Selasa, 14 Oktober 2025

Ketika Pena Media Bisa Menjadi Jalan Surga atau Neraka"

rasa-aman-yang-menipu-nasehat 

"Di ujung jari mereka, ada kekuatan besar yang tak terlihat, tapi terasa.

Kekuatan yang bisa menyalakan cahaya kebenaran—atau menyalakan api kebencian.
Mereka adalah para pelaku media, awak berita, penulis naskah, editor, dan penyampai kabar yang hidup di antara dua dunia: kebenaran dan kepalsuan.

Bekerja di dunia media bukan sekadar mencari berita.
Bukan sekadar mengejar klik, rating, atau viralitas.
Pekerjaan ini adalah perjalanan di antara dua jurang: kemuliaan dan kehancuran.
Satu kata bisa menyejukkan ribuan hati, tapi satu kalimat juga bisa menyalakan bara perpecahan yang tak padam bertahun-tahun.

Itulah sebabnya, bagi umat Islam—bagi siapa pun yang sadar akan tanggung jawab di hadapan Tuhan—menjadi insan media harus berlandaskan iman yang kuat.
Karena setiap berita yang mereka sebarkan, setiap narasi yang mereka bentuk, akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya oleh publik, tapi juga oleh langit dan bumi.


Media, sejatinya, adalah ladang amal.
Dari pena mereka, umat bisa bersatu, bangsa bisa bangkit, dan kebenaran bisa menemukan jalan.
Namun dari pena yang sama, bisa lahir fitnah, kebencian, dan kehancuran moral yang sulit disembuhkan.
Maka, siapakah yang mampu menahan diri untuk tetap lurus di tengah derasnya arus pesanan, uang, dan kepentingan?

Hari ini, kita jarang menemukan media yang benar-benar netral.
keberpihakan telah menjadi warna, kadang tersamar, kadang terang-terangan.
Keadilan menjadi slogan yang indah di spanduk, tapi jarang di ruang redaksi.
Padahal di balik setiap berita, ada nurani yang seharusnya bicara lebih keras daripada kepentingan.

Maka, wahai para insan media—ingatlah bahwa pena kalian bukan sekadar alat profesi.
Ia adalah amanah dan saksi.
Ia bisa menjadi jembatan menuju surga bila menulis dengan niat kebenaran dan kejujuran.
Namun ia juga bisa menjadi tiket cepat menuju neraka, bila dipakai untuk memelintir fakta, menebar kebencian, dan menghancurkan nama baik orang lain demi sensasi.

Karya jurnalistik yang sejati lahir dari hati yang bersih.
Ia tidak takut kehilangan sponsor, tidak gentar kehilangan panggung, karena yang dikejar bukan sekadar “siapa yang salah”, tapi “apa yang benar.”
Dan kebenaran tidak akan pernah lahir dari kebohongan yang disulap menjadi narasi indah.

Pada akhirnya, semua akan kembali pada pondasi iman dan aqidah .
Dari situlah lahir sikap: apakah ia menulis untuk mencari ridha Tuhan, atau sekadar ridha pengiklan.
Apakah ia mengabarkan kabar yang membangun, atau menggoreng berita demi kepentingan kelompok tertentu.

Keadilan dari media hari ini mungkin sulit diharapkan sepenuhnya,
namun celah kejujuran masih ada.
Dan selama celah itu belum tertutup, semoga masih ada awak media yang berani berkata:

“Saya menulis bukan untuk menyenangkan siapa pun — saya menulis agar kebenaran tetap hidup.”


Pak J 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar