Jumat, 28 Februari 2025

KETIKA BULAN ITU, TAK LAGI MAMPU MERUBAH DIRIMU ?

Ramadhan adalah sekolah alam, tempat manusia dididik langsung oleh ritme kehidupan yang mengajarkan makna kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan. Ia bukan sekadar bulan ibadah, tetapi laboratorium jiwa, tempat setiap individu ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Alam Sebagai Guru Kesabaran

Saat panas menyengat dan tubuh lelah karena lapar dan dahaga, Ramadhan mengajarkan bahwa sabar bukan hanya tentang menahan diri, tetapi tentang menerima ketidaknyamanan dengan lapang dada. Seperti pohon yang tetap berdiri kokoh meski diterpa badai, manusia yang ditempa Ramadhan akan belajar mengakar kuat dalam keteguhan hati.

Rasa Lapar yang Menumbuhkan Empati


Ketika perut kosong, Ramadhan mengajak manusia merasakan derita orang-orang yang kekurangan. Ini adalah pelajaran empati yang tak bisa diajarkan di ruang kelas. Melalui rasa lapar, Ramadhan membangunkan hati yang tertidur — menyadarkan bahwa di luar sana ada yang menahan perih setiap hari tanpa tahu kapan berbuka.

Keheningan yang Mengasah Kejujuran

Di tengah sunyi, ketika tak ada yang melihat, puasa menjadi latihan kejujuran yang murni. Tidak ada pengawas, tidak ada sanksi duniawi. Ini mengajarkan bahwa integritas adalah tentang melakukan yang benar, meskipun tidak ada yang menyaksikan. Sebuah pelajaran penting untuk membangun karakter yang berlandaskan moralitas.

Alam Mengajarkan Rasa Syukur

Ketika langit senja menyambut waktu berbuka, Ramadhan mengingatkan bahwa nikmat sekecil apa pun layak disyukuri. Seteguk air menjadi berharga, sebutir kurma terasa luar biasa. Alam mengajarkan bahwa manusia sering lupa menghargai yang sederhana, dan Ramadhan mengembalikan kesadaran itu.

Membentuk Akhlak Mulia Melalui Kontemplasi

Ramadhan menyediakan ruang untuk merenung — mengajak manusia berkaca pada diri sendiri. Dalam keheningan malam, ketika sujud terasa lebih dalam, manusia dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sudahkah aku menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih pemaaf, lebih penuh kasih sayang?

Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?

Kalau di bulan Ramadhan yang penuh rahmat dan kemudahan untuk menjadi baik seperti ini manusia tidak mampu berubah menjadi lebih baik, di bulan seperti apakah mereka akan berubah? Ketika setan dibelenggu, pintu surga dibuka, dan setiap amal dilipatgandakan, namun hati tetap keras dan lisan tetap kasar — apakah masih ada waktu yang lebih tepat untuk memperbaiki diri?

Kelulusan dari Sekolah Ramadhan

Lulus dari sekolah ini bukan tentang berapa banyak ibadah yang dilakukan, melainkan sejauh mana karakter dan akhlak membaik setelahnya. Apakah kesabaran bertahan setelah Ramadhan pergi? Apakah empati tetap hidup saat tak lagi berpuasa? Inilah indikator keberhasilan sesungguhnya.

Ramadhan adalah guru yang tak pernah lelah mengajarkan kebaikan. Alam menjadi ruang kelasnya, dan kehidupan menjadi kurikulumnya. Tinggal bagaimana kita — sebagai murid — memilih: belajar dengan sungguh-sungguh, atau sekadar melewatinya sebagai rutinitas tahunan.

KETIKA JABATAN MENUMPULKAN EMPATI

Menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan atau kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Ibadah dan keimanan seorang pemimpin akan kehilangan makna jika tangan yang seharusnya menolong justru abai terhadap penderitaan bawahan. Apa artinya mengaku dekat dengan Tuhan, tetapi membiarkan karyawan hidup dalam kesusahan? Apa gunanya berdoa, jika anak buah tak pernah tersenyum bahagia karena beban yang tak kunjung ringan?

Pemimpin sejati adalah mereka yang hadir untuk menyejahterakan, bukan sekadar mengumpulkan pujian. Jika ada rekan seperjuangan yang meninggal dunia saja tak peduli, lalu untuk apa memimpin? Kepemimpinan semacam itu bukanlah tentang kebijaksanaan, tetapi hanya tentang kepentingan pribadi — sekadar menjadi bijaksini, bukan bijaksana.

Ketulusan seorang pemimpin tercermin dari tindakannya, bukan ucapannya. Pemimpin yang hanya berbuat baik saat ada kamera, yang membantu hanya saat ada sorotan media, sebenarnya bukan mengabdi pada rakyat, tetapi pada pencitraan. Mereka bertuhan pada kebohongan, beriman pada puja-puji, dan beribadah demi tepuk tangan manusia.

Pemimpin yang benar-benar beriman akan peka terhadap derita sesama. Ia akan berjuang agar rakyatnya hidup layak, karyawannya sejahtera, dan masyarakat merasakan kehadiran pemimpin yang peduli. Sebab, pada akhirnya, kemuliaan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa tinggi posisinya, melainkan seberapa besar manfaat yang ia tebarkan.

Mari kita renungkan: apakah kita memilih pemimpin yang membawa maslahat atau yang sekadar menjual citra? Karena kepemimpinan yang berkah adalah kepemimpinan yang membawa kebaikan bagi banyak orang, bukan hanya keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya.

Selasa, 25 Februari 2025

MEMBONGKAR NARASI PALSU SERAT GATOLOCO

Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri pada abad ke-12, terdapat sosok senopati bernama Tunggul Wulung, yang bersama rekannya, Buta Locaya, mengabdikan diri untuk menjaga kerajaan. 


Setelah Jayabaya moksa, keduanya dipercaya menjaga kawasan penting: Buta Locaya menjaga Selabale (gua Selomangleng), sementara Tunggul Wulung menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak membahayakan warga sekitar.

Namun, ada sosok lain yang memiliki nama serupa, yaitu Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Ia hidup pada abad ke-19 dan memiliki perjalanan hidup yang unik. Berasal dari daerah Juwono dekat Gunung Muria, ia bernama asli Kiai Ngabdullah atau Raden Tandakusuma, anak dari selir Raden Ngabehi Atmasudirdja. 




Karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830) memusuhi diponegoro atau di pihak belanda, ia melarikan diri dan menjadi rakyat biasa, hidup bertapa di lereng Gunung Kelud.

Dalam pertapaannya, Ibrahim Tunggul Wulung mengaku menemukan secarik kertas berisi Sepuluh Perintah tuhan yang kemudian mengarahkan dirinya untuk mendalami agama Kristen. 

Ia akhirnya dibaptis pada tahun 1855 oleh Jellesma di Mojowarno. Namun, keterlibatannya dengan Belanda tidak berhenti di situ.

Ia juga diberi tugas untuk menyusun Serat Gatoloco, sebuah naskah yang dianggap sebagai rekayasa sejarah untuk mendukung narasi kolonial Belanda.

Serat Gatoloco mengandung kisah yang memutarbalikkan sejarah, menyebut bahwa Raden Patah, raja pertama Demak, memberontak melawan ayahnya yang berkuasa di Majapahit. Padahal, berdasarkan catatan sejarah yang lebih kredibel, Majapahit runtuh bukan karena serangan Raden Patah, melainkan akibat serangan Raja Girindra Wardana dari Kerajaan Hindu Kediri. Ini menjadi bagian dari strategi Belanda untuk memecah belah semangat juang rakyat Jawa dengan mengaburkan fakta sejarah.

Ibrahim Tunggul Wulung, meskipun dikenal sebagai penginjil pribumi, menjadi alat politik Belanda dalam menyebarkan narasi-narasi yang menguntungkan kolonialisme. Keterlibatannya ini menjadi ironi besar, di mana sosok yang semula mencari kebenaran justru terjerat dalam propaganda penjajah. Namun, kisah ini menjadi pengingat bahwa sejarah perlu dilihat dengan kritis, dan warisan leluhur harus dijaga agar tidak tergeser oleh narasi yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kebenaran.

PAK  J .

Selasa, 18 Februari 2025

KETIKA PEMIMPIN MENYURUH RAKYAT NYA MINGGAT ? Oleh Pak J

Sungguh memprihatinkan! Seorang menteri dengan enteng mengatakan, "Kabur sajalah kalau perlu, jangan balik lagi!" Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap tagar #KaburAjadulu—sebuah gerakan yang menggambarkan kekecewaan anak muda terhadap kondisi di negeri ini.


Alih-alih mendengar aspirasi, pemerintah justru merespons dengan ketus, seakan-akan anak muda tak punya hak untuk mengeluh. Mereka lupa bahwa pemuda adalah penerus bangsa. Jika mereka lebih memilih pergi ke luar negeri untuk mencari masa depan yang lebih baik, bukankah itu alarm keras bahwa ada yang tidak beres di dalam negeri?


Ketika para guru di Indonesia sibuk, berjibaku berjuang mendidik generasi muda agar mereka bisa mengelola sumber daya alam negeri sendiri, justru ada pemimpin yang dengan enteng berkata: "Kabur sajalah kalau perlu, jangan balik lagi!". Pernyataan ini bukan hanya melukai perasaan anak muda, tapi juga menunjukkan betapa jauhnya jarak antara pemerintah dan rakyatnya.

Jika pemimpin benar-benar peduli, seharusnya mereka mencari solusi, bukan justru menyuruh pergi.

Inilah akibat ketika pemimpin lebih memilih menjadi bijaksini (rakus) daripada bijaksana (berbagi). Pemimpin yang bijaksini hanya memikirkan kepentingan sendiri. Mereka memastikan kekuasaan tetap dalam genggaman keluarga, anak-anak dan menantunya diberi jabatan, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Kata-kata mereka mungkin terdengar baik, tetapi di telinga rakyat, itu hanyalah kebohongan yang menyakitkan.

Pemimpin yang benar-benar bijaksana tidak akan menyuruh rakyatnya pergi. Sebaliknya, ia akan menciptakan kondisi agar mereka mau bertahan, bekerja, dan membangun negeri ini bersama. Pemimpin yang baik akan mendengar, memahami, dan mencari solusi.

Jadi, jika hari ini banyak anak muda yang ingin pergi, jangan salahkan mereka. Salahkan pemimpin yang membuat mereka merasa tak punya harapan di negeri sendiri.

Pak J

Senin, 17 Februari 2025

JODOH DI TANGAN TUHAN, TAPI USIA LEBIH 30 TAHUN TUHAN LEPAS TANGAN ? oleh pak J


gamabar dari dian tri hartati
c
inta itu baik. Cinta itu universal. Cinta adalah obat yang menyembuhkan luka dan menenangkan jiwa. Cinta juga mengajarkan kita untuk tidak sombong—bahwa sehebat apapun manusia, tetap membutuhkan orang lain.

Namun, mengapa masih banyak orang yang enggan menikah?

Ada yang berkata, "Jodoh itu di tangan Tuhan." Benar. Tapi jika di usia 30-an kita masih sendiri, mungkinkah Tuhan sudah lepas tangan?  Tentu jawaban nya tentu Tidak. Tuhan tidak pernah lepas tangan. Namun, bisa jadi kita sendiri yang terlalu menggenggam ketakutan.





Ketakutan yang Tidak Disadari

Sering kali, seseorang tidak segera menikah bukan karena tak ada jodoh, tetapi karena ada tembok tinggi yang dibangun oleh pikirannya sendiri. Tembok itu  berupa:

Takut gagal – Melihat pernikahan yang tidak harmonis di sekitar membuat sebagian orang berpikir, "Daripada gagal, lebih baik sendiri."

Takut kehilangan kebebasan – Menikah berarti berbagi hidup dengan orang lain. Tidak bisa lagi semaunya sendiri.

Takut tidak siap secara finansial – Menikah dianggap sebagai beban ekonomi, padahal rezeki bukan hanya soal materi.

Takut memilih orang yang salah – Ini sering terjadi karena terlalu banyak ekspektasi dan standar yang kadang tidak realistis.

Semua ketakutan itu bisa dimaklumi. Tapi ingat, ketakutan bukan untuk dipelihara. Ketakutan harus dikalahkan dengan keberanian.

Jodoh Itu Takdir, Tapi Bukan Sekadar Menunggu


Menunggu jodoh tanpa usaha sama seperti menunggu hujan tapi tak pernah menengadahkan tangan untuk merasakan sejuknya tetesan hujan. Tuhan memang menentukan jodoh, tapi Tuhan juga menyuruh manusia untuk tidak masa bodoh.

Orang yang ingin sukses dalam karier, belajar dan bekerja keras. Orang yang ingin sehat, menjaga pola makan dan olahraga. Maka, orang yang ingin menikah juga perlu membuka hati, mengenali kesempatan, dan berani melangkah untuk mewujudkan.

Jangan terjebak dalam pemikiran bahwa jodoh akan datang sendiri tanpa ada usaha. Bisa jadi jodohmu sudah ada di dekatmu, tapi tertutup oleh tembok ketakutan yang kamu bangun sendiri.

Menikah Itu Bukan Sekadar keinginan , Tapi Ladang Kebaikan

Pernikahan bukan hanya tentang mendapatkan pasangan hidup, tetapi juga tentang menemukan teman berbagi, sahabat berjuang, dan partner menuju kebaikan. Menikah adalah ibadah, salah satu cara untuk belajar kesabaran, keikhlasan, dan kebersamaan.

Tidak ada pernikahan yang sempurna. Tidak ada pasangan yang tanpa kekurangan. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah cinta bekerja,saling menerima, saling memperbaiki, dan saling menguatkan. asyiiik hahahahaha

Jika Masih Ragu, Tanyakan Pada Diri Sendiri

Sampai kapan ingin sendiri? 
Apa yang benar-benar kamu takutkan?

Sudahkah kamu memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bertemu seseorang yang bisa jadi jodohmu?

Apa yang akan kamu rasakan di usia tua jika tetap memilih sendiri?

Menikah bukan kewajiban mutlak, tapi jika kamu merasa ada keinginan di hati, jangan biarkan ketakutan mengalahkan kebahagiaan yang bisa kamu raih.

Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi usaha ada di tangan kita. Tuhan tidak akan pernah lepas tangan. Namun, jangan sampai kita yang sengaja menarik tangan kita dari takdir baik yang telah Tuhan siapkan.

Beranilah membuka hati, beranilah melangkah. Karena cinta bukan hanya tentang menemukan, tapi juga tentang diperjuangkan. 

Pak J

Rabu, 12 Februari 2025

ANTARA AMANAH DAN AMBISI.



Menjadi seorang pemimpin itu sebenarnya tidak sulit. Tidak perlu teori yang rumit atau strategi yang berbelit-belit. Jika seorang pemimpin benar-benar berpegang pada tiga prinsip sederhana ini, maka kepemimpinannya akan berjalan lurus dan penuh keberkahan:

  1. Jangan mengambil yang bukan haknya.
  2. Penuhi janji yang sudah diucapkan saat kampanye. Atau janji saat belum terpilih. baik lisan atau tulisan.
  3. Jangan membuat program di luar janji kampanye. janji yang di lontarkan

Tiga hal ini terdengar mudah, tetapi justru di sinilah ujian terbesar seorang pemimpin itu. baik presiden Bupati Gubernur Ketua Yayasan, pejabat, Rektor, kepala sekolah, pimpinan perusahaan RT,RW Lurah dan lain lain.

Mari kita lihat realitas di sekitar kita. Betapa sering kita melihat pemimpin yang begitu semangat berjanji sebelum terpilih, tetapi setelah berkuasa, janji-janji itu lenyap seperti kabut pagi. Mereka beralasan kondisi tidak memungkinkan, anggaran kurang, atau tiba-tiba punya "visi besar" yang tak pernah disebutkan saat kampanye.

Yang lebih parah, ada pemimpin yang justru lebih sibuk dengan program-program baru yang tidak pernah dijanjikan sebelumnya. Program ini sering kali bukan untuk rakyat, melainkan untuk ambisinya sendiri. Ia ingin meninggalkan "legacy," ingin dianggap visioner, ingin dikenang. Padahal, dalam prosesnya, rakyat justru menjadi korban. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk janji-janji kampanye malah terserap ke proyek ambisius yang belum tentu dibutuhkan.

Inilah yang disebut belenggu ambisi. Seorang pemimpin yang awalnya dipilih karena janji-janji yang realistis, tiba-tiba terjebak dalam keinginan pribadinya sendiri. Ia ingin membangun sesuatu yang besar, sesuatu yang membuatnya dikenang, tetapi melupakan tugas utamanya: menepati janji kepada rakyat.

Kepemimpinan sejati bukan soal seberapa besar proyek yang ditinggalkan, melainkan seberapa besar kepercayaan rakyat yang tetap terjaga hingga akhir masa jabatan. Jika ingin menjadi pemimpin yang dihormati, cukup lakukan tiga hal tadi: jangan korupsi, tepati janji, dan jangan keluar jalur. Sesederhana itu, sesulit itu, menjadi orang nomor satu di bidang apapun..