Setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia dengan penuh semangat berteriak “Merdeka!” Namun, di tengah pekikan itu, ada pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan: Apakah kita benar-benar merdeka? Di tengah berbagai kesulitan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin mencekik, apakah janji kemerdekaan yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa telah terpenuhi?
Empat
tujuan utama berdirinya negara Republik Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD
1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Sayangnya, saat kita merenungkan realitas hari ini, kita melihat
betapa jauhnya cita-cita tersebut dari kenyataan yang dialami oleh banyak
rakyat Indonesia.
Perlindungan yang Dipertanyakan
Perlindungan seharusnya menjadi hak yang
paling mendasar bagi setiap warga negara. Namun, apakah pemerintah telah
melindungi rakyatnya ketika mereka harus bersaing dengan pekerja asing yang
dengan mudahnya masuk dan menguasai lapangan pekerjaan di negeri ini? Sementara
itu, rakyat kecil yang seharusnya mendapat prioritas, justru kesulitan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Di mana letak keadilan ketika anak negeri ini
harus menjadi penonton di tanah air mereka sendiri?
Kesejahteraan umum adalah tujuan yang
dijanjikan dalam setiap kebijakan pemerintah. Namun, ketika harga kebutuhan
pokok terus melambung, biaya pendidikan semakin tidak terjangkau, dan tarif
dasar listrik serta harga bahan bakar minyak terus naik tanpa ada sosialisasi
yang memadai, maka janji kesejahteraan hanya menjadi ilusi belaka. Rakyat
dibiarkan berjuang sendiri di tengah krisis ekonomi, sementara segelintir
kelompok elite yang berkuasa justru menikmati kekayaan dan kemewahan. Apakah
ini yang disebut dengan kesejahteraan umum?
Pendidikan adalah jalan menuju masa depan yang
lebih baik. Namun, kenyataannya, biaya pendidikan yang semakin mahal membuat
cita-cita ini semakin sulit dijangkau oleh rakyat kecil. Di saat banyak
keluarga berjuang keras hanya untuk menyekolahkan anak-anak mereka, pemerintah
justru terlihat abai dalam memastikan akses pendidikan yang merata dan
terjangkau bagi semua kalangan. Bagaimana mungkin kita bisa mencerdaskan
kehidupan bangsa jika pendidikan hanya menjadi hak istimewa bagi mereka yang
memiliki kekuatan finansial?
Indonesia juga memiliki kewajiban untuk ikut
serta dalam menjaga ketertiban dunia dengan berlandaskan pada keadilan sosial.
Namun, bagaimana kita bisa berbicara tentang keadilan sosial di tingkat global
ketika di dalam negeri kita sendiri, rakyat dipaksa untuk meninggalkan tanah
mereka atas nama proyek strategis nasional? Di mana keadilan ketika warga yang
telah mendiami suatu tempat selama puluhan tahun diusir tanpa solusi yang adil
dan manusiawi?
Dengan rentetan kejadian ini, sangat wajar
jika kita bertanya: Di mana letak kemerdekaan itu? Apakah kita benar-benar
merdeka ketika rakyatnya harus terus berjuang hanya untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka, sementara pemerintah tampak lebih peduli pada kesejahteraan
kelompok dan keluarga sendiri? Apakah layak kita merayakan kemerdekaan saat
kondisi bangsa seperti ini?
Kemerdekaan tidak seharusnya menjadi sekadar
ritual tahunan yang diisi dengan upacara dan perayaan tanpa makna. Kemerdekaan
adalah amanat suci yang harus diwujudkan dalam setiap kebijakan dan tindakan
pemerintah. Penguasa seharusnya ingat bahwa mereka diamanahi untuk melindungi,
menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat. Jika mereka gagal mewujudkan
janji-janji ini, maka pekik “Merdeka!” yang terdengar setiap 17 Agustus hanya
akan menjadi gema hampa, tanpa makna dan tanpa harapan.
Rakyat
Indonesia berhak menuntut agar pemerintah kembali ke jalur yang benar,
mewujudkan keadilan sosial yang sesungguhnya, dan memastikan bahwa setiap warga
negara benar-benar merasakan makna kemerdekaan. Sampai saat itu tiba, pekik
“Merdeka!” akan terus menjadi pengingat akan tugas besar yang masih belum
terselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar