Rabu, 11 September 2024

Cerpen: Subuhku, Harapanku

 


FOTO. DOMPET QUR'AN 
Mentari perlahan merangkak naik, menyinari kamar kos Ahmad. Lelaki muda itu menguap lebar, matanya masih terasa berat. Alarm ponselnya berbunyi nyaring, menandakan waktu Subuh telah tiba. Dengan malas, Ahmad bangkit dari tempat tidur. Setelah melaksanakan sholat, ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Pikirannya melayang pada tumpukan pekerjaan yang menanti di kantor. 'Ah, sebentar lagi saja,' gumamnya dalam hati.

Setiap hari, skenario yang sama terulang. Lelah setelah bekerja lembur, Ahmad selalu tergoda untuk kembali tidur setelah Subuh. Ia tahu bahwa tidur kembali setelah sholat Subuh tidak baik, namun godaan itu begitu kuat.

Suatu malam, Ahmad bermimpi bertemu dengan kakeknya yang sudah meninggal. Dalam mimpi itu, kakeknya tersenyum hangat dan berkata, “Nak, ingatlah, waktu Subuh adalah waktu yang sangat berharga. Manfaatkanlah sebaik mungkin. Jangan sia-siakan keberkahan yang Allah berikan.”

Terbangun dari mimpi, Ahmad merasa tersentuh. Kata-kata kakeknya terus terngiang di benaknya. Mulai saat itu, ia bertekad untuk mengubah kebiasaan buruknya. Setiap pagi, setelah sholat Subuh, Ahmad berusaha keras untuk tidak kembali tidur. Ia mulai mengisi waktu dengan berbagai aktivitas positif, seperti membaca Al-Qur'an, berolahraga ringan, dan menulis jurnal.


Awalnya, sangat sulit bagi Ahmad untuk bangun lebih pagi. Rasa kantuk yang hebat seringkali menyerangnya. Namun, ia terus berusaha. Setiap kali berhasil bangun dan melakukan aktivitas positif, ia merasa sangat senang dan puas.

Selain itu, Ahmad juga bergabung dengan komunitas pengajian di dekat kosnya. Di sana, ia bertemu dengan banyak teman baru yang memiliki semangat yang sama. Mereka saling mendukung dan memotivasi untuk terus istiqomah dalam menjalankan ibadah.

Perubahan positif mulai terlihat dalam diri Ahmad. Tubuhnya menjadi lebih sehat, pikirannya lebih jernih, dan semangatnya semakin berkobar. Rezeki yang ia dapatkan pun semakin lancar. Ia merasa bahwa Allah SWT telah membalas segala usahanya.

Suatu hari, atasan Ahmad memberikannya tanggung jawab yang lebih besar. Ahmad merasa sangat bersyukur atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ia yakin bahwa semua ini adalah berkat dari Allah SWT, yang telah membantunya melalui cobaan dan memberikannya keberkahan.

Kisah Ahmad membuktikan bahwa dengan niat yang kuat dan usaha yang konsisten, kita dapat mengubah diri menjadi lebih baik. Waktu Subuh adalah waktu yang sangat berharga. Dengan memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin, kita dapat meraih keberkahan dan kesuksesan dalam hidup.

Cerpen: Subuhku, Harapanku

Ahmad adalah seorang pemuda yang bekerja di sebuah perusahaan startup. Pekerjaannya menuntutnya untuk selalu online dan responsif, sehingga ia seringkali begadang hingga larut malam. Akibatnya, pagi hari menjadi waktu yang berat baginya. Setiap kali alarm Subuh berbunyi, ia selalu merasa ingin kembali tidur.


Suatu hari, Ahmad mengalami kesalahan fatal dalam pekerjaannya akibat kurangnya konsentrasi. Bosnya sangat kecewa dan memberikan peringatan keras. Ahmad merasa sangat bersalah dan malu. Ia menyadari bahwa gaya hidupnya yang tidak teratur telah berdampak buruk pada pekerjaannya.

Ahmad mulai mencari cara untuk memperbaiki dirinya. Ia mencoba berbagai cara agar bisa bangun lebih pagi, namun selalu gagal. Rasa kantuk yang hebat selalu mengalahkannya. Ia merasa putus asa dan hampir menyerah.

Dalam keadaan putus asa, Ahmad berdoa kepada Allah SWT memohon petunjuk dan kekuatan. Malam itu, ia bermimpi bertemu dengan seorang ulama yang memberinya nasihat tentang pentingnya menjaga waktu Subuh. Ulama itu berkata, “Nak, waktu Subuh adalah waktu yang sangat berharga. Manfaatkanlah sebaik mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah.”

Terbangun dari mimpi, Ahmad merasa tersadar. Ia memutuskan untuk mengubah hidupnya. Mulai saat itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk bangun lebih pagi dan melaksanakan sholat Subuh tepat waktu. Setelah sholat, ia mengisi waktunya dengan membaca Al-Qur’an, berolahraga, dan melakukan meditasi.

Perlahan tapi pasti, Ahmad mulai merasakan perubahan positif dalam hidupnya. Tubuhnya menjadi lebih sehat, pikirannya lebih jernih, dan semangatnya semakin berkobar. Ia juga menjadi lebih produktif dalam bekerja. Atasannya sangat senang dengan perubahan yang terjadi pada Ahmad dan memberikannya pujian.

Ahmad menyadari bahwa dengan menjaga waktu Subuh, ia tidak hanya mendapatkan keberkahan dari Allah SWT, tetapi juga meningkatkan kualitas hidupnya. Ia merasa sangat bersyukur atas perubahan yang telah terjadi pada dirinya.

Cerpen: Subuhku, Harapanku (Lanjutan)

Setelah berhasil mengubah kebiasaan buruknya, Ahmad merasa lebih hidup dan bersemangat. Setiap pagi, ia tidak sabar untuk menyambut datangnya waktu Subuh. Namun, semangatnya sempat tergoyahkan ketika ia bertemu dengan teman lamanya, Dani.

Dani adalah sosok yang sangat berbeda dengan Ahmad. Dani adalah seorang party animal yang suka begadang dan hura-hura. Ketika melihat perubahan pada Ahmad, Dani merasa heran dan sedikit mengejek. "Ah, jadi orang alim sekarang? Tidak seru ah!" ejek Dani.

Ahmad mencoba menjelaskan pada Dani tentang pentingnya menjaga waktu Subuh dan menjalani hidup yang lebih baik. Namun, Dani tidak mau mendengarkan. Ia justru semakin gencar menggoda Ahmad agar kembali ke kebiasaan lamanya.

Di sisi lain, Ahmad juga mulai aktif mengikuti kegiatan sosial di komunitasnya. Ia bergabung dengan sebuah kelompok pemuda yang sering mengadakan kegiatan bakti sosial. Di sana, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Aisyah. Aisyah adalah seorang aktivis lingkungan yang sangat peduli dengan masalah sosial.

Aisyah sangat mengagumi semangat Ahmad dalam beribadah dan berbuat baik. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk belajar agama dan melakukan kegiatan sosial. Kedekatan mereka membuat Dani semakin iri. Ia berusaha keras untuk merebut perhatian Aisyah dari Ahmad.

Suatu hari, Dani mengajak Ahmad dan Aisyah untuk ikut serta dalam sebuah pesta di pantai. Ahmad merasa bimbang. Di satu sisi, ia ingin menyenangkan hati Dani. Di sisi lain, ia tidak ingin mengkhianati prinsip-prinsip yang telah ia bangun.

Setelah bergumul dengan hati nuraninya, Ahmad akhirnya menolak ajakan Dani. Ia memilih untuk tetap pada pendiriannya dan menjaga kedekatannya dengan Aisyah. Dani merasa sangat marah dan kecewa. Ia berusaha untuk menjauhkan Aisyah dari Ahmad dengan berbagai cara.

Namun, usaha Dani sia-sia. Aisyah tetap memilih untuk bersama Ahmad. Mereka berdua semakin dekat dan saling mendukung satu sama lain.

Beberapa tahun kemudian, Ahmad dan Aisyah menikah. Mereka hidup bahagia dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dani yang melihat kebahagiaan Ahmad dan Aisyah akhirnya menyesali perbuatannya di masa lalu. Ia pun mulai berubah dan menjalani hidup yang lebih baik.

Pesan Moral:

  • Persahabatan sejati akan selalu mendukung kita untuk menjadi lebih baik.
  • Jangan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
  • Tetaplah pada prinsip-prinsip yang kita yakini.

(Lanjutan)

Setelah menikah dengan Aisyah, Ahmad dan Aisyah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Mereka ingin berkontribusi dalam membangun desa mereka yang tercinta. Di kampung halaman, Ahmad dan Aisyah aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Mereka mendirikan sebuah perpustakaan kecil untuk anak-anak, mengadakan kelas belajar gratis, dan membantu para petani mengembangkan pertanian organik.

Kehadiran Ahmad dan Aisyah membawa angin segar bagi masyarakat desa. Banyak pemuda yang terinspirasi oleh semangat mereka. Mereka mulai membentuk sebuah komunitas pemuda yang aktif dalam berbagai kegiatan positif. Ahmad terpilih sebagai ketua komunitas tersebut.

Sebagai ketua komunitas, Ahmad berusaha sekuat tenaga untuk membangkitkan semangat gotong royong di kalangan pemuda. Ia juga sering memberikan ceramah tentang pentingnya menjaga lingkungan dan nilai-nilai agama. Berkat kepemimpinannya yang inspiratif, komunitas pemuda semakin berkembang dan banyak memberikan manfaat bagi masyarakat.

Suatu hari, desa mereka dilanda bencana banjir. Banyak rumah warga yang rusak dan lahan pertanian terendam. Ahmad dan komunitasnya langsung bergerak cepat untuk memberikan bantuan kepada para korban. Mereka mengumpulkan bantuan berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan. Mereka juga membantu membersihkan rumah-rumah warga yang rusak.

Berkat kerja keras Ahmad dan komunitasnya, desa mereka berhasil pulih dari bencana. Ahmad dan Aisyah semakin dikenal dan dihormati oleh masyarakat. Mereka menjadi panutan bagi generasi muda.

 

(Lanjutan)

Setelah berhasil memulihkan desa mereka dari bencana banjir, Ahmad dan Aisyah semakin yakin bahwa mereka bisa melakukan lebih banyak lagi untuk masyarakat. Mereka menyadari bahwa potensi alam di desa mereka sangat besar, terutama di bidang pertanian.

Dengan dukungan dari komunitas pemuda, Ahmad dan Aisyah mulai mengembangkan pertanian organik di desa mereka. Mereka mengajak para petani untuk beralih ke pertanian organik dengan memberikan pelatihan dan bantuan modal. Hasil panen organik dari desa mereka kemudian dipasarkan ke kota-kota besar.

Untuk memperluas pemasaran produk organik mereka, Ahmad dan Aisyah membuat sebuah website dan akun media sosial. Mereka juga mengikuti berbagai pameran produk lokal. Usaha mereka membuahkan hasil, produk-produk organik dari desa mereka semakin dikenal dan diminati.

Keberhasilan usaha pertanian organik ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, tetapi juga melestarikan lingkungan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan dapat merusak tanah dan mencemari air. Dengan pertanian organik, kualitas tanah dan air di desa mereka menjadi lebih baik.

Selain mengembangkan pertanian organik, Ahmad dan Aisyah juga peduli dengan pelestarian lingkungan. Mereka menginisiasi gerakan penanaman pohon di sepanjang sungai yang mengalir melalui desa mereka. Mereka juga mengajak masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan mengurangi penggunaan plastik.

Suatu hari, Ahmad dan Aisyah diundang untuk menghadiri sebuah konferensi internasional tentang lingkungan. Mereka berbagi pengalaman mereka dalam mengembangkan pertanian organik dan melestarikan lingkungan. Kisah mereka menginspirasi banyak orang dari berbagai negara.

Setelah konferensi, Ahmad dan Aisyah semakin bersemangat untuk mengembangkan desa mereka. Mereka bermimpi menjadikan desa mereka sebagai pusat pertanian organik dan wisata alam yang berkelanjutan.

 (Lanjutan)

Kesuksesan Ahmad dan Aisyah dalam mengembangkan pertanian organik dan pariwisata desa menarik perhatian banyak pihak, termasuk investor dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka mendapatkan tawaran kerjasama untuk mengembangkan produk-produk turunan dari hasil pertanian organik mereka, seperti teh herbal, minyak esensial, dan produk kecantikan alami.

Untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat, Ahmad dan Aisyah memutuskan untuk membangun sebuah pabrik pengolahan produk organik. Mereka juga mengembangkan sistem pemasaran online untuk menjangkau konsumen yang lebih luas.

Selain itu, Ahmad dan Aisyah juga memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pertanian. Mereka menggunakan sistem irigasi tetes, sensor tanah, dan drone untuk memantau kondisi tanaman. Dengan teknologi ini, mereka dapat mengoptimalkan penggunaan air dan pupuk organik, sehingga hasil panen menjadi lebih berkualitas.

Untuk menarik lebih banyak wisatawan, Ahmad dan Aisyah membangun beberapa fasilitas wisata yang ramah lingkungan, seperti homestay, area berkemah, dan jalur trekking. Mereka juga mengadakan berbagai kegiatan wisata edukasi, seperti workshop pembuatan produk organik dan tur pertanian.

Suatu hari, Ahmad dan Aisyah diundang untuk menghadiri sebuah konferensi internasional tentang teknologi pertanian. Di sana, mereka bertemu dengan para ilmuwan dan pengusaha dari berbagai negara. Mereka berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang pertanian organik dan teknologi pertanian.

Setelah konferensi, Ahmad dan Aisyah semakin bersemangat untuk mengembangkan desanya. Mereka bermimpi menjadikan desa mereka sebagai pusat inovasi pertanian organik di Indonesia.

 (Lanjutan)

Suksesnya usaha pertanian organik dan pariwisata desa membuat Ahmad dan Aisyah sadar akan pentingnya menyiapkan generasi penerus. Mereka ingin memastikan bahwa semangat inovasi dan kepedulian terhadap lingkungan terus berlanjut.

Dengan dukungan dari komunitas dan pemerintah daerah, Ahmad dan Aisyah mendirikan sebuah sekolah pertanian organik. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan teori pertanian, tetapi juga praktik langsung di kebun organik. Para siswa diajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan mengembangkan bisnis sosial.

Selain sekolah pertanian, Ahmad dan Aisyah juga membuat program magang bagi anak-anak muda di desa. Mereka diajarkan berbagai keterampilan, mulai dari pengelolaan pertanian organik, pemasaran produk, hingga pengembangan aplikasi berbasis teknologi untuk pertanian.

Salah satu siswa yang berbakat, bernama Rani, berhasil mengembangkan aplikasi untuk memantau pertumbuhan tanaman secara real-time. Aplikasi ini sangat berguna bagi para petani, terutama dalam memprediksi hasil panen. Rani kemudian berhasil memenangkan kompetisi inovasi tingkat nasional dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di bidang teknologi pertanian.

Kisah sukses Rani menginspirasi banyak anak muda di desa. Mereka semakin bersemangat untuk mengembangkan potensi diri dan berkontribusi bagi kemajuan desa.

Suatu hari, Ahmad dan Aisyah mengadakan acara tahunan yang disebut "Festival Desa Berkelanjutan". Acara ini menampilkan berbagai produk pertanian organik, hasil karya seni dari anak-anak desa, dan pertunjukan kesenian tradisional. Festival ini menjadi ajang bagi generasi muda untuk menunjukkan kreativitas dan inovasi mereka.

Subuhku, Harapanku (Tamat)

Bertahun-tahun kemudian, desa yang dulu pernah dilanda bencana kini menjelma menjadi sebuah desa yang mandiri dan berkelanjutan. Sekolah pertanian organik yang didirikan Ahmad dan Aisyah telah melahirkan banyak generasi muda yang memiliki jiwa wirausaha dan peduli lingkungan. Produk-produk organik dari desa mereka telah menembus pasar internasional.

Ahmad dan Aisyah tidak hanya berhasil mengubah desa mereka, tetapi juga menginspirasi banyak desa lain di Indonesia untuk mengikuti jejak mereka. Mereka sering diundang untuk berbagi pengalaman di berbagai forum nasional dan internasional.

Suatu hari, Ahmad dan Aisyah menerima penghargaan internasional atas kontribusi mereka dalam bidang pertanian berkelanjutan. Mereka merasa sangat bersyukur atas pencapaian yang telah mereka raih. Namun, mereka tetap rendah hati dan terus berinovasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di desa mereka.

Di usia senjanya, Ahmad dan Aisyah memutuskan untuk menyerahkan kepemimpinan desa kepada generasi muda. Mereka yakin bahwa generasi muda akan mampu membawa desa mereka ke masa depan yang lebih cerah.

Pesan Moral:

  • Keberhasilan tidak datang dengan mudah, tetapi membutuhkan kerja keras, kesabaran, dan ketekunan.
  • Kepemimpinan yang baik akan menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.
  • Pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama.
  • Pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang dan meningkatkan kualitas hidup.
  • Dengan bekerja sama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

Selasa, 10 September 2024

MENTALITAS INSTAN DALAM PENDIDIKAN NASIONAL

 


foto : lestari Moerdijat
Rina adalah gambaran nyata dari fenomena mengkhawatirkan yang sedang melanda dunia pendidikan kita. Fenomena ini tidak hanya terjadi di pelosok desa yang terpinggirkan dari gemerlap kota, tetapi juga merebak di kota-kota besar, termasuk metropolitan yang seharusnya menjadi pusat kemajuan. Ketika siswa datang ke sekolah tanpa membawa alat belajar, kita harus bertanya: di mana letak masalah sesungguhnya?


Masalah ini tidak bisa hanya disandarkan pada keterbatasan ekonomi orang tua di pedesaan. Di kota-kota besar, di mana akses terhadap fasilitas pendidikan jauh lebih baik, kenyataannya justru lebih ironis. Di sini, masalah yang lebih mendasar muncul: paradigma dan budaya pendidikan yang salah kaprah.


Banyak orang tua hanya berfokus pada ijazah sebagai tujuan akhir pendidikan anak mereka. Pandangan pragmatis ini mendorong mentalitas instan, di mana sekolah hanya dianggap sebagai tempat mengumpulkan sertifikat untuk mendapatkan pekerjaan, tanpa memikirkan kualitas pendidikan dan pembentukan karakter. Budaya masyarakat yang mendorong cepat selesai, asal dapat pekerjaan, menjadi penyebab utama mengapa lulusan kita tidak memiliki daya saing global. Apakah ini masa depan yang kita harapkan?

foto :republika


Pemerintah juga memegang peran besar dalam kerusakan sistem ini. Kebijakan yang lebih mengutamakan angka kelulusan dan selembar ijazah tanpa fokus pada pengembangan keterampilan kritis dan karakter yang kuat turut berkontribusi dalam menciptakan lulusan yang tidak qualified. Pendidikan seharusnya bukan tentang lulus dan bekerja saja, tetapi juga tentang pembentukan individu yang mampu berpikir kritis, berinovasi, dan menghadapi tantangan global.


Jika kita tidak segera mengubah paradigma ini, maka pendidikan nasional kita akan semakin tertinggal. Sudah saatnya kita menghentikan budaya pragmatisme instan dan menekankan pentingnya proses belajar yang berkualitas, baik dari segi akademik maupun karakter.


Pak J

Senin, 09 September 2024

SAAT HATI MENJAUH DAN CINTA TAK LAGI DI TEMUKAN

 


Foto: liputan6.com
Di sebuah desa kecil, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang tampak bahagia dari luar. Ayahnya, Pak Sandi, adalah seorang pria pekerja keras, sementara ibunya, Bu Maya, adalah seorang ibu rumah tangga penuh kasih sayang. Mereka memiliki seorang putri kecil bernama Lila, seorang anak yang selalu ceria, dengan tawa yang menghangatkan rumah mereka setiap harinya.

Namun, di balik keharmonisan keluarga tersebut, ada satu hal yang menjadi beban pikiran Pak Sandi. Hubungannya dengan orang tuanya—kakek dan nenek Lila—tidak lagi baik. Setiap kali Lila pulang setelah berkunjung ke rumah kakek dan neneknya, ia selalu menceritakan dengan antusias tentang bagaimana ia menyukai bermain di sana. Tetapi bagi Pak Sandi, cerita itu adalah pengingat akan hubungan yang penuh kekecewaan dengan orang tuanya.

Suatu hari, Pak Sandi mulai berbicara dengan Lila, "Jangan terlalu sering ke rumah kakek dan nenek. Mereka tidak peduli lagi pada kita." Lila yang masih kecil hanya bisa bertanya dengan polos, "Kenapa, Ayah?" Namun, jawaban itu selalu diiringi dengan nada tegas dan keras. Meskipun Lila belum mengerti sepenuhnya, ia mulai merasakan bahwa menjauhi kakek dan neneknya adalah hal yang benar.

Hari demi hari, suasana di rumah semakin berat. Ketika Lila melakukan kesalahan kecil—seperti menumpahkan susu atau lupa merapikan mainannya—Pak Sandi mulai kehilangan kendali. "Lila, kenapa kamu tidak bisa mendengarkan?!" teriaknya dengan keras. Suara bentakan Pak Sandi menggema di rumah, membuat Lila gemetar ketakutan. Suatu ketika, dalam kemarahannya, Pak Sandi mengancam, "Kalau kamu nakal, Ayah akan mengunci kamu di kamar gelap!"

foto :dream.co

Lila menangis, rasa takut menyelimuti hatinya. Kamar yang seharusnya menjadi tempat aman baginya kini berubah menjadi ancaman menakutkan. Hari demi hari, Lila tumbuh dengan rasa takut akan kemarahan ayahnya. Perlahan, ia mulai merasa bahwa dirinya selalu salah, dan cintanya kepada kakek serta neneknya berangsur-angsur menghilang, digantikan oleh rasa benci yang ditanamkan oleh ayahnya.

Waktu berlalu, Lila tumbuh menjadi seorang remaja. Ia tidak lagi pergi ke rumah kakek dan neneknya, bahkan ketika Bu Maya memintanya untuk mengunjungi mereka. Setiap kali ia melihat mereka di desa, Lila cenderung menghindar. Di dalam hatinya, hubungan dengan kakek dan neneknya terasa jauh dan dingin—sesuatu yang ia pelajari dari ayahnya.

Pak Sandi mulai merasakan perubahan dalam diri Lila. Anak perempuannya yang dulu ceria dan penuh tawa kini berubah menjadi pendiam dan lebih sering merasa tertekan. Namun, Pak Sandi tidak menyadari bahwa perlakuannya terhadap Lila selama ini yang membuatnya berubah. Lila kini menyimpan rasa takut dan luka yang mendalam akibat sikap ayahnya yang keras.

Islam post

Tahun demi tahun berlalu, Pak Sandi mulai menua. Pada suatu hari, Pak Sandi jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia mulai bergantung pada Lila untuk merawatnya. Namun, Lila yang telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa, tidak lagi merasakan kehangatan terhadap ayahnya. Setiap kali Pak Sandi meminta bantuan, Lila bersikap dingin. Dalam hatinya, ia mengingat masa kecilnya yang penuh ancaman dan ketakutan.

"Kamu tidak peduli pada Ayah, Lila?" tanya Pak Sandi dengan suara lemah.

Lila menatap ayahnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Ayah, aku hanya melakukan apa yang Ayah ajarkan kepadaku selama ini," jawabnya dengan suara datar.

Pak Sandi tertegun. Saat itu, ia menyadari bahwa segala yang ia tanamkan pada Lila kini telah kembali kepadanya. Lila memperlakukannya dengan cara yang sama seperti bagaimana dulu ia mengajari anaknya untuk menjauh dari kakek dan neneknya—dengan rasa dingin, jarak, dan kekosongan emosional. Hatinya hancur saat ia menyadari bahwa segala kemarahan dan kekerasan yang ia tunjukkan selama ini telah menghilangkan rasa cinta dan kasih sayang anaknya terhadapnya.

Narasi ini adalah pengingat bagi setiap orang tua bahwa anak-anak merekam setiap ucapan, perilaku, dan perlakuan yang mereka terima. Mereka belajar dari kita, dan apa yang kita tanamkan di masa kecil mereka akan tumbuh menjadi dasar bagaimana mereka bersikap di masa depan. Sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak kita dengan kasih sayang dan kelembutan, bukan dengan kekerasan. Sebab, jejak kecil yang kita tinggalkan dalam hati mereka akan menjadi bekal besar dalam kehidupan mereka, dan pada akhirnya, mereka akan memperlakukan kita sebagaimana kita memperlakukan mereka saat mereka kecil.

gambar:kompas.com

Pesan Moral:

Apa yang kita tanamkan pada anak-anak kita hari ini akan tumbuh menjadi cermin bagaimana mereka memperlakukan kita dan orang lain di masa depan. Mendidik dengan kasih sayang, kesabaran, dan tanpa kekerasan bukan hanya membentuk anak yang sehat secara emosional, tetapi juga membangun hubungan yang kuat dan hangat dengan mereka.

Narasi ini dirancang untuk pembelajaran parenting, di mana orang tua bisa belajar bahwa setiap tindakan dan cara mendidik mereka akan berdampak pada perkembangan anak, baik secara emosional maupun psikologis.

 Pak J


 

Sabtu, 07 September 2024

MENCETAK PENGGERAK INOVASI ATAU HANYA PEKERJA MURAH ?

 

beranda inspirasi
Pemerintah memiliki program untuk lulusan SMK dengan fokus utama pada tiga pilihan: bekerja, berwirausaha, atau melanjutkan pendidikan. Namun, kenyataannya, sebagian besar kebijakan tampaknya lebih menekankan lulusan SMK untuk segera memperoleh pekerjaan dibandingkan dengan berwirausaha atau melanjutkan kuliah. Ini menimbulkan beberapa pertanyaan serius tentang arah kebijakan pendidikan kejuruan kita.

Mengapa porsi kebijakan yang lebih besar tidak diarahkan untuk menciptakan lulusan yang mandiri dan inovatif? Pemerintah tentu menyadari bahwa jumlah lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah lulusan SMK setiap tahunnya. Apakah ini berarti mereka secara tidak langsung menciptakan “pengangguran terselubung” yang hanya terfokus pada tenaga kerja operator? Apakah tujuan sebenarnya hanya untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja murah dan terampil, namun mengabaikan potensi besar para lulusan untuk menjadi wirausahawan atau pemikir kreatif?



fortal indonesia

Jika kita terus mendorong lulusan SMK untuk mengambil pilihan instan—lulus dan bekerja seadanya—siapa yang nantinya akan mengelola sumber daya alam Indonesia yang melimpah? Apakah kita akan membiarkan sumber daya alam kita dikelola oleh pihak asing karena lulusan kita tidak dipersiapkan untuk berpikir jauh ke depan, menguasai teknologi, dan menjadi pemimpin di sektor-sektor strategis?

Pendekatan yang hanya berfokus pada menyediakan tenaga kerja siap pakai untuk perusahaan besar, tanpa mendorong kemampuan inovasi dan berpikir kritis, hanya akan membuat bangsa ini bergantung pada pihak luar. Lulusan SMK yang diarahkan untuk mengambil jalan pintas menuju pekerjaan seadanya cenderung tidak berkembang, tidak kreatif, dan tidak memiliki keinginan untuk menjadi penggerak perubahan. Jika hal ini dibiarkan, kita hanya akan mencetak generasi yang menjadi pekerja, bukan pemimpin.

Pemerintah perlu memikirkan ulang kebijakan pendidikan SMK. Tidak hanya menyediakan tenaga kerja bagi industri, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan untuk berwirausaha, menciptakan inovasi, dan berpikir strategis dalam jangka panjang. Jika tidak, kita akan tetap menjadi penonton di negeri sendiri, sementara sumber daya alam kita dikuasai oleh orang asing.

Pendidikan kejuruan harus menjadi wadah untuk mencetak generasi mandiri dan berdaya saing, bukan sekadar pekerja pasif.

 

Petirtaan Ngawonggo: Warisan Kuno Jawa yang Memukau"

 

PETIRTAAN NGAWONGGO

Situs Petirtaan Ngawonggo, yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan salah satu saksi bisu perjalanan panjang sejarah Jawa. Situs ini tidak hanya mencerminkan warisan dari era Mataram Kuno, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat lokal menjaga hubungan spiritual mereka dengan alam dan budaya melalui generasi. Mulai dari masa kejayaan Hindu-Buddha, penyebaran Islam, hingga upaya pelestarian modern, Ngawonggo telah menjadi bagian integral dari identitas lokal yang kaya dengan sejarah dan spiritualitas.

 Ngawonggo sebagai Mandala Suci (943 Masehi)

Situs Petirtaan Ngawonggo pertama kali diketahui berasal dari era Mpu Sindok, penguasa Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Dinasty isyana, yang memindahkan pusat kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan ini didorong oleh berbagai faktor, seperti bencana alam yang melanda Jawa Tengah dan ancaman dari kerajaan-kerajaan tetangga termasuk yang uutama adalah serangan dari musuh bebuyutanya kerajaan Sriwijaya divisi Jambi. Mpu Sindok memerintah antara tahun 929 hingga 947 Masehi, dan pada masanya, muncul berbagai tempat suci di wilayah Jawa Timur, termasuk Kaswangga, yang disebutkan dalam Prasasti Wurandungan (Kanuruhan B) bertarikh 943 Masehi. Kaswangga diduga kuat merupakan nama kuno dan nama lain  dari Ngawonggo.

Sejak awal, Petirtaan Ngawonggo memiliki fungsi religius sebagai tempat suci, untuk menyucikan diri bagi para rohaniwan Hindu dan Buddha. Dalam tradisi Hindu, air memiliki makna spiritual yang sangat mendalam, sebagai lambang pemurnian dari dosa dan energi negatif. Oleh karena itu, petirtaan atau kolam suci seperti yang ada di Ngawonggo sangat penting dalam kehidupan keagamaan pada masa Mataram Kuno. Para pendeta dan bangsawan akan menggunakan petirtaan ini sebelum melaksanakan upacara atau persembahan besar di candi-candi utama, seperti Candi Singosari dan Candi Badut, dan candi cndi laian nya yang berada di Jawa Timur.

KULINER NGAWONGGO

Petirtaan Ngawonggo didesain sebagai bagian dari "mandala" atau "kahyangan," istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti tempat suci atau kediaman para dewa. Mandala ini merupakan bagian dari sistem keagamaan yang tidak hanya berfokus pada bangunan fisik, tetapi juga pada makna spiritual di balik ritual penyucian yang dilakukan di sana. Struktur kolam dan pancuran di situs ini diyakini mengalirkan air dari sumber mata air alami yang dianggap memiliki kekuatan ilahi. Air tersebut digunakan untuk berbagai upacara penting, termasuk ritual mandi penyucian atau "tirthayatra," yang hingga kini masih menjadi tradisi dalam agama Hindu.

Kolam-kolam di Petirtaan Ngawonggo tidak hanya menjadi sarana untuk pembersihan fisik, tetapi juga sebagai bagian dari proses meditasi dan refleksi spiritual. Relief-relief yang ada di sekitarnya menggambarkan berbagai dewa dan makhluk mitologis yang terkait dengan kepercayaan Hindu dan Buddha, menguatkan fungsi spiritual dari situs ini.

 Legenda Mbah Surayuda (1476 Masehi)

Seiring dengan berakhirnya era Kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan mojopahit, Jawa Timur mulai mengalami perubahan besar dengan masuknya Islam pada abad ke-15. Proses penyebaran Islam di Jawa Timur dipelopori oleh para wali dan ulama, terutama Wali Songo, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam proses Islamisasi Pulau Jawa. Di wilayah Malang, salah satu tokoh yang memiliki peran besar menurut tradisi lokal adalah Mbah Surayuda, atau dikenal juga dengan Mbah Jalaludin, seorang murid Sunan Bayat dari Klaten, Jawa Tengah. Menurut legenda, Mbah Surayuda diutus untuk menyebarkan Islam di wilayah Ngawonggo pada sekitar tahun 1476 Masehi.

Namun, seperti banyak cerita rakyat lainnya, tidak ada bukti arkeologis yang kuat yang dapat mengonfirmasi kebenaran kisah ini. Meskipun demikian, kisah Mbah Surayuda mencerminkan bagaimana situs-situs suci Hindu-Buddha diadaptasi oleh masyarakat setempat dalam konteks Islam, sebagai budaya adiluhung yang semakin dominan pada masa itu. Tradisi lisan ini juga menunjukkan adanya kesinambungan antara kepercayaan lama dan baru, di mana nilai-nilai dan tempat-tempat suci Hindu-Buddha tetap dipertahankan dalam bentuk yang berbeda, sering kali dengan simbolisme Islam yang ditambahkan.

PETIRTAAN DAN RELIEF
Cerita tentang Mbah Surayuda tidak hanya menjadi bagian dari narasi sejarah, tetapi juga sebagai sarana masyarakat lokal untuk menegaskan bahwa situs-situs seperti Petirtaan Ngawonggo tetap memiliki nilai spiritual di tengah-tengah perubahan agama dan budaya. Keberlanjutan spiritualitas situs ini meskipun dalam bentuk yang berbeda, memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat Jawa Timur beradaptasi dengan pengaruh luar, tetapi tetap menjaga warisan budaya mereka.

 Era yang Berjalan Seiring Waktu (1476 - 1970-an)

Setelah masa penyebaran Islam, Petirtaan Ngawonggo tidak kehilangan fungsi sakralnya. Meskipun tidak lagi digunakan secara luas oleh rohaniwan Hindu-Buddha, masyarakat lokal masih menggunakan air dari pancuran di situs tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi maupun upacara-upacara adat. Air dari petirtaan dipercaya memiliki kekuatan magis, mampu menyembuhkan penyakit, dan memberikan keberuntungan. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan bagaimana masyarakat lokal terus menghormati situs tersebut sebagai tempat yang memiliki kekuatan spiritual.

Namun, perubahan teknologi dan akses terhadap air bersih di desa-desa sekitar mulai menggeser peran petirtaan ini. Sejak diperkenalkannya sumur dan jaringan air PDAM pada pertengahan abad ke-20, pancuran di situs ini mulai ditinggalkan. Vegetasi tumbuh liar dan menutupi sebagian besar situs, dan kolam-kolam petirtaan menjadi tertutup lumpur. Pada periode ini, situs Petirtaan Ngawonggo mulai dilupakan oleh banyak orang, meskipun masih ada beberapa warga yang mengenangnya sebagai tempat suci yang penuh dengan arca dan relief.

 Penemuan Kembali (1970-an - 2017)

Pada tahun 1970-an, warga sekitar mulai menyadari bahwa terdapat peninggalan-peninggalan kuno di Ngawonggo, yang mereka sebut sebagai "reca" atau arca. Namun, kesadaran bahwa situs ini adalah petirtaan kuno dari era Mataram Kuno belum sepenuhnya muncul. Situs ini hanya dilihat sebagai tempat yang memiliki sejumlah arca tanpa pemahaman yang mendalam tentang sejarah atau fungsinya sebagai tempat penyucian.

Momentum penemuan kembali situs ini terjadi pada tahun 2017 ketika seorang warga bernama Yasin, bersama rekan-rekannya, mengunggah video tentang situs Ngawonggo di kanal YouTubenya. Video tersebut menjadi viral di kalangan pegiat sejarah dan menarik perhatian komunitas arkeologi, termasuk Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Tindakan ini membuka jalan bagi ekskavasi resmi yang dilakukan pada bulan Mei 2017. Ekskavasi ini berlangsung selama sembilan hari dan melibatkan warga lokal yang bekerja bersama tim arkeolog.

Ekskavasi mengungkap berbagai relief dan struktur kolam yang sebelumnya tertimbun oleh lumpur dan ditumbuhi vegetasi. Temuan ini menegaskan bahwa situs tersebut adalah sebuah petirtaan yang penting pada masa Mataram Kuno, dengan relief-relief yang masih utuh menggambarkan mitologi Hindu. Kolam-kolam yang ditemukan juga memperlihatkan pola yang sama dengan petirtaan lain di Jawa Timur yang berasal dari periode yang sama.

 Upaya Pelestarian oleh Masyarakat (2017 - Sekarang)

Setelah ekskavasi, upaya pelestarian situs ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat setempat. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dipimpin oleh Yasin mengambil peran penting dalam menjaga situs ini. Mereka secara rutin melakukan kegiatan kerja bakti untuk membersihkan area situs, merawat struktur yang sudah ditemukan, serta menjaga agar tidak ada vandalisme atau kerusakan akibat aktivitas manusia.

Namun, meskipun situs ini telah memenuhi syarat sebagai cagar budaya, hingga kini situs Petirtaan Ngawonggo belum diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai situs cagar budaya. Pengakuan resmi ini penting, karena dengan status cagar budaya, situs tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum serta dukungan finansial untuk pelestarian yang lebih baik. Meskipun demikian, inisiatif warga yang terus melibatkan diri dalam pelestarian situs ini patut diapresiasi sebagai upaya swadaya yang berharga.

 Potensi Wisata dan Pendidikan

Situs Petirtaan Ngawonggo memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Keindahan arsitektur dan relief-relief yang ditemukan di sana merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama mereka yang tertarik dengan sejarah Jawa kuno. Selain itu, situs ini juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi untuk mengajarkan sejarah dan budaya kepada generasi muda. Melalui pemahaman yang lebih serius tentang sejarah situs ini, masyarakatpun dapat lebih menghargai warisan budaya mereka dan berkontribusi pada upaya pelestarian. dengan semakin bertambah nya pengunjung dan penataan sarana rekreasi nya, situs ini akan semakin di kenal masyarakat di wilayah Malang raya pada kususnya dan Jawa timur pada Umumnya.


di rangkum dari berbagai sumber.
Pak J