Pada tahun 63 H, warga Madinah memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah. Pemberontakan ini diawali dengan pengiriman utusan dari Madinah, yang dikirimkan oleh walikota baru Madinah Utsman bin Muhammad. Utusan ini dipimpin oleh Abdullah bin Hazhalah Al-Anshari. Ketika sampai di Syam, Yazid memuliakan mereka, dan melimpahi mereka dengan hadiah.
Meskipun telah memuliakan mereka, sebelum rombongan utusan
Madinah ini pulang, mereka sudah mengumumkan pemberontakan terhadap Yazid, dan
tidak mau mematuhinya lagi. Ketika ditanya tentang alasan pemberontakan, mereka
menjawab, “Yazid minum Khamar. Alat musik dimainkan untuknya. Ia juga
meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al-Qur’an.”
Ketika pemberontak itu menemui Muhammad bin Ali (Ibnul
Hanafiyah), untuk mengajaknya bergabung. Ibnul Hanafiyah berkata,
“menurutku apa yang kalian tuduhkan itu tidak dilakukan Yazid. Aku pernah
tinggal di kediamannya. Aku melihat sendiri Yazid rutin mendirikan sholat,
gemar berderma, bertanya tentang masalah Fikih, dan melazimkan amasl sesuai
As-Sunnah.” Setelah berdialog cukup lama, Ibnul Hanafiyah tetap teguh pada
pendiriannya, dan tidak mau ikut berperang.
Gagal mengajak Ibnul Hanafiyah bergabung, kaum pemberontak ini kemudian mengangkat dua orang pemimpin. Abdullah bin Hazhalah Al-Anshari mereka nobatkan sebagai pemimpin kaum Anshar. Sementara Abdullah bin Muthi’ Al-Adawi mereka nobatkan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Jika kita melihat dari pola gerakan pemberontakan ini, tujuan dari pemberontakan ini sama sekai tidak jelas, dan gerakan mereka tidak solid.
Yazid berharap dapat mengatasi pergolakan warga Madinah
dengan cara yang bijak. Ia mengutus An-Nu’man bin Basyir Al-Anshari untuk
mengajak kaum pemberontak agar kembali taat padanya, bersatu, dan tidak
menyulut perpecahan umat. Usaha tersebut tidak membuahkan hasil, mereka
menolaknya. Bahkan mereka mengusir walikota Madinah beserta seluruh Bani
Umayyah dari Madinah.
Tindakan yang dilakukan para pemberontak, menyebabkan Yazid tidak mempunyai pilihan selain menghadapi pemberontak dengan cara militer. Akhirnya, ia mengirimkan pasukan besar di bawah komando Muslim bin Uqbah. Sebelum pasukan tersebut berangkat Yazid berpesan untuk menghimbau pemberontak itu sebanyak tiga kali, jika mereka tidak mau menerimanya maka perangilah.
Kaum pemberontak Madinah yakin bahwa Yazid tidak akan
tinggal diam melihat perbuatan mereka, dan pasti segera mengirimkan pasukan.
Mereka mengambil langkah-langkah untuk mengalahkan pasukan yang akan datang
tersebut, yaitu merusak sumber-sumber air yang ada di antara Madinah, dan Syam,
supaya pasukan yang dikirim Yazid mati kehausan. Selain itu, pemberontak juga
membuat parit untuk menghalangi serangan. Namun, usaha tersebut sia-sia karena
pada saat yang bersamaan daerah sekitar Madinah hujan lebat, sehingga pasukan
tidak kekurangan air.
Setibanya pasukan Muslim bin Uqbah di Madinah, ia mengimbau
pemberontak Madinah sebanyak tiga kali. Namun, mereka tidak menerimanya. Perang
terbukan pun tidak terhindarkan. Kaum pemberontak Madinah, dalam pertempuran
Al-Harrah ini, akhirnya dapat ditumpas. Abdullah bin Hanzhalah serta
tokoh-tokoh pemberontak lain dapat dibunuh. Peristiwa ini terjadi pada 27
Dzuhhijjah, 63 H.
Setelah perang Harrah usai, Muslim bin Uqbah mengeluarkan
perintah Ibahatul-Madinah (memperbolehkan pasukannya melakukan
apa saja di Madinah) selama tiga hari. Ini adalah kesalahan tersebar yang
mencoreng pemerintahan Yazid, karena selama waktu tiga hari itu pasukan-pasukan
Muslim melakukan perampasan dan pengrusakan di Madinah. Tentu saja perbuatan
tersebut tidak dapat dibenarkan, dan perbuatan tersebut dijadikan sebagai bahan
untuk menyerang sejarah mengenai dinasti Umayyah, dan pemerintahan Yazid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar