Jumat, 06 September 2024

KETIKA RAKYAT KEHILANGAN HARAPAN UNTUK PERUBAHAN

 



Pemilihan kepala daerah serentak yang semestinya menjadi tonggak demokrasi kini menyisakan keprihatinan. Calon kepala daerah yang diharapkan oleh rakyat untuk memimpin mereka, terhalang untuk maju. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi alat aspirasi rakyat, kini tersandera oleh kasus hukum yang mudah dimanipulasi untuk menekan mereka sesuai kehendak penguasa. Kondisi ini membuat banyak daerah hanya memiliki satu calon tunggal yang melawan "bumbung kosong." Pertanyaan besar pun muncul: inikah makna demokrasi yang kita pilih untuk mengelola negara dan daerah?

Demokrasi seharusnya memberi rakyat ruang kebebasan memilih pemimpin yang mereka percayai. Namun, ketika calon yang diharapkan tidak bisa maju, dan partai politik tunduk pada tekanan kekuasaan, makna demokrasi itu sendiri mulai memudar. Ini bukan lagi sebuah sistem yang mencerminkan kehendak rakyat, melainkan sebuah permainan kekuasaan yang mengorbankan kebebasan politik dan harapan masyarakat.

Fenomena ini memperlihatkan rusaknya mekanisme demokrasi di negeri ini. Pilihan rakyat menjadi terbatas, ruang politik yang seharusnya diisi oleh beragam kandidat, kini dikosongkan oleh dominasi kekuasaan. Di sisi lain, banyak dari kita mulai bertanya: mengapa sebagian rakyat enggan untuk berubah? Mengapa sebagian masyarakat tampak pasif di tengah situasi yang semakin mengkhawatirkan ini?

Jawabannya mungkin terletak pada dua hal. Pertama, apatisme yang tumbuh akibat kekecewaan yang berkepanjangan. Rakyat melihat bahwa janji-janji perubahan yang dijanjikan penguasa sering kali hanya retorika kosong.Ketidakmampuan pemerintah dan partai politik untuk membawa perubahan nyata, membuat banyak masyarakat merasa tidak ada gunanya berharap atau berjuang untuk perubahan.


Kedua, ketidakpahaman akan kekuatan demokrasi itu sendiri. Sebagian masyarakat masih belum memahami bahwa demokrasi adalah hak mereka, bukan milik elite penguasa. Tanpa kesadaran ini, rakyat cenderung menerima apapun yang terjadi, termasuk kebuntuan politik yang terjadi saat ini.

Rakyat yang apatis atau pasrah, adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada proses politik, ketika mereka enggan untuk bergerak dan memperjuangkan perubahan, maka kekuatan demokrasi melemah. Padahal, perubahan hanya bisa terwujud jika ada partisipasi aktif dari masyarakat.


Untuk keluar dari krisis ini, kita harus menyadari bahwa demokrasi bukan sekadar formalitas pemilu. Demokrasi adalah kekuatan rakyat untuk menentukan masa depan mereka. Jika kita membiarkan kekuasaan terus menekan dan membatasi pilihan kita, maka kita hanya akan menjadi penonton di negeri kita sendiri, sementara hak dan suara kita terus direduksi.

Sekarang adalah saatnya bagi rakyat untuk bangkit. Kita harus menyuarakan kebebasan memilih, menolak kekuasaan yang mempermainkan sistem demokrasi, dan memperjuangkan kembali makna sejati demokrasi: kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat dalam menentukan arah bangsa.

Rabu, 04 September 2024

"ketika Ketua Umum Partai Tersandera,dan Rakyat Semakin Tersingkirkan"

 

koran tempo.co
Dalam dinamika politik terkini, beberapa ketua umum partai politik nasional dilaporkan secara tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatan mereka tanpa penjelasan yang jelas. Pengunduran diri tersebut memicu spekulasi bahwa mereka berada di bawah tekanan kuat dari sosok berpengaruh bernama Mulyono, yang diduga memanfaatkan ancaman hukum untuk menyandera dan mengendalikan mereka. Langkah ini menciptakan kegaduhan di kalangan politik dan publik, menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas demokrasi di negeri ini.

Mulyono, seorang tokoh yang dikenal memiliki pengaruh besar di lingkaran politik, diduga menyandera ketua-ketua partai yang memiliki rekam jejak kurang bersih. Ketum-ketum ini, yang seharusnya memimpin partai untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, justru berbondong-bondong merapat kepada Mulyono, meninggalkan idealisme partai mereka dan mengabaikan konstituen yang telah memilih mereka. Dengan kata lain, rakyat yang seharusnya mendapatkan wakil dan pemimpin yang memperjuangkan kepentingan mereka, justru merasa dikhianati oleh pemimpin-pemimpin yang tunduk pada skema politik elit.

Menurut pengamat politik, tindakan Mulyono ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan bagian dari strategi besar untuk memastikan kekuasaannya tetap kuat hingga 2029. Dugaan semakin kuat bahwa Mulyono ingin memastikan calon pilihannya, yang sering disebut sebagai "putra mahkota", bisa maju dalam Pemilihan Presiden 2029 tanpa hambatan. Jika pemimpin yang diinginkan rakyat diusung dan berhasil terpilih dalam waktu dekat, maka rencana Mulyono untuk memajukan calon pilihannya akan terancam gagal.


Namun, situasi ini memperlihatkan masalah yang lebih dalam di tubuh partai politik. Ketum-ketum yang disandera oleh Mulyono bukan sekadar korban, melainkan juga bagian dari sistem yang korup. Mereka, yang semestinya memperjuangkan kepentingan rakyat, mudah disandera karena catatan hukum mereka yang tidak bersih. Jika mereka bersih dan teguh memegang prinsip, Mulyono mungkin takkan bisa menekan mereka. Namun, kenyataannya, mereka lebih memilih untuk tunduk daripada mempertahankan integritas.



Akibat dari semua ini, rakyat dirugikan. Kesempatan untuk mengajukan calon pemimpin yang ideal sesuai dengan kehendak rakyat tersingkirkan karena ketum-ketum partai takut mengambil risiko melawan Mulyono. Rakyat yang dulu berharap partai bisa menjadi jembatan aspirasi kini melihat bahwa suara mereka semakin dipinggirkan oleh kepentingan elit politik.

koran tempo.co 

Tak hanya itu, anggota legislatif yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan suara rakyat pun diduga telah terjebak dalam konspirasi yang dirancang oleh Mulyono dan timnya. Anggota legislatif yang tersandera ini seolah membiarkan keadaan ini berlanjut, tanpa memperhatikan tuntutan masyarakat. Dengan kontrol yang semakin kuat di tangan Mulyono, rakyat merasa semakin tidak berdaya dan terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan politik yang seharusnya melibatkan mereka.

Meski demikian, gelombang keresahan di kalangan masyarakat mulai terlihat. Banyak yang merasa bahwa politik saat ini sudah tak lagi berpihak pada kepentingan mereka. Beberapa pengamat politik menilai bahwa jika keadaan ini terus berlanjut tanpa ada perlawanan, demokrasi di Indonesia akan semakin terkikis, dan kekuasaan akan kembali terkonsentrasi pada segelintir elit.

Rakyat perlu menyadari bahwa kekuatan sejati ada di tangan mereka. Meski Mulyono dan para elite politik berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, termasuk melalui konspirasi dan ancaman, rakyat tetap memiliki hak dan kekuatan untuk menuntut perubahan. Suara rakyat tidak boleh dianggap remeh, dan ini saatnya untuk membuktikan bahwa bangsa ini tidak akan dikuasai oleh mereka yang menganggap rakyat bodoh dan tak berdaya.

Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang memberi tempat bagi suara rakyat, bukan yang dikendalikan oleh segelintir orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Mulyono dan para pemimpin partai yang tunduk pada kekuasaan gelap harus dihadapkan pada pertanggungjawaban. Rakyat harus bangkit, bersatu, dan menuntut keadilan serta transparansi. Sebab, jika kita terus diam, maka masa depan bangsa ini akan dikuasai oleh mereka yang hanya peduli pada kekuasaan, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Rakyat Indonesia berhak atas pemimpin yang bersih, adil, dan berani. Masa depan bangsa ini ada di tangan kita, dan kita harus bersatu untuk memastikan bahwa kekuatan segelintir elit tidak akan merampas harapan dan impian kita.

Ketua Umum Partai Disandera, Rakyat Dirugikan oleh Manuver Politik Mulyono"


koran tempo.co 

Dalam perkembangan politik terkini, ada Ketua Umum partai politik diduga berada di bawah tekanan dan pengaruh Mulyono tiba tiba mundur dari kepemimpinan nya, banyak orang membuat anekdot, ada pohon besar dan tua di gergaji mulyono .seorang tokoh berkuasa yang menggunakan ancaman hukum untuk menyandera mereka. Tanpa penjelasan,  ketua umum ini mengundurkan diri dari posisi mereka, meninggalkan idealisme partai dan mengabaikan jeritan konstituen.

Mulyono, yang dipandang sebagai dalang di balik manuver ini, diduga sengaja melemahkan pemimpin partai yang tidak bersih, memaksanya tunduk pada skenario politiknya. Rakyat kehilangan kesempatan untuk mengajukan calon pemimpin ideal mereka, karena para ketua partai takut melawan pengaruh Mulyono. Kekhawatiran muncul bahwa konspirasi ini berpotensi memuluskan rencana Mulyono untuk memajukan sosok "putra mahkota" pada 2029, mengabaikan aspirasi rakyat.

Situasi ini menimbulkan keresahan di masyarakat, yang merasa suara mereka tidak lagi diperhitungkan dalam proses politik yang seharusnya demokratis.

nasib rakyat di bawah penguasa tak peduli ibarat kambing di tengah tengah kepungan serigala.

Saat Air Menjadi Harapan:

  Ulurkan Tangan untuk Desa Kunjorowesi


Di sudut lain dari negeri ini, ada sebuah Desa bernama Kunjorowesi.tengah berjuang melawan dampak kemarau panjang. Air, yang bagi kita adalah kebutuhan sehari-hari yang mudah dijangkau, kini menjadi barang yang sangat mahal dan susah untuk di hadirkan di sana.

Hampir setiap hari warga desa terpaksa menempuh perjalanan jauh, melintasi jalanan berbatu dan terik matahari, hanya untuk mengumpulkan air bersih yang semakin langka. Mereka memikul dan memanggul. 

Bayangkan, dalam kondisi seperti ini, mereka harus memilih antara minum, memasak, atau menjaga kebersihan. Setiap tetes air adalah harapan, dan setiap kali mereka menimba dari sumber yang jauh, mereka berharap itu cukup untuk bertahan sehari lagi.


Kita tidak bisa membiarkan mereka berjuang sendiri. Dalam momen-momen sulit seperti ini, solidaritas kita adalah kekuatan yang nyata bagi mereka. Setiap donasi yang Anda berikan bukan sekadar sumbangan—itu adalah air kehidupan, membawa harapan dan senyum ke wajah-wajah yang telah lama mengalami lelah.


Dengan hanya Rp 500.000, Anda dapat membantu menyediakan satu tangki air bersih berkapasitas 5000 liter, atau dengan Rp 50.000, Anda dapat membantu meringankan beban mereka yang tengah berjuang di tengah krisis ini.


Mari kita bersama-sama menciptakan perubahan nyata. Mari  sama samTangan Anda adalah berkah bagi mereka. Setiap rupiah yang Anda donasikan adalah langkah menuju kehidupan yang lebih baik untuk saudara-saudara kita di Desa Kunjorowesi.


Bantu sekarang, dan jadilah cahaya dalam kegelapan mereka.


Untuk donasi, hubungi kami di: 📞 Hotline: 031 5151 2722 // 0851 7539 9113 💳 Rekening BSI eks BSM: No. Rek. 70 155 78712 a.n Dompet Kepedulian Muslim 🏡 Office: Jl. Mayangkara Kav. 9 Gayung Kebonsari, Surabaya.


Setiap bantuan Anda, sekecil apapun, akan membawa harapan baru bagi mereka yang paling membutuhkan.

 Pak J

Selasa, 03 September 2024

Biarkan Mereka Tetap Bodoh

Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, seharusnya dapat memanfaatkan kekayaan ini untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya. Namun, sistem pendidikan, khususnya sekolah vokasi, justru membuat bangsa ini terjebak dalam ketertinggalan. Bukannya mengajarkan kemandirian dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sekolah-sekolah vokasi lebih fokus pada mencetak tenaga kerja yang siap dipekerjakan sebagai operator di industri.

Mindset pragmatis yang dibangun oleh pemangku kebijakan ini mengajarkan siswa untuk mencari jalan tercepat dan termudah, tanpa memikirkan bagaimana mereka bisa mengembangkan potensi besar yang dimiliki oleh negeri ini.tanpa berusaha bagaimana mereka mampu  memikirkan, mengembangkan dan mengelola sumber daya alam yg ada. Mereka tidak dididik untuk menjadi pengusaha atau inovator yang bisa mengolah kekayaan alam, melainkan hanya menjadi pekerja yang melayani kebutuhan industri.


Akibatnya, sumber daya alam Indonesia tetap dikuasai oleh segelintir orang kaya, sementara mayoritas rakyat tetap tertinggal. Jika paradigma pendidikan ini tidak diubah, maka bangsa ini akan terus membiarkan kebodohannya. Indonesia akan terus bergantung pada orang lain untuk mengelola kekayaannya, sementara generasi mudanya hanya diajarkan untuk menjadi pekerja, bukan pemimpin atau pengusaha. Dengan begitu, sistem ini akan terus mempertahankan kebodohan yang merugikan masa depan bangsa.


Biarkan mereka tetap bodoh—itulah pesan tersirat dari kebijakan pendidikan yang ada. Dan jika tidak ada perubahan, kebodohan ini akan menjadi warisan yang tak terhindarkan. 

Dan potensi sda Indonesia yg luar biasa ini, akan selalu di nikmati oleh segelintir / sekelompok manusia dan  negara sebesar ini, akan di kendalikan oleh mereka, siapapun presiden nya. 

Sabtu, 31 Agustus 2024

PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN

 PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN


Titik Awal dari Sebuah Perjuangan


Di sebuah desa kecil bernama  Tritik , Kecamatan Rejoso, Kabupaten Kota Angin, yang dikenal sebagai Anjuk Ladang, hiduplah seorang pemuda bernama  Darwis   Berbeda dengan anak-anak sebayanya,  Darwis tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika usianya baru menginjak satu tahun, ibunya meninggal dunia. Setahun kemudian, ayahnya pun menyusul ke pangkuan Tuhan. Sejak saat itu,  Darwis diasuh oleh neneknya yang sudah tua renta. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan, bergantung pada belas kasihan tetangga dan hasil jualan sapu lidi buatan neneknya.

Dari kecil,  Darwissudah terbiasa bekerja keras untuk sekadar mendapatkan sesuap nasi. Neneknya, dengan sisa tenaga yang ada, mengajarkan  Darwis cara membuat sapu lidi dari daun kelapa yang mereka kumpulkan dari hutan di samping rumah mereka. Terkadang, mereka mendapat cukup uang untuk makan, namun sering kali mereka harus tidur dengan perut kosong.

Meski hidup dalam kesulitan,  Darwis tumbuh menjadi anak yang kuat dan tabah. Ia jarang sekali bermain seperti anak-anak lain seusianya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membantu neneknya, mencari rezeki untuk mengisi perut mereka yang lapar.  Darwis sadar, hidupnya tidaklah semudah teman-temannya yang masih bisa merasakan kasih sayang orang tua dan bermain bebas tanpa beban.

Tahun demi tahun berlalu. Dengan bantuan seorang tetangga jauh yang iba melihat keadaan mereka,  Darwis akhirnya bisa merasakan pendidikan hingga tingkat SMA. Ia merupakan siswa yang cerdas, namun setelah lulus SMA,  Darwis dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa mencari pekerjaan di negeri ini tidaklah mudah, terutama jika tidak memiliki "orang dalam" yang bisa memuluskan jalan.

 Darwis tidak putus asa. Ia memilih untuk tidak menyerah pada keadaan. Ia memutuskan untuk bekerja apa saja yang bisa ia lakukan. Setelah berpikir keras, akhirnya  Darwis memilih menjadi seorang pemain pantomim jalanan. Ia mewarnai seluruh wajahnya dengan bedak putih dan menampilkan aksi lucu untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang di desa-desa sekitar. Setiap hari, mulai pagi hingga sore,  Darwis berkeliling dari kampung ke kampung, menawarkan hiburan sederhana yang mampu menghadirkan senyuman di wajah orang-orang.

"Kalau aku bisa membuat satu anak saja tertawa hari ini, itu sudah cukup bagiku," pikir  Darwissetiap kali ia memulai harinya.

Hari itu, matahari bersinar terik di atas desa kecil itu. Seperti biasa,  Darwis berdiri di pojok jalan desa, menampilkan aksi pantomimnya yang lucu. Meski keringat mengucur deras, ia tetap tersenyum. Setiap lemparan koin atau uang receh yang diterimanya disambut dengan senyuman tulus dan rasa syukur. Hingga jam menunjukkan pukul 15.20, seorang pemuda mendekatinya. Usianya sekitar 25 tahun, tujuh tahun lebih tua dari  Darwis 

"Mas, mau beli duren?" tanyanya sambil mengulurkan buah durian besar ke arah  Darwis 

 Darwistersenyum lelah. "Maaf, Mas, saya nggak ada uang untuk beli duren. Uang saya hanya cukup untuk makan saya dan nenek saya."

Pemuda itu tersenyum tipis. "Saya lagi butuh uang, Mas. Anak saya yang pertama lagi dirawat di rumah sakit umum daerah, kena sakit tifus. Satu buah duren ini, saya jual 200 ribu."

 Darwisterdiam sejenak. Meski hatinya tersentuh, ia tahu betul bahwa ia tidak punya uang sebanyak itu. Ia hanya punya uang 50 ribu hasil mengamen seharian. Namun, pendidikan yang diberikan oleh neneknya untuk selalu berempati dan peduli kepada sesama membuat  Darwis merogoh saku celananya. Dengan sedikit ragu, ia menyerahkan seluruh uang yang ia miliki.

"Ini, Mas. Saya cuma punya 50 ribu. Ambil saja, semoga bisa sedikit membantu," kata  Darwis sambil tersenyum tulus.

Pemuda itu tertegun. "Kamu ikhlas memberikan uangmu ini? Terus, nanti kamu makan apa kalau semuanya kamu kasih ke saya?"

 Darwis mengangguk, "Tidak apa-apa, Mas. Setelah ini, aku masih bisa mengamen lagi. Semoga Allah memberi jalan rezeki yang lain."

Mata pemuda itu berkaca-kaca. Ia menyerahkan durian itu ke  Darwis  , namun  Darwis menolak.

"Bawa saja durennya, Mas. Buat keluarga di rumah," kata  Darwis lembut.

Pemuda itu tersenyum, "Kita tadi akadnya jual beli, jadi duren ini harus kamu terima sebagai kenang-kenangan dari saya."

Karena pemuda itu terus mendesak, akhirnya  Darwis menerima durian tersebut dengan rasa haru. Saat membuka durian itu, betapa terkejutnya  Darwis menemukan sebuah amplop di dalamnya berisi uang sebesar 15 juta rupiah.

"Mas... katanya butuh uang untuk ke rumah sakit?" tanya  Darwis kebingungan.

Pemuda itu tersenyum. "Maafkan saya, Mas. Saya memang sedang melakukan eksperimen sosial. Saya mencari orang baik yang tulus membantu orang lain meski dalam kesulitan. Dan saya menemukan itu di diri Mas. Uang ini untuk Mas dan nenek di rumah."

 Darwis terdiam, air matanya jatuh berlinang. Ia sujud syukur kepada Allah, berterima kasih atas rezeki yang tak disangka-sangka. Dalam hatinya, ia berjanji akan terus berbagi kepada sesama, seberapa pun sulit hidupnya.

Harapan Baru di Bawah Langit Kota Angin

Setelah kejadian luar biasa itu, kehidupan  Darwis berubah drastis. Dengan uang 15 juta rupiah yang diterimanya,  Darwis dan neneknya tak lagi harus khawatir tentang makan sehari-hari untuk sementara waktu. Mereka bisa membeli kebutuhan dasar, memperbaiki rumah yang hampir roboh, dan yang paling penting, membiayai pengobatan nenek  Darwis yang selama ini terpaksa ditunda karena masalah biaya.

Namun, uang itu bukanlah akhir dari perjuangan  Darwis  , melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya.  Darwis memutuskan untuk menggunakan sebagian uang tersebut untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

"Nek, aku ingin gunakan sebagian uang ini untuk belajar keterampilan lain," kata  Darwis suatu malam ketika mereka sedang makan malam bersama.

Nenek  Darwis menatapnya dengan penuh kasih. "Keterampilan apa yang ingin kamu pelajari, cucuku?"

"Aku ingin belajar menjadi seorang pelukis, Nek. Selama ini aku suka menggambar, dan aku merasa bisa menghibur lebih banyak orang dengan lukisan," jawab  Darwis dengan mata berbinar.

Neneknya tersenyum. Meski usianya sudah senja, semangat  Darwis menghidupkan kembali semangatnya yang pernah padam. "Kalau itu yang kamu inginkan, Nek dukung. Kamu selalu punya bakat,  Darwis   Mungkin ini saatnya kamu mengejar impianmu."

 Darwis mulai belajar melukis dari seorang pelukis tua yang tinggal di desa sebelah. Dengan cepat, dia menguasai teknik-teknik dasar dan mulai mengembangkan gaya lukisannya sendiri. Lukisan-lukisannya memancarkan keindahan dan kesederhanaan hidup pedesaan yang penuh dengan perjuangan dan harapan.

Satu per satu, orang-orang mulai tertarik dengan karya  Darwis   Mereka datang ke rumahnya untuk melihat lukisannya, dan beberapa bahkan mulai membeli. Dari situ,  Darwis mulai menghasilkan uang lebih dari yang dia dapatkan dengan mengamen.

Namun,  Darwis tidak pernah melupakan akar kehidupannya sebagai penghibur jalanan. Setiap akhir pekan, dia tetap meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak dan penduduk desa dengan pantomimnya, karena dia percaya bahwa seni adalah tentang memberi, bukan hanya menerima.

Mewujudkan Mimpi

Seiring berjalannya waktu, nama  Darwis mulai dikenal di luar desanya. Salah satu lukisannya yang berjudul "Pelangi di Wajah  Darwis  ," sebuah lukisan dirinya saat menjadi pantomim dengan wajah berlumur bedak putih, menarik perhatian seorang kolektor seni dari kota besar. Lukisan itu menggambarkan senyuman yang memancarkan keikhlasan meski di tengah kemiskinan, sesuatu yang membuat orang-orang yang melihatnya merasakan hangatnya harapan.

"Berapa harga lukisan ini?" tanya kolektor seni itu ketika dia datang ke rumah  Darwis 

 Darwis, yang masih merasa rendah hati, menjawab, "Lukisan ini tidak untuk dijual. Ini adalah pengingat bahwa hidup saya selalu berjuang dan bahwa kebahagiaan tidak datang dari uang, tetapi dari hati yang ikhlas."

Kolektor itu terkesan dengan jawabannya. "Saya mengerti. Namun, saya ingin mendukung perjalanan seni Anda. Bagaimana kalau saya memesan lukisan lain dari Anda? Sesuatu yang mencerminkan kehidupan Anda yang penuh perjuangan namun tetap harapan?"

 Darwis tersenyum dan menyetujui permintaan itu. Ia mulai bekerja penuh keras untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Selama proses melukis, dia merasakan kedamaian yang luar biasa. Lukisan itu menjadi lebih dari sekadar karya seni; itu adalah cerita hidupnya yang dituangkan dalam warna dan bentuk.

Ketika lukisan itu akhirnya selesai, kolektor tersebut datang kembali dan melihat lukisan yang menggambarkan seorang pemuda berjalan di tengah badai, dengan pelangi muncul di atasnya. "Luar biasa," kata kolektor itu. "Ini adalah karya yang indah, penuh makna dan emosi."

Setelah itu, kehidupan  Darwis berubah semakin baik. Lukisannya menjadi semakin dikenal dan dihargai. Namun,  Darwis tetap hidup sederhana. Dia tidak ingin terjebak dalam kehidupan yang mewah. Dia selalu ingat pesan neneknya untuk selalu rendah hati dan bersyukur.

Tantangan  Hidup anak desa


Namun, hidup tidak selalu berjalan mulus. Ketika  Darwis mulai merasakan sedikit kestabilan dalam hidupnya, ujian baru datang. Neneknya jatuh sakit. Sakitnya semakin parah, dan dokter mengatakan bahwa nenek  Darwis membutuhkan operasi besar yang biayanya jauh lebih tinggi dari yang mereka miliki.

 Darwis merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia kembali berjuang untuk mencari cara agar bisa mendapatkan uang. Semua tabungannya hampir habis untuk perawatan awal neneknya. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu.

 Darwis memutuskan untuk menjual salah satu lukisannya yang paling berharga, "Pelangi di Wajah  Darwis  "  Dia tahu betapa pentingnya lukisan itu baginya, tetapi dia juga tahu bahwa kesehatan neneknya jauh lebih penting.

Lukisan itu terjual dengan harga yang sangat tinggi, cukup untuk membiayai operasi neneknya. Operasi itu berjalan sukses, dan nenek  Darwis perlahan mulai pulih. Meski merasa kehilangan sesuatu yang berharga,  Darwis tidak pernah menyesali keputusannya.

"Nek, aku sudah kehilangan satu lukisan yang sangat berharga, tapi aku tidak peduli. Yang penting adalah nenek sembuh," kata  Darwis sambil menggenggam tangan neneknya.

Neneknya tersenyum lemah. "Kamu benar,  Darwis   Hidup ini bukan tentang apa yang kita miliki, tapi tentang siapa yang kita cintai."

Kata-kata itu terus terngiang di pikiran  Darwis   Dia menyadari bahwa meskipun hidup penuh dengan cobaan, selama dia memiliki orang-orang yang dia cintai, dia akan selalu merasa kaya.

Cahaya di Ujung hutan Tritik

Dengan neneknya yang semakin pulih,  Darwis kembali melukis. Kali ini, lukisan-lukisannya semakin dalam dan penuh dengan perasaan. Dia melukis tentang kehilangan, tentang harapan, tentang cinta yang tak pernah padam meski diterpa badai kehidupan. Lukisan-lukisan itu semakin dihargai di dunia seni, dan  Darwispun semakin dikenal.

Namun, lebih dari segalanya,  Darwis merasa bahwa dia menemukan dirinya sendiri melalui seni. Dia merasa bahwa setiap goresan kuas di atas kanvas adalah bagian dari jiwanya yang bercerita. Dia mulai mengadakan pameran kecil di kotanya, mengajak anak-anak dan pemuda untuk belajar seni dan menemukan ekspresi mereka.

Di salah satu pameran itu, seorang pria tua mendekati  Darwis   "Saya tahu kamu,  Darwis   Kamu adalah anak yang dulu suka bermain pantomim di jalanan," katanya sambil tersenyum.

 Darwis tersenyum. "Benar, Pak. Saya masih suka bermain pantomim sampai sekarang, meski tidak setiap hari."

Pria tua itu terharu. "Kamu tidak pernah berubah, ya? Selalu sederhana dan rendah hati."

 Darwis tertawa kecil. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Pak. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan tanpa melakukan apa yang kita cintai."

Pria tua itu mengangguk. "Dan itu yang membuatmu istimewa,  Darwis   Teruslah berkarya. Dunia membutuhkan orang seperti kamu."

Pelangi Setelah Hujan

Setahun berlalu setelah nenek  Darwis sembuh dari operasinya. Hidup  Darwis kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia berhasil membuka sebuah galeri seni kecil di kota, tempat dia memamerkan dan menjual lukisan-lukisannya. Galeri itu juga menjadi tempat bagi anak-anak dan remaja di desanya untuk belajar seni dan menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka.

Namun, ujian terakhir datang ketika nenek  Darwis jatuh sakit lagi. Kali ini, usianya yang tua tak mampu lagi menahan penyakitnya. Setelah beberapa bulan berjuang, nenek  Darwis akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di pelukan  Darwis    Darwis merasa sangat kehilangan, namun dia tahu bahwa neneknya telah pergi dengan damai.

Setelah pemakaman neneknya,  Darwis kembali ke galeri. Dia duduk di depan kanvas kosong, mencoba menangkap perasaannya yang campur aduk. Air matanya menetes, membasahi kanvas. Tapi kemudian, dia mulai melukis. Tangannya bergerak seolah memiliki pikiran sendiri. Dia melukis neneknya, dengan senyuman lembut dan mata penuh cinta, seperti yang selalu dia ingat.

Lukisan itu menjadi karya terbaiknya. Orang-orang yang melihatnya merasa tergerak, seolah merasakan kehadiran nenek  Darwis melalui lukisan itu. Lukisan itu menjadi simbol cinta abadi antara  Darwis dan neneknya.

 Darwis menamai lukisan itu "Pelangi Setelah Hujan," sebuah penghormatan untuk neneknya yang selalu mengajarkan bahwa setelah setiap badai, selalu ada pelangi. Hidup  Darwis mungkin penuh dengan badai, tetapi dia selalu menemukan cara untuk melihat pelangi di ujungnya.

Di tengah kehidupannya yang baru sebagai pelukis terkenal,  Darwis tetap menjadi dirinya yang sederhana. Dia tahu bahwa hidup adalah tentang cinta, perjuangan, dan harapan. Dan dia tahu bahwa neneknya akan selalu hidup di hatinya, seperti pelangi setelah hujan.

 Darwis tersenyum. Dia menatap lukisan neneknya dan berbisik, "Terima kasih, Nek, untuk segalanya. Aku akan terus melukis dan berbagi cinta, seperti yang kau ajarkan padaku."

Kisah  Darwis adalah cerita tentang perjuangan, cinta, dan harapan. Meski hidupnya penuh dengan tantangan, dia selalu menemukan cara untuk melihat kebaikan dalam segala hal.

TAMAT.

Pak J

HADIAH DURIAN DARI LANGIT

 Senyum di Balik Bedak

Gambar dari : suara.com

Di desa kecil yang tenang, di pinggiran Kecamatan Rejoso, Armin telah menapaki kehidupan penuh liku sejak kecil. Sejak usia satu tahun, Armin kehilangan ibunya, dan setahun kemudian ayahnya pun pergi meninggalkan dunia ini. Hanya neneknya yang tersisa sebagai sandaran hidup. Nenek yang sudah renta hidup dari belas kasihan tetangga, kadang menjual sapu lidi yang ia kumpulkan dari hutan. Kehidupan mereka tidaklah mudah. Sejak kecil, Armin harus membantu neneknya untuk bertahan hidup. Tidak ada waktu bermain, tidak ada waktu untuk bersenang-senang seperti anak-anak lainnya. Hari-harinya diisi dengan perjuangan untuk mendapatkan sesuap nasi.

Meski hidup dalam kemiskinan, Armin memiliki jiwa yang besar. Berkat bantuan seorang tetangga jauh, Armin bisa mengenyam pendidikan hingga lulus SMA. Namun, keadaan negara yang sulit, membuat mencari pekerjaan menjadi tantangan besar. Armin akhirnya memutuskan untuk menjadi pantomin, seorang seniman jalanan yang mewarnai seluruh wajahnya dengan bedak dan berusaha menghibur anak-anak dan orang-orang yang ditemuinya.

Setiap hari, dari pagi hingga sore, Armin berkeliling dari kampung ke kampung, mendarmakan dirinya sebagai pantomin. Dengan segala upayanya, ia berusaha melucu di hadapan anak-anak dan orang dewasa yang melihatnya. Hasil dari mengamen ini, ia bisa mengumpulkan sekitar Rp 70.000, cukup untuk makan berdua bersama neneknya. Bagi Armin, yang penting neneknya tidak kelaparan. Mimpi besar seperti liburan atau kesenangan lainnya tak pernah terlintas di benaknya. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup.

Namun, di balik senyum dan kelucuan yang ia tampilkan sebagai pantomin, tersimpan hati yang penuh luka dan harapan yang tertutupi oleh topeng bedaknya. Armin tahu, hidupnya tidak mudah, tapi ia terus berjuang, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk nenek yang begitu ia cintai.

Pertemuan Tak Terduga

Suatu sore, ketika jam hampir menunjukkan pukul 16.00, Armin masih sibuk mengamen di sebuah desa. Meski biasanya pada jam ini ia sudah pulang ke rumah untuk menemani neneknya, kali ini ia memutuskan untuk mencari sedikit tambahan uang. Di tengah penampilannya, seorang pemuda yang tampak beberapa tahun lebih tua dari Armin mendekatinya.

Dengan senyum yang lelah, pemuda itu menawarkan sebuah durian kepada Armin. "Mas, mau beli durian? Hanya Rp 200.000 saja. Anak saya sedang sakit typus di rumah sakit, saya butuh uang untuk biaya pengobatan."

Armin terkejut mendengar harga yang ditawarkan. Rp 200.000 adalah jumlah yang sangat besar baginya, jauh lebih besar dari uang yang ia dapatkan hari itu. Namun, ia teringat akan ajaran neneknya tentang empati dan kepedulian terhadap sesama. Armin merogoh sakunya dan menghitung uang yang ia punya. Hanya Rp 50.000, hasil dari mengamen hari itu.

Dengan penuh kesadaran, Armin menyerahkan semua uangnya kepada pemuda itu. "Maaf, Mas, saya hanya punya ini. Ambil saja, semoga bisa membantu."

Pemuda itu tampak terkejut. "Kamu ikhlas memberikan uangmu ini kepada saya? Nanti kamu bawa pulang apa?"

Armin tersenyum. "Tidak apa-apa, Mas. Setelah ini, saya masih bisa mengamen lagi. Yang penting, anak Mas bisa sembuh."

Sang pemuda terdiam sejenak, lalu mengulurkan durian yang ia tawarkan. Armin menolak, tapi pemuda itu mendesak. "Kita tadi sudah akad jual beli, jadi durian ini harus kau terima sebagai kenang-kenangan dariku."

Akhirnya, Armin pun menerima durian itu dan melanjutkan langkahnya, tak sadar bahwa di balik durian tersebut tersimpan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Keajaiban di Balik Durian langit

Setibanya di rumah, Armin dengan hati-hati meletakkan durian di meja. Neneknya yang sedang duduk di dekat jendela menatapnya dengan penuh kasih. "Armin, dari mana kamu dapat durian itu?"

Armin tersenyum. "Ada seorang pemuda yang butuh uang untuk anaknya yang sakit. Aku beri dia uang hasil mengamen hari ini, dan dia memberiku durian ini sebagai gantinya."

Nenek mengelus kepala Armin dengan lembut. "Kamu memang selalu berbuat baik, Nak. Semoga kebaikanmu akan dibalas."

Saat hendak membelah durian, sesuatu yang aneh terjadi. Di balik kulit durian yang keras, terselip sebuah amplop tebal. Dengan tangan gemetar, Armin membuka amplop itu dan terkejut melihat isinya. Uang tunai Rp 15 juta tergeletak di dalamnya. Armin terdiam, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dengan air mata menggenang di mata, Armin berlari keluar rumah mencari pemuda penjual durian tadi. Setelah berlari dari satu gang ke gang lain, ia akhirnya menemukan pemuda itu duduk di bawah pohon, terlihat tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

"Mengapa Bapak melakukan ini? Bukankah Bapak butuh uang untuk anak yang sakit?" Armin bertanya dengan suara bergetar.

Pemuda itu tersenyum lembut. "Sebenarnya, saya sedang melakukan eksperimen sosial untuk mencari orang yang baik hati, yang ikhlas memberikan tanpa mengharapkan balasan. Dan saya menemukan itu dalam dirimu, Armin. Uang ini adalah hadiah untukmu dan nenekmu. Gunakanlah dengan bijak."

Armin tidak bisa menahan tangisnya. Sambil berlutut, ia mengucapkan syukur kepada Allah atas keajaiban yang tak terduga ini.

Hati yang Diuji


Malam itu, Armin dan neneknya duduk bersama di ruang tengah. Dengan penuh haru, nenek mendengarkan cerita Armin tentang pertemuannya dengan pemuda penjual durian. Nenek tahu, uang sebesar itu bisa mengubah hidup mereka, tapi ia juga tahu bahwa uang adalah ujian. Ujian bagi hati, apakah akan tetap teguh dalam kebaikan atau tergelincir dalam godaan.

"Armin, uang ini adalah rezeki yang Allah berikan melalui orang yang baik hati. Tapi ingat, Nak, jangan sampai uang ini mengubah hatimu. Tetaplah rendah hati dan gunakan uang ini untuk kebaikan."

Armin mengangguk, ia tahu neneknya benar. Uang itu adalah amanah, dan ia harus bijak dalam menggunakannya. Mereka memutuskan untuk memperbaiki rumah yang sudah mulai lapuk, membeli makanan yang layak, dan sisanya akan disimpan untuk kebutuhan mendesak di masa depan.

Tapi di balik itu semua, Armin merasakan panggilan hati yang lebih dalam. Ia ingin menggunakan sebagian uang itu untuk membantu orang lain, seperti ia pernah dibantu dulu. Mungkin ini adalah caranya untuk meneruskan kebaikan yang ia terima.

 

 

Berkah yang Mengalir

Keesokan harinya, Armin bangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk tetap menjadi pantomin, bukan hanya karena itu adalah satu-satunya pekerjaan yang ia tahu, tapi karena melalui seni itulah ia bisa menghibur orang lain. Namun, kini ia memiliki tujuan yang lebih besar. Setiap kali ia mengamen dan mendapatkan uang, ia menyisihkan sebagian untuk membantu orang-orang yang membutuhkan di desa.

Kabar tentang kebaikan hati Armin tersebar luas. Banyak orang yang merasa tersentuh oleh ketulusan Armin dan mulai ikut menyumbang untuk membantu mereka yang kesulitan. Armin tidak pernah menyangka, dari sebuah durian, kehidupan mereka bisa berubah begitu besar. Bukan hanya secara materi, tapi juga secara spiritual.

Dalam waktu singkat, Armin dan neneknya tidak lagi hidup dalam kekurangan. Rumah mereka menjadi lebih layak, dan mereka bisa makan dengan cukup setiap hari. Tapi lebih dari itu, hati Armin tetaplah hati yang sama, penuh empati dan kasih sayang. Ia terus menebarkan kebaikan di sekitarnya, dengan harapan bahwa berkah yang ia terima bisa terus mengalir kepada orang lain.

Armin belajar bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa besar kita mau berbagi. Dengan berkat dari Allah, Armin telah menemukan jalan hidupnya—jalan yang penuh dengan cinta dan kebaikan. Tamat

Pak J



Minggu, 25 Agustus 2024

Dari Pantai Gemah ke Kuliner Kediri"


 Pagi itu,sabtu minggu e4 bulan agustus di tahun 2024. kegembiraan memenuhi udara wilayah menganti,saat keluarga besar Yayasan Sunan Giri  bersiap untuk sebuah perjalanan yang telah lama dinantikan. Semua orang tampak bersemangat, dari guru, karyawan, hingga keluarga mereka, yang siap untuk acara Family Gathering ke Pantai Gemah, di salah satu kabupaten penghasil Marmer tebaik,  Tulungagung, sebuah destinasi yang dikenal dengan keindahan alamnya.

Meski jadwal keberangkatan sedikit molor karena saling menunggu kedatangans semua peserta, tapi  semangat para peserta tidak surut. Begitu bus mulai merayap menyusuri, suasana di dalam langsung ramai dengan canda tawa dan cerita yang mengalir sepanjang perjalanan. Pemandangan yang berganti dari kota ke pedesaan menjadi latar sempurna untuk perjalanan ini, sementara para peserta menikmati kebersamaan mereka.

Perjalanan sempat terhenti sejenak di sebuah pom bensin di Jombang, memberi kesempatan bagi semua orang untuk beristirahat sejenak. Namun, tantangan sesungguhnya muncul saat mereka terjebak macet karena karnaval di tengah kota Tulungagung. Beruntung, berkat pengaturan lalu lintas yang baik, rombongan akhirnya bisa melanjutkan perjalanan tanpa hambatan berarti.

Ketika akhirnya tiba di Pantai Gemah, rasa lelah seketika hilang tergantikan oleh pesona pantai dengan pasir putih dan ombak yang tenang. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin menyenangkan. Setelah berkumpul dan menikmati rujak yang dibawa dari rumah, acara family gathering dimulai. Berbagai permainan luar ruangan segera memecah suasana, menampilkan sisi ceria dari para guru dan staf yang biasanya sibuk dengan tugas sehari-hari. Tawa dan keceriaan mengisi udara, menjadikan momen itu tak terlupakan.

Setelah acara formal selesai, waktu bebas dimanfaatkan oleh peserta untuk menikmati pantai bersama keluarga atau teman. Meski waktu bebas sedikit molor akibat masalah sinyal yang sulit, suasana kebersamaan tetap terjaga dengan baik.

Perjalanan dilanjutkan dengan kunjungan ke wisata petik belimbing di Desa Moyo Kethen. Banyak yang membayangkan akan merasakan serunya memetik buah langsung dari pohon, namun kenyataan berkata lain. Sebuah papan peringatan yang melarang pengunjung memetik buah sendiri cukup mengecewakan rombongan. Meski begitu, mereka masih bisa menikmati berjalan-jalan di kebun belimbing tanpa biaya tambahan.

Beranjak dari sana, rombongan menuju Kediri untuk berburu oleh-oleh khas, seperti tahu takwa dan gethuk pisang. Sayangnya, beberapa peserta merasa kurang puas dengan rasa tahu yang mereka beli, yang dianggap tidak seautentik harapan mereka. Namun, pengalaman belanja itu tetap menjadi bagian dari perjalanan yang penuh warna.

Menjelang malam, rombongan berhenti untuk makan malam di Prasmanan Titin, sebuah tempat makan dengan suasana yang nyaman dan masakan yang lezat. Semua peserta tampak puas menikmati makanan setelah seharian beraktivitas. Dengan perut kenyang dan hati senang, mereka akhirnya memulai perjalanan pulang.

Meski sempat khawatir akan kemacetan di Menganti, kabar baik datang bahwa lalu lintas sudah berhasil diurai sebelum rombongan tiba. Dengan demikian, seluruh peserta bisa kembali ke sekolah dengan selamat dan penuh rasa syukur, menutup hari yang panjang dengan kebahagiaan dan kenangan manis.

Perjalanan ini bukan sekadar liburan, melainkan sebuah momen kebersamaan yang mempererat tali persaudaraan di antara mereka. Sebuah pengalaman yang tak hanya meninggalkan jejak di pantai, tetapi juga di hati setiap orang yang ikut serta.

Sabtu, 24 Agustus 2024

PKB Siap Mandiri Tanpa Pengaruh PBNU

 



foto: kompas Indonesia
Di tengah gemerlap lampu dan suasana megah Bali Nusa Dua Convention Center, sorak-sorai peserta Muktamar ke-6 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menggema. Semua mata tertuju pada satu sosok yang berdiri di podium, mengenakan busana khas kebanggaan partai. Muhaimin Iskandar, yang akrab disapa Cak Imin, baru saja terpilih kembali sebagai Ketua Umum PKB secara aklamasi. Namun, malam itu, sorotannya bukan hanya pada kemenangan. Ia membawa pesan yang akan mengguncang lanskap politik dan salah satu organisasi keagamaan di Indonesia.

Dengan nada tegas dan penuh keyakinan, Cak Imin menyatakan sebuah tekad besar(keinginan untuk membebaskan PKB dari bayang-bayang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).) "Tentu ini amanat yang paling berat, bagaimana PKB harus mandiri tidak bergantung pada bayang-bayang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)," ucapnya, seakan mengukuhkan langkah partai yang dipimpinnya untuk berdiri tegak, lepas dari pengaruh apa pun.

Bagi banyak orang, pernyataan ini mengejutkan. PKB dan PBNU selama ini dikenal memiliki hubungan yang erat, ibarat saudara yang tak terpisahkan. Namun, di hadapan para peserta muktamar yang memenuhi ruangan megah itu, Cak Imin mengungkapkan pemikiran yang berbeda. Ia menuturkan bagaimana dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) yang lalu, ketika PBNU tidak memberikan dukungan secara eksplisit kepada PKB, justru partainya memperoleh berkah tersendiri.

Suara PKB dalam Pemilu melonjak, menandakan kemandirian konstituen pemilu tidak lagi tergantung kepada  pigur publik dari organisas keagamaan tertentu. berangkat dari pengalaman dan pengamatan  inilah PKB bertekat  menghilangkan bayang bayang organisasi apapun yang terkadang tidak se-Visi dengan arah roda Partai. 

foto dari CNN Indonesia

"Momen ketika PBNU tidak mendukung PKB ternyata membawa berkah. Ini menjadi momentum bagi PKB untuk benar-benar independen dan mandiri," tuturnya, penuh optimisme.

Ucapan itu seakan membawa angin segar bagi masa depan PKB. Sebagai Wakil Ketua DPR, Cak Imin tahu bahwa jalan menuju kemandirian ini tidak mudah. Namun, dengan kepemimpinannya yang kembali diperpanjang untuk lima tahun ke depan, ia menaruh harapan besar untuk membawa PKB ke level baru—sebuah partai yang mandiri, tanpa bergantung pada organisasi apa pun, termasuk PBNU.

Sorak-sorai kembali menggema di seluruh ruangan muktamar. Para peserta muktamar menyambut pidato Cak Imin dengan tepuk tangan meriah dan semangat yang membara. Mereka tahu, ini adalah awal dari babak baru bagi PKB untuk lebih membumi dengan konstituen nya. Sebuah babak di mana partai tersebut akan menulis : langkap nya sendiri, sejarahnya sendiri, ceritanya sendiri, dengan tinta kemandirian dan kebebasan dari segala pengaruh eksternal. 

Di bawah kepemimpinan Cak Imin, PKB bersiap menatap masa depan dengan langkah penuh keyakinan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat, kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
dengan paradigma baru yang visioner PKB menjadi pilihan utama atau pun alternative konstituen yang memiliki tekad untuk memperbaiki nasib bangsa dan negara dalam tataran kehidupan lokal, nasional maupun global.
Pak J guru pembelajar SMK Sunan Giri Menganti Gresik, ketua Yayasan Dompet Kepedulian Muslim Surabaya