Orde Baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Latar belakang
Meski telah merdeka,
Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif
tidak stabil. Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di
Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara kelompok-kelompok
politik. Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi
Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara
angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat
mempersenjatai diri. Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September
terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari
Indonesia. Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.
Supersemar dan
kebangkitan Soeharto
Kelahiran Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Di kemudian hari,
Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar
versi Presiden.
Orde Baru lahir dari
diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang
kemudian menjadi dasar legalitasnyaOrde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Kelahiran Supersemar
terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu,
Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
sedang berlangsung. Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di
sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada
Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju
Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam III Chaerul
Saleh. Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang
berakhir
Di tempat lain, tiga
orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden. Segera setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi
ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta
meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap
siaga. Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan
untuk mengatasi keadaan ini.
Menanggapi permohonan
ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan
Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas
pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI,
yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir
Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar
.
.
Letnan Jenderal
Soeharto
Sebagai tindak lanjut
keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil
beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta
ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk
beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.Keputusan ini kemudian diperkuat
dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal
12 Maret 1966. Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta
ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu
realisasi dari Tritura.
Pada tanggal 18 Maret
1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam
Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam
Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966 Ia kemudian memperbaharui
Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif,
termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30
September. Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam MPRS
dinyatakan gugur.
Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.
Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.
Pada tanggal 20 Juni
hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai
berikut:
- Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
- Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
- Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
- Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
- Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
- Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
- Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.
Hasil dari Sidang
Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil
memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis Indonesia
dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.
Selain dibubarkan dan
dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia
juga dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh angkatan
bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai. Selain kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan
seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan
tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau
kecil di wilayah Maluku Pada tanggal 30 September setiap tahunnya,
pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia
sebagai organisasi yang keji.
Pembentukan Kabinet
Ampera
Dalam rangka memenuhi
tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No.
XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera. Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma
Kabinet Ampera. Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
- memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
- melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
- melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
- melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera
dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium
Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang
menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.
Soekarno kala itu
masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan.
Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.
Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.
Akhirnya pada 22
Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu,
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden
Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat
Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.
Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya,
Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan oleh
pemerintahan sebelumnya. Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita
penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang
mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi
di akhir pemerintahan Soekarno
Untuk mengatasi
kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek berdasarkan
Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan
pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai,
kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.
Mulai tahun 1 April 1969,
pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).[12] Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969
tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha
dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk
memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain. Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan
membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian,
kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan. Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana
penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
Repelita I membawa
pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun, pendapatan
perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974. Repelita II (1974-1979) dan Repelita III
(1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status
swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V
(1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga
mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah
Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena
menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan
politik Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah
membangun berbagai prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan,
teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis. Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran
hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).
Mulai tahun 1968
hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya
mencapai 17.156 ribu ton. Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat
menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa
meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar
mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar
di dunia pada tahun 1970-an.
Pemerataan
kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha
mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan penduduk melalui
program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan
pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air
bersih, dan pembangunan perumahan sederhana . Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di
setiap pelita. Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari
angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an. Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang
hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun
pada tahun 1993.
Pemerataan ekonomi
juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya
50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi
juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk
setiap 1.000 kelahiran hidup. Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui
program Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk
mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat
diturunkan menjadi 2,0% per tahun.
Penataan Kehidupan
Politik
Pembubaran Partai Komunis Indonesia
dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin
keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban
Supersemar telah mengeluarkan kebijakan
- Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
- Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia
- Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai
Politik
Pada tahun 1973
setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi)
partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan
partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi
lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah:
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
- Golongan Karya
Penyederhanaan
partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang
terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan
ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum
tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru
pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971,
1977,
1982,
1987,
1992,
dan 1997.
Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan PPP
memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.
Sedangkan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11
kursi di DPR. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati
Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.
Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan
rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah
satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok
sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang
perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode,
karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap
pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
Peran Ganda (Dwi
Fungsi) ABRI
Sistem ini memancing
kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya mereka yang berusia muda,
menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam
akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer berkurang.
Secara kekuatan, ABRI
juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk
Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari
total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan
Malaysia (0,68%). Pendanaan yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil,
hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura
mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.
Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk
menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978
pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan
masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang
sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut
opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde
Baru.
Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal
dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu
bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua
prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi
Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila,
dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak
boleh diperdebatkan.
Penataan Politik Luar
Negeri
Pada masa Orde Baru
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada
kepentingan nasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat,
kebenaran, serta keadilan
Kembali menjadi
anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB
dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama
menjadi anggota pada tahun 1955-1964.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia
lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang
tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara
seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang
akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan
dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan
dengan Singapura
Dengan perantaraan
Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman,
hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.
Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan
atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.
Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan
dengan Malaysia
Penandatanganan
persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia
Normalisasi hubungan
Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di Bangkok
pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:
- Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
- Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
- Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11
Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia
ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan
dengan RRT
Pada tanggal 1
Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik
dengan Republik Rakyat Tiongkok
(RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT telah mencampuri urusan dalam
negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada Gerakan 30 September baik
untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.
Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang
dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di
luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia.
Melalui media massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada
30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.
Penataan Kehidupan
Ekonomi
Stabilisasi dan
Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi
keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
- Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
- MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan serta program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah
diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus.
Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana
ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana
yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang
diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:
- Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
- Rendahnya penerimaan negara.
- Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
- Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
- Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
- Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
- Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
- Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan
langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara
- Mengadakan operasi pajak
- Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
- Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
- Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi
ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968,
tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet
Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya
pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang,
pangan, dan kurs valuta asing.
Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga
bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan
pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan
berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama,
Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi.
Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan
dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan tertentu.
Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun
perbaikan tata kehidupan rakyat.
Kerjasama Luar Negeri
- Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan
keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang
luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda
pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966
pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.
Pemerintah Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh
Indonesia akan digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai
untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari
negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris,
Prancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[
- Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
- Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
- Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
- Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
- Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24
Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan
kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil
langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.
Di samping mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah
berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran
kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.
Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan
luar negeri.
Pembangunan Nasional
- Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan
kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh
pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.
Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang
mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:
- Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
- Meningkatkan kesejahteraan umum
- Mencerdaskan kehidupan bangsa
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada
Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman
tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana
politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur
Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
- Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
- Pemerataan pembagian pendapatan.
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
- Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
- Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah
disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama
masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
·
- Pelita I
Pelita I dilaksanakan
mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan
masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya
adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan
bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi
melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk
Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
·
- Pelita II
Pelita II mulai berjalan
sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979.
Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan
Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi
mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan
pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
·
- Pelita III
Pelita III
dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik
berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur
Pemerataan.
·
- Pelita IV
Pelita IV
dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989.
Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada
pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin
industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.
Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
·
- Pelita V
Pelita V dimulai 1
April 1989 sampai 31 Maret 1994.
Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada
masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan
pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.
Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan.
Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
·
- Pelita VI
Pelita VI dimulai 1
April 1994 sampai 31 Maret 1999.
Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang
berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
pembangunan.
Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam
negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan
terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,
dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin.
Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu
itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat
kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di
sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih
5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan
Pasca Orde Baru
Pada masa Orde Baru pemerintah
sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti
radio dan televisi mendengungkan slogan
"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa,
Bali
dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.
Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik
laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon
dan konflik
Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para
transmigran.
Kelebihan sistem
Pemerintahan Orde Baru
- Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem
Pemerintahan Orde Baru
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
- Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
- Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan
1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia),
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas
dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.
Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas,
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.
Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto
dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi]
Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan
pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde
Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi
sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh
kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru
ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi
baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar