buat keluarga di rumah," kata  Darwis lembut.

Pemuda itu tersenyum, "Kita tadi akadnya jual beli, jadi duren ini harus kamu terima sebagai kenang-kenangan dari saya."

Karena pemuda itu terus mendesak, akhirnya  Darwis menerima durian tersebut dengan rasa haru. Saat membuka durian itu, betapa terkejutnya  Darwis menemukan sebuah amplop di dalamnya berisi uang sebesar 15 juta rupiah.

"Mas... katanya butuh uang untuk ke rumah sakit?" tanya  Darwis kebingungan.

Pemuda itu tersenyum. "Maafkan saya, Mas. Saya memang sedang melakukan eksperimen sosial. Saya mencari orang baik yang tulus membantu orang lain meski dalam kesulitan. Dan saya menemukan itu di diri Mas. Uang ini untuk Mas dan nenek di rumah."

 Darwis terdiam, air matanya jatuh berlinang. Ia sujud syukur kepada Allah, berterima kasih atas rezeki yang tak disangka-sangka. Dalam hatinya, ia berjanji akan terus berbagi kepada sesama, seberapa pun sulit hidupnya.

Harapan Baru di Bawah Langit Kota Angin

Setelah kejadian luar biasa itu, kehidupan  Darwis berubah drastis. Dengan uang 15 juta rupiah yang diterimanya,  Darwis dan neneknya tak lagi harus khawatir tentang makan sehari-hari untuk sementara waktu. Mereka bisa membeli kebutuhan dasar, memperbaiki rumah yang hampir roboh, dan yang paling penting, membiayai pengobatan nenek  Darwis yang selama ini terpaksa ditunda karena masalah biaya.

Namun, uang itu bukanlah akhir dari perjuangan  Darwis  , melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya.  Darwis memutuskan untuk menggunakan sebagian uang tersebut untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

"Nek, aku ingin gunakan sebagian uang ini untuk belajar keterampilan lain," kata  Darwis suatu malam ketika mereka sedang makan malam bersama.

Nenek  Darwis menatapnya dengan penuh kasih. "Keterampilan apa yang ingin kamu pelajari, cucuku?"

"Aku ingin belajar menjadi seorang pelukis, Nek. Selama ini aku suka menggambar, dan aku merasa bisa menghibur lebih banyak orang dengan lukisan," jawab  Darwis dengan mata berbinar.

Neneknya tersenyum. Meski usianya sudah senja, semangat  Darwis menghidupkan kembali semangatnya yang pernah padam. "Kalau itu yang kamu inginkan, Nek dukung. Kamu selalu punya bakat,  Darwis   Mungkin ini saatnya kamu mengejar impianmu."

 Darwis mulai belajar melukis dari seorang pelukis tua yang tinggal di desa sebelah. Dengan cepat, dia menguasai teknik-teknik dasar dan mulai mengembangkan gaya lukisannya sendiri. Lukisan-lukisannya memancarkan keindahan dan kesederhanaan hidup pedesaan yang penuh dengan perjuangan dan harapan.

Satu per satu, orang-orang mulai tertarik dengan karya  Darwis   Mereka datang ke rumahnya untuk melihat lukisannya, dan beberapa bahkan mulai membeli. Dari situ,  Darwis mulai menghasilkan uang lebih dari yang dia dapatkan dengan mengamen.

Namun,  Darwis tidak pernah melupakan akar kehidupannya sebagai penghibur jalanan. Setiap akhir pekan, dia tetap meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak dan penduduk desa dengan pantomimnya, karena dia percaya bahwa seni adalah tentang memberi, bukan hanya menerima.

Mewujudkan Mimpi

Seiring berjalannya waktu, nama  Darwis mulai dikenal di luar desanya. Salah satu lukisannya yang berjudul "Pelangi di Wajah  Darwis  ," sebuah lukisan dirinya saat menjadi pantomim dengan wajah berlumur bedak putih, menarik perhatian seorang kolektor seni dari kota besar. Lukisan itu menggambarkan senyuman yang memancarkan keikhlasan meski di tengah kemiskinan, sesuatu yang membuat orang-orang yang melihatnya merasakan hangatnya harapan.

"Berapa harga lukisan ini?" tanya kolektor seni itu ketika dia datang ke rumah  Darwis 

 Darwis, yang masih merasa rendah hati, menjawab, "Lukisan ini tidak untuk dijual. Ini adalah pengingat bahwa hidup saya selalu berjuang dan bahwa kebahagiaan tidak datang dari uang, tetapi dari hati yang ikhlas."

Kolektor itu terkesan dengan jawabannya. "Saya mengerti. Namun, saya ingin mendukung perjalanan seni Anda. Bagaimana kalau saya memesan lukisan lain dari Anda? Sesuatu yang mencerminkan kehidupan Anda yang penuh perjuangan namun tetap harapan?"

 Darwis tersenyum dan menyetujui permintaan itu. Ia mulai bekerja penuh keras untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Selama proses melukis, dia merasakan kedamaian yang luar biasa. Lukisan itu menjadi lebih dari sekadar karya seni; itu adalah cerita hidupnya yang dituangkan dalam warna dan bentuk.

Ketika lukisan itu akhirnya selesai, kolektor tersebut datang kembali dan melihat lukisan yang menggambarkan seorang pemuda berjalan di tengah badai, dengan pelangi muncul di atasnya. "Luar biasa," kata kolektor itu. "Ini adalah karya yang indah, penuh makna dan emosi."

Setelah itu, kehidupan  Darwis berubah semakin baik. Lukisannya menjadi semakin dikenal dan dihargai. Namun,  Darwis tetap hidup sederhana. Dia tidak ingin terjebak dalam kehidupan yang mewah. Dia selalu ingat pesan neneknya untuk selalu rendah hati dan bersyukur.

Tantangan  Hidup anak desa


Namun, hidup tidak selalu berjalan mulus. Ketika  Darwis mulai merasakan sedikit kestabilan dalam hidupnya, ujian baru datang. Neneknya jatuh sakit. Sakitnya semakin parah, dan dokter mengatakan bahwa nenek  Darwis membutuhkan operasi besar yang biayanya jauh lebih tinggi dari yang mereka miliki.

 Darwis merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia kembali berjuang untuk mencari cara agar bisa mendapatkan uang. Semua tabungannya hampir habis untuk perawatan awal neneknya. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu.

 Darwis memutuskan untuk menjual salah satu lukisannya yang paling berharga, "Pelangi di Wajah  Darwis  "  Dia tahu betapa pentingnya lukisan itu baginya, tetapi dia juga tahu bahwa kesehatan neneknya jauh lebih penting.

Lukisan itu terjual dengan harga yang sangat tinggi, cukup untuk membiayai operasi neneknya. Operasi itu berjalan sukses, dan nenek  Darwis perlahan mulai pulih. Meski merasa kehilangan sesuatu yang berharga,  Darwis tidak pernah menyesali keputusannya.

"Nek, aku sudah kehilangan satu lukisan yang sangat berharga, tapi aku tidak peduli. Yang penting adalah nenek sembuh," kata  Darwis sambil menggenggam tangan neneknya.

Neneknya tersenyum lemah. "Kamu benar,  Darwis   Hidup ini bukan tentang apa yang kita miliki, tapi tentang siapa yang kita cintai."

Kata-kata itu terus terngiang di pikiran  Darwis   Dia menyadari bahwa meskipun hidup penuh dengan cobaan, selama dia memiliki orang-orang yang dia cintai, dia akan selalu merasa kaya.

Cahaya di Ujung hutan Tritik

Dengan neneknya yang semakin pulih,  Darwis kembali melukis. Kali ini, lukisan-lukisannya semakin dalam dan penuh dengan perasaan. Dia melukis tentang kehilangan, tentang harapan, tentang cinta yang tak pernah padam meski diterpa badai kehidupan. Lukisan-lukisan itu semakin dihargai di dunia seni, dan  Darwispun semakin dikenal.

Namun, lebih dari segalanya,  Darwis merasa bahwa dia menemukan dirinya sendiri melalui seni. Dia merasa bahwa setiap goresan kuas di atas kanvas adalah bagian dari jiwanya yang bercerita. Dia mulai mengadakan pameran kecil di kotanya, mengajak anak-anak dan pemuda untuk belajar seni dan menemukan ekspresi mereka.

Di salah satu pameran itu, seorang pria tua mendekati  Darwis   "Saya tahu kamu,  Darwis   Kamu adalah anak yang dulu suka bermain pantomim di jalanan," katanya sambil tersenyum.

 Darwis tersenyum. "Benar, Pak. Saya masih suka bermain pantomim sampai sekarang, meski tidak setiap hari."

Pria tua itu terharu. "Kamu tidak pernah berubah, ya? Selalu sederhana dan rendah hati."

 Darwis tertawa kecil. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Pak. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan tanpa melakukan apa yang kita cintai."

Pria tua itu mengangguk. "Dan itu yang membuatmu istimewa,  Darwis   Teruslah berkarya. Dunia membutuhkan orang seperti kamu."

Pelangi Setelah Hujan

Setahun berlalu setelah nenek  Darwis sembuh dari operasinya. Hidup  Darwis kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia berhasil membuka sebuah galeri seni kecil di kota, tempat dia memamerkan dan menjual lukisan-lukisannya. Galeri itu juga menjadi tempat bagi anak-anak dan remaja di desanya untuk belajar seni dan menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka.

Namun, ujian terakhir datang ketika nenek  Darwis jatuh sakit lagi. Kali ini, usianya yang tua tak mampu lagi menahan penyakitnya. Setelah beberapa bulan berjuang, nenek  Darwis akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di pelukan  Darwis    Darwis merasa sangat kehilangan, namun dia tahu bahwa neneknya telah pergi dengan damai.

Setelah pemakaman neneknya,  Darwis kembali ke galeri. Dia duduk di depan kanvas kosong, mencoba menangkap perasaannya yang campur aduk. Air matanya menetes, membasahi kanvas. Tapi kemudian, dia mulai melukis. Tangannya bergerak seolah memiliki pikiran sendiri. Dia melukis neneknya, dengan senyuman lembut dan mata penuh cinta, seperti yang selalu dia ingat.

Lukisan itu menjadi karya terbaiknya. Orang-orang yang melihatnya merasa tergerak, seolah merasakan kehadiran nenek  Darwis melalui lukisan itu. Lukisan itu menjadi simbol cinta abadi antara  Darwis dan neneknya.

 Darwis menamai lukisan itu "Pelangi Setelah Hujan," sebuah penghormatan untuk neneknya yang selalu mengajarkan bahwa setelah setiap badai, selalu ada pelangi. Hidup  Darwis mungkin penuh dengan badai, tetapi dia selalu menemukan cara untuk melihat pelangi di ujungnya.

Di tengah kehidupannya yang baru sebagai pelukis terkenal,  Darwis tetap menjadi dirinya yang sederhana. Dia tahu bahwa hidup adalah tentang cinta, perjuangan, dan harapan. Dan dia tahu bahwa neneknya akan selalu hidup di hatinya, seperti pelangi setelah hujan.

 Darwis tersenyum. Dia menatap lukisan neneknya dan berbisik, "Terima kasih, Nek, untuk segalanya. Aku akan terus melukis dan berbagi cinta, seperti yang kau ajarkan padaku."

Kisah  Darwis adalah cerita tentang perjuangan, cinta, dan harapan. Meski hidupnya penuh dengan tantangan, dia selalu menemukan cara untuk melihat kebaikan dalam segala hal.

TAMAT.

Pak J