Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 menimbulkan kegelisahan masyarakat luas. suara islam
Kenaikan ini mungkin terlihat kecil—hanya 1%—namun dampaknya akan dirasakan di setiap sudut kehidupan rakyat.
PPN bukan hanya pajak atas kemewahan, melainkan pajak atas kebutuhan pokok hingga jasa yang kita gunakan setiap hari. Pertanyaannya: apakah kenaikan ini menunjukkan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat atau sekadar pengelolaan anggaran yang malas dan membebani masyarakat?
Kekayaan Negeri, Kemiskinan Rakyat
kabarbisnis.com |
Dengan segala keunggulan ini, seharusnya pemimpin mampu memastikan kesejahteraan masyarakat tanpa harus menguras kantong rakyat kecil.
hops.id : sebagian tambang emas indonesia |
Namun, kenaikan PPN ini mengindikasikan sebaliknya—bahwa pemerintah lebih memilih jalan pintas dengan meningkatkan pendapatan negara dari konsumsi masyarakat, ketimbang mereformasi tata kelola sumber daya alam yang sering kali bocor atau dikuasai oligarki.
Pemimpin yang ingin mendapatkan anggaran dengan cara instan melalui pajak tanpa mau berproses dan menggali potensi kekayaan sumber daya alam yang luar biasa adalah sebuah tindakan yang tidak hanya malas, tetapi juga merugikan negara dalam jangka panjang. Mereka menutup peluang optimalisasi aset nasional dan justru membebani rakyat yang seharusnya dilindungi.
SINDOscop |
Kenaikan PPN akan berdampak pada meningkatnya harga barang dan jasa, mulai dari kebutuhan pokok hingga layanan pendidikan dan kesehatan.
- PPN Kebutuhan Pokok: Walaupun disebutkan bahwa barang kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN, banyak kebutuhan lain seperti makanan olahan, layanan transportasi, dan obat-obatan tetap terkena pajak. Artinya, kenaikan PPN tetap akan memengaruhi harga secara tidak langsung.
- UMKM Terdampak: Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat kecil juga akan merasakan efeknya. Peningkatan harga produksi dan jasa mereka membuat daya saing semakin menurun.
- Pemerataan yang Terbalik: PPN adalah pajak regresif—artinya semua orang membayar pajak dengan persentase yang sama, tanpa memandang penghasilan. Akibatnya, beban kenaikan pajak ini lebih berat dirasakan oleh rakyat kecil dibandingkan kelas atas.
Drakula atau Pemimpin Visioner?
finansialku |
Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melihat jauh ke depan, mengelola kekayaan negara dengan cermat, dan melindungi kepentingan masyarakat kecil.
Namun, kebijakan seperti kenaikan PPN mencerminkan kemalasan penguasa negri dalam mengelola negara.
Jika pemerintah serius ingin meningkatkan pendapatan negara tanpa menyakiti rakyat kecil, ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:
eco wisata
Reformasi Tata Kelola SDA: Optimalkan pendapatan dari sektor sumber daya alam yang kerap bocor ke tangan pihak tertentu. Transparansi dan penegakan hukum terhadap pengelolaan tambang dan energi harus diperketat.
Pajak Progresif: Alihkan beban pajak kepada mereka yang lebih mampu secara finansial. Pajak untuk barang mewah dan aset besar seperti properti premium dan kendaraan mewah perlu ditingkatkan secara signifikan.
Efisiensi Belanja Negara: Potong anggaran yang tidak produktif seperti biaya operasional pejabat, proyek mercusuar tanpa manfaat nyata, dan korupsi. Dana ini bisa dialihkan untuk subsidi rakyat kecil.
Dukungan UMKM: Berikan insentif pajak dan kemudahan regulasi untuk sektor UMKM, sehingga mereka dapat berkembang tanpa tercekik oleh pajak.
Menakar Keberpihakan Pemimpin
predator air dan darat |
Ketika pemerintah lebih fokus menambah pendapatan negara dari kantong rakyat, ketimbang membenahi kebocoran dan ketidakadilan dalam sistem, legitimasi moral mereka patut dipertanyakan.
Kenaikan PPN ini bukan sekadar angka; ini adalah cerminan cara pandang pemerintah terhadap rakyatnya. Apakah mereka dianggap sebagai mitra yang harus diperjuangkan kesejahteraannya, atau sekadar sumber pendapatan yang bisa diperah kapan saja?
bran castle |
Pemimpin yang hanya mampu memungut pajak tanpa memperbaiki potensi kekayaan alam yang sejatinya adalah warisan negara untuk rakyat, bukan hanya gagal menjalankan amanah, tetapi juga melemahkan daya saing bangsa.
Kebijakan semacam ini hanya akan memperdalam jurang ketimpangan ekonomi dan membuat rakyat semakin terpuruk.
Akhirnya, pertanyaannya sederhana: apakah pemerintah ini pahlawan pengentas kemiskinan, atau drakula kekayaan masyarakat? Jawabannya ada pada kebijakan nyata yang kita rasakan, bukan sekadar narasi kosong yang terus digaungkan.