Senin, 06 Oktober 2025

Era Algoritma: BENARKAH PLAFORM ITU MENJAJAH ?

SAFA AYU 5 

Hari ini kita hidup di tengah gempuran teknologi. Nama-nama besar seperti Gojek, Grab, Shopee, dan Tokopedia sering dielu-elukan sebagai penyelamat: menciptakan lapangan kerja, membantu UMKM, dan memudahkan hidup. Sekilas, semua tampak sempurna. Tapi, kalau kita mundur sejenak dan menengok ke belakang, cerita sebenarnya tidak sesederhana itu. inilah perlunya kita ngerti sejarah.

Dahulu sejarah nya, Sebelum ada Gojek, abang-abang ojek sudah mangkal di pangkalan kecil, menunggu penumpang dengan sabar. Sebelum ada Shopee dan Tokopedia, jual-beli sudah hidup meriah di pasar rakyat, di kios, toko, hingga warung tetangga. Artinya, aktivitas itu memang sudah ada. Aplikasi datang bukan menciptakan yang baru, melainkan membungkus ulang yang lama dengan cara lebih modern.( bahasa lain nya menguasai )

Pada awalnya semua terasa praktis. Ojek tinggal klik, belanja tinggal pesan. Orang senang, hidup terasa lebih cepat. Tapi perlahan muncul tanda-tanda lain tanda tanda yang tak semestinya. Ojek pangkalan makin sepi bahkan cenderung mati. Pasar tradisional kehilangan pembeli. Toko-toko kecil terpaksa gulung tikar dan mengubur diri. Yang tadinya terlihat seperti solusi, ternyata juga membawa masalah baru.


Masalah itu muncul karena kendali bukan lagi di tangan rakyat, tapi di tangan aplikasi. Tarif driver bisa diubah sepihak. Penjual kecil dipaksa ikut promo yang sebenarnya hanya menguntungkan platform. Konsumen pun sering terjebak diskon palsu yang pada akhirnya tetap menambah pundi-pundi aplikator. Dan ironinya, negara lebih sering terlihat memberi karpet merah pada investor asing ketimbang melindungi warganya sendiri.

Driver ditarik pajak, UMKM dipotong komisi, sementara pemilik aplikasi bisa mengatur bisnis dari kantor luar negeri. Investor asing bahkan mendapat insentif, sementara pedagang kecil harus berjuang sendirian. Ketika pasar hanya bisa diakses lewat satu atau dua aplikasi, pilihan rakyat semakin sempit. Inilah bentuk monopoli yang pelan-pelan menjerat.

Dulu penjajah datang dengan kapal, merebut rempah-rempah. Kini penjajahan hadir lewat server, merebut data, pasar, dan keringat rakyat. Bedanya, wajahnya kini ramah dan penuh warna, seakan memberi solusi, padahal diam-diam menghisap.

Apakah berarti kita harus menolak teknologi? Tidak. Justru teknologi bisa jadi alat penting untuk memajukan bangsa. Tapi kendalinya harus ada di tangan kita, bukan hanya di perusahaan raksasa yang berkantor di luar negeri. Negara harus berani menata ulang: memastikan pajak aplikator adil, melindungi driver dan UMKM dari aturan sepihak, sekaligus menguatkan pasar rakyat dengan digitalisasi berbasis koperasi atau komunitas.

Era digital seharusnya membuka peluang, bukan mempersempitnya. Ia seharusnya memanusiakan, bukan memeras. Dan kalau kita tidak hati-hati, kita akan menyadari satu hal: penjajahan itu ternyata tidak pernah pergi. Ia hanya berganti wajah—dari kapal yang berlabuh di pelabuhan, menjadi server yang masuk ke ponsel kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar