Rabu, 03 September 2025

NEGERI CERDAS, MENGAPA HARUS DIPIMPIN OLEH YANG ABAI PADA ETIKA?

Ruang Ide
Indonesia dikenal sebagai negeri dengan sumber daya manusia melimpah. Gudangnya orang-orang cerdas, berintegritas, dan berprestasi. Dari desa hingga kota, kita melihat putra-putri bangsa yang memiliki kapasitas kepemimpinan, dedikasi, dan keikhlasan dalam mengabdi. Namun ironis, ketika momentum pemilihan presiden datang, yang muncul ke permukaan justru figur-figur yang dituding publik penuh kontroversi: minim kapasitas, gemar beretorika, bahkan dituding menghalalkan segala cara demi meraih kursi kekuasaan.

Pertanyaannya sederhana namun mendasar:
Mengapa bangsa yang kaya akan orang cerdas, harus rela dipimpin oleh mereka yang abai pada etika?


Kita tentu tidak menolak proses demokrasi. Pemilu adalah jalan sah bagi rakyat memilih pemimpin. Namun demokrasi yang sehat menuntut penyelenggara negara, termasuk KPU, agar benar-benar menjaga marwah keadilan. Ketika rakyat melihat calon pemimpin dengan rekam jejak rapuh tetap diloloskan, kecurigaan pun lahir: apakah hukum, aturan, dan etika benar-benar berdiri di atas keadilan, ataukah sekadar alat legitimasi bagi ambisi politik segelintir orang?

Bangsa ini tidak kekurangan calon pemimpin berkualitas. Para akademisi, tokoh masyarakat, praktisi, dan bahkan anak-anak muda telah menunjukkan kapasitas luar biasa. Tetapi sayangnya, dalam politik kita, kecerdasan dan integritas sering kalah oleh intrik, pencitraan, dan kekuasaan uang. Maka publik wajar bertanya: apakah pemimpin bangsa ini ditentukan oleh kualitas nyata, atau hanya oleh kelicikan strategi dan keberpihakan lembaga tertentu?

Lebih jauh, hari ini publik juga disuguhi kabar bahwa seorang warga berani menggugat pemimpin tersebut hingga Rp125 triliun, sekaligus menuntut agar jabatan yang diraihnya saat ini dinyatakan tidak sah. Gugatan ini menjadi simbol bahwa nurani rakyat masih hidup, dan peradilan diharapkan benar-benar berdiri sebagai benteng terakhir demokrasi.

Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang jujur, cerdas, dan berpihak pada kepentingan umum, bukan sekadar pandai mengatur narasi. Jika yang dihadirkan kepada rakyat hanyalah kandidat yang dipersepsikan sebagai “pembohong” atau “menghalalkan segala cara,” itu bukan sekadar pelecehan terhadap demokrasi, melainkan juga penghinaan terhadap kecerdasan bangsa.


Pemimpin bukan sekadar simbol, ia adalah penentu arah bangsa. Maka wajar bila publik menolak untuk dipimpin oleh figur yang tak layak secara moral maupun intelektual. KPU, partai politik, dan elite bangsa perlu mendengar suara rakyat: jangan paksa negeri yang penuh dengan orang cerdas untuk tunduk pada pilihan yang membodohkan.



Pak J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar