Framing Media dan Upaya Membunuh Karakter Islam

Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi berita-berita yang menohok dunia pesantren,habaib dan ulama. Penghujatan terhadap para habaib disamaratakan - seolah yang baik dan tulus sama dengan yang jahat dan menyimpang. Musibah di salah satu pesantren besar seperti Al Khoziny digoreng menjadi bahan olok-olok, bukan renungan untuk perbaikan bersama. Bahkan lembaga sekelas- Trans 7 pun sempat menayangkan framing yang menyesatkan tentang pengajaran Akhlaq di pesantren Lirboyo- pesantren yang sudah melahirkan ribuan ulama dan pejuang bangsa.

Semuanya mengalir seperti dirancang: menciptakan opini negatif, menggiring persepsi publik, dan melemahkan kepercayaan umat terhadap lembaga-lembaga keislaman.

Padahal, pesantren bukan tempat kejahatan. Ia adalah benteng moral bangsa. Di sanalah anak-anak muda ditempa untuk mengenal akhlak, Tauhid dan tanggung jawab sosial. Di sanalah mereka belajar untuk jujur, amanah, dan menghormati sesama. Tapi kini, nilai-nilai itu dibalik oleh pemberitaan sepihak — seolah pesantren identik dengan kekerasan dan kegelapan.

Mengapa Islam Terus Diserang?

Jawabannya sederhana: karena Islam terlalu lurus di tengah dunia yang bengkok.

Islam terlalu jujur di tengah sistem yang gemar menipu.

Islam terlalu tegas melawan syirik, maksiat, dan korupsi yang telah mengakar.

Bagi mereka yang hidup dari sistem kecurangan, agama ini menjadi batu sandungan besar. Tauhid dianggap ancaman, karena ia menolak tunduk pada selain Allah. Kejujuran dianggap bahaya, karena ia mengguncang kenyamanan orang-orang yang hidup dari kebohongan. Keadilan dianggap gangguan, karena ia meruntuhkan tatanan yang menguntungkan segelintir orang.

Maka, mereka tidak lagi menyerang Islam dari sisi aqidah - sebab tak ada celah di sana.

Yang mereka lakukan adalah menciptakan citra buruk, menanamkan rasa curiga, dan membunuh karakter Islam lewat framing media.

Strategi Lama, Kemasan Baru

Ini bukan hal baru.

Sejak masa Rasulullah, para penentang Islam telah menggunakan cara yang sama: Fitnah,framing dan distorsi. Mereka menyebut Nabi “Tukang sihir”, menuduh beliau “gila”, bahkan memutarbalikkan setiap kebaikan menjadi keburukan.

Kini, pola itu kembali-hanya medianya yang berubah.

Jika dulu fitnah disebar dari pasar ke pasar, kini disebar lewat kanal televisi, portal berita, dan media sosial.

Mereka menggunakan kekuatan visual, narasi, dan headline yang menggiring opini publik agar umat perlahan menjauh dari agamanya sendiri.

Islam Tetap Cahaya, Sekalipun Mereka Mencoba Memadamkannya

Namun, sejarah selalu berpihak pada kebenaran.

Setiap kali Islam difitnah, ia justru tumbuh semakin kuat.

Setiap kali ulama direndahkan, semakin banyak orang yang belajar dari keteguhan mereka.

Setiap kali pesantren diserang, semakin banyak anak bangsa yang sadar bahwa tempat itu bukan musuh - melainkan titik cahaya yang menjaga moral negeri ini.

Mereka bisa menguasai layar televisi, tetapi tidak bisa menguasai hati orang-orang beriman.

Mereka bisa memelintir berita, tetapi tidak bisa menghapus kebenaran.

Sebab Islam bukan sekadar agama di atas kertas — Islam adalah jalan hidup yang dijaga langsung oleh Allah.

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.”

(Qs.As-shaff: 8)

Akhirnya…

Umat Islam harus kembali cerdas dan berani - bukan reaktif, tapi sadar dan berpikir. Jangan mudah terprovokasi oleh framing media. Jangan pula diam saat kehormatan Islam diinjak-injak dengan kata-kata manis bertajuk “liputan investigasi”.

Karena sejatinya, perang hari ini bukan lagi perang senjata.

Ini Preang persepsi.

Dan benteng terakhir umat bukan pada kekuatan fisik, tapi pada Iman,Ilmu,dan kesadaran  bahwa agama ini adalah kebenaran yang tak tergantikan.