Minggu, 02 Maret 2025

MEMBACA DI MOMENT RAMADHAN

Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ, firman yang disampaikan bukanlah perintah untuk shalat, zakat, atau jihad. Melainkan satu kata yang menjadi kunci peradaban: "Iqra" (Bacalah!). Bacaan ini bukan sekadar melafalkan huruf, melainkan perintah untuk memahami, merenungi, dan menghayati baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Namun, lihatlah kenyataan hari ini. Umat Islam semakin jauh dari perintah membaca. Tidak hanya membaca teks-teks keilmuan, tetapi juga gagal membaca fenomena kehidupan, tanda-tanda zaman, dan isyarat dari Allah yang berserakan di sekitar kita. Akibatnya? Umat kehilangan arah. Kita mudah terprovokasi, gampang menyalahkan, dan miskin refleksi.

Lebih tragis lagi, jika para pendidik pun mulai enggan membaca. Bagaimana mungkin mereka bisa membimbing generasi jika diri sendiri abai terhadap ilmu? Pendidikan pun menjadi stagnan, berputar dalam lingkaran yang sama tanpa kemajuan berarti. Lantas, bagaimana kita berharap mencetak generasi cerdas, kritis, dan berakhlak, jika fondasi utama pendidikan - yaitu membaca - justru ditinggalkan?

Di sinilah Ramadhan hadir sebagai momentum evaluasi. Bulan penuh berkah ini bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, melainkan kesempatan emas untuk kembali menghidupkan semangat Iqra. Saat perut dikosongkan, akal dan hati seharusnya diisi. Saat malam dihidupkan dengan tarawih, siang harinya seharusnya dipenuhi dengan tadabbur.

Ramadhan seharusnya melahirkan generasi pembaca: pembaca Al-Qur'an, pembaca sejarah, dan pembaca realitas sosial. Karena hanya dengan membaca, kita bisa memahami hakikat hidup dan bertindak bijak dalam setiap langkah. Tanpa membaca, kita beribadah tanpa makna, berdakwah tanpa ilmu, dan berjuang tanpa strategi.

Jadi, sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah Ramadhan kali ini akan kita biarkan berlalu tanpa menghidupkan kembali perintah pertama yang diturunkan Allah? Ataukah kita akan menjadikannya titik balik untuk mengembalikan budaya membaca sebagai landasan amal dan ibadah?

Jawabannya ada di tangan kita. Dan Ramadhan ini, semoga kita memilih untuk kembali kepada Iqra.

MIRIS!! PERINTAH ITU MAKIN BANYAK DI TINGGALKAN GURU ?


Firman pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca: Iqra’! Sebuah perintah yang menjadi fondasi keilmuan, pijakan berpikir, dan syarat utama kemajuan. Membaca bukan sekadar mengeja huruf, melainkan memahami makna, menangkap pesan yang tersurat maupun tersirat, agar bijak sebelum bertindak dan berbicara. Inilah yang diajarkan Islam sejak awal. Tapi, mirisnya, perintah ini justru makin banyak ditinggalkan.


Lihatlah kondisi pendidikan kita hari ini. Anak-anak malas membaca. Pengumuman sekolah disampaikan jelas, pakai bahasa Indonesia yang mudah dipahami, tapi tetap saja muncul pertanyaan, “Ini apa, Bu?”, “Ini maksudnya gimana, Pak?”. Bukannya membaca dan mencerna informasi, mereka malah memilih bertanya instan. Seakan-akan membaca jadi beban yang terlalu berat.

Ironisnya, ini bukan cuma soal siswa. Guru pun banyak yang enggan membaca. Program literasi hanya jadi jargon, tanpa implementasi nyata. Bagaimana mungkin mendidik generasi pembelajar, kalau pendidiknya sendiri enggan memperkaya wawasan?

Inilah akar masalahnya. Malas membaca berarti malas berpikir. Malas berpikir berarti mudah tersesat. Akhirnya, kebijakan pendidikan sekadar formalitas, program sekolah jalan di tempat, dan kualitas lulusan makin menurun. Tak heran kalau pendidikan kita sulit maju.

Kalau kita ingin perubahan, mulai dari yang paling sederhana: membaca! Bangun kembali budaya literasi, bukan sekadar membaca teks, tapi membaca realitas, membaca hikmah. Tanpa membaca, kita kehilangan daya kritis, kehilangan pijakan, dan makin jauh dari pesan mulia yang Allah turunkan. Sudah saatnya kita kembali ke firman pertama itu: Iqra' — bacalah, pahami, dan amalkan!

Kalau tidak sekarang, mau sampai kapan kita terus terpuruk?

Sabtu, 01 Maret 2025

SMK DAN PENDIDIKAN KARAKTER: MENYIAPKAN PROFESIONAL BERETIKA ATAU ROBOT INDUSTRI?

Pendidikan adalah fondasi utama yang menentukan arah dan masa depan sebuah bangsa. Ia seharusnya menjadi wahana sakral untuk menanamkan nilai-nilai luhur, membangun karakter, memperkokoh integritas, dan membekali generasi muda dengan keterampilan hidup yang berkelanjutan. Namun, ironisnya, makna pendidikan yang agung ini kian terkikis oleh paradigma materialistis yang menjangkiti penyelenggara pendidikan, termasuk pemerintah.

Jika pendidikan hanya dimaknai sebatas kelengkapan alat, fasilitas mewah, dan sekadar pemenuhan infrastruktur fisik, maka hakikat pendidikan akan terus tersesat dalam fatamorgana kemajuan semu. Sekolah menjadi gedung megah tanpa ruh, ruang belajar berubah menjadi pasar transaksi antara pihak yang merasa membayar dan penyedia layanan pendidikan yang sibuk menghitung keuntungan.

Lebih menyedihkan lagi, ketika pendidikan dikomersialisasi sebagai bisnis pengajaran semata. Guru terpaksa berperan sebagai tenaga jasa, sementara siswa sekadar pelanggan. Dalam ekosistem seperti ini, nilai-nilai moral dan karakter bangsa dikorbankan atas nama efisiensi dan profitabilitas. Pendidikan menjadi ajang perlombaan angka dan sertifikasi, sementara akhlak dan jiwa merdeka anak-anak bangsa terabaikan.

Pemerintah, sebagai pemegang amanah utama penyelenggaraan pendidikan, seharusnya menjadi benteng terakhir yang menjaga kemurnian makna pendidikan. Tetapi, kenyataan sering kali berkata lain. Kebijakan yang lahir lebih sering condong ke arah pengelolaan data, target kurikulum yang serampangan, dan kebijakan-kebijakan yang menciptakan kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah.


Apakah kita benar-benar ingin mengubur masa depan bangsa dengan mengabaikan aspek moralitas dan karakter dalam pendidikan? Apakah pembangunan manusia yang beradab bisa tercapai hanya dengan menjejali siswa dengan tumpukan teori tanpa mengasah jiwa dan hati nurani mereka?

Sudah saatnya pemerintah dan penyelenggara pendidikan berbenah. Pendidikan harus dikembalikan ke akar sejatinya sebagai proses memanusiakan manusia. Bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi melahirkan insan berkarakter kuat yang berani jujur, berjiwa sosial tinggi, dan mampu menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara.

Tanpa pemaknaan ulang ini, pendidikan yang kita cita-citakan tak akan pernah terwujud, bahkan hingga dunia ini berakhir. Karena pendidikan sejati bukan sekadar perkara ilmu, melainkan pembentukan peradaban yang bermartabat.



SOLUSI KONGKRIT NYA ?

Untuk mewujudkan pendidikan yang berakar pada integritas, akhlak, dan keterampilan hidup berkelanjutan di jenjang SMK, berikut adalah langkah-langkah spesifik yang bisa diterapkan:

  1. Kelas Refleksi Karakter (30 Menit/Minggu):

    • Setiap minggu, sisihkan 30 menit untuk sesi refleksi karakter.

    • Guru memandu diskusi kasus nyata, misalnya etika kerja di perusahaan, dampak korupsi kecil, atau pentingnya kejujuran dalam transaksi.

    • Siswa diajak menyusun solusi dan merefleksikan bagaimana sikap mereka seandainya menghadapi situasi tersebut.

  2. Magang Berbasis Karakter:

    • Saat magang industri, siswa wajib membuat jurnal harian yang mencatat tantangan moral yang mereka temui.

    • Guru pembimbing mengulas jurnal ini secara berkala dan mengadakan diskusi kelompok setelah magang selesai untuk membahas pelajaran karakter yang didapat.

  3. Program Mentor Sebaya:

    • Bentuk kelompok kecil dengan siswa yang lebih matang secara emosional menjadi mentor.

    • Mentor ini bertugas membantu teman-temannya mengatasi konflik, menumbuhkan empati, dan memberi contoh perilaku positif.

  4. Simulasi Dunia Kerja (2 Bulan Sekali):

    • Adakan simulasi yang melibatkan studi kasus nyata dunia kerja.

    • Contoh: Menyelesaikan konflik antar rekan kerja, menghadapi tekanan atasan, atau menolak ajakan berbuat curang dalam pekerjaan.

  5. Gerakan Tanggung Jawab Sosial (Minimal 1x/Semester):

    • Wajibkan siswa ikut program sosial, seperti membantu UMKM lokal, mengajar anak-anak kurang mampu, atau membersihkan lingkungan.

    • Ini melatih rasa kepedulian, empati, dan tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar.

  6. Kontrak Karakter Pribadi:

    • Setiap siswa menulis 'kontrak karakter' pribadi yang berisi nilai-nilai yang ingin mereka pegang.

    • Kontrak ini dievaluasi berkala, dan siswa diajak merefleksikan apakah tindakan mereka sudah sesuai dengan prinsip yang mereka tulis.

  7. Apresiasi Khusus untuk Sikap Positif:

    • Buat papan apresiasi karakter di kelas atau sekolah.

    • Guru dan teman sekelas bisa menulis catatan penghargaan untuk siswa yang menunjukkan sikap terpuji, misalnya membantu tanpa diminta, bersikap jujur saat ada kesalahan, atau menjadi penengah saat terjadi konflik.

Dengan langkah-langkah ini, karakter siswa SMK bisa dibentuk secara nyata melalui pengalaman langsung dan refleksi mendalam. Pendidikan karakter akan terasa hidup, bukan hanya sekadar teori di ruang kelas, tetapi menjadi napas yang membangun pribadi mereka untuk masa depan.

PAK. J


SUMBER KERUSAKAN DI BUMI

Apa artinya kita mengucap syahadat, menyatakan keimanan kepada Allah, bila tangan-tangan kita justru menjadi sumber kerusakan di bumi? Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an, bahwa kerusakan di darat dan di laut terjadi akibat ulah tangan manusia? (QS. Ar-Rum: 41). Lalu, bagaimana mungkin kita mengaku bertuhan, tetapi tingkah laku kita justru bertentangan dengan ajaran-Nya?


Ketika seseorang mengeruk kekayaan alam tanpa batas, merusak hutan, mencemari sungai, dan memusnahkan habitat makhluk hidup, ia bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga merampas hak generasi mendatang. Apakah itu sikap seorang hamba yang tunduk kepada Allah? Tidak. Itu adalah cermin ketamakan yang menodai fitrah kemanusiaan.

Ibadah yang sesungguhnya bukan hanya tentang shalat dan puasa, tetapi juga menjaga amanah sebagai khalifah di bumi. Menyembah Allah berarti menghidupkan cinta dan kasih sayang kepada sesama makhluk-Nya. Apa gunanya sujud berjam-jam jika setelahnya kita membiarkan tetangga kelaparan? Apa artinya berzikir jika perkataan kita menyakiti hati orang lain?

Bertuhan tidak cukup hanya di bibir. Bertuhan harus meresap ke dalam tindakan sehari-hari. Kita tidak bisa mengklaim mencintai Allah, sementara tangan kita menjadi penyebab penderitaan orang lain. Jika keimanan tidak melahirkan kebaikan, maka itu bukan iman, melainkan sekadar kedok belaka.

Mari kita renungkan, adakah ibadah kita sudah benar-benar menjadi cahaya bagi sekitar? Ataukah kita hanya sibuk mengejar pahala pribadi, tapi abai terhadap lingkungan dan sesama?

Saudara-saudaraku,

Mari bertuhan dengan kejujuran. Bertuhan dengan tindakan nyata. Jadilah manusia yang kehadirannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Sebab Allah tidak hanya melihat ucapan kita, tetapi juga apa yang kita perbuat. Semoga kita menjadi hamba yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap gerak langkah hidup kita.

Wallahu a'lam bish-shawab.