Sabtu, 26 Oktober 2024

MENJADI GURU YANG TAK TERGANTIKAN

Dunia pendidikan terus berubah, namun ada satu hal yang tetap sama: peran penting seorang guru dalam membentuk karakter dan masa depan siswa. Di tengah kemajuan teknologi, banyak peran manusia yang mulai tergantikan oleh mesin dan algoritma. sangat berbeda jika yang kita hadapi anak anak  manusia. ada kalanya peran kita sebagai pendidik bisa jadi tak bisa di gantikan oleh apapun.

Namaun jika guru yang mengajarnya monoton, hanya mengulang pola yang sama, setiap ketemu di kelas hanya itu itu saja yang di pola maka guru model seperti ini, berpotensi besar digantikan oleh teknologi. 

Guru bukan sekadar penyampai materi; guru adalah pendidik yang memberikan jiwa dalam proses belajar. 

Kita semua pernah mengalami betapa berbedanya belajar dari seorang guru yang sekadar membaca buku dibanding guru yang menghidupkan isi buku itu, yang dengan penuh semangat dan kreativitas memandu kita memahami pelajaran dengan cara yang menyenangkan.

Mengajar bukan soal menyampaikan informasi saja, tetapi tentang membangun rasa cinta siswa pada ilmu dan pembelajaran. tentang memunculkan kharakter baik dan moralitas anak bangsa. yang dalam bahasa agama di namakan akhlaqul karimah.

Inilah yang dilakukan oleh guru-guru yang kreatif mereka membawa kebaruan ke dalam kelas setiap harinya. 

Dengan cara yang unik dan terkadang tak terduga, guru kreatif bisa membuat siswa terpana, penasaran, dan ingin terus belajar. 

Begitu pula guru yang mencerahkan; mereka tak hanya menyampaikan ilmu, tapi juga menginspirasi siswa untuk berani bermimpi dan bercita-cita.

Lalu, ada guru yang inovatif, mereka selalu mencari cara baru agar siswa lebih mudah memahami ilmu yang di berikan. Mereka tidak takut mengubah metode yang sudah usang dan membuat belajar menjadi pengalaman yang segar dan bermakna. Guru inovatif adalah pembawa perubahan, sosok yang terus belajar dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tanpa melupakan nilai dan tujuan pendidikan itu sendiri.

Dan akhirnya, guru yang benar-benar terlibat dengan siswa. Guru yang mendengarkan, yang memahami bahwa setiap siswa memiliki kisah, kesulitan, dan impian masing-masing. Guru seperti inilah yang membuat siswa merasa didukung dan dihargai. Saat seorang siswa merasakan perhatian dari gurunya, hubungan itu memberi rasa aman dan kepercayaan diri yang luar biasa.

Teknologi mungkin bisa menyampaikan materi pelajaran, tetapi ia tak bisa memberikan perhatian, ketulusan, dan semangat yang bisa dirasakan siswa dari seorang guru sejati. Teknologi tak bisa melihat ketika seorang siswa membutuhkan motivasi tambahan, atau memberikan apresiasi penuh arti saat mereka berhasil memahami sesuatu yang sebelumnya terasa sulit.

Mari kita menjadi guru yang inspiratif, kreatif, inovatif, dan selalu hadir sepenuh hati untuk siswa. Guru yang mampu menyalakan semangat belajar dalam diri siswa akan tetap dihargai dan selalu dikenang. Karena sejatinya, kita menyukai sebuah bidang bukan hanya karena isi bukunya, tetapi karena seorang guru yang telah berhasil menghidupkan bidang tersebut di hati kita.

SERDIK YANG MEMBELENGGU GURU

Dunia pendidikan Indonesia diwarnai janji-janji kesejahteraan bagi guru, salah satunya adalah “angin surga” bernama Sertifikat Pendidik (Serdik), yang digadang-gadang akan membawa perbaikan pada kualitas dan kehidupan para pendidik. dengan perbaikan kualitas hidup pendidik maka secara otomatis akan berdampak pada kinerja dan proses pendidikan di Indonesia. Namun, realitas di lapangan malah menunjukkan sebaliknya. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang ditujukan sebagai syarat memperoleh Serdik semakin terasa sebagai beban berat daripada manfaat bagi banyak guru.

Kementerian Pendidikan mengklaim bahwa PPG adalah bagian dari upaya meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru, namun ketentuan yang menyertainya justru mempersulit banyak guru yang telah lama berpengalaman. Guru yang telah mengabdi lebih dari lima tahun, meski telah memiliki pengalaman bertahun-tahun, tetap diwajibkan melalui PPG untuk mendapatkan Serdik.

Begitu mereka berhasil mendapatkan Serdik, mereka masih harus memenuhi syarat mengajar 24 jam per minggu untuk bisa memperoleh Tunjangan Profesi Guru (TPG). Ironisnya, di sekolah-sekolah yang memiliki jumlah kelas dan jam pelajaran terbatas, seperti guru agama yang hanya mendapatkan 3 jam pelajaran per minggu, perjuangan untuk memenuhi syarat ini malah menciptakan persaingan antar guru. Guru yang telah menerima Serdik berlomba mencari tambahan jam demi memenuhi syarat 24 jam, sementara kelas dan mata pelajaran terbatas. Alhasil, guru terjebak dalam kecemasan mengejar jam mengajar, bukan lagi fokus pada kualitas pengajaran. Kebijakan ini bukan hanya memberatkan, tetapi juga melemahkan motivasi mengajar.

Apakah program PPG dan Serdik benar-benar dirancang untuk meningkatkan mutu pendidikan, ataukah sekadar aturan administratif tanpa mempertimbangkan realitas lapangan?

Administrasi Rumit Menambah Beban, Fokus Mengajar Tergadaikan

Bukan hanya proses PPG yang panjang, administrasi yang berlebihan juga menyita waktu guru. Dapodik, yang awalnya diharapkan menjadi sistem administrasi terpadu, malah membuat urusan administratif makin kompleks. Pendaftaran Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang seharusnya dapat diurus melalui Dapodik, nyatanya justru memiliki jalur terpisah yang menyulitkan. Banyak guru yang mengajar bertahun-tahun, bahkan satu dekade, belum juga memperoleh NUPTK mereka. Contoh kasus guru yang mengajar sejak 2013 namun baru mendapatkan NUPTK di usia 56 tahun pada 2024 adalah potret nyata buruknya tata kelola administrasi ini. Jika aksesibilitas dan transparansi Dapodik tak mampu menyederhanakan sistem, apa artinya investasi dalam digitalisasi pendidikan selama ini?

Para guru bukan hanya terjebak dalam belitan administrasi Dapodik, mereka juga dibebani oleh kewajiban pengumpulan bukti dan dokumen yang rumit hanya demi memperoleh TPG. Akibatnya, waktu yang seharusnya mereka alokasikan untuk memperkaya pengalaman belajar siswa habis tersita oleh berbagai tuntutan administratif.

Menghentikan Kebijakan yang Memalingkan Fokus Guru dari Siswa

kompasiana.com

Jika Kementerian Pendidikan benar-benar peduli terhadap kualitas pendidikan, maka kebijakan yang memberatkan dan merumitkan urusan administratif guru harus direvisi. Mengingat bahwa fokus utama guru adalah mendidik siswa, segala aturan yang memaksa mereka mengalihkan perhatian pada administrasi atau persaingan jam mengajar malah berpotensi mengorbankan kualitas pembelajaran siswa. Saat ini, guru terlalu banyak disibukkan oleh urusan kesejahteraan melalui jalur administrasi yang ribet. Bukankah lebih baik jika kesejahteraan guru dikaitkan langsung dengan status mereka sebagai pendidik yang telah memenuhi persyaratan dasar, bukan melalui tes-tes tambahan yang menyulitkan?

Membangun Sistem yang Berpihak pada Guru dan Pendidikan

Kesejahteraan guru seharusnya dirancang untuk mendukung peran mereka sebagai pendidik, bukan dengan persyaratan yang kaku dan administrasi yang berbelit-belit. Kebijakan yang berpihak pada guru akan menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif di mana guru ikhlas bekerja, mengajar dengan tenang, dan fokus pada siswa. Jika Kementerian Pendidikan serius ingin mengangkat kualitas pendidikan, maka langkah utama adalah menghilangkan birokrasi yang tidak perlu dan memberikan dukungan penuh pada kesejahteraan guru.

Dengan membenahi sistem yang memihak guru, kita membuka pintu bagi pendidikan yang lebih berkualitas di mana guru dapat memberikan yang terbaik bagi siswanya. Sudah saatnya Kementerian Pendidikan memikirkan kebijakan yang benar-benar pro-guru agar siswa, yang merupakan penerus bangsa, bisa belajar dengan baik dan sepenuh hati.

GURU YANG PROTES ITU TIDAK BERSYUKUR, & TIDAK IKHLAS ?

 

Kompasiana.com
Selama bertahun-tahun, kita semua tumbuh dengan anggapan bahwa profesi guru adalah profesi mulia, sebuah jalan pengabdian yang menuntut totalitas tanpa banyak tuntutan. Namun, seiring berjalannya waktu, gagasan "guru adalah panggilan jiwa" mulai berubah menjadi beban. Seringkali guru dianggap "tidak perlu" memperjuangkan kesejahteraan ekonomi, seolah-olah kesejahteraan pribadi adalah hal tabu. Mereka dianggap harus selalu menjadi "manusia yang penuh keikhlasan," meskipun kondisi kesejahteraan yang diberikan tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka berikan.



"Gaji Sekali, Kerja Sebulan"

Sederhananya, bayangkan seorang guru bekerja keras selama 4 minggu, tetapi hanya dibayar layaknya upah untuk seminggu. Jam kerja mereka tidak terbatas pada mengajar di kelas. Mereka harus mempersiapkan materi, mengevaluasi tugas, dan sering kali berhadapan dengan permasalahan siswa yang tidak ringan. Namun, ketika gaji tiba, guru hanya menerima seadanya. Banyak yang berpakaian rapi, mengenakan sepatu bagus, terlihat seperti orang-orang yang mapan, tetapi pakaian perlente itu,sesunguhnya hanya topeng bagi kenyataan pahit kehidupan mereka di balik layar. pakain bagus sepatu bagus adalah tuntutan pendidikan, siapa yang mau di didik oleh guru pakaian  kumal kusam dan bau?.

 "Guru Harus Ikhlas"

Masyarakat seringkali memasukkan angin surga, bahwa "guru pasti rezekinya berkah," tetapi tidak sedikit dari mereka yang tidak tahu bahwa seorang guru mungkin harus mencari pekerjaan tambahan atau bahkan berutang hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar keluarganya. Banyak guru harus menahan rasa malu untuk tidak meminta kenaikan gaji, khawatir dilabeli "tidak ikhlas" oleh murid, wali murid, atau masyarakat. Ironi yang pedih, di mana guru dituntut mulia dan ikhlas tanpa ampun. pada hal stakeholder termasuk yayasan dan pemerintahlah yang harusnya membuat guru untuk ikhlas bekerja .



Perlindungan Sosial dan Hukum 

gurusiana
Lebih ironis lagi, jika seorang guru terlibat dalam kasus yang mungkin sepele tetapi viral, seperti masalah disiplin atau teguran pada siswa, respons publik sering kali adalah menghakimi. seakan akan mereka seperti penjahat yang harus di libas oleh kekuatan super power. Bandingkan perlakuan masyarakat terhadap para maling uang rakyat yang diberi julukan KORUPTOR. 

Guru tidak mendapatkan perlindungan atau dukungan dalam menghadapi tekanan ini. Mereka harus mempertaruhkan profesi dan reputasi mereka sendiri, berjuang sendiri, kalau perlu menangis mereka harus menangis sendiri. Sementara dukungan dari lembaga pemerintah atau instansi yang berwenang seringkali minim bahkan tidak ada. kalau tega begitu, seakan akan mereka akan berkata: salahnya ngajar ndak hati hati, tanggung tuh akibatnya.

Keinginan Dasar Seperti Profesi Lainnya

Guru bukanlah makhluk tanpa hati. Mereka bukan pula robot yang bisa bertahan hidup dari sedikit penghargaan finansial dan janji surgawi. Stakeholder, termasuk pemerintah, harus membuka mata dan telinga bahwa mereka juga ingin sejahtera, ingin merasa aman, dan ingin diperhatikan. Kesejahteraan guru tidak boleh dianggap sebagai beban bagi negara, melainkan sebagai investasi masa depan. Jika kesejahteraan guru meningkat, maka mutu pendidikan yang mereka berikan akan semakin baik.

 



Guru adalah Profesi yang Layak Dihargai Secara Pantas

Mari kita hargai mereka sebagai manusia yang bekerja keras untuk masa depan bangsa. Perbaikan kesejahteraan bagi para guru bukanlah keinginan yang berlebihan; ini adalah kebutuhan yang sepatutnya kita penuhi. Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah berhenti melihat guru sebagai "makhluk ikhlas" semata, tetapi sebagai pribadi yang layak hidup dengan penghargaan penuh. Dalam kerangka "Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani," filosofi luhur ini seolah menjadi batu penjuru yang tak terbantahkan dalam profesi seorang guru. Namun, dalam bayang-bayang kebesaran falsafah ini, realitas pahit kesejahteraan guru justru sering diabaikan.

“Ing Ngarso Sung Tulodho” – Guru sebagai Teladan


Di depan, guru adalah figur panutan, yang menjadi teladan bagi anak didik dalam segala hal. Namun, bagaimana seorang guru dapat terus menjadi teladan jika ia hidup dengan keterbatasan ekonomi yang mengimpit? Bagaimana ia dapat menunjukkan kepada muridnya arti perjuangan hidup yang baik, sementara ia sendiri harus berjibaku mencari pekerjaan tambahan hanya untuk menutup kebutuhan sehari-hari? Tanpa kesejahteraan yang layak, guru-guru kita sulit menampilkan sosok "sung tulodho" dengan sepenuh hati.

“Ing Madyo Mbangun Karso” – Guru sebagai Inspirator di Tengah Anak Didik

Di tengah, guru berperan sebagai inspirator, membangun semangat, kreativitas, dan motivasi dalam diri siswa. Namun, inspirasi seharusnya tidak tumbuh dari hati yang gelisah. 

Guru yang setiap hari harus mengkhawatirkan pemenuhan kebutuhan hidupnya akan kehilangan energi untuk menginspirasi. Penghasilan yang layak bukan hanya soal finansial, tetapi soal ketenangan batin. Kesejahteraan ekonomi adalah fondasi bagi guru untuk membangun karso (semangat) yang tulus dan murni bagi siswa-siswanya.

“Tut Wuri Handayani” – Guru sebagai Pendukung dan Pendorong dari Belakang

Di belakang, guru adalah sosok yang memberikan dorongan dan dukungan penuh kepada murid-muridnya. Namun, dalam mendukung mereka, seringkali guru yang mengalami tekanan, kesulitan, bahkan ancaman ketika muncul permasalahan antara siswa dan masyarakat. 

Saat seorang guru menghadapi krisis dalam mengatur kelas, masalah disiplin, atau tindak bullying, mereka sering ditinggalkan tanpa perlindungan atau bantuan. 

Guru yang seharusnya didukung di belakang justru ditinggalkan untuk menanggung semua konsekuensinya sendiri, tanpa jaminan perlindungan dari institusi yang semestinya melindungi mereka.

Mengembalikan Makna Filosofi Luhur dengan Mengangkat Kesejahteraan Guru

nuraga ebook sang guru.cdr

Jika kita benar-benar menghidupkan kembali filosofi ini, maka sudah selayaknya kita mendukung kesejahteraan guru agar mereka benar-benar dapat menjalankan perannya sebagai teladan, inspirator, dan pendukung bagi generasi masa depan. Mari kita berhenti memandang profesi guru sebagai "pengabdian semata" yang menuntut ikhlas tanpa batas. Mereka berhak atas kehidupan yang layak dan pengakuan akan profesi mereka sebagaimana profesi lainnya.

Jargon ini akan menjadi utuh jika kita tidak hanya menuntut guru untuk ikhlas dan mengabdi, tetapi juga memberikan kesejahteraan yang layak agar nilai-nilai "Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani" tidak sekadar menjadi kata-kata kosong. Guru layak untuk hidup dengan layak—sehingga mereka bisa sepenuhnya menjalankan peran mulia ini tanpa beban ekonomi yang menghimpit.
Stakeholder dan pemerintahlah yang membuat guru  menjadi ikhlas bekerja, BUKAN malah mereka yang selalu menuntut guru untuk berbuat ikhlas.

Jumat, 25 Oktober 2024

SIAPA PELINDUNG PERAN GURU.

 

Guru dalam lingkungan pendidikan saat ini seolah berada di persimpangan jalan gelap, di satu sisi mereka diharapkan untuk membentuk generasi yang cerdas, berdisiplin, bermoral baik, dan berakhlak mulia. 

Namun, di sisi lain, pemerintah juga menginginkan siswa belajar sesuai minat mereka. Sayangnya, dalam realitas, minat sebagian besar siswa seringkali jauh dari hal-hal yang mendukung tujuan mulia itu. 

Banyak yang lebih tertarik dengan dunia maya, seperti TikTok, game online, atau media sosial lain yang lebih menghibur dari pada pelajaran yanga ada.

Kondisi ini mengarah pada masalah besar, sebab tidak sedikit siswa yang bahkan kehilangan minat belajar secara total. Bagi mereka, ruang kelas hanya tempat untuk singgah sebentar, lalu pergi entah kemana, tanpa rasa tanggung jawab atau disiplin. 

Lebih parahnya, ada yang mengisi jam pelajaran dengan tidur di kelas atau berkeliling tamasya tanpa tujuan di area sekolah. Guru dihadapkan pada dilema besar; mereka diharuskan mengajar, mendidik, dan mengarahkan, tetapi di sisi lain, wibawa mereka terkubur oleh kebijakan yang kerap kali tidak mendukung mereka dalam mengatasi sikap-sikap negatif siswa.

Disiplin Tanpa Dukungan Tegas:


Disiplin merupakan dasar dari pendidikan yang baik, namun bagaimana bisa disiplin ditegakkan jika guru dibatasi dengan berbagai aturan yang tidak memungkinkan mereka memberikan teguran yang tegas? Peraturan yang melarang sentuhan fisik terhadap siswa, meskipun dalam konteks pendisiplinan yang wajar, sering kali membuat guru merasa serba salah. 

Banyak dari mereka takut bahwa jika salah sedikit, ancaman hukum bisa mengintai. Alih-alih dihormati, mereka justru cemas setiap kali harus menghadapi siswa yang melanggar aturan.

Wibawa Guru yang Terkubur:

Dengan semakin banyaknya batasan yang diberikan kepada guru, wibawa dan kewenangan mereka kian terkikis. Seorang guru yang seharusnya menjadi sosok yang dihormati dan dihargai, sekarang harus berpikir dua kali bahkan untuk menegur siswa. 

Di sisi lain, siswa yang tidak didisiplinkan dengan tegas akhirnya merasa bebas melakukan apa saja tanpa takut konsekuensi. Keadaan ini jelas menghambat pembentukan karakter dan moral siswa, karena mereka merasa tidak ada batasan yang benar-benar perlu mereka patuhi. Lantas, bagaimana bisa pendidikan karakter yang bermartabat dapat tercapai?

Kemana Guru Mengadu?


Sayangnya, dalam situasi seperti ini, dukungan hukum bagi guru hampir tidak terdengar. Banyak guru yang ingin mengajukan protes atau melaporkan kejadian ketidaktertiban siswa namun terhalang oleh minimnya perlindungan. 

Mereka justru lebih sering dituntut dengan tuduhan ini dan itu ketika mencoba menegakkan disiplin di kelas. Pertanyaannya adalah: kemana sebenarnya guru harus mengadu? Ke mana mereka bisa meminta perlindungan ketika tugas mereka disalahartikan atau malah dianggap melanggar aturan? Perlindungan hukum bagi guru seakan menjadi barang langka, padahal merekalah yang menjalankan amanat untuk mencerdaskan anak bangsa.

Pada titik ini, tampaknya penting bagi pemerintah untuk memikirkan ulang aturan-aturan yang telah ada. Guru tidak seharusnya dibiarkan berjalan sendirian dalam menegakkan pendidikan disiplin dan karakter mulia. 

Tanpa dukungan dan perlindungan yang jelas, sulit membayangkan pendidikan Indonesia bisa menghasilkan generasi yang cerdas dan berakhlak sesuai cita-cita.

Selasa, 22 Oktober 2024

NAK....... APA YANG HENDAK KAU BANGGAKAN ?

 Anakku tersayang...

republika.co.id
Apa yang hendak kau banggakan jika urusan paling mendasar, yakni ibadah kepada Tuhanmu, masih kau abaikan? Siapa yang akan menjadi pelindungmu di dunia ini jika kau belum mendekati Sang Pelindung yang sejati? Jangan kau banggakan gemerlap dunia, jangan kau bangga dengan jabatan atau gajimu, dan jangan pula kau berbangga dengan ilmu yang kau miliki. Ingat, semua itu hanyalah titipan dari Tuhan yang kapan saja bisa diambil-Nya.




Anakku, tegakkanlah sholatmu, karena di situlah letak keberkahan hidupmu. Tanpa sholat, hidup hanya akan dipenuhi kegelisahan. Lengkapilah langkahmu dengan ketaatan kepada Tuhanmu, karena hanya dengan itulah hidupmu akan bermakna dan dipenuhi ketenangan. Berbaktilah kepada orang tua yang sepanjang hidupnya hanya menginginkan kebaikan untukmu, dan jagalah hatimu agar selalu rendah di hadapan sesamamu.



Ingatlah, kesombongan adalah milik Allah semata, dan bahkan Iblis yang pernah mencoba merebutnya, terkutuk selamanya. Jangan biarkan dirimu terjerumus dalam perangkap yang sama. Sombong itu bagaikan racun yang mengikis hatimu, sementara kerendahan hati akan mengangkatmu di mata Tuhan dan manusia.

kembalillah anak ku...... jika kau tak segera memperbaiki hubunganmu dengan tuhan mu, maka ingatlah bahwa  Alloh akan menarik semua hamba-hambanya yang belum kembali lewat tangan tangan kekuasaan Nya.

Rabu, 16 Oktober 2024

SAAT SUJUD TERASA JAUH: KISAH SEORANG AYAH YANG TAK HENTI BERHARAP

 Suara Kecil dari Sajadah


Aku masih ingat jelas, saat pertama kali memperkenalkan mereka kepada masjid. Waktu itu, suara adzan adalah panggilan yang sederhana namun penuh makna. Anak-anakku, dengan langkah-langkah kecilnya, menggenggam erat tanganku. Mata mereka berbinar melihat lampu-lampu mushola yang bersinar lembut di malam hari.

“Ini, tempat kita berbicara dengan Allah,” ucapku sambil menatap wajah polos mereka. Belum tentu mereka paham, tapi aku berharap kata-kataku akan terpatri di hati mereka.

Setiap kali aku mengajak mereka ke masjid, hati ini berbunga. Ada perasaan bangga, karena aku bisa menuntun mereka, menunjukkan jalan menuju Sang Pencipta. Waktu berlalu, dan mereka mulai hafal doa-doa sholat. Bahkan di saat-saat mereka terlalu lelah atau enggan melangkah, aku tetap mengajak mereka—karena aku tahu, kebiasaan ini akan menjadi pondasi hidup mereka kelak.

Namun, di saat itu, aku tak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti, panggilan adzan akan menjadi lebih dari sekadar suara. Ia akan menjadi ujian terbesar bagi hatiku sebagai seorang ayah.

 

 Pesantren, Titipan Harapan

Ketika anak-anak mulai menginjak usia remaja, kami memutuskan untuk menitipkan mereka di pesantren. Harapanku sederhana—agar apa yang telah kutanamkan di rumah, diperdalam dengan ilmu agama yang lebih luas. Di pesantren, mereka akan belajar Qur’an, hadist, dan memperkuat sholat mereka.

Hari-hari pertama tanpa mereka terasa hampa. Setiap kali waktu sholat tiba, aku teringat betapa biasanya kami berjamaah bersama di rumah. Ada kesepian yang aneh, namun aku harus kuat. "Ini demi kebaikan mereka," batinku berulang kali.

Ketika berkunjung ke pesantren, kulihat wajah mereka lebih dewasa. Tapi jauh di dalam, aku bertanya-tanya, apakah mereka semakin dekat dengan Allah seperti yang aku harapkan? Apakah sholat yang mereka lakukan di pesantren sekadar kewajiban, atau benar-benar telah menjadi bagian dari diri mereka?

Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul dalam hatiku, membayangi setiap langkahku menuju rumah.

 

 Subuh yang Menggugah Kegelisahan

Kini mereka telah lulus pesantren. Mereka kembali ke rumah, tapi ada yang terasa berbeda. Setiap kali adzan Subuh berkumandang, mereka tak lagi dengan cepat bangun dan bersiap. Seringkali, aku harus memanggil mereka berkali-kali. Di saat itulah kegelisahanku mulai tumbuh.

“Mengapa mereka tidak segera bangun? Mengapa mereka tidak merespons panggilan Ilahi ini dengan penuh kesadaran seperti dulu?” tanyaku dalam hati, walaupun mulutku tetap diam.

Setiap kali harus membangunkan mereka, hatiku terasa berat. Apakah aku telah gagal? Apakah yang pernah kutanamkan bertahun-tahun itu mulai pudar?

Mereka tetap sholat, tak pernah meninggalkan waktu lima waktunya. Tapi mengapa sering terlambat? Mengapa hati mereka tak segera tergerak saat panggilan-Nya berkumandang?

 

 Saat Dunia Lebih Menarik

Aku mulai menyadari, dunia luar semakin menarik perhatian mereka. Waktu sholat kadang bersaing dengan gawai mereka, atau acara televisi yang memikat. Sebagai ayah, aku bisa melihat pertempuran batin mereka, meski mereka tak pernah mengatakannya.

Ada saat-saat ketika aku merasa, mungkin aku harus membiarkan mereka. Biarkan mereka belajar dari kesalahan, biarkan mereka merasakan dampaknya sendiri. Namun, naluri orang tua tak bisa membiarkan itu begitu saja. Setiap detik keterlambatan mereka untuk menjawab panggilan adzan terasa seperti duri yang menusuk di hatiku.

Apakah kesadaran itu akan datang dengan sendirinya? Ataukah aku harus lebih keras dalam mengingatkan? Tapi, sholat bukan tentang paksaan, bukan tentang ketakutan akan hukuman. Sholat adalah hubungan, adalah pengabdian. Bagaimana aku bisa menanamkan itu dalam hati mereka jika mereka tak merasakannya sendiri?

 

 Gelisah Tak Berujung

Malam-malamku sering dihabiskan dengan merenung. Aku menatap sajadah di depanku, mengingat masa-masa ketika aku dulu membimbing mereka dengan tangan ini. Kini, tangan itu tak lagi cukup kuat untuk menarik mereka kembali.

Mereka sudah dewasa. Mereka sudah memiliki pilihan sendiri. Dan aku, sebagai orang tua, hanya bisa berdoa, berharap bahwa sholat akan kembali menjadi pusat hidup mereka.

Kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan kepada Allah? Kepada siapa lagi aku meminta kalau bukan kepada-Nya yang Maha Mengetahui isi hati? Setiap malam, setelah selesai sholat tahajud, kutengadahkan tangan, mengucap doa agar Allah melembutkan hati mereka, agar panggilan-Nya selalu direspon dengan cepat dan penuh cinta.

 

 Sujud yang Kutunggu

Waktu berlalu, dan aku masih menunggu. Setiap panggilan adzan adalah harapan baru bagiku. Harapan bahwa suatu hari nanti, mereka akan bangkit sebelum aku sempat memanggil mereka. Bahwa suatu hari nanti, sholat bukan hanya menjadi rutinitas, tapi menjadi denyut nadi hidup mereka.

Aku tak pernah lelah berdoa. Tak pernah berhenti berharap, karena aku percaya, setiap manusia memiliki perjalanan spiritualnya sendiri. Allah yang menanamkan iman dalam hati hamba-Nya, dan aku yakin, di suatu hari nanti, sujud mereka akan menjadi sujud yang kukuh—sujud yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.

Dan ketika hari itu tiba, mungkin aku sudah tak lagi di sini. Tapi aku akan pergi dengan tenang, karena aku tahu, anak-anakku telah menemukan Allah dengan hati mereka sendiri.

 


Jumat, 11 Oktober 2024

KETIKA SEKOLAH MENJADI MIMPI YANG JAUH BAGI HASAN "

 

Cerita hidup si Hasan

Di pinggiran kota kabupaten yang maju dan terkenal, terdapat sebuah sekolah yang penuh harapan dan cita-cita. Namun, di balik gemerlapnya prestasi dan fasilitas yang memadai, tersembunyi kisah pilu dari seorang siswa bernama Hasan. Ia Lahir dan dibesarkan dalam keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit, ayahnya sudah 2 tahun silam meninggalkan nya karena penyakit yang di derita.Hasan terpaksa menanggung beban yang tak seharusnya ia emban di usia yang masih muda. Setiap pagi, ia berangkat ke sekolah dengan semangat, meski hati kecilnya dihantui oleh kepedihan dan ketidakpastian masa depan.

Di tengah teman-temannya yang bercita-cita tinggi, Hasan merasa terpinggirkan, bukan hanya karena latar belakang keluarganya, tetapi juga karena tekanan untuk meraih nilai dan prestasi yang seringkali tak sejalan dengan kemampuannya. Dengan setiap tugas yang tertinggal dan setiap ujian yang dilewati, perjuangan Hasan mencerminkan realita pahit dari kehidupan yang tak selalu adil. Kisah ini bukan sekadar tentang pendidikan, tetapi juga tentang harapan, impian, dan keteguhan hati seorang anak yang berjuang melawan keadaan.

Jalan di Persimpangan


Hasan berdiri di depan cermin usang di kamar kecilnya, menatap pantulan wajah yang tampak lebih tua dari usianya. Seragam SMK Negeri 1 yang ia kenakan masih rapi, tapi hatinya kusut oleh beban pikiran. Setiap pagi ia dihadapkan pada pilihan yang selalu sama, “Berangkat sekolah atau tidak?”

Hasan merasakan desakan takdir. Apa gunanya sekolah kalau pikirannya tak bisa fokus? Bukan karena dia tak mau, tapi hidup terus mengingatkannya akan kenyataan pahit—sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu, hidup Hasan berubah. Ibunya bekerja keras membesarkan Hasan dan kedua adiknya. Setiap hari, ia melihat wajah ibunya yang lelah, tapi selalu tersenyum. Senyum itu seperti pedang dua sisi; membuat Hasan ingin terus berjuang, tapi juga membuat hatinya perih karena tak sanggup meringankan beban ibu.


Di dalam kelas, suara guru terdengar seperti gumaman jauh. Pikirannya melayang-layang, “Untuk apa aku di sini? Apa yang akan aku dapat?” Teman-temannya sibuk dengan buku, pensil, dan tugas. Namun, Hasan hanya memikirkan satu hal: keluarganya. Ekonomi yang menjerat, tanggung jawab yang menggunung di pundaknya sebagai anak laki-laki tertua.

"Kenapa harus sekolah kalau aku bisa bekerja dan bantu ibu?" pikirnya.

Perasaan itu semakin kuat ketika temannya bercerita tentang beasiswa untuk siswa yatim. Namun, dari 2.200 siswa di sekolah, hanya 10 persen yang mendapatkan bantuan, sementara jumlah yatim piatu dan duafa lebih dari 600 anak. Hasan merasa hatinya hancur saat tahu ia tak termasuk dalam daftar penerima.

Hari-hari berlalu, hingga akhirnya ibunya mengajukan diri, menyerah pada keadaan. “Hasan, ibu tak sanggup lagi. Sekolah itu mahal... Ibu sudah tak bisa membiayaimu lagi,” suara ibunya bergetar namun tegas, seolah melepaskan Hasan dari harapan terakhir.

Hasan terdiam. Hatinya retak, tapi ia tahu ibunya benar. Tekanan ekonomi itu nyata, dan impian sekolah sampai lulus terasa semakin jauh. Kini ia harus memilih jalan lain, jalan yang tak pernah ia bayangkan.

Dengan perasaan hampa, Hasan harus menerima kenyataan bahwa statusnya sebagai pelajar sudah hilang, bersamaan dengan impiannya.

Hari Terakhir di Sekolah

Pagi itu, suara pintu depan diketuk pelan. Hasan yang duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong segera bangkit ketika melihat dua orang berdiri di ambang pintu: wali kelasnya, Pak Anwar, dan Bu Retno, guru BK. Mereka tersenyum, tetapi dari tatapan mereka Hasan tahu, ini bukan kunjungan biasa.

“Hasan, boleh kita masuk?” tanya Pak Anwar sopan. Hasan mempersilakan mereka duduk, sementara ibunya menyiapkan air minum di dapur.

“Kenapa kamu sudah satu bulan tidak masuk sekolah?” Pak Anwar memulai dengan nada lembut, penuh empati.


Hasan hanya tertunduk. Rasanya kata-kata tak mampu keluar dari mulutnya. Bagaimana ia harus menjelaskan beban yang ia rasakan? Bagaimana ia harus berkata bahwa ekonomi keluarganya telah meruntuhkan semangatnya?

Bu Retno menatap Hasan penuh pengertian, “Kami tahu, Hasan, situasi kamu tidak mudah. Tapi kami datang untuk membantu. Masih ada jalan jika kamu mau kembali ke sekolah.”

Hasan menggigit bibirnya. Tawaran itu seperti harapan yang menyelinap masuk, tapi bayangan ibunya yang letih langsung memadamkan api harapan itu. Ibunya telah melempar bendera putih, menyerah pada biaya yang terus menggunung. Bagaimana ia bisa kembali jika ibu sendiri sudah tak sanggup?

“Saya ingin sekolah, Bu. Tapi saya juga tahu… ibu saya sudah terlalu berat menanggung semuanya,” suaranya parau, tertahan di tenggorokan.

Pak Anwar menarik napas panjang, “Hasan, kami mengerti. Tapi tolong, pikirkan ini baik-baik. Pendidikan adalah kunci masa depanmu.”

Ibu Hasan yang sedari tadi mendengarkan dari dapur keluar dengan wajah penuh kesedihan. "Pak, Bu... maafkan saya. Saya benar-benar tidak bisa lagi membiayai Hasan. Kalau dia harus berhenti sekolah, itu karena saya tidak sanggup lagi.”

Keheningan menyelimuti ruang tamu itu. Pak Anwar dan Bu Retno tampak tak bisa berkata-kata, sementara Hasan hanya menunduk. Di dalam hatinya, ia tahu ini akhir dari semuanya. Akhir dari perjuangan sekolah yang belum sempat ia selesaikan.

Setelah beberapa percakapan yang kaku, Pak Anwar dan Bu Retno pamit. Sebelum pergi, Pak Anwar menepuk bahu Hasan, “Kami selalu di sini kalau kamu butuh bantuan, Hasan. Jangan sungkan.”

Hasan mengangguk lemah, mengantarkan mereka hingga ke pintu. Saat keduanya pergi, ia kembali duduk di kursi, menatap kosong ke arah langit-langit rumah. Hari itu, resmi sudah ia tak lagi menjadi pelajar. Bukan karena ia tak mampu secara akademis, tapi karena kenyataan hidup terlalu pahit untuk ia jalani.

Perasaan putus asa itu menghantamnya. Keinginan untuk lulus, untuk menggenggam ijazah, seolah terenggut tanpa ampun. Yang tersisa hanyalah perasaan hampa, seperti ia berjalan di lorong tanpa ujung. Hasan tak lagi bisa melihat masa depannya.

Pagi yang Tak Sama Lagi

Pagi yang biasanya disibukkan dengan persiapan berangkat sekolah, kini terasa sepi dan aneh bagi Hasan. Seragam SMK yang dulu ia kenakan dengan berat hati kini terlipat rapi di lemari, tak akan lagi ia gunakan. Setiap kali menatapnya, dada Hasan seperti ditusuk sesuatu yang tak terlihat. Itu bukan hanya seragam, itu adalah bagian dari mimpinya yang sudah tak bisa ia gapai.

Ia duduk di ambang pintu, memandangi jalan setapak menuju sekolah. Biasanya di jam ini, ia akan berjalan bersama teman-temannya, meskipun perasaan tentang belajar sering kali tak menentu. Namun hari ini, jalan itu sunyi baginya. Tak ada lagi suara derap langkahnya menuju gerbang sekolah. Hanya suara angin yang menyentuh daun-daun, seperti mengingatkannya bahwa hidup harus tetap berjalan, meski arah jalannya kini berbeda.

Ibunya mendekat, duduk di sampingnya. Wajahnya tampak lebih letih daripada biasanya. Hasan tahu, di balik senyumnya, ibunya merasa bersalah.

"Ibu tahu ini berat buatmu, Hasan," ucap ibunya pelan, sambil mengusap punggung tangan Hasan yang mulai kasar akibat kerja keras membantu di rumah dan sawah. "Ibu juga ingin kamu tetap sekolah, Nak, tapi ibu benar-benar tak punya cara lain..."

Hasan menggeleng, "Ibu jangan berpikir begitu. Hasan tahu ibu sudah berusaha sekuat tenaga. Mungkin ini memang jalan yang harus Hasan tempuh sekarang. Hasan bisa bekerja, Bu. Hasan bisa bantu ibu dengan penghasilan Hasan sendiri."

Mata ibunya berkaca-kaca mendengar kata-kata Hasan. Baginya, Hasan sudah terlalu dewasa untuk usianya. Anak yang seharusnya menikmati masa-masa sekolah dengan belajar dan bermain, kini dipaksa oleh keadaan untuk berpikir layaknya seorang dewasa. Tangannya bergetar, memeluk Hasan dengan erat.

"Tapi ibu ingin kamu bahagia, Hasan…," suara ibunya pecah, dan air mata yang selama ini ditahannya mengalir deras.

Hasan memeluk ibunya lebih erat, menahan tangis yang mengancam keluar. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebahagiaan bukan lagi prioritas. Kini, yang paling penting adalah bagaimana ia bisa membantu ibunya, bagaimana ia bisa memastikan bahwa adik-adiknya tak akan mengalami nasib yang sama. Ia tak ingin mereka berhenti sekolah seperti dirinya.

Keesokan harinya, Hasan bangun lebih pagi dari biasanya. Ia memasang niat dalam hati untuk mulai bekerja. Seorang tetangga dekat mengajaknya bekerja di bengkel motor kecil di desa. Mungkin itu bukan pekerjaan yang ia impikan, tapi itu adalah pekerjaan yang bisa ia lakukan sekarang.

Dengan langkah yang berat namun penuh tekad, Hasan melangkah keluar dari rumah. Setiap langkahnya terasa seperti mengunci pintu masa lalunya sebagai seorang pelajar, sementara pintu kehidupan barunya terbuka—penuh dengan tanggung jawab dan ketidakpastian.

Hasan sadar, hidup tak lagi sama, tapi ia harus terus berjalan.

Hidup di Antara Mesin

Suara logam bertemu logam menggema di bengkel tempat Hasan bekerja. Bengkel kecil di ujung desa itu jauh dari gemerlap kota, tapi bagi Hasan, itu adalah tempat yang kini menjadi kenyataan baru. Tangannya yang belum terbiasa dengan pekerjaan berat kini mulai kasar oleh oli dan kotoran mesin. Setiap hari ia berdiri di antara kendaraan yang rusak, mendengarkan instruksi dari Pak Burhan, pemilik bengkel.

“Hasan, angkat ban itu ke sini. Nanti kita ganti yang baru,” suara Pak Burhan memecah lamunan Hasan.


Hasan dengan cekatan mengikuti arahan, tapi pikirannya sering kali melayang jauh. Di sudut bengkel itu, ia sering memikirkan apa yang sedang terjadi di sekolah. Apakah teman-temannya sedang bersiap-siap untuk ujian? Apakah mereka sedang mengerjakan soal-soal sulit yang dulu selalu membuat Hasan berpikir keras? Pikiran-pikiran itu menghantui setiap gerakannya.

Di sela-sela waktu, Hasan sering menyeka keringat di dahinya dan memandang jauh ke jalan desa yang dilalui oleh motor-motor pelajar. Pelajar-pelajar itu melewatinya setiap hari, mengenakan seragam yang pernah ia banggakan meski hatinya tak pernah damai. Hasan tahu, mereka akan pergi ke sekolah, duduk di kelas, mempelajari hal-hal yang mungkin ia tak akan pernah sentuh lagi.

Waktu berjalan, dan Hasan mulai terbiasa dengan pekerjaannya di bengkel. Setiap sore, setelah selesai bekerja, ia pulang dengan membawa sedikit uang yang ia sisihkan untuk keluarganya. Ibu selalu menyambutnya dengan senyum hangat, meski senyum itu penuh dengan rasa khawatir. Hasan tahu, ibunya bangga sekaligus sedih. Bangga karena Hasan tidak menyerah pada keadaan, tetapi sedih karena anak sulungnya harus meninggalkan pendidikan.

Namun, di malam hari, saat semuanya sepi dan adik-adiknya sudah terlelap, Hasan sering termenung di kamar. Suara mesin bengkel masih terngiang di telinganya, tetapi lebih dari itu, suara hati kecilnya yang terus bertanya, “Apakah ini benar-benar jalan hidupku? Apakah aku memang harus berhenti sampai di sini?”

Di satu malam yang sunyi, Hasan memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan ke halaman. Ia menatap langit malam yang gelap, penuh dengan bintang-bintang. Dalam kesendirian itu, ia berbisik kepada dirinya sendiri, atau mungkin kepada Tuhan.

“Ya Allah… Jika memang ini jalanku, aku terima. Tapi jika masih ada cara untuk kembali sekolah, tolong tunjukkan jalannya…”

Hasan merasa dadanya sesak oleh doa yang ia sampaikan. Dia tahu bahwa hidup tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi jauh di dalam hatinya, ada sedikit cahaya harapan yang ia genggam erat-erat. Meskipun ia sudah memutuskan untuk bekerja, meskipun ia telah menerima kenyataan, tapi hasrat untuk melanjutkan sekolah tak pernah benar-benar mati. Itu hanya terpendam, menunggu waktu yang tepat untuk bangkit kembali.

Dengan perasaan campur aduk, Hasan kembali masuk ke rumah, memejamkan mata dengan berat. Esok hari ia akan kembali ke bengkel, kembali ke rutinitas barunya. Tapi entah kenapa, malam itu, ia tidur dengan sedikit lebih tenang.

Jalan Berliku Hasan

Hari-hari Hasan di bengkel terasa seperti berjalan di satu lintasan tanpa henti. Pekerjaan di bengkel memberikan rasa lelah yang nyata, tapi lebih dari itu, setiap hari di sana membuatnya semakin jauh dari impian yang dulu ia miliki. Namun, di antara rasa pasrah itu, suatu pagi ada kabar yang membangunkan harapan kecil dalam hatinya.

Pak Burhan, bosnya di bengkel, tiba-tiba bercerita tentang sebuah program beasiswa swasta yang baru diluncurkan oleh salah satu perusahaan besar di kota. "Katanya mereka bantu anak-anak yang putus sekolah buat lanjut lagi, Hasan. Mungkin kamu bisa coba."

Hasan terdiam sejenak, tidak berani terlalu berharap. Setelah semua yang terjadi, ia takut merasa kecewa lagi. Tapi, dorongan untuk setidaknya mencoba kembali sekolah terus mengusik pikirannya. Setiap malam ia mulai mencari tahu lebih banyak tentang program itu, bertanya ke tetangga, dan bahkan meminjam ponsel temannya untuk melihat informasinya secara online.

Namun, langkah itu tak semudah yang ia bayangkan. Beberapa syarat yang diminta membuatnya merasa ragu. Ia butuh surat rekomendasi sekolah, nilai yang bagus, dan dukungan orang tua. Meskipun ibunya pasti akan mendukungnya, Hasan tahu mereka sudah tak punya cukup uang untuk persiapan apa pun. Semakin ia mencoba mencari jalan, semakin terlihat sulitnya harapan itu.

Keputusan Berat

Satu malam, setelah makan malam sederhana bersama keluarga, Hasan berbicara serius dengan ibunya. Ia menjelaskan tentang beasiswa itu, tentang peluang yang mungkin bisa membawanya kembali ke sekolah. Namun, ia juga menjelaskan hambatan-hambatan yang ada.

“Ibu, kalau Hasan lanjut sekolah, itu artinya Hasan nggak bisa bantu ibu lagi di bengkel. Kita harus bayar biaya administrasi juga buat ikut tesnya, sementara uang kita buat makan saja sudah susah…”

Mata ibunya berkaca-kaca mendengar kata-kata Hasan. Wanita yang sudah terlalu banyak memikul beban ini tetap ingin melihat anaknya melanjutkan pendidikan. Namun, di balik harapan itu, ada kenyataan pahit tentang ekonomi yang tak bisa disangkal. "Nak, ibu akan lakukan apa saja supaya kamu bisa sekolah lagi. Tapi kalau memang terlalu berat, ibu nggak akan memaksamu."

Hasan terdiam lama. Keputusan ini begitu berat. Meninggalkan pekerjaan berarti menambah beban ekonomi keluarga, tetapi melupakan kesempatan untuk melanjutkan sekolah adalah hal yang ia tahu akan disesalinya seumur hidup.

Dengan berat hati, Hasan memutuskan untuk mencoba. Ia tahu ini mungkin bukan jalan yang mudah, tapi ia tak bisa mengabaikan keinginan kuat dalam dirinya untuk menuntaskan pendidikan.

Perjuangan Baru


Hasan mendaftar ke program beasiswa itu. Tes pertama adalah ujian tertulis yang harus ia ikuti di kota. Untuk mengikuti ujian, Hasan harus meminjam uang dari tetangganya, hanya untuk ongkos perjalanan dan biaya administrasi. Ini adalah taruhan besar, karena jika ia gagal, bukan hanya impiannya yang runtuh, tapi keluarganya akan lebih terbebani dengan utang.

Saat hari ujian tiba, Hasan berangkat dengan penuh kecemasan. Di dalam ruang ujian, ia melihat banyak anak lain yang sepertinya datang dari latar belakang yang lebih baik. Ada yang datang dengan kendaraan pribadi, pakaian rapi, dan terlihat sangat percaya diri. Hasan duduk di sudut ruangan, merasa kecil dan tidak yakin.

Namun, saat ujian dimulai, ia mengingat kata-kata ibunya yang selalu menyemangatinya. "Hasan, kamu bisa. Tuhan pasti bantu orang yang berusaha."

Dengan tekad kuat, Hasan mengerjakan soal-soal itu, meskipun beberapa di antaranya terasa sulit. Ia bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuannya. Setelah ujian selesai, ia pulang dengan perasaan lega tapi juga penuh kekhawatiran. Kini ia hanya bisa menunggu hasilnya.

Jawaban Tak Terduga

Beberapa minggu berlalu. Setiap kali ada surat atau kabar datang ke rumah, jantung Hasan berdegup kencang. Namun, jawaban yang ia tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Hingga suatu hari, ketika ia sedang bekerja di bengkel, tetangganya datang dengan membawa kabar.

“Hasan, ada surat buat kamu dari kota! Mungkin dari beasiswa itu!”

Dengan tangan gemetar, Hasan membuka surat itu di depan ibunya. Mata ibunya penuh harapan, dan Hasan hampir tak berani melihat isinya. Namun, saat ia membaca surat itu, air matanya mulai mengalir.

Ia diterima.

Hasan menangis, bukan karena bahagia semata, tapi karena perjuangan panjang yang ia lalui terasa begitu berat dan melelahkan. Ia memeluk ibunya erat-erat, merasakan hangatnya kasih sayang dan pengorbanan yang tak ternilai dari seorang ibu.

Kembali ke Sekolah

Hari pertama Hasan kembali ke sekolah bukanlah seperti yang ia bayangkan dulu. Kali ini, ia melangkah dengan tujuan yang jelas, bukan lagi dengan perasaan ragu seperti sebelumnya. Beasiswa yang ia dapatkan membawanya kembali ke bangku pendidikan, dan meskipun jalan yang ia lalui penuh liku, Hasan merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Setiap pagi, saat ia mengenakan seragamnya, Hasan merasa bangga bukan karena sekolah tempatnya belajar, tetapi karena ia tahu betapa sulitnya perjuangannya untuk bisa berada di sana. Di kelas, ia lebih fokus, lebih gigih, dan lebih menghargai setiap pelajaran yang ia terima.

Hasan belajar bahwa kehidupan sering kali membawa kita ke jalan yang tak kita duga, penuh dengan kesulitan dan pilihan-pilihan berat. Namun, dengan keyakinan, tekad, dan dukungan dari orang-orang yang kita cintai, setiap tantangan bisa dihadapi. Hasan mungkin bukan anak yang paling pintar atau paling kaya di sekolahnya, tapi ia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: ketekunan dan kekuatan hati yang tak bisa dibeli oleh siapa pun.

Di akhir perjalanan ini, Hasan menyadari bahwa meskipun ia adalah "anak pinggiran," ia memiliki potensi besar yang tak boleh ia remehkan. Kini, masa depannya mungkin masih penuh dengan ketidakpastian, tapi satu hal yang pasti: Hasan akan terus berjuang, karena ia telah belajar bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita menghadapi rintangan, bukan tentang seberapa mudah jalannya.

Tamat.