Sabtu, 31 Agustus 2024

PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN

 PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN


Titik Awal dari Sebuah Perjuangan


Di sebuah desa kecil bernama  Tritik , Kecamatan Rejoso, Kabupaten Kota Angin, yang dikenal sebagai Anjuk Ladang, hiduplah seorang pemuda bernama  Darwis   Berbeda dengan anak-anak sebayanya,  Darwis tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika usianya baru menginjak satu tahun, ibunya meninggal dunia. Setahun kemudian, ayahnya pun menyusul ke pangkuan Tuhan. Sejak saat itu,  Darwis diasuh oleh neneknya yang sudah tua renta. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan, bergantung pada belas kasihan tetangga dan hasil jualan sapu lidi buatan neneknya.

Dari kecil,  Darwissudah terbiasa bekerja keras untuk sekadar mendapatkan sesuap nasi. Neneknya, dengan sisa tenaga yang ada, mengajarkan  Darwis cara membuat sapu lidi dari daun kelapa yang mereka kumpulkan dari hutan di samping rumah mereka. Terkadang, mereka mendapat cukup uang untuk makan, namun sering kali mereka harus tidur dengan perut kosong.

Meski hidup dalam kesulitan,  Darwis tumbuh menjadi anak yang kuat dan tabah. Ia jarang sekali bermain seperti anak-anak lain seusianya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membantu neneknya, mencari rezeki untuk mengisi perut mereka yang lapar.  Darwis sadar, hidupnya tidaklah semudah teman-temannya yang masih bisa merasakan kasih sayang orang tua dan bermain bebas tanpa beban.

Tahun demi tahun berlalu. Dengan bantuan seorang tetangga jauh yang iba melihat keadaan mereka,  Darwis akhirnya bisa merasakan pendidikan hingga tingkat SMA. Ia merupakan siswa yang cerdas, namun setelah lulus SMA,  Darwis dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa mencari pekerjaan di negeri ini tidaklah mudah, terutama jika tidak memiliki "orang dalam" yang bisa memuluskan jalan.

 Darwis tidak putus asa. Ia memilih untuk tidak menyerah pada keadaan. Ia memutuskan untuk bekerja apa saja yang bisa ia lakukan. Setelah berpikir keras, akhirnya  Darwis memilih menjadi seorang pemain pantomim jalanan. Ia mewarnai seluruh wajahnya dengan bedak putih dan menampilkan aksi lucu untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang di desa-desa sekitar. Setiap hari, mulai pagi hingga sore,  Darwis berkeliling dari kampung ke kampung, menawarkan hiburan sederhana yang mampu menghadirkan senyuman di wajah orang-orang.

"Kalau aku bisa membuat satu anak saja tertawa hari ini, itu sudah cukup bagiku," pikir  Darwissetiap kali ia memulai harinya.

Hari itu, matahari bersinar terik di atas desa kecil itu. Seperti biasa,  Darwis berdiri di pojok jalan desa, menampilkan aksi pantomimnya yang lucu. Meski keringat mengucur deras, ia tetap tersenyum. Setiap lemparan koin atau uang receh yang diterimanya disambut dengan senyuman tulus dan rasa syukur. Hingga jam menunjukkan pukul 15.20, seorang pemuda mendekatinya. Usianya sekitar 25 tahun, tujuh tahun lebih tua dari  Darwis 

"Mas, mau beli duren?" tanyanya sambil mengulurkan buah durian besar ke arah  Darwis 

 Darwistersenyum lelah. "Maaf, Mas, saya nggak ada uang untuk beli duren. Uang saya hanya cukup untuk makan saya dan nenek saya."

Pemuda itu tersenyum tipis. "Saya lagi butuh uang, Mas. Anak saya yang pertama lagi dirawat di rumah sakit umum daerah, kena sakit tifus. Satu buah duren ini, saya jual 200 ribu."

 Darwisterdiam sejenak. Meski hatinya tersentuh, ia tahu betul bahwa ia tidak punya uang sebanyak itu. Ia hanya punya uang 50 ribu hasil mengamen seharian. Namun, pendidikan yang diberikan oleh neneknya untuk selalu berempati dan peduli kepada sesama membuat  Darwis merogoh saku celananya. Dengan sedikit ragu, ia menyerahkan seluruh uang yang ia miliki.

"Ini, Mas. Saya cuma punya 50 ribu. Ambil saja, semoga bisa sedikit membantu," kata  Darwis sambil tersenyum tulus.

Pemuda itu tertegun. "Kamu ikhlas memberikan uangmu ini? Terus, nanti kamu makan apa kalau semuanya kamu kasih ke saya?"

 Darwis mengangguk, "Tidak apa-apa, Mas. Setelah ini, aku masih bisa mengamen lagi. Semoga Allah memberi jalan rezeki yang lain."

Mata pemuda itu berkaca-kaca. Ia menyerahkan durian itu ke  Darwis  , namun  Darwis menolak.

"Bawa saja durennya, Mas. Buat keluarga di rumah," kata  Darwis lembut.

Pemuda itu tersenyum, "Kita tadi akadnya jual beli, jadi duren ini harus kamu terima sebagai kenang-kenangan dari saya."

Karena pemuda itu terus mendesak, akhirnya  Darwis menerima durian tersebut dengan rasa haru. Saat membuka durian itu, betapa terkejutnya  Darwis menemukan sebuah amplop di dalamnya berisi uang sebesar 15 juta rupiah.

"Mas... katanya butuh uang untuk ke rumah sakit?" tanya  Darwis kebingungan.

Pemuda itu tersenyum. "Maafkan saya, Mas. Saya memang sedang melakukan eksperimen sosial. Saya mencari orang baik yang tulus membantu orang lain meski dalam kesulitan. Dan saya menemukan itu di diri Mas. Uang ini untuk Mas dan nenek di rumah."

 Darwis terdiam, air matanya jatuh berlinang. Ia sujud syukur kepada Allah, berterima kasih atas rezeki yang tak disangka-sangka. Dalam hatinya, ia berjanji akan terus berbagi kepada sesama, seberapa pun sulit hidupnya.

Harapan Baru di Bawah Langit Kota Angin

Setelah kejadian luar biasa itu, kehidupan  Darwis berubah drastis. Dengan uang 15 juta rupiah yang diterimanya,  Darwis dan neneknya tak lagi harus khawatir tentang makan sehari-hari untuk sementara waktu. Mereka bisa membeli kebutuhan dasar, memperbaiki rumah yang hampir roboh, dan yang paling penting, membiayai pengobatan nenek  Darwis yang selama ini terpaksa ditunda karena masalah biaya.

Namun, uang itu bukanlah akhir dari perjuangan  Darwis  , melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya.  Darwis memutuskan untuk menggunakan sebagian uang tersebut untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

"Nek, aku ingin gunakan sebagian uang ini untuk belajar keterampilan lain," kata  Darwis suatu malam ketika mereka sedang makan malam bersama.

Nenek  Darwis menatapnya dengan penuh kasih. "Keterampilan apa yang ingin kamu pelajari, cucuku?"

"Aku ingin belajar menjadi seorang pelukis, Nek. Selama ini aku suka menggambar, dan aku merasa bisa menghibur lebih banyak orang dengan lukisan," jawab  Darwis dengan mata berbinar.

Neneknya tersenyum. Meski usianya sudah senja, semangat  Darwis menghidupkan kembali semangatnya yang pernah padam. "Kalau itu yang kamu inginkan, Nek dukung. Kamu selalu punya bakat,  Darwis   Mungkin ini saatnya kamu mengejar impianmu."

 Darwis mulai belajar melukis dari seorang pelukis tua yang tinggal di desa sebelah. Dengan cepat, dia menguasai teknik-teknik dasar dan mulai mengembangkan gaya lukisannya sendiri. Lukisan-lukisannya memancarkan keindahan dan kesederhanaan hidup pedesaan yang penuh dengan perjuangan dan harapan.

Satu per satu, orang-orang mulai tertarik dengan karya  Darwis   Mereka datang ke rumahnya untuk melihat lukisannya, dan beberapa bahkan mulai membeli. Dari situ,  Darwis mulai menghasilkan uang lebih dari yang dia dapatkan dengan mengamen.

Namun,  Darwis tidak pernah melupakan akar kehidupannya sebagai penghibur jalanan. Setiap akhir pekan, dia tetap meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak dan penduduk desa dengan pantomimnya, karena dia percaya bahwa seni adalah tentang memberi, bukan hanya menerima.

Mewujudkan Mimpi

Seiring berjalannya waktu, nama  Darwis mulai dikenal di luar desanya. Salah satu lukisannya yang berjudul "Pelangi di Wajah  Darwis  ," sebuah lukisan dirinya saat menjadi pantomim dengan wajah berlumur bedak putih, menarik perhatian seorang kolektor seni dari kota besar. Lukisan itu menggambarkan senyuman yang memancarkan keikhlasan meski di tengah kemiskinan, sesuatu yang membuat orang-orang yang melihatnya merasakan hangatnya harapan.

"Berapa harga lukisan ini?" tanya kolektor seni itu ketika dia datang ke rumah  Darwis 

 Darwis, yang masih merasa rendah hati, menjawab, "Lukisan ini tidak untuk dijual. Ini adalah pengingat bahwa hidup saya selalu berjuang dan bahwa kebahagiaan tidak datang dari uang, tetapi dari hati yang ikhlas."

Kolektor itu terkesan dengan jawabannya. "Saya mengerti. Namun, saya ingin mendukung perjalanan seni Anda. Bagaimana kalau saya memesan lukisan lain dari Anda? Sesuatu yang mencerminkan kehidupan Anda yang penuh perjuangan namun tetap harapan?"

 Darwis tersenyum dan menyetujui permintaan itu. Ia mulai bekerja penuh keras untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Selama proses melukis, dia merasakan kedamaian yang luar biasa. Lukisan itu menjadi lebih dari sekadar karya seni; itu adalah cerita hidupnya yang dituangkan dalam warna dan bentuk.

Ketika lukisan itu akhirnya selesai, kolektor tersebut datang kembali dan melihat lukisan yang menggambarkan seorang pemuda berjalan di tengah badai, dengan pelangi muncul di atasnya. "Luar biasa," kata kolektor itu. "Ini adalah karya yang indah, penuh makna dan emosi."

Setelah itu, kehidupan  Darwis berubah semakin baik. Lukisannya menjadi semakin dikenal dan dihargai. Namun,  Darwis tetap hidup sederhana. Dia tidak ingin terjebak dalam kehidupan yang mewah. Dia selalu ingat pesan neneknya untuk selalu rendah hati dan bersyukur.

Tantangan  Hidup anak desa


Namun, hidup tidak selalu berjalan mulus. Ketika  Darwis mulai merasakan sedikit kestabilan dalam hidupnya, ujian baru datang. Neneknya jatuh sakit. Sakitnya semakin parah, dan dokter mengatakan bahwa nenek  Darwis membutuhkan operasi besar yang biayanya jauh lebih tinggi dari yang mereka miliki.

 Darwis merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia kembali berjuang untuk mencari cara agar bisa mendapatkan uang. Semua tabungannya hampir habis untuk perawatan awal neneknya. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu.

 Darwis memutuskan untuk menjual salah satu lukisannya yang paling berharga, "Pelangi di Wajah  Darwis  "  Dia tahu betapa pentingnya lukisan itu baginya, tetapi dia juga tahu bahwa kesehatan neneknya jauh lebih penting.

Lukisan itu terjual dengan harga yang sangat tinggi, cukup untuk membiayai operasi neneknya. Operasi itu berjalan sukses, dan nenek  Darwis perlahan mulai pulih. Meski merasa kehilangan sesuatu yang berharga,  Darwis tidak pernah menyesali keputusannya.

"Nek, aku sudah kehilangan satu lukisan yang sangat berharga, tapi aku tidak peduli. Yang penting adalah nenek sembuh," kata  Darwis sambil menggenggam tangan neneknya.

Neneknya tersenyum lemah. "Kamu benar,  Darwis   Hidup ini bukan tentang apa yang kita miliki, tapi tentang siapa yang kita cintai."

Kata-kata itu terus terngiang di pikiran  Darwis   Dia menyadari bahwa meskipun hidup penuh dengan cobaan, selama dia memiliki orang-orang yang dia cintai, dia akan selalu merasa kaya.

Cahaya di Ujung hutan Tritik

Dengan neneknya yang semakin pulih,  Darwis kembali melukis. Kali ini, lukisan-lukisannya semakin dalam dan penuh dengan perasaan. Dia melukis tentang kehilangan, tentang harapan, tentang cinta yang tak pernah padam meski diterpa badai kehidupan. Lukisan-lukisan itu semakin dihargai di dunia seni, dan  Darwispun semakin dikenal.

Namun, lebih dari segalanya,  Darwis merasa bahwa dia menemukan dirinya sendiri melalui seni. Dia merasa bahwa setiap goresan kuas di atas kanvas adalah bagian dari jiwanya yang bercerita. Dia mulai mengadakan pameran kecil di kotanya, mengajak anak-anak dan pemuda untuk belajar seni dan menemukan ekspresi mereka.

Di salah satu pameran itu, seorang pria tua mendekati  Darwis   "Saya tahu kamu,  Darwis   Kamu adalah anak yang dulu suka bermain pantomim di jalanan," katanya sambil tersenyum.

 Darwis tersenyum. "Benar, Pak. Saya masih suka bermain pantomim sampai sekarang, meski tidak setiap hari."

Pria tua itu terharu. "Kamu tidak pernah berubah, ya? Selalu sederhana dan rendah hati."

 Darwis tertawa kecil. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Pak. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan tanpa melakukan apa yang kita cintai."

Pria tua itu mengangguk. "Dan itu yang membuatmu istimewa,  Darwis   Teruslah berkarya. Dunia membutuhkan orang seperti kamu."

Pelangi Setelah Hujan

Setahun berlalu setelah nenek  Darwis sembuh dari operasinya. Hidup  Darwis kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia berhasil membuka sebuah galeri seni kecil di kota, tempat dia memamerkan dan menjual lukisan-lukisannya. Galeri itu juga menjadi tempat bagi anak-anak dan remaja di desanya untuk belajar seni dan menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka.

Namun, ujian terakhir datang ketika nenek  Darwis jatuh sakit lagi. Kali ini, usianya yang tua tak mampu lagi menahan penyakitnya. Setelah beberapa bulan berjuang, nenek  Darwis akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di pelukan  Darwis    Darwis merasa sangat kehilangan, namun dia tahu bahwa neneknya telah pergi dengan damai.

Setelah pemakaman neneknya,  Darwis kembali ke galeri. Dia duduk di depan kanvas kosong, mencoba menangkap perasaannya yang campur aduk. Air matanya menetes, membasahi kanvas. Tapi kemudian, dia mulai melukis. Tangannya bergerak seolah memiliki pikiran sendiri. Dia melukis neneknya, dengan senyuman lembut dan mata penuh cinta, seperti yang selalu dia ingat.

Lukisan itu menjadi karya terbaiknya. Orang-orang yang melihatnya merasa tergerak, seolah merasakan kehadiran nenek  Darwis melalui lukisan itu. Lukisan itu menjadi simbol cinta abadi antara  Darwis dan neneknya.

 Darwis menamai lukisan itu "Pelangi Setelah Hujan," sebuah penghormatan untuk neneknya yang selalu mengajarkan bahwa setelah setiap badai, selalu ada pelangi. Hidup  Darwis mungkin penuh dengan badai, tetapi dia selalu menemukan cara untuk melihat pelangi di ujungnya.

Di tengah kehidupannya yang baru sebagai pelukis terkenal,  Darwis tetap menjadi dirinya yang sederhana. Dia tahu bahwa hidup adalah tentang cinta, perjuangan, dan harapan. Dan dia tahu bahwa neneknya akan selalu hidup di hatinya, seperti pelangi setelah hujan.

 Darwis tersenyum. Dia menatap lukisan neneknya dan berbisik, "Terima kasih, Nek, untuk segalanya. Aku akan terus melukis dan berbagi cinta, seperti yang kau ajarkan padaku."

Kisah  Darwis adalah cerita tentang perjuangan, cinta, dan harapan. Meski hidupnya penuh dengan tantangan, dia selalu menemukan cara untuk melihat kebaikan dalam segala hal.

TAMAT.

Pak J

HADIAH DURIAN DARI LANGIT

 Senyum di Balik Bedak

Gambar dari : suara.com

Di desa kecil yang tenang, di pinggiran Kecamatan Rejoso, Armin telah menapaki kehidupan penuh liku sejak kecil. Sejak usia satu tahun, Armin kehilangan ibunya, dan setahun kemudian ayahnya pun pergi meninggalkan dunia ini. Hanya neneknya yang tersisa sebagai sandaran hidup. Nenek yang sudah renta hidup dari belas kasihan tetangga, kadang menjual sapu lidi yang ia kumpulkan dari hutan. Kehidupan mereka tidaklah mudah. Sejak kecil, Armin harus membantu neneknya untuk bertahan hidup. Tidak ada waktu bermain, tidak ada waktu untuk bersenang-senang seperti anak-anak lainnya. Hari-harinya diisi dengan perjuangan untuk mendapatkan sesuap nasi.

Meski hidup dalam kemiskinan, Armin memiliki jiwa yang besar. Berkat bantuan seorang tetangga jauh, Armin bisa mengenyam pendidikan hingga lulus SMA. Namun, keadaan negara yang sulit, membuat mencari pekerjaan menjadi tantangan besar. Armin akhirnya memutuskan untuk menjadi pantomin, seorang seniman jalanan yang mewarnai seluruh wajahnya dengan bedak dan berusaha menghibur anak-anak dan orang-orang yang ditemuinya.

Setiap hari, dari pagi hingga sore, Armin berkeliling dari kampung ke kampung, mendarmakan dirinya sebagai pantomin. Dengan segala upayanya, ia berusaha melucu di hadapan anak-anak dan orang dewasa yang melihatnya. Hasil dari mengamen ini, ia bisa mengumpulkan sekitar Rp 70.000, cukup untuk makan berdua bersama neneknya. Bagi Armin, yang penting neneknya tidak kelaparan. Mimpi besar seperti liburan atau kesenangan lainnya tak pernah terlintas di benaknya. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup.

Namun, di balik senyum dan kelucuan yang ia tampilkan sebagai pantomin, tersimpan hati yang penuh luka dan harapan yang tertutupi oleh topeng bedaknya. Armin tahu, hidupnya tidak mudah, tapi ia terus berjuang, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk nenek yang begitu ia cintai.

Pertemuan Tak Terduga

Suatu sore, ketika jam hampir menunjukkan pukul 16.00, Armin masih sibuk mengamen di sebuah desa. Meski biasanya pada jam ini ia sudah pulang ke rumah untuk menemani neneknya, kali ini ia memutuskan untuk mencari sedikit tambahan uang. Di tengah penampilannya, seorang pemuda yang tampak beberapa tahun lebih tua dari Armin mendekatinya.

Dengan senyum yang lelah, pemuda itu menawarkan sebuah durian kepada Armin. "Mas, mau beli durian? Hanya Rp 200.000 saja. Anak saya sedang sakit typus di rumah sakit, saya butuh uang untuk biaya pengobatan."

Armin terkejut mendengar harga yang ditawarkan. Rp 200.000 adalah jumlah yang sangat besar baginya, jauh lebih besar dari uang yang ia dapatkan hari itu. Namun, ia teringat akan ajaran neneknya tentang empati dan kepedulian terhadap sesama. Armin merogoh sakunya dan menghitung uang yang ia punya. Hanya Rp 50.000, hasil dari mengamen hari itu.

Dengan penuh kesadaran, Armin menyerahkan semua uangnya kepada pemuda itu. "Maaf, Mas, saya hanya punya ini. Ambil saja, semoga bisa membantu."

Pemuda itu tampak terkejut. "Kamu ikhlas memberikan uangmu ini kepada saya? Nanti kamu bawa pulang apa?"

Armin tersenyum. "Tidak apa-apa, Mas. Setelah ini, saya masih bisa mengamen lagi. Yang penting, anak Mas bisa sembuh."

Sang pemuda terdiam sejenak, lalu mengulurkan durian yang ia tawarkan. Armin menolak, tapi pemuda itu mendesak. "Kita tadi sudah akad jual beli, jadi durian ini harus kau terima sebagai kenang-kenangan dariku."

Akhirnya, Armin pun menerima durian itu dan melanjutkan langkahnya, tak sadar bahwa di balik durian tersebut tersimpan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Keajaiban di Balik Durian langit

Setibanya di rumah, Armin dengan hati-hati meletakkan durian di meja. Neneknya yang sedang duduk di dekat jendela menatapnya dengan penuh kasih. "Armin, dari mana kamu dapat durian itu?"

Armin tersenyum. "Ada seorang pemuda yang butuh uang untuk anaknya yang sakit. Aku beri dia uang hasil mengamen hari ini, dan dia memberiku durian ini sebagai gantinya."

Nenek mengelus kepala Armin dengan lembut. "Kamu memang selalu berbuat baik, Nak. Semoga kebaikanmu akan dibalas."

Saat hendak membelah durian, sesuatu yang aneh terjadi. Di balik kulit durian yang keras, terselip sebuah amplop tebal. Dengan tangan gemetar, Armin membuka amplop itu dan terkejut melihat isinya. Uang tunai Rp 15 juta tergeletak di dalamnya. Armin terdiam, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dengan air mata menggenang di mata, Armin berlari keluar rumah mencari pemuda penjual durian tadi. Setelah berlari dari satu gang ke gang lain, ia akhirnya menemukan pemuda itu duduk di bawah pohon, terlihat tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

"Mengapa Bapak melakukan ini? Bukankah Bapak butuh uang untuk anak yang sakit?" Armin bertanya dengan suara bergetar.

Pemuda itu tersenyum lembut. "Sebenarnya, saya sedang melakukan eksperimen sosial untuk mencari orang yang baik hati, yang ikhlas memberikan tanpa mengharapkan balasan. Dan saya menemukan itu dalam dirimu, Armin. Uang ini adalah hadiah untukmu dan nenekmu. Gunakanlah dengan bijak."

Armin tidak bisa menahan tangisnya. Sambil berlutut, ia mengucapkan syukur kepada Allah atas keajaiban yang tak terduga ini.

Hati yang Diuji


Malam itu, Armin dan neneknya duduk bersama di ruang tengah. Dengan penuh haru, nenek mendengarkan cerita Armin tentang pertemuannya dengan pemuda penjual durian. Nenek tahu, uang sebesar itu bisa mengubah hidup mereka, tapi ia juga tahu bahwa uang adalah ujian. Ujian bagi hati, apakah akan tetap teguh dalam kebaikan atau tergelincir dalam godaan.

"Armin, uang ini adalah rezeki yang Allah berikan melalui orang yang baik hati. Tapi ingat, Nak, jangan sampai uang ini mengubah hatimu. Tetaplah rendah hati dan gunakan uang ini untuk kebaikan."

Armin mengangguk, ia tahu neneknya benar. Uang itu adalah amanah, dan ia harus bijak dalam menggunakannya. Mereka memutuskan untuk memperbaiki rumah yang sudah mulai lapuk, membeli makanan yang layak, dan sisanya akan disimpan untuk kebutuhan mendesak di masa depan.

Tapi di balik itu semua, Armin merasakan panggilan hati yang lebih dalam. Ia ingin menggunakan sebagian uang itu untuk membantu orang lain, seperti ia pernah dibantu dulu. Mungkin ini adalah caranya untuk meneruskan kebaikan yang ia terima.

 

 

Berkah yang Mengalir

Keesokan harinya, Armin bangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk tetap menjadi pantomin, bukan hanya karena itu adalah satu-satunya pekerjaan yang ia tahu, tapi karena melalui seni itulah ia bisa menghibur orang lain. Namun, kini ia memiliki tujuan yang lebih besar. Setiap kali ia mengamen dan mendapatkan uang, ia menyisihkan sebagian untuk membantu orang-orang yang membutuhkan di desa.

Kabar tentang kebaikan hati Armin tersebar luas. Banyak orang yang merasa tersentuh oleh ketulusan Armin dan mulai ikut menyumbang untuk membantu mereka yang kesulitan. Armin tidak pernah menyangka, dari sebuah durian, kehidupan mereka bisa berubah begitu besar. Bukan hanya secara materi, tapi juga secara spiritual.

Dalam waktu singkat, Armin dan neneknya tidak lagi hidup dalam kekurangan. Rumah mereka menjadi lebih layak, dan mereka bisa makan dengan cukup setiap hari. Tapi lebih dari itu, hati Armin tetaplah hati yang sama, penuh empati dan kasih sayang. Ia terus menebarkan kebaikan di sekitarnya, dengan harapan bahwa berkah yang ia terima bisa terus mengalir kepada orang lain.

Armin belajar bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa besar kita mau berbagi. Dengan berkat dari Allah, Armin telah menemukan jalan hidupnya—jalan yang penuh dengan cinta dan kebaikan. Tamat

Pak J



Minggu, 25 Agustus 2024

Dari Pantai Gemah ke Kuliner Kediri"


 Pagi itu,sabtu minggu e4 bulan agustus di tahun 2024. kegembiraan memenuhi udara wilayah menganti,saat keluarga besar Yayasan Sunan Giri  bersiap untuk sebuah perjalanan yang telah lama dinantikan. Semua orang tampak bersemangat, dari guru, karyawan, hingga keluarga mereka, yang siap untuk acara Family Gathering ke Pantai Gemah, di salah satu kabupaten penghasil Marmer tebaik,  Tulungagung, sebuah destinasi yang dikenal dengan keindahan alamnya.

Meski jadwal keberangkatan sedikit molor karena saling menunggu kedatangans semua peserta, tapi  semangat para peserta tidak surut. Begitu bus mulai merayap menyusuri, suasana di dalam langsung ramai dengan canda tawa dan cerita yang mengalir sepanjang perjalanan. Pemandangan yang berganti dari kota ke pedesaan menjadi latar sempurna untuk perjalanan ini, sementara para peserta menikmati kebersamaan mereka.

Perjalanan sempat terhenti sejenak di sebuah pom bensin di Jombang, memberi kesempatan bagi semua orang untuk beristirahat sejenak. Namun, tantangan sesungguhnya muncul saat mereka terjebak macet karena karnaval di tengah kota Tulungagung. Beruntung, berkat pengaturan lalu lintas yang baik, rombongan akhirnya bisa melanjutkan perjalanan tanpa hambatan berarti.

Ketika akhirnya tiba di Pantai Gemah, rasa lelah seketika hilang tergantikan oleh pesona pantai dengan pasir putih dan ombak yang tenang. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin menyenangkan. Setelah berkumpul dan menikmati rujak yang dibawa dari rumah, acara family gathering dimulai. Berbagai permainan luar ruangan segera memecah suasana, menampilkan sisi ceria dari para guru dan staf yang biasanya sibuk dengan tugas sehari-hari. Tawa dan keceriaan mengisi udara, menjadikan momen itu tak terlupakan.

Setelah acara formal selesai, waktu bebas dimanfaatkan oleh peserta untuk menikmati pantai bersama keluarga atau teman. Meski waktu bebas sedikit molor akibat masalah sinyal yang sulit, suasana kebersamaan tetap terjaga dengan baik.

Perjalanan dilanjutkan dengan kunjungan ke wisata petik belimbing di Desa Moyo Kethen. Banyak yang membayangkan akan merasakan serunya memetik buah langsung dari pohon, namun kenyataan berkata lain. Sebuah papan peringatan yang melarang pengunjung memetik buah sendiri cukup mengecewakan rombongan. Meski begitu, mereka masih bisa menikmati berjalan-jalan di kebun belimbing tanpa biaya tambahan.

Beranjak dari sana, rombongan menuju Kediri untuk berburu oleh-oleh khas, seperti tahu takwa dan gethuk pisang. Sayangnya, beberapa peserta merasa kurang puas dengan rasa tahu yang mereka beli, yang dianggap tidak seautentik harapan mereka. Namun, pengalaman belanja itu tetap menjadi bagian dari perjalanan yang penuh warna.

Menjelang malam, rombongan berhenti untuk makan malam di Prasmanan Titin, sebuah tempat makan dengan suasana yang nyaman dan masakan yang lezat. Semua peserta tampak puas menikmati makanan setelah seharian beraktivitas. Dengan perut kenyang dan hati senang, mereka akhirnya memulai perjalanan pulang.

Meski sempat khawatir akan kemacetan di Menganti, kabar baik datang bahwa lalu lintas sudah berhasil diurai sebelum rombongan tiba. Dengan demikian, seluruh peserta bisa kembali ke sekolah dengan selamat dan penuh rasa syukur, menutup hari yang panjang dengan kebahagiaan dan kenangan manis.

Perjalanan ini bukan sekadar liburan, melainkan sebuah momen kebersamaan yang mempererat tali persaudaraan di antara mereka. Sebuah pengalaman yang tak hanya meninggalkan jejak di pantai, tetapi juga di hati setiap orang yang ikut serta.

Sabtu, 24 Agustus 2024

PKB Siap Mandiri Tanpa Pengaruh PBNU

 



foto: kompas Indonesia
Di tengah gemerlap lampu dan suasana megah Bali Nusa Dua Convention Center, sorak-sorai peserta Muktamar ke-6 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menggema. Semua mata tertuju pada satu sosok yang berdiri di podium, mengenakan busana khas kebanggaan partai. Muhaimin Iskandar, yang akrab disapa Cak Imin, baru saja terpilih kembali sebagai Ketua Umum PKB secara aklamasi. Namun, malam itu, sorotannya bukan hanya pada kemenangan. Ia membawa pesan yang akan mengguncang lanskap politik dan salah satu organisasi keagamaan di Indonesia.

Dengan nada tegas dan penuh keyakinan, Cak Imin menyatakan sebuah tekad besar(keinginan untuk membebaskan PKB dari bayang-bayang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).) "Tentu ini amanat yang paling berat, bagaimana PKB harus mandiri tidak bergantung pada bayang-bayang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)," ucapnya, seakan mengukuhkan langkah partai yang dipimpinnya untuk berdiri tegak, lepas dari pengaruh apa pun.

Bagi banyak orang, pernyataan ini mengejutkan. PKB dan PBNU selama ini dikenal memiliki hubungan yang erat, ibarat saudara yang tak terpisahkan. Namun, di hadapan para peserta muktamar yang memenuhi ruangan megah itu, Cak Imin mengungkapkan pemikiran yang berbeda. Ia menuturkan bagaimana dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) yang lalu, ketika PBNU tidak memberikan dukungan secara eksplisit kepada PKB, justru partainya memperoleh berkah tersendiri.

Suara PKB dalam Pemilu melonjak, menandakan kemandirian konstituen pemilu tidak lagi tergantung kepada  pigur publik dari organisas keagamaan tertentu. berangkat dari pengalaman dan pengamatan  inilah PKB bertekat  menghilangkan bayang bayang organisasi apapun yang terkadang tidak se-Visi dengan arah roda Partai. 

foto dari CNN Indonesia

"Momen ketika PBNU tidak mendukung PKB ternyata membawa berkah. Ini menjadi momentum bagi PKB untuk benar-benar independen dan mandiri," tuturnya, penuh optimisme.

Ucapan itu seakan membawa angin segar bagi masa depan PKB. Sebagai Wakil Ketua DPR, Cak Imin tahu bahwa jalan menuju kemandirian ini tidak mudah. Namun, dengan kepemimpinannya yang kembali diperpanjang untuk lima tahun ke depan, ia menaruh harapan besar untuk membawa PKB ke level baru—sebuah partai yang mandiri, tanpa bergantung pada organisasi apa pun, termasuk PBNU.

Sorak-sorai kembali menggema di seluruh ruangan muktamar. Para peserta muktamar menyambut pidato Cak Imin dengan tepuk tangan meriah dan semangat yang membara. Mereka tahu, ini adalah awal dari babak baru bagi PKB untuk lebih membumi dengan konstituen nya. Sebuah babak di mana partai tersebut akan menulis : langkap nya sendiri, sejarahnya sendiri, ceritanya sendiri, dengan tinta kemandirian dan kebebasan dari segala pengaruh eksternal. 

Di bawah kepemimpinan Cak Imin, PKB bersiap menatap masa depan dengan langkah penuh keyakinan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat, kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
dengan paradigma baru yang visioner PKB menjadi pilihan utama atau pun alternative konstituen yang memiliki tekad untuk memperbaiki nasib bangsa dan negara dalam tataran kehidupan lokal, nasional maupun global.
Pak J guru pembelajar SMK Sunan Giri Menganti Gresik, ketua Yayasan Dompet Kepedulian Muslim Surabaya

Jumat, 23 Agustus 2024

"MENYENTUH LANGIT, MERAIH CINTA"

 


Cerpen bersambung

Episode 1: Terbang Bersama Mimpi


Di sebuah kota kecil yang tenang, hidup seorang pemuda bernama Bima. Sejak kecil, Bima selalu memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang dengan tatapan penuh harap. Ia tidak hanya ingin menjadi seorang pemimpi yang melihat bintang-bintang dari jauh, tetapi ia ingin terbang ke sana, meraih mimpi-mimpinya, dan mengukir namanya di antara mereka. Mimpinya untuk terbang selalu dianggap terlalu tinggi oleh orang-orang di sekitarnya.

“Kenapa bermimpi terlalu besar, Bima? Kamu hanya akan kecewa nanti,” ujar seorang tetangga suatu hari saat melihat Bima memandangi langit dengan penuh harap.

“Tidak ada orang dari sini yang pernah pergi sejauh itu,” tambah yang lain. Namun, ucapan-ucapan itu tidak pernah menggoyahkan keyakinan Bima. Ia percaya, dengan kerja keras dan tekad yang kuat, ia bisa mewujudkan impiannya.

Bima terus belajar, mencoba memahami segala hal tentang angin, kain, dan bagaimana manusia bisa terbang dengan alat sederhana. Meski ia bukan murid terpintar di sekolah, Bima adalah yang paling gigih. Ketika teman-temannya tidur, Bima masih terjaga di kamarnya yang penuh dengan kertas-kertas perhitungan dan desain layang-layang. Dia tahu, layang-layang bukan sekadar mainan; itu adalah awal dari impiannya untuk terbang.

Di antara kesibukannya dengan layang-layang, Bima memiliki seorang sahabat dekat bernama Ainun. Ainun selalu menjadi pendukung setianya, meski banyak yang meremehkan impiannya. Setiap kali Bima merasa putus asa, Ainun selalu ada untuk menyemangati dan mengingatkan bahwa mimpi Bima tidak pernah terlalu besar.

“Langit itu terlalu luas untuk kita yang  hanya bermimpi kecil, Bima,” ujar Ainun suatu malam saat mereka duduk di tepi bukit memandangi bintang-bintang.

Hari-hari terus berlalu, dan Bima akhirnya mendapat kesempatan untuk mewujudkan impiannya. Ia merancang layang-layang terbesarnya. Bahan-bahan yang dipilihnya adalah kain yang kuat namun ringan, dan setiap simpul pada tali layang-layang itu ia kerjakan dengan hati-hati, penuh harapan dan impian. Saat layang-layang itu selesai, Bima merasa mimpinya semakin dekat.

Suatu pagi yang cerah, Bima berdiri di puncak bukit dengan layang-layangnya yang besar di tangannya. Angin berhembus kencang, seolah memberi isyarat bahwa ini adalah waktu yang tepat. Dengan jantung yang berdebar kencang, Bima melepaskan layang-layangnya ke udara. Layang-layang itu naik perlahan, semakin tinggi, dan semakin tinggi, hingga akhirnya hanya terlihat sebagai titik kecil di langit.

Di sampingnya, Ainun tersenyum lebar, bangga melihat sahabatnya berhasil mencapai mimpinya. Meski Bima belum benar-benar terbang, hatinya telah sampai ke langit. Mimpi yang dulu tampak mustahil kini terasa begitu dekat.

Episode 2: Cinta yang Melayang di Angkasa


Hari demi hari berlalu, dan layang-layang besar Bima menjadi simbol harapan di kota kecil itu. Orang-orang mulai melihatnya dengan kagum, bukan hanya karena layang-layangnya yang mampu terbang tinggi, tetapi juga karena ketekunan Bima yang tidak pernah menyerah. Namun, di balik semua pencapaian itu, Bima merasa ada sesuatu yang masih kurang. Ada satu mimpi lain yang belum sepenuhnya ia wujudkan.

Suatu malam, saat Bima dan Ainun duduk di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang, Bima merasakan perasaan yang telah lama ia pendam semakin kuat. Ia menyadari bahwa bukan hanya layang-layang dan bintang-bintang yang membuatnya terbang tinggi, tetapi juga Ainun, yang selalu ada di sampingnya, memberikan kekuatan dan dukungan.

“Ainun,” Bima memulai dengan suara pelan, “Terima kasih telah selalu ada untukku, mendukung semua impianku, bahkan ketika orang lain meragukannya.”

Ainun tersenyum lembut, “Aku selalu percaya padamu, Bim. Kau bukan hanya seorang pemimpi, tapi juga orang yang berani mewujudkan mimpinya.”

Bima menatap Ainun dengan tatapan yang penuh dengan perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. “Aku menyadari bahwa selama ini, bukan hanya langit dan bintang-bintang yang menjadi impianku, tapi juga kau, Ainun. Aku ingin kau ada di sampingku, tidak hanya sebagai sahabat, tapi lebih dari itu.”

Ainun terkejut mendengar pengakuan Bima, namun hatinya berdebar kencang. Ia tahu, perasaannya terhadap Bima juga telah berkembang lebih dari sekadar persahabatan. Dengan lembut, ia menjawab, “Aku juga merasakan hal yang sama, Bim. Aku selalu ingin berada di sampingmu, baik saat kau mengejar bintang-bintang maupun ketika kau hanya ingin menatap langit.”

Malam itu, di bawah gemerlap bintang-bintang, Bima dan Ainun saling mengungkapkan perasaan mereka. Di sana, di tempat di mana layang-layang Bima dulu terbang tinggi, dua hati yang saling mencintai menemukan langit mereka sendiri. Mereka tahu, bersama-sama, tidak ada mimpi yang terlalu besar, dan tidak ada cinta yang tidak bisa mencapai langit.

Seiring berjalannya waktu, Bima dan Ainun terus bersama, mendukung satu sama lain dalam mengejar mimpi mereka. Layang-layang Bima tetap terbang tinggi, menjadi simbol bukan hanya dari impiannya, tetapi juga cinta yang melayang bersama angin, menggapai langit yang tak terbatas.

Episode 3: Langit yang Tak Terbatas


Waktu terus berlalu, dan kisah cinta Bima dan Ainun semakin dalam, tumbuh kuat seiring dengan mimpi-mimpi mereka yang semakin tinggi. Kota kecil itu, yang dulu skeptis terhadap ambisi besar Bima, kini memandangnya dengan rasa hormat dan kebanggaan. Layang-layang besar yang selalu menjadi simbol tekad Bima kini menjadi inspirasi bagi banyak orang di kota itu.

Suatu hari, kabar besar datang ke kota mereka. Sebuah kompetisi tingkat nasional akan diadakan, di mana para peserta diminta merancang dan menerbangkan layang-layang yang mampu membawa alat rekam ke langit untuk memotret bintang-bintang. Ini adalah kesempatan yang tidak pernah Bima bayangkan sebelumnya, sebuah langkah nyata untuk mendekatkan dirinya pada mimpinya untuk menyentuh langit dan melihat bintang-bintang dari dekat.

Dengan semangat yang berkobar, Bima mulai merancang layang-layang terbarunya, lebih besar dan lebih kuat dari sebelumnya. Kali ini, ia tidak sendiri. Ainun, yang kini menjadi kekasihnya, selalu ada di sampingnya, membantu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Setiap malam mereka habiskan bersama, merancang, menjahit, dan merakit layang-layang yang akan membawa mimpi mereka ke langit.

Hari kompetisi pun tiba. Bima dan Ainun berangkat ke kota besar tempat kompetisi itu diadakan, membawa layang-layang mereka yang telah siap terbang. Di sana, mereka bertemu dengan banyak peserta lain yang datang dari seluruh penjuru negeri, masing-masing membawa impian besar mereka sendiri.

Ketika tiba giliran Bima untuk menerbangkan layang-layangnya, jantungnya berdebar kencang. Namun, di sampingnya, Ainun menggenggam tangannya erat, memberikan kekuatan yang ia butuhkan. Dengan hati-hati, mereka melepaskan layang-layang itu ke udara, angin menyambut dengan lembut, mengangkat layang-layang itu semakin tinggi, hingga perlahan-lahan ia menghilang ke dalam ketinggian langit.

Saat layang-layang itu mencapai ketinggian maksimal, alat rekam yang terpasang pada layang-layang mulai bekerja, menangkap gambar-gambar menakjubkan dari bintang-bintang yang berkilauan di atas sana. Ketika gambar-gambar itu muncul di layar monitor di bawah, semua orang yang hadir dalam kompetisi itu tertegun melihat betapa indahnya pemandangan yang tertangkap.

Bima dan Ainun saling berpandangan dengan senyum yang penuh dengan kebahagiaan. Mereka telah berhasil. Tidak hanya layang-layang mereka yang terbang tinggi, tetapi mimpi mereka untuk menyentuh langit dan melihat bintang-bintang dari dekat juga telah terwujud.

Ketika pemenang kompetisi diumumkan, nama Bima dipanggil sebagai pemenang utama. Riuh tepuk tangan menggema saat Bima dan Ainun naik ke panggung untuk menerima penghargaan mereka. Dengan bangga, mereka menerima piala yang menandakan bahwa mimpi yang dulu dianggap mustahil oleh banyak orang, kini telah menjadi kenyataan.

Setelah kompetisi, Bima dan Ainun kembali ke kota kecil mereka, disambut dengan sorak sorai oleh penduduk yang kini melihat mereka sebagai pahlawan. Layang-layang besar itu dipajang di alun-alun kota sebagai simbol inspirasi, bukan hanya tentang ketekunan dan kerja keras, tetapi juga tentang cinta dan impian yang tak pernah padam.

Malam itu, di bukit tempat segalanya dimulai, Bima dan Ainun duduk bersama di bawah langit yang dipenuhi bintang. Bima menatap langit yang dulu hanya menjadi impian, dan kini telah menjadi bagian dari kenyataan hidupnya.

“Ainun,” katanya, “Aku selalu percaya bahwa tidak ada mimpi yang terlalu besar. Dan sekarang, aku tahu, selama kau ada di sisiku, langit bukanlah batas. Kita bisa mencapai apa saja.”

Ainun tersenyum, menatap Bima dengan cinta yang mendalam. “Bersamamu, Bima, aku merasa seperti kita bisa terbang ke mana saja, setinggi apa pun, sejauh apa pun. Tidak ada yang tidak mungkin bagi kita.”

Dan di bawah langit yang penuh bintang itu, Bima dan Ainun berjanji untuk selalu bersama, menghadapi segala tantangan dan mengejar setiap mimpi yang mereka miliki. Mereka tahu, dengan cinta yang kuat dan mimpi yang tak pernah padam, langit bukanlah batas, melainkan hanya awal dari petualangan mereka yang tak terbatas.

TAMAT

Pak J guru pembelajar SMK Sunan Giri Menganti Gresik, ketua Yayasan Dompet Kepedulian Muslim Surabaya

 

Kamis, 22 Agustus 2024

“Panggilan dari Bendungan yang Retak”


Kisah ini bukan hanya tentang seorang pemuda di desa kecil. Ini adalah kisah tentang rakyat yang berjuang untuk keadilan, tentang suara-suara yang tak akan pernah terabaikan, dan tentang harapan yang, meski sempat padam, akan menyala kembali.

Di sebuah negeri yang pernah dijuluki sebagai permata timur, suara-suara riuh mulai merayap di balik tembok-tembok yang dulunya dihiasi dengan harapan. Suara itu bukanlah angin sepoi-sepoi yang menenangkan, melainkan jeritan hati yang menyayat, tak terperhatikan, dan semakin lama semakin keras, hingga mengguncang fondasi negeri tersebut.

Adalah Raka, seorang pemuda yang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung wilis sebuah tempat yang konon gunung nya sudah tidak aktif lagi. Dia tumbuh besar dengan cerita-cerita tentang perjuangan nenek moyangnya, tentang kebebasan yang diperoleh dengan darah dan air mata. Raka selalu memandang pemimpin-pemimpin bangsanya dengan hormat. Baginya, mereka adalah penuntun jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Namun, beberapa tahun terakhir ini, Raka mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali dia mendengar pidato dari para pemimpin di televisi, setiap kali dia membaca berita tentang keputusan politik yang diambil, hatinya merasakan sebuah kekosongan. Harapan yang dulu ada mulai memudar, digantikan oleh rasa resah yang perlahan menjalar.

Di kota besar, jauh dari desa Raka, lahir generasi baru politisi, yakni generasi yang katanya pernah di godok di kawah candradimuka untuk lahir sebagai manusia yang punya kepemimpinan, punya niat baik dan kepedulian terhadap bangsa dan negarannya. Mereka disebut “Telur-telur Partai.” Masyarakat menaruh harapan besar pada mereka. Mereka diharapkan membawa angin segar, perubahan yang dinanti-nantikan. Tetapi, semakin lama mereka duduk di kursi kekuasaan, semakin terlihat bahwa mereka hanya melanjutkan praktik-praktik lama. Kebijakan yang diambil tidak lagi mencerminkan suara rakyat, melainkan suara partai dan kelompok kecil yang membersamai mereka.

Suatu hari, Raka mendengar kabar tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang diabaikan oleh para “Telur-telur Partai.” Keputusan yang seharusnya menjadi pilar hukum dan demokrasi diubah dengan mudahnya, seakan hanya permainan di tangan para penguasa. Raka merasa kecewa, namun yang lebih menyakitkan adalah ketika dia menyadari bahwa para pemimpin ini, yang seharusnya menjaga kepentingan rakyat, justru semakin menjauh dan terkesan menjual kepercayaan masyarakat.

Rasa sakit ini tidak hanya dirasakan oleh Raka. Di seluruh pelosok negeri, rakyat mulai merasakan hal yang sama. Kecewa, dikhianati, dan ditinggalkan oleh mereka yang dulu memohon suara untuk mendapatkan kekuasaan. Di desa-desa, di kota-kota, di kampus-kampus, hingga di media sosial, rakyat bersatu, mengungkapkan keresahan mereka. Mereka berteriak, menyerukan “Darurat Demokrasi bagi Indonesia!”

Media sosial, yang dulunya dianggap sekadar tempat untuk berbagi cerita sehari-hari, kini menjadi medan perlawanan. Netizen, dari berbagai latar belakang, bergabung dalam satu suara. Mereka menyadari bahwa kekuatan sejati ada di tangan mereka, bukan di tangan segelintir elit yang duduk nyaman di kursi kekuasaan.

Raka pun ikut serta dalam perlawanan ini. Dia menulis, berbicara, dan berbagi cerita tentang penderitaan rakyat. Dia tahu, suara kecilnya mungkin tak akan terdengar jauh, tapi dia percaya bahwa setiap suara, setiap jeritan, adalah batu kecil yang bisa meruntuhkan tembok besar ketidakpedulian.

Suara-suara ini terus menggema, semakin lama semakin keras, seperti air yang tertahan di bendungan. Bendungan itu, yang selama ini dianggap kokoh, mulai retak. Penguasa, yang semakin jauh dari rakyat, semakin kehilangan kendali atas negeri yang seharusnya mereka pimpin dengan bijak.

Raka tahu, jika penguasa tak segera membuka mata dan telinga mereka, retakan ini akan menjadi celah besar yang bisa saja menjadi embrio jebolnya bendungan besar yang bernama Indonesia. Dan ketika bendungan itu jebol, airnya akan menerjang dengan kekuatan yang tak terhentikan menggilas apa saja yang di hadapan nya dan meratakan setiap bangunan simbol kemegahan penguasa. Negeri ini, yang pernah dijuluki sebagai permata timur, akan terancam oleh banjir bandang yang membawa kehancuran, yang kemudian hari hanya menyisakan sejarah pedih dan kelam untuk anak cucu bangsa.

Tetapi di balik semua itu, Raka percaya, bahwa di antara reruntuhan, selalu ada kesempatan untuk bangkit. Dan saat itulah, rakyat akan kembali mengambil alih takdir mereka, membangun kembali negeri ini dengan tangan mereka sendiri. dan menghantarkan negeri ini pada masa ke emasan yang peduli pada nasib rakyat ,bangsa dan negara.


Minggu, 18 Agustus 2024

Jolotundo: Warisan Abadi di Lereng Penanggungan


 Di lereng barat Gunung Penanggungan, tersembunyi di tengah keheningan alam, berdiri sebuah situs kuno bernama Candi Jolotundo. Tempat ini bukan hanya sekadar bangunan batu, tetapi sebuah simbol cinta, kekuatan, dan misteri yang terjalin dalam sejarah Nusantara.

Segalanya dimulai pada abad ke-10, di pulau Bali, ketika Raja Udayana, penguasa yang bijaksana, dan permaisurinya Mahendradatta, menantikan kelahiran putra mereka. Udayana, dalam cinta kasihnya yang mendalam, memutuskan untuk membangun sebuah tempat suci sebagai wujud rasa syukur atas anugerah hidup yang akan segera mereka sambut. Di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai tempat sakral, ia memerintahkan pembangunan sebuah patirthan atau tempat pemandian suci, yang kelak dikenal sebagai Jolotundo.

Prabu Airlangga, putra mereka, lahir di tahun 913 Saka. Takdirnya telah ditulis dalam bintang-bintang sebagai seorang pemimpin besar. Namun, kehidupan muda Airlangga tak berjalan mulus. Ketika berusia 16 tahun, tragedi menimpanya. Serangan mendadak menghancurkan kedamaian kerajaan, memaksa Airlangga melarikan diri ke dalam hutan belantara, di mana ia harus bertahan hidup. Dalam pelarian ini, ia ditemani oleh Narottama, seorang hamba setia yang tidak pernah meninggalkannya.


Di tengah hutan yang gelap dan sunyi, di lereng Gunung Penanggungan yang angker, Airlangga memulai perjalanan spiritualnya. Ia bertapa, memuja para dewa dengan sepenuh hati, berharap mendapatkan petunjuk dan perlindungan. Para dewa, tersentuh oleh ketekunan dan ketulusan hati Airlangga, menurunkan berkah mereka, menjanjikan perlindungan ilahi yang akan memandu langkahnya kelak. Mereka melihatnya bukan hanya sebagai manusia biasa, tetapi sebagai titisan Dewa Wisnu yang akan membawa kedamaian dan keadilan bagi dunia.

Candi Jolotundo sendiri adalah mahakarya yang memancarkan kekuatan spiritual. Dibangun dari batu andesit yang kokoh, situs ini terdiri dari beberapa tingkat yang menggambarkan perjalanan spiritual menuju pencerahan. Di tengahnya, terdapat kolam berukuran 16x13 meter, dengan air yang memancur dari dinding batu, mengalir ke dalam kolam melalui pancuran-pancuran kecil yang dirancang menyerupai Gunung Penanggungan. Air ini dianggap suci oleh masyarakat setempat, diyakini membawa keberkahan dan kesucian bagi siapa saja yang menyentuhnya.


Menurut kisah yang tertulis dalam relief-relief di Candi Jolotundo, pembangunan patirthan ini adalah untuk menghormati leluhur dan memuja para dewa. Relief tersebut tidak hanya menghias dinding, tetapi juga menceritakan kisah-kisah epik dari Mahabharata dan Khatasaritsagara, dua kitab suci yang memiliki tempat khusus dalam tradisi Hindu. Relief Mahabharata, dengan detail yang mengagumkan, mengisahkan perjuangan para pahlawan Pandawa, sementara relief dari Khatasaritsagara menggambarkan pengasingan Raja Udayana dan ibunya, Margayawati, di Gunung Udayaparwa, sebelum akhirnya kembali bertemu dengan Raja Sahasranika, ayah Udayana.

Namun, ada misteri yang menyelimuti Candi Jolotundo. Para ahli sejarah telah berdebat selama bertahun-tahun mengenai fungsi sebenarnya dari situs ini. Beberapa berpendapat bahwa Jolotundo adalah makam Raja Udayana, didasarkan pada prasasti dan relief yang menyebutkan nama Udayana serta kata "gempeng" yang dapat diartikan sebagai "wafat." Namun, ini ditentang oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa Udayana tidak mungkin dimakamkan di Jolotundo, karena sejarah mencatat bahwa ia masih memerintah di Bali hingga tahun 1021 Masehi. Ada juga yang meyakini bahwa candi ini adalah tempat pemujaan bagi leluhur, sebuah tempat suci yang dibangun untuk menghormati arwah para pendahulu yang agung.

Air Jolotundo adalah elemen terpenting dari situs ini. Mengalir dari mata air yang tersembunyi di balik dinding candi, air ini tidak pernah berhenti, tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau yang paling parah sekalipun. Masyarakat setempat menyebut air ini sebagai "amartha"—air suci yang diyakini memiliki kekuatan penyembuhan dan membawa berkah. Orang-orang dari berbagai penjuru datang ke Jolotundo untuk mandi di kolam ini, berharap mendapatkan keberkahan, kesucian, dan kesehatan. Air ini dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan menjadi sumber kehidupan yang tidak pernah habis bagi warga desa Seloliman.


Jolotundo juga dikenal sebagai tempat yang sangat sakral dan penuh dengan keajaiban. Banyak yang percaya bahwa tempat ini adalah pintu gerbang menuju dunia spiritual, di mana manusia dapat berhubungan langsung dengan para dewa. Mereka yang mencari ketenangan batin dan kelepasan dari penderitaan duniawi sering datang ke sini untuk bermeditasi dan bertapa. Di tengah keheningan malam, di bawah sinar bulan yang lembut, mereka duduk di tepi kolam, membiarkan air suci menyentuh kulit mereka, meresapi kedamaian yang ditawarkan oleh tempat ini.

Jolotundo bukan hanya sebuah candi, tetapi juga sebuah simbol keabadian, di mana sejarah, spiritualitas, dan alam bersatu dalam harmoni. Tempat ini telah melewati ribuan tahun, namun masih tetap hidup dalam setiap tetes airnya yang mengalir tanpa henti, membawa pesan cinta, keberanian, dan kebijaksanaan dari masa lalu ke masa kini. Di sinilah, di tengah bayang-bayang Gunung Penanggungan, cerita tentang Airlangga, Udayana, dan Jolotundo akan terus diceritakan, menginspirasi generasi demi generasi yang datang mencari makna dalam perjalanan hidup mereka.

Jumat, 16 Agustus 2024

Menjadi Dewasa Tanpa Mengorbankan sehat

 


Bagi anak SMK, merokok sering kali dianggap sebagai cara untuk tampil keren atau untuk mengikuti teman-teman. Namun, kebiasaan ini sering kali melibatkan tindakan yang tidak jujur, seperti mencuri kesempatan hanya untuk merokok atau berbohong kepada orang tua untuk mendapatkan uang membeli rokok. Ini bukan hanya merugikan kesehatan kamu, tetapi juga dapat merusak hubungan dengan orang tua dan membuat kamu terjebak dalam kebiasaan buruk yang sulit diubah.

Pertama-tama, mari kita bahas tentang merokok itu sendiri. Merokok jelas-jelas merusak kesehatan. Kamu pasti tahu kalau asap rokok mengandung banyak zat berbahaya yang bisa menyebabkan penyakit serius, seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung. Jadi, meskipun merokok mungkin terasa keren atau dianggap sebagai tanda kedewasaan, sebenarnya itu adalah kebiasaan yang sangat merugikan.

Selain itu, tindakan mencuri kesempatan atau berbohong untuk mendapatkan uang membeli rokok hanya akan membuat masalahmu bertambah. Jika kamu berbohong kepada orang tua, kamu akan merusak kepercayaan mereka. Hubungan dengan keluarga bisa jadi terganggu dan ini bisa berdampak buruk pada psikologismu. Jangan sampai kamu terjebak dalam lingkaran kebohongan dan kebiasaan buruk hanya karena mengikuti tren yang tidak sehat.

Penting untuk diingat bahwa ada banyak cara lain untuk menunjukkan bahwa kamu dewasa dan keren tanpa harus merokok. Kamu bisa berfokus pada kegiatan positif seperti olahraga, seni, atau bergabung dengan klub yang bermanfaat. Selain itu, kamu juga bisa mencari teman yang mendukung keputusan sehatmu dan bisa jadi teladan yang baik.

Sebagai anak SMK, kamu memiliki banyak pilihan untuk masa depanmu. Jangan biarkan kebiasaan merokok menghalangi potensi dan kesehatanmu. Pilihlah untuk hidup sehat dan jujur, dan tunjukkan bahwa kamu bisa menjadi pribadi yang keren tanpa harus merusak tubuhmu. Jangan ragu untuk mencari dukungan jika kamu merasa kesulitan untuk berhenti merokok. Ingatlah, keputusan yang kamu buat hari ini akan mempengaruhi kesehatan dan masa depanmu. Jadi, buatlah keputusan yang bijak dan jadilah pemuda  terbaik dari dirimu sendiri.



Pak J SMK Sunan Giri Menganti Gresik 

Rabu, 14 Agustus 2024

Pekik 'Merdeka!' di Tengah Ketidakadilan: Sebuah Renungan untuk Penguasa

 


Setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia dengan penuh semangat berteriak “Merdeka!” Namun, di tengah pekikan itu, ada pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan: Apakah kita benar-benar merdeka? Di tengah berbagai kesulitan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin mencekik, apakah janji kemerdekaan yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa telah terpenuhi?

Empat tujuan utama berdirinya negara Republik Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sayangnya, saat kita merenungkan realitas hari ini, kita melihat betapa jauhnya cita-cita tersebut dari kenyataan yang dialami oleh banyak rakyat Indonesia.

Perlindungan yang Dipertanyakan

Perlindungan seharusnya menjadi hak yang paling mendasar bagi setiap warga negara. Namun, apakah pemerintah telah melindungi rakyatnya ketika mereka harus bersaing dengan pekerja asing yang dengan mudahnya masuk dan menguasai lapangan pekerjaan di negeri ini? Sementara itu, rakyat kecil yang seharusnya mendapat prioritas, justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Di mana letak keadilan ketika anak negeri ini harus menjadi penonton di tanah air mereka sendiri?

 Janji yang Terus Menjauh

Kesejahteraan umum adalah tujuan yang dijanjikan dalam setiap kebijakan pemerintah. Namun, ketika harga kebutuhan pokok terus melambung, biaya pendidikan semakin tidak terjangkau, dan tarif dasar listrik serta harga bahan bakar minyak terus naik tanpa ada sosialisasi yang memadai, maka janji kesejahteraan hanya menjadi ilusi belaka. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri di tengah krisis ekonomi, sementara segelintir kelompok elite yang berkuasa justru menikmati kekayaan dan kemewahan. Apakah ini yang disebut dengan kesejahteraan umum?

 Makin Jauh dari Harapan

Pendidikan adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik. Namun, kenyataannya, biaya pendidikan yang semakin mahal membuat cita-cita ini semakin sulit dijangkau oleh rakyat kecil. Di saat banyak keluarga berjuang keras hanya untuk menyekolahkan anak-anak mereka, pemerintah justru terlihat abai dalam memastikan akses pendidikan yang merata dan terjangkau bagi semua kalangan. Bagaimana mungkin kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa jika pendidikan hanya menjadi hak istimewa bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial?

 Sebuah Utang yang Belum Terbayar

Indonesia juga memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia dengan berlandaskan pada keadilan sosial. Namun, bagaimana kita bisa berbicara tentang keadilan sosial di tingkat global ketika di dalam negeri kita sendiri, rakyat dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka atas nama proyek strategis nasional? Di mana keadilan ketika warga yang telah mendiami suatu tempat selama puluhan tahun diusir tanpa solusi yang adil dan manusiawi?

 Dimana Letak Kemerdekaan Itu?

Dengan rentetan kejadian ini, sangat wajar jika kita bertanya: Di mana letak kemerdekaan itu? Apakah kita benar-benar merdeka ketika rakyatnya harus terus berjuang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, sementara pemerintah tampak lebih peduli pada kesejahteraan kelompok dan keluarga sendiri? Apakah layak kita merayakan kemerdekaan saat kondisi bangsa seperti ini?

 Kembalilah pada Janji Kemerdekaan

Kemerdekaan tidak seharusnya menjadi sekadar ritual tahunan yang diisi dengan upacara dan perayaan tanpa makna. Kemerdekaan adalah amanat suci yang harus diwujudkan dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah. Penguasa seharusnya ingat bahwa mereka diamanahi untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat. Jika mereka gagal mewujudkan janji-janji ini, maka pekik “Merdeka!” yang terdengar setiap 17 Agustus hanya akan menjadi gema hampa, tanpa makna dan tanpa harapan.

Rakyat Indonesia berhak menuntut agar pemerintah kembali ke jalur yang benar, mewujudkan keadilan sosial yang sesungguhnya, dan memastikan bahwa setiap warga negara benar-benar merasakan makna kemerdekaan. Sampai saat itu tiba, pekik “Merdeka!” akan terus menjadi pengingat akan tugas besar yang masih belum terselesaikan.